11.11.12

This Miracle

"I called this a miracle"

Ini adalah status yang kutulis di BBM-ku hari itu. Hari saat sebuah cincin dipasang melingkar di jari manis kami. Ya, dia memang seperti sebuah keajaiban, sebuah jawaban atas tanya yang menahun mengendap di sudut hati.

Dulu, kupikir aku tak mungkin akan menemukan jalan keluar dari “ruang” itu. Rasa yang dulu ada seolah membekapku erat, aku seperti tak punya pilihan selain menerima dan menggantungkan harapan kecil untuk sebuah perubahan. Hingga aku lelah berharap dan hanya bisa menerima. Ya, aku seperti terjebak di ruang hampa udara yang mungkin telah kuciptakan sendiri. Kala itu, aku seperti tak punya daya untuk bisa keluar, semua jalan seolah tertutup rapat, tanpa celah.

Berdamai dengan diri sendiri dan keadaan memanglah hal terbaik yang bisa kulakukan saat itu. Ketika sudah letih berharap dan hanya bisa menerima, kunyamankan diriku sendiri dengan keadaan yang ada. Melebur dengan hal-hal menyenangkan di tempat kerja, bersama kawan-kawan baru. Kunikmati setiap hal baik dan belajar mengabaikan hal-hal yang bisa menghitamkan hati. Kulakukan semua, seperti perlakuan yang biasa kuterima.

Bermula di akhir 2010 dan meledak diakhir 2011. Perdamaianku dengan keadaan ternyata telah menghasilkan daya yang begitu besar hingga aku merasa kuat dan berani mendobrak tembok untuk bisa menghirup udara bebas. Ya, aku benar melakukannya. Pada satu fase hidup, di jalan yang membelok, aku menemukan rasa yang lama hilang.

Daya itu mengakar dan menguat. Semua tentu tak terjadi tiba-tiba, kuyakin apa yang telah terjadi telah menghimpun segalanya menjadi satu. Dan finally, aku mendapatkan kebebasanku, meski untuk itu aku harus mengorbankan banyak orang, mengecewakan banyak hati. Puji syukur, mereka ridho dan mendoakan yang terbaik buatku.

Aku bebas, meski saat tembok itu sudah berhasil kuhancurkan dan aku berhasil keluar, aku harus lebih dulu terjatuh ke jurang. Ya, ruang hampa udara itu ada di tepian jurang. Tertatih? Iya. Dayaku telah habis untuk membobol tembok itu, bahkan sama sekali tak tersisa untuk sekedar melengkung senyuman kecil.

Namun, sekali lagi, perdamaianku dengan keadaan menguatkanku. Beruntung, beberapa orang teman yang selalu ada di sisi siap menggenggam tanganku. Tanpa mereka aku tak akan bisa sekuat sekarang. Daya yang terkumpul perlahan kupusatkan untuk mensyukuri segala yang ada. Rasa sakit, rasa kecewa. Kuyakini ada rencana indah Tuhan di balik semua ini.

Sebuah titik balik yang kualami terjadi dengan sangat sederhana. Suatu hari seorang kawan lama, kawan dekat waktu KKN, mengajakku liburan ke Malang. Kuterima ajakannya, selain karena sudah sangat lama tidak bertemu dengannya, kupikir aku juga butuh liburan. Dan di sanalah titik balik itu terjadi. Bertemu dan berkumpul dengan teman-teman lama, berbagi cerita, berbagi tawa.

Ketika aku bisa tertawa terbahak-bahak hanya karena lelucon sederhana, ketika aku bisa menikmati hawa positif yang dibawa oleh alam untuk jiwaku, ketika itu juga aku merasa telah kehilangan banyak hal. Ya, entah sudah berapa lama aku tak bisa tertawa selepas ini. Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam hiruk pikuk pekerjaan dan urusan hati hingga aku lupa jalan pulang. Ah, sebenarnya memang sebelumnya aku tak benar-benar punya “rumah” untuk pulang selain pada-Nya dan rumahku sendiri.

Sudah terlalu banyak hal menyenangkan kulupakan. Sudah terlalu banyak energi negatif yang merasukiku hingga sulit untuk berpikir tentang apa itu bahagia dan bagaimana aku bisa mendapatkannya. Nyatanya, mengingat hal menyenangkan itu begitu mudahnya, dan bahagia itu ternyata begitu sederhana.

