17.12.10

Aku Pasti Kembali

Pagi itu Defa menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat baik dan teliti. Ini hari pertama ospeknya. Dengan langkah pasti Defa berjalan menuju kampus yang tak jauh dari rumah ostnya. Defa sengaja ngekost, walaupun dia punya saudara dekat di Surabaya ini. Belajar mandiri, katanya. Sampai di kampus, beberapa mahasiswa baru sudah terlihat sibuk di halaman kampus. Ada yang bercanda, ada yang duduk-duduk, ada juga yang menekuni buku atau ponsel. Ada rasa sepi menelusup karena terpisah teman-teman SMA-nya dulu, tapi Defa sadar kalo setiap orang punya impian yang harus diperjuangkan.

Baru beberapa saat Defa duduk di salah satu bangku di halaman kampus itu, panggilan lewat microphone sudah memaksanya bergabung dengan orang-orang yang masih asing baginya. Seorang dengan muka kaku berdiri di depan mereka dan menjelaskan panjang lebar tentang ospek yang akan mereka jalani beberapa hari itu.

Para senior lalu membagi para mahasiswa baru dalam kelompok. Setelah tahu ada di kelompok berapa, Defa mencari anggota kelompoknya yang lain dan bergabung dengan mereka. Jantung Deva bergemuruh, dia begitu terkejut saat melihat seorang masuk dan duduk tak jauh darinya, tapi Defa diam saja.

Tugas pertama mereka adalah membuat rumah dari kardus tebal yang nantinya akan menjadi base camp kelompok itu selama ospek berlangsung. Mereka harus berupaya agar rumah kardus itu bisa terus bertahan hingga ospek berakhir jika tak ingin mendapatkan hukuman. Mereka hanya diberi waktu satu malam dan besok sebelum jam 07.00 semua sudah harus selesai dan peserta ospek harus sudah berkumpul di halaman depan kampus. Kelompok Defa yang terdiri dari 10 orang sepakat mendirikan rumah itu di bawah sebuah pohon di halaman tengah kampus. Sudah jam 2 dini hari saat mereka selesai membangun rumah kardus itu. Mereka duduk-duduk di depan rumah barunya sambil beristirahat dan memperhatikan kelompok lain yang belum selesai.

“Alhamdulillah selesai juga,” sebuah suara tertangkap telinga Defa dan Defa kenal benar pemilik suara itu.

“Ada minuman dan makanan di sana,” sahut Defa, telunjuknya mengarah ke satu arah.

“Kok gak bilang dari tadi sih, Def!” Ivan menyahut.

“Maaf, lupa,” kata Defa. Ivan berdiri sambil tersenyum, tak ingin melihat gadis yang baru dikenalnya siang tadi terus merasa bersalah. Ivan mengambil kantong itu dan membagikan isinya pada rekan-rekannya yang lain.

“Capek?” suara itu terdengar oleh telinga Defa lagi. Kali ini Aldi, pemilik suara itu duduk tak jauh dari Defa.

“Lumayan,” jawab Defa setelah yakin pertanyaan itu memang tertuju padanya.

“Oh ya, makasih ya,” kata Aldi lagi.

“Untuk apa?”

“Untuk menceritakan semua yang pernah terjadi dulu yang sebelumnya gak aku ketahui dan aku minta maaf sudah salah paham sama kamu.”

“Apa itu berarti kita bisa menjadi teman setelah ini?”

“Mungkin gak,” kata Aldi, Defa menghembuskan napas kecewanya.

“Kenapa?” akhirnya tanya itu keluar juga dari mulut Defa setelah beberapa saat mereka terdiam. Aldi menoleh ke arah Defa dan melihat dengan jelas gurat kecewa di wajah Defa. Entah apa yang ada di pikiran Aldi. Dia hanya diam seolah pertanyaan Defa tidak membutuhkan jawaban.

“Ada yang pengen tidur gak?” tanya Ivan yang memang pemimpin kelompok ini. Hampir semua mengangkat tangan, termasuk Defa.

“Mau tidur di mana? Pulang ke rumah?” tanya Silva. Setelah berembuk, diputuskan yang cewek tidur di kost Defa dan cowok-cowok di mobil Dimas.

“Ya udah yuk, keburu pagi,” Lista bangkit dari duduknya diikuti yang lain. Sekitar jam 06.45 esok harinya, mereka sudah berkumpul di base camp yang mereka bangun kemarin. Hari-hari yang melelahkan mereka lalui, mereka dituntut untuk bisa bekerja sama dan solid dengan kelompoknya. Defa sangat bersyukur mendapat rekan-rekan yang hebat. Mereka benar-benar tim yang solid, mereka bahkan sering kali mendapat pujian dari senior-senior karena kekompakan mereka. Mereka seperti sudah saling mengenal selama beberapa tahun.

Hari terakhir ospek mereka dibawa ke bumi perkemahan dekat kampus dan harus menginap karena akan diadakan penjelajahan dan renungan malam. Kelompok Defa berangkat menjelajah saat jarum jam sudah menunjuk angka 12. Rute penjelajahan mereka melewati hutan yang kata orang-orang adalah hutan angker. Ivan memimpin kelompoknya berdoa sebelum berangkat.

“Ingat, jangan sampai kita terpisah di tengah jalan,” pesan Ivan pada teman-temannya. Yang lain mengangguk tanda mengerti. Mereka mulai melangkah. Dimas dan Aldi berjalan di depan sementara itu Ivan berjalan paling belakang agar bisa melindungi teman-teman ceweknya yang berjalan di tengah.

“Gak takut, Def?!” Ivan memulai obrolan dengan Defa yang berjalan di depannya.

“Si Ivan mulai ngrayu Defa lagi dech!” celetuk Yudha yang berjalan beriringan dengan Ivan membuat wajah Ivan memerah. Ivan memang sedang berusaha mendekati Defa. Beberapa hari mereka bersama sepertinya telah menumbuhkan benih cinta di hati Ivan. Defa hanya tersenyum menanggapi gurauan Yudha.

“Eh, Def kamu udah lama kenal Aldi ya?” tanya Imy yang berjalan di samping Defa. Mendengar pertanyaan Imy, Ivan dengan semangat mendekatkan telinganya, dia juga ingin tau tentang itu.

“Iya, Def, aku juga penasaran,” tambah Ivan.

“Kamu sih, semua tentang Defa juga kamu pengen tau,” celetuk Yudha lagi.

“Ststsst…” tegur Dinna yang berjalan di depan menghalau keributan yang terjadi di belakang, “Jangan rame terus, ntar setannya keluar lho…!!” katanya mengingatkan. Mereka langsung terdiam. Meski mereka belum pernah bertemu hantu, tapi mereka juga gak ingin bertemu karena mereka gak tau harus bagaimana kalo nantinya benar-benar bertemu. Say “Hello!” apa say “Aaagh…..!!!” trus lari?!?!?! Mereka terus berjalan mengikuti petunjuk yang sudah disediakan panitia. Senter yang hanya dua itu salah satunya sudah mulai meredup, cahayanya gak seterang saat mereka baru berangkat tadi.

“Bawa baterai cadangan kan?” tanya Dimas.

“Ada, butuh sekarang apa nanti?” sahut Silva.

“Siapkan dulu aja, kayaknya sebentar lagi senter ini mati.”

“Ok! Punya kamu, Van?” Silva menoleh ke belakang.

“Alhamdulillah masih cukup terang, nanti aja,” jawab Ivan.

“Aduh!” suara Silva terdengar lagi, sepertinya dia tersandung batu.

“Kamu gak papa, Sil?” tanya Galih yang menopang tubuh Silva yang mau jatuh.

“Gak, makasih. Tapi baterainya?” Silva mulai panik.

“Jatuh?” tanya Aldi yang menghentikan langkah dan berbalik ke belakang. Silva mengangguk sambil berjongkok mencari-cari baterai yang dijatuhkannya tadi. Ivan maju dan membantu menerangi.

“Ketemu,” seru Silva tak lama kemudian.

“Alhamdulillah. Diganti sekalian aja deh,” kata Dimas sambil mengeluarkan baterai lama dan menggantinya dengan yang baru. Mereka kemudian meneruskan perjalanan.

“Tunggu,” tiba-tiba Yudha bersuara. Aldi dan Dimas menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.

“Ada apa?” tanya Aldi.

“Apa Defa di depan?” Ivan dan Dimas langsung menerangi wajah teman-teman mereka sambil menghitung.

“Delapan, sembilan…” Ivan berhenti menghitung saat jari telunjuknya berhenti pada dirinya sendiri. “Kita kehilangan Defa,” katanya kemudian.

“Yudha, sejak kapan kamu tau Defa gak ada?” tanya Aldi.

“Waktu Silva hampir jatuh tadi, dia masih ada trus waktu kita jalan lagi, aku baru sadar kalo Imy jalan sendirian.” Yang lain mulai panik.

“Tenang, jangan panik,” Galih menenangkan, “Kita coba kembali ke tempat tadi, mungkin dia tertinggal,” usulnya. Yang lain setuju. Mereka kembali ke tempat baterai jatuh tadi dan mencoba mencari Defa di sana, tapi tak ada tanda-tanda Defa tertinggal.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dinna. Kepanikkan semakin terasa menyelimut mereka.