Dua hari dua malam kami menghabiskan waktu bersama. Dan dini hari itu, ketika mereka semua lelap, tiba-tiba aku terjaga. Tak habis syukurku mengingat apa yang sudah kujalani selama ini. Ah, aku benar-benar telah kehilangan banyak hal, bahkan mungkin nyaris kehilangan diriku. I have to move on.

Dini hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bahagia. Aku harus menemukan cara untuk bahagia. Aku tak lagi harus memaksakan diri untuk ini dan itu, aku tau apa yang aku butuhkan, aku tau apa yang harus aku lakukan.

Aku tak pernah ingin menyesalkan apapun yang pernah kuputuskan. Aku sudah memikirkannya sangat lama, aku sudah berjuta kali menimbangnya, karena itu aku tak goyah. Apalagi setelah titik balik itu terjadi, aku makin mantab dengan keputusanku. Aku tak tau apa keputusanku bisa diterima semua orang dengan pikiran positif, tapi buatku ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.

Kita, manusia hanya harus mengusahakan yang terbaik yang bisa dilakukannya saat itu. Karena kita tak pernah tau seperti apa masa depan kita. Kadang kupikir keputusan ini sangatlah egois, tapi keterpaksaan yang bisa saja kuteruskan hanya akan semakin menyakitkan. Saat itu, aku hanya tau bahwa yang terbaik yang bisa kulakukan adalah mundur.

Dan sepertinya Dia memang sudah menyiapkan segalanya, tentunya dengan cara yang sangat tidak terduga. Karena setelah titik balik itu terjadi pada diriku, aku didekatkan dengan seseorang, kawan lama juga yang kebetulan liburan ke Malang tempo hari.

Kami sudah sangat jarang bertemu sejak urusan KKN selesai, dulu pun kami bukan teman dekat. Bertemu hanya sesekali dan hanya tegur sapa seadanya. Sudah lebih dari dua tahun rasanya. Ketika pertama kali mengenalnya, atau ketika kembali bertemu dengannya, aku tak pernah memikirkan dia akan menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Aku benar-benar memulainya dari nol.

Kedekatan ini terjadi begitu saja, mungkin lebih tepatnya tak disengaja. Berawal dari hal yang sangat sepele dan segalanya berjalan seperti air mengalir. Rasa nyaman itu hadir perlahan dari komunikasi yang terjalin lewat candaan. Keinginan untuk peduli dan berada di dekatnya semakin kuat. Kuyakin semua itu ta terjadi dengan sendirinya. Karena ada Tuhan yang menanamkan bibit cinta kasih dalam diri kami.

Mimpi-mimpi yang kusimpan rapat, yang dulu pernah terkubur oleh kekecewaan, pelan-pelan kembali bermunculan, meminta untuk diwujudkan. Dan aku merasa membutuhkan orang seperti dia untuk menjadikan mimpi-mimpi itu nyata. Aku merasa benar-benar “pulang” saat bersamanya, saat berbicara dan berbagi mimpi dengannya.

Pada suatu hari itu, dia mengajakku untuk berbicara serius tentang hati. Malam itu, tepat sebulan sejak pertemuan pertama kali setelah dua tahun tak bertemu, kami bersepakat untuk saling memilih dan menjalani komitmen. Dia tak pernah memintaku jadi ‘pacar’ tapi dia memintaku menjadi ‘istri’ dan ibu untuk anak-anaknya.

Segalanya terjadi sangat cepat dan mudah. Keluarganya menyambutku dengan sangat hangat, aku bahkan seperti berada di keluargaku sendiri meski baru pertama kali bertemu mereka. Dan tak sampai sebulan setelah secara pribadi ‘melamarku’ dia mendatangi orang tuaku, mengatakan pada mereka bahwa dia ingin menjalin hubungan serius denganku. Kali ini pun jalan kami mulus, orang tuaku menghargai niat baiknya, mereka menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.

Dan rentetan prosesi itu terjadilah. Dua bulan berikutnya dia sudah membawa orang tuanya ke rumahku, silaturahmi dua keluarga terjadi. Bulan berikutnya orang tuaku membalas silaturahmi ke rumahnya dan bulan selanjutnya satu langkah pasti terjalani. Di jari manis kami sudah melingkar cincin sebagai tanda ikatan, kami bertunangan.

Aku masih belum mengerti bagaimana keyakinan ini bisa tumbuh dan mengakar sedemikian cepat di hati kami. Umumnya, butuh waktu menahun untuk menyiapkan diri menghadapi pintu gerbang pernikahan, bahkan untuk sekedar meyakini diri bahwa selamanya kita akan hidup dengan satu orang yang sama. Mencintai orang yang sama setiap harinya.

Pernikahan bukanlah pintu gerbang kemenangan. Dia hanyalah gerbang tempat kami memasuki fase kehidupan yang baru yang musti lebih kental dengan aroma toleransi untuk selalu bisa saling menerima, memaafkan dan memberikan yang terbaik.

Dan jika hari ini ada air mata mengaliri wajahku, itu karena aku merasa sangat bahagia dan kehilangan kata untuk berucap syukur. Jalan berliku ini telah menemu muara. Aku tak hanya telah menemukan jalan pulang, tapi aku sungguh-sungguh sudah menemukan “rumah” yang sederhana namun sempurna. Ya, sempurna karena bersyukur.


Dedicated to my beloved friends ; BEBE (Irma, Aya, Hanna, Adit, Fian, Kedo), Ratri, Priesta, Dini.
Thank you for everything guys. I’m nothing without you all. I love you.

30.10.12

Ketika Tanya Itu Menemu Jawab

Kita semua pasti pernah mengalaminya. Saat sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi, kita akan bertanya, “kenapa aku harus mengalami hal ini?” Saat kenyataan tak sejalan dengan apa yang kita harapkan, kita akan bertanya, “kenapa ini yang terjadi padaku?”

Bertanya dan bertanya. Tanpa kita sadari itulah yang sering kali kita lakukan, terutama ketika ada hal-hal buruk, yang tak menyenangkan, yang mengusik ketenangan.

Banyak orang sering kali menyerahkan semua pada waktu. Berharap waktu akan bisa menjawab semua pertanyaan mereka tentang hidup. Menunggu dan menunggu, hingga jawab itu muncul di depan mata. Mereka yang bernasib baik akan bisa menyadarinya dengan segera, yang tidak harus menunggu entah sampai kapan.

Tahukah kalian, kawan? Nasib baik itu bisa dicari, bisa diusahakan. Jika sudah menyebut usaha, tentu ada daya yang harus dikeluarkan demi menghadapi setiap halangan yang ada dalam pencapaian tujuan. Ada yang melaluinya dengan perenungan panjang, ada juga yang meminta nasehat pada orang yang dianggapnya lebih mengerti. Ada yang berhasil, ada yang gagal.

Yang jelas, pertanyaan demi pertanyaan itu akan terjawab satu per satu. Seperti doa yang senantiasa kita haturkan pada Sang Pemilik Hidup. Ada yang jawabannya sesuai dan segera, ada yang ditunda, ada yang berbeda. Yang terakhir ini, yakinlah Dia punya rencana yang lebih indah. Dan cara paling mujarab adalah dengan bersyukur, sebaik dan seburuk apapun hal yang kita terima dan hadapi.

Bersyukur pada apapun yang telah Dia berikan. Segala kesedihan, semua rasa kesal dan sesal, seluruh hal-hal buruk yang pernah terjadi seolah luruh tak membekas. Ketika syukur itu berhasil dipanjatkan, ketika tanya itu terjawab satu demi satu dengan kesyukuran setulusnya.

Semoga kesyukuran ini selalu ada dan terjaga dalam diri kita. Aamiin Ya Allah..

“Sebaik-baiknya rencana manusia, rencana Tuhan untuk manusia adalah yang terbaik dan sempurna.”


Tentang Cinta

Tentang debar bahagia yang menggetarkan hati, seperti aliran listrik yang menyatu dengan jalan darah, mengaliri setiap inchi tubuh kita. Tentang rona merah di kedua pipi dan mata berbinar penuh harap. Tentang pesona yang seolah menisbikan alasan untuk berhenti mengaguminya. Tentang harap-harap cemas saat menantikan kehadirannya di sisi, berharap bisa selalu melewati setiap waktu bersama-sama.

Tentang rindu yang seakan tak pernah habis dimakan waktu. Tentang mimpi-mimpi indah yang terajut dalam bingkai penuh harap akan bisa mewujudkannya bersama suatu saat nanti.

Dialah cinta, dialah kasih, dialah sayang. Dialah yang memberikan keluasan hati untuk saling memberi dan menerima. Dialah yang menciptakan keluasan pikiran untuk selalu berbaik sangka. Dialah yang mengajarkan untuk selalu ikhlas dan sabar dalam menghadapi hal-hal buruk.

Dialah yang mengingatkan ketika jalan kita mulai tak terarah. Dialah yang selalu dan senantiasa berusaha mendampingi, yang tak pernah meninggalkan di saat sedih dan bahagia. Dialah yang selalu ingin menjaga dan menyembuhkan luka serta duka. Dialah yang menguatkan di saat lemah dan terjatuh.

Dialah cinta, dialah kasih, dialah sayang. Dialah kemauan untuk saling mendengarkan dan memahami, saling memberi dan menerima, saling mengingatkan dan menjaga. Dialah tekad untuk saling setia, saling menghormati, saling mendukung, dan saling mengasihi. Cinta adalah saling, yang tanpanya cinta akan menjadi pincang.

Dialah cinta, dialah kasih, dialah sayang. Dialah anugerah terindah yang Tuhan berikan untuk kita. Dialah kamu. Kamulah cinta, kamulah kasih, kamulah sayang.

Kamulah mata air bahagiaku. Kamulah pelita dalam gelapku. Kamulah rumah tempatku akan selalu pulang. Kamulah mimpiku. Kamulah masa depan dunia dan akhiratku. Kamulah jawaban terbaik yang Tuhan berikan untukku.

“Ketika segala sesuatu yang kubutuhkan telah kudapatkan  darimu, aku tak lagi punya alasan untuk mencarinya dalam diri orang lain.”


Bahagia dalam Bingkai Sederhana

Dan semua ini akan terasa sempurna karena bersyukur. Tak perlu menuntut sesuatu yang mewah, tak harus mengukur bahagia dari materi, tak perlu meminta untuk mendapati, tapi niat, usaha dan apa yang telah diberikan dalam bingkai kesederhanaan sudah lebih dari cukup untuk bahagia.

Karena yang terpenting adalah menerima kelemahan, kekurangan, dan kelebihannya. Karena kita tak perlu sibuk mencari yang sempurna, ketika hal yang sederhana mampu membahagiakan kita.

”Semoga bahagia akan selalu menyertai setiap langkah hidup yang kami tapaki, di setiap syukur yang terberi. Aamiin Ya Rabb..”

(David dan Dian)


** tulisan yang dilampirkan dalam undangan ngunduh mantu **


2.10.12

Tentang Kesetiaan

Kesetiaan adalah penghargaan tertinggi untuk cinta.

Itu adalah status bbm seorang teman beberapa waktu yang lalu. Ku-chat dia, kuberi jempol. Aku setuju dengan pernyataan itu, absolutely. Seorang yang lain bilang, dasar kesetiaan adalah cinta. Pernyataan ini, aku juga sepakat.

Bagiku, menjadi setia itu adalah pilihan, keputusan, pegangan, prinsip.

Sebagai makhluk dengan tingkat keinginan yang tinggi, yang seolah tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, rasa-rasanya menjadi benar-benar setia itu akan sulit. Sering kali rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput di halaman kita sendiri. Sering kali, gesekan-gesekan yang ada menumbuhkan rasa tak nyaman dan keinginan untuk lari.

Ya, keinginan untuk lari. Naluri manusia yang mendasar, ketika ada masalah yang terasa berat, dia akan selalu berpikir untuk lebih baik mundur saja. Yang mampu melawan rasa takut akan tersadar bahwa langkah itu salah lalu memilih menghadapi rasa takut, maju dan berusaha mencari jalan keluar terbaik untuk masalahnya. Yang tak berani melawan, akan tetap mengambil langkah mundur, lari dari masalah.

Kesetiaan itu berdasar atas cinta dan dia adalah bentuk penghargaan tertinggi untuk cinta. Ya, seorang yang benar-benar mencintai tak akan berpikir untuk pindah ke lain hati, dan kesetiaan adalah hal terbaik yang bisa diberikannya untuk pasangan.

Bagi seseorang, setia adalah ketika pasangannya selalu ada di sisinya, baik dalam keadaan susah atau senang. Ketika dia selalu bersyukur atas pemberiannya, sederhana atau mewah. Ketika dia tetap bersamanya, baik ketika dia membawa mobil atau hanya sepeda pancal. Ketika dia tetap mendampingi saat dia bisa memberikan penghidupan di gubuk atau di istana.

Bagi seseorang yang lain, setia adalah ketika pasangannya tak berpaling pada seorang yang lain. Ketika dia bisa menjaga diri dan kehormatannya saat mereka berjauhan. Ketika dia tetap memilih untuk menerima segala kekurangannya.

Bagi seseorang yang lain lagi, setia adalah ketika pasangan tidak mengumbar rayuan pada orang lain. Ketika dia hanya merindukan pasangannya. Ketika dia tak perlu menyembunyikan apapun dari pasangannya dengan alasan menjaga perasaan.

Cinta bisa terus ada karena penjagaan. Setia bisa terus ada karena penjagaan. Tanpanya, dua kata itu hanya omong kosong, nisbi.

Penjagaan itu datang dari dua belah pihak. Karena memang pada dasarnya cinta itu adalah saat ada kata saling di dalamnya, take and give, give and take. Itu lumrah, wajar, manusiawi.

Kesetiaan menjadi isu hangat yang tak pernah surut ‘rating’nya dari obrolan, di manapun, kapanpun, dengan siapapun. Karena banyak kasus perselingkuhan, yang marak diberitakan di televisi, di kalangan teman-teman, bahkan mungkin keluarga kita sendiri.

Bagiku pengkhianatan atas kesetiaan itu adalah kejahatan, dia ada bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan *jadi kayak bang napi. Hahahahaha...*

Rasa-rasanya tak ada orang yang tak ingin punya pasangan yang setia. Hanya saja, sering kali seorang tak tahu bagaimana harus ‘menjaga’ agar pasangan kita tetap memilih untuk setia. Ya, sering kali kita tak tahu bagaimana membuatnya selalu merasa nyaman hingga tak terlintas di pikirannya untuk mencari tempat lain yang lebih nyaman.

Dan sering kali kita tak tahu bagaimana caranya untuk tetap setia pada satu hati, sedangkan rasa tak nyaman sudah sering menghampiri. Sering kali juga kita tak tahu bagaimana membuat diri kita nyaman di sisinya, menerima kekurangannya, membuka toleransi selebar-lebarnya dan berusaha untuk tidak mencari tempat nyaman lainnya.

Aku membenci perselingkuhan, meski kuakui aku pernah ‘jatuh cinta’ pada seorang yang lain saat sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Aku membenci diriku saat itu, sangat benci. Karena aku tak mampu menjaga, karena aku lalai. Aku tak tahu apa aku memang sudah berselingkuh, tapi kuakui aku telah jatuh cinta. Aku menemukan kenyamanan pada seorang yang juga telah memiliki pasangan. Dan iya, aku benar-benar membenci diriku saat itu.

Rasa itu salah, pengkhianatan atas kesetiaan itu salah, apapun alasannya. Meski kusadari itu terjadi karena aku tak merasakan adanya penjagaan, mustinya bukan itu jalan keluar yang kupilih untuk mencari kenyamanan hati. Dan sebuah ‘tamparan’ yang sangat keras menyadarkanku. Cukup terjadi sekali dalam hidupku, tak akan kuulangi.

Aku berdamai, memaafkan diriku sendiri, dan menganggap kesalahan besarku saat itu sebagai pelajaran dan proses hidup yang memang harus kurasakan dan kujalani. Dan setelah bebas dari semua rasa bersalah, aku memulai segalanya dari nol.

Dan memang, dasar kesetiaan itu adalah cinta. Karena saat kamu sudah berpikir mencari tempat lain, saat kamu sudah tak lagi merasakan kenyamanan saat bersamanya, atau bahkan saat kamu bisa jatuh cinta pada orang lain, saat itulah rasa cintamu padanya telah terkikis, bahkan mungkin sudah habis. Dan bagiku itu artinya kamu sudah tak menginginkannya lagi.

Menjadi setia itu pilihan, keputusan, pegangan, prinsip. Mustinya ada dan melekat pada hati yang mencinta dan dicinta. Mustinya tak ada tawar-menawar untuk itu. Mustinya itu jadi komitmen, mengandung konsekuensi.

Dan sebenernya ini bukan melulu soal cinta pada pasangan, tapi juga pada sahabat, pada pekerjaan dan semua aspek kehidupan yang berkaitan dengan loyalitas. :)


#postingan berat... hahahahahaaaa..... :p

source : http://sisbbclub.wordpress.com

27.9.12

Bahagia dalam Bingkai Sederhana

Salah satu yang biasanya disiapkan oleh pasangan pengantin sebelum “The Big Day” digelar adalah foto pre-wedding. Beberapa orang menganggap moment ini bukanlah hal yang penting, beberapa orang bahkan menentang, menganggap kalo pose-pose dalam foto pre-wedding itu seperti posenya orang yang sudah menjadi suami istri.

Memang benar, beberapa pasangan kadang berlebihan menunjukkan kemesraannya saat foto pre-wed, yang tentu saja itu bukan hal yang pantas untuk diperlihatkan pada khalayak umum. Dan mustinya memang bukan yang seperti itu, karena sesuai dengan asal katanya, pre-wedding, yaitu apa-apa yang sewajarnya ada sebelum menikah.

Aku sama Mas menjalani proses dan moment ini, karena kami ingin berbagi cerita bahagia. Dari awal memang sudah direncanakan, bahkan Mas memilih akan memasang foto kami berdua di undangannya. Aku setuju saja, karena sejak dulu memang menginginkannya, meski bukan untuk keperluan undangan. Hehehehe...

Lagipula, aku selalu ingin membagi kisah “ajaib” kami, yang ada tanpa proses pacaran dan berjalan dengan proses yang bisa dibilang sangat cepat. I always called this; a miracle.

Banyak pasangan yang hanya tau beres soal pre-wed mereka. Biasanya pasangan-pasangan itu hanya akan mencari jasa (vendor) foto pre-wed, memilih tema yang sudah disediakan oleh vendor, ada juga yang memilih tema sendiri, dan urusan kostum, tempat, fotografer, penata gaya, properti, dsb sudah menjad tanggung jawab vendor. Mereka hanya harus menyediakan budget dan waktu, pasca foto pun mereka hanya menunggu hasilnya.

Aku dan Mas punya pemikiran yang berbeda. Berawal dari terbatasnya anggaran, niat yang tak ingin segala sesuatu yang mewah, dan memaksimalkan potensi yang ada, kami meng-arrange segala sesuatunya sendiri. Tak ribut memikirkan tema, kami hanya mengunjungi beberapa tempat di malang yang punya view bagus dan punya nilai “sejarah” untuk kami.

Soal fotografer? Jangan pikir kami menyewa seorang fotografer khusus yang lengkap dengan tim penata gaya dan make-up serta kostumnya. Awalnya ada kawan dekat Mas yang sedang merintis jasa fotografer pre-wed, dia menawarkan diri untuk jadi fotografer kami. Tapi, karena keterbatasan waktu yang aku punya, akhirnya kami benar-benar memaksimalkan potensi yang ada. Dan yang kena sasaran adalah pacar adikku!! *hahahahahahaaa...*

Kebetulan mereka memang ada di Malang dan dengan sukarela mau membantu mas dan mbaknya yang tercinta ini. Dan jadilah acara foto-foto itu.. ^^

Sabtu siang itu kami meluncur dari Surabaya, naik sepeda motor dengan membawa 1 koper kecil dan 1 tas ransel. Apalagi isinya kalo bukan baju, bener-bener kayak mau mudik *hohohohohooo*. Lepas ashar saat kami sampai di tempat tujuan. Beristirahat seperlunya dan menuju tempat pertama yang diusulkan si pacarnya adik; Villa Puncak Tidar.

Tempatnya bagus, jalanan dan bunga-bunga di sana bagus buat jadi latar foto, hanya saja, kami terlambat datang, terlalu sore. Waktu itu Mas pakai setelan jas dan aku pakai gaun putih panjang, yang membuatku serasa jadi mbak kunti. *sereeeeeeeeeeeeeeeemm*

Baru beberapa kali jepret, Mas ngajak pulang dan aku sudah mulai ngerasain hawa-hawa tak enak. “Laper, cari makan aja dulu,” gitu Mas bilang. Kami berempat pulang dulu untuk ganti baju. Di rumah Mas Tanya, “Kamu ndak gemeteran?” dan kujawab “Ndak, tapi perasaanku ndak enak. Ada apa?” Aku sudah harap-harap cemas, perasaan semakin tak enak.

“Kamu tadi sempat nyenggol ‘sesuatu’ dan kayaknya dia marah, apalagi dia udah merhatiin kamu terus dari awal,” Mas njelasin. Si pacarnya adik yang ada di ambang pintu ikutan senyum, tanda mengiyakan. Seketika buku tengkukku berdiri, bergidik serem. “Kenapa aku sering diperhatiin sama yang begitu-begitu? Ini udah yang ketiga kalinya lhoo,” pertanyaan itu tak kuasa kutahan. “Sudah, ndak papa, ndak usah dipikirin,” Mas membungkus rapi semua tanya.

Lewat adzan isya’ kami keluar makan lengkap dengan properti baru. Tempat makan yang dituju adalah warung makan named “Otoy” yang ada di Batu. Ini adalah warung makan tempat kami makan berdua waktu liburan ke Malang. Malam itu menu yang dipesan sama dengan yang kami pesan waktu pertama kali ke sini, es cendol dan luna maya (ayam tulang lunak). Tentunya ada sesi foto juga di sini, tempat kenangan. Hehehehe...

es cendolnya enak lhoo, sambel luna maya-nya juga pedeeess ^^

Lanjut ke alun-alun kota Batu. Kostumnya sederhana, sama kayak yang dipakai di Otoy tadi. Mas pakai kaos putih dirangkap kemeja abu-abu ungu kotak-kotak dan celana jeans, aku pakai baju rajut ungu muda, kerudung ungu dan celana jeans. Sengaja begitu, karena ceritanya kami memang sedang main-main di sana, jadi kostumnya santai.

Puas foto-foto di sana, kami mampir nyobain ceker setan, itu tuh ceker yang dimasak super pedes. Gara-gara ceker ini aku dapet 2 magnum dari adik n pacarnya yang sok-sok’an make aku jadi taruhan kuat ngabisin berapa biji. *wkwkwkwkwkwk...*

Esok paginya, karena semalam jam 2 pagi baru tidur, kami malas-malasan bangun. Apalagi adik ada jadwal ospek, jadi tidur dulu sekalian nunggu adik pulang. Hehehe...

Properti antik yang di luar rencana, Orong-orong namanya. Vespa warna putih hijau punya temen satu kontrakan si pacarnya adik yang kebetulan lagi nganggur karena ditinggal mudik empunya. Alhamdulillah, vespa itu bisa jalan, dan jadilah kita berdandan ala orang-orang lawas. Lokasinya, kita balik ke Villa Puncak Tidar, karena penasaran dan karena bagusnya. Tapi siang itu Malang rasanya panaaaaaaaaaassss... sesi foto-foto berasa penuh perjuangan, apalagi si Orong-orong sempat mogok. *xixixixixixi...*

ndorong si orong-orong yang berubah jadi putih merah. hahahaha...

Di tempat itu kita pakai 2 kostum. Habis dandan gaya orang zaman dulu, kita pakai almamater. Yup! Karena dari KKN yang identik sama pemakaian jas almamater itulah pertama kali kami berkenalan, sebagai teman yang sama sekali tak punya pikiran akan sampai pada tahapan ini.

Done! Kami pulang untuk packing dan melanjutkan perjalanan ke Kebun Raya Purwodadi. Sebelumnya mampir nyemil dulu di bakpao telo Lawang. Dan tetooooooooooott!! Kebun Raya Purwodadi itu cuma buka jam 07.00 – 16.00, dan waktu kita sampe sana udah jam 4 lewat 10 menit. Hhmmmm..., lobi-lobi deh. Alhamdulillah masih boleh masuk, boleh bawa motor pisan, jadi lebih mudah aksesnya. Tapi tentunya dengan konsekuensi yang lain juga.

Yang jadi pilihan adalah taman bougenvil. Mas pake setelan jas dengan kemeja yang ganti 3 kali, putih, pink dan ungu. Aku pakai gaun putih panjang dengan kerudung ganti 2 kali, pink dan ungu. Karena kostumnya begitu, otomatis pose-nya formal.

Tepat waktu adzan maghrib foto-foto kelar. Berangkat ke pos satpam dan menyelesaikan “administrasi” yang sudah jelas-jelas tak masuk akal. *hehehehe...* Mas cuma senyum-senyum waktu keluar dari