“Kita teruskan perjalanan,” putus Aldi.

“Meneruskan perjalanan? Bagaimana kalo Defa masih ada di hutan ini? Bagaimana kalo dia dimakan binatang buas?” tanya Ivan, emosi melihat sikap gak peduli Aldi.

“Lalu kita harus bagaimana? Menunggu sampai pagi dan mencari Defa? Apa kamu tahu bahayanya hutan ini?” balas Aldi.

“Kalo kamu memang tahu hutan ini berbahaya, kenapa justru kamu tega meninggalkan Defa di sini? Kita akan mencarinya sampai ketemu dan kita gak akan keluar dari hutan ini sampai Defa bisa kita temukan,” putus Ivan, “Siapa mau ikut?” lanjutnya.

“Aku ikut kamu, Van,” kata Imy

“Aku juga,” sahut yang lain satu per satu dan tinggal Aldi yang masih belum mengambil keputusan. Semua mata menatap padanya.

“Aku jalan terus,” katanya kemudian.

“Pengecut! Di mana kepedulianmu?” Ivan semakin emosi. Aldi gak peduli dengan kata-kata Ivan, dia benar-benar meneruskan perjalanannya, sementara itu Ivan cs mulai mencari Defa. Ivan membagi mereka menjadi dua dan mencari ke arah yang berlawanan. Adzan subuh sudah mulai terdengar, hari sudah mulai pagi, tapi Ivan cs belum juga berhasil menemukan Defa. Mereka memutuskan untuk terus berjalan menuju garis finish yang ditentukan panitia. Mereka siap menerima hukuman karena tidak sampai tepat waktu, lagipula mereka punya alasan yang kuat untuk itu. Tapi, perkiraan mereka salah. Tak ada senior yang marah ataupun bertanya kenapa mereka terlambat sampai garis finish.

“Defa sudah ketemu?” tanya Anis, salah satu koordinator kelompok mereka. Ivan cs melongo, hanya Dinna yang menggeleng sebagai respon atas pertanyaan itu.

“Dari mana kakak tau?” tanya Lista.

“Kalian ini bagaimana, semalam kan Aldi datang melapor katanya Defa gak ada dalam kelompok kalian, itu sebabnya kalian gak bisa meneruskan perjalanan. Iya kan?” jelas Anis.

“Trus di mana Aldi sekarang?” tanya Ivan.

“Setelah melapor, dia minta izin untuk membantu kalian mencari Defa dan dia belum kembali sampai sekarang. Apa kalian gak ketemu dia?”

“Kami terpisah,” kata Ivan lesu, ada sorot sesal di matanya.

“Lebih baik kalian sholat subuh dulu. Jangan khawatir, yang lain sudah ikut membantu mencari,” kata Anis sebelum berlalu meninggalkan mereka yang masih membisu.

“Menurutku, kita harus minta maaf ke Aldi saat dia kembali nanti,” kata Galih. Yang lain mengangguk lesu.

Hari sudah terang, tanda-tanda kehidupan mulai terasa seiring dengan hangat sinar matahari yang mulai bersinar, tapi Defa belum juga bisa ditemukan, juga Aldi.

“Tolooong…!!!” tiba-tiba terdengar suara seseorang meminta tolong. Begitu jelas hingga hampir semua yang ada di sana mendengar. Mereka semua diam, mencoba mempertajam indera pendengaran mereka. Serentak mereka berjalan ke satu arah dan mencari-cari pemilik suara itu.

“Di sana!” kata seseorang yang lain. Seluruh mata tertuju pada satu arah. Di bawah terlihat seorang melambai-lambaikan tangan.

“Defa di sini. Cepat kirim bantuan. Aku gak bisa membawa dia ke atas seorang diri,” teriak orang itu. Afif mengajak beberapa rekan pecinta alamnya untuk turun dari tebing yang cukup terjal itu. Dengan susah payah mereka sampai dan mendapati Aldi yang terduduk lemas dengan luka di beberapa bagian tubuhnya. Di samping Aldi ada Defa yang tersandar pada pohon dan masih dalam keadaan sadar. Keadaannya gak jauh beda dengan Aldi.

“Dia udah gak kuat jalan, mungkin kalian bisa memapah atau menggendongnya,” saran Aldi.

“Digendong saja,” kata Afif. “Kamu sendiri gimana? Apa perlu digendong juga?”

“Insya Allah, aku masih kuat berjalan,” jawab Aldi. Bergantian mereka menggendong Defa hingga sampai di tempat mereka berkumpul. Agak lama karena mereka memilih jalan setapak. Aldi langsung pingsan ketika mereka sampai dan tak lama kemudian Defa juga kehilangan kesadarannya. Tim P3K langsung beraksi. Mereka memberikan pertolongan pertama sebelum memutuskan untuk melarikan mereka berdua ke rumah sakit. Beberapa jam setelah ditangani dokter mereka berdua sadar dan Defa mulai bercerita.

“Waktu Silva hampir jatuh dan baterainya hilang, ada seseorang yang menarik tanganku. Ada dua laki-laki dan seorang perempuan. Mereka bilang ini adalah bagian dari ospek, jadi aku menurut saja waktu mereka membawa aku menjauh dari kelompokku. Mereka membawa aku ke sebuah pondok dan saat di pondok itulah aku tahu kalo mereka bukan senior-senior yang membimbing kita selama ini, tapi mereka adalah suruhan seseorang yang menaruh dendam sama aku,” jelas Defa.

“Menaruh dendam?” Imy menyela.

“Iya, aku gak bisa menerima lamarannya karena kita berbeda agama. Mungkin orang tuanya yang memang gak suka sama aku jadi bertambah benci karena aku menyakiti putra mereka satu-satunya,” lanjut Defa.

“Dari mana kamu tau itu perbuatan mereka?”

“Saat mereka sudah berhasil mengikat aku, salah seorang dari mereka menelfon seseorang dan mereka bilang kalo Tuan dan Nyonya Tommy, bos mereka akan segera datang untuk memberi palajaran. Alhamdulillah sebelum mereka datang, mas Aldi sudah menemukan aku.”

“Bagaimana dia bisa sampai di sana?” tanya Ivan penasaran. Defa menggeleng. Pandangan orang-orang di dalam kamar itu beralih ke Aldi yang dari tadi hanya duduk manis di atas kursi rodanya.

“Aku hanya berjalan dan aku melihat pondok kecil itu. Waktu aku dengar suara ribut di dalam, aku mencoba mencari tahu dan menemukan Defa yang diikat tangan dan kakinya sedangkan ketiga orang yang ada di sana bergantian mencaci dan memukulinya,” jelas Aldi.

“Ya sudahlah, yang penting kalian selamat. Masalah yang tadi nanti kita clear-kan di kantor polisi, biar nama Universitas kita gak ikut tercoreng karena kejadian ini,” kata Afif. “Kalian istirahat yang cukup, kami akan mengurus yang lainnya,” tambahnya. Afif keluar ruangan bersama dengan teman-temannya, sedangkan Ivan cs masih di sana.

“Maafkan aku sudah berprasangka buruk sama kamu,” kata Ivan menghampiri Aldi dan mengulurkan tangannya. Yang lain mengikuti.

“Iya sama-sama, aku ngerti  kalo saat itu kamu emosi, tapi aku sedikit merasa sakit hati waktu kamu bilang aku gak peduli sama dek Defa,” sahut Aldi.

“Ya sudah, sebaiknya kalian berdua istirahat yang cukup biar cepet sembuh,” saran Imy.

“Yud, bisa tolong antarkan aku kembali ke kamarku?” pinta Aldi pada Yudha. Yang diminta mengangguk mantap. Ivan cs keluar satu per satu dari kamar Defa, tinggal Yudha dan Aldi yang masih di sana.

“Dek, suatu saat nanti aku pasti kembali. Suatu saat setelah semua siap. Aku gak pernah lupa pada janji itu, karena itulah aku gak mungkin bisa bersahabat sama kamu. Apa kamu mau menunggu?” tanya Aldi sebelum meninggalkan ruangan. Defa tersenyum.

4.12.10

hujan

december 3rd 2010 @ 03.00 pm

.
hujan turun lagi. tak terasa dingin, justru hangat
nuansa roman terbawa oleh air yang menembus pori-pori bumi
menyajikan gambaran hujan sekian tahun silam
membuatku semakin merindukanmu

.
iya, hujan selalu membawa serta rinduku padamu
seolah rasa itu meluap, jatuh dan menembus bumi
persis seperti hujan

.
ah, andai saja kau hadir disini bersama hujan
tentu romantisme ini akan menjadi sempurna
sayangnya hujan tak pernah benar-benar membawamu ke hadapanku
hujan hanya menghadirkan baumu, bayangmu
dan aku harus puas dengan oleh-oleh hujan untukku

.
rindu ini mungkin seperti pandangan mata burung ketika terbang
luas tak berbatas, tak bertepi

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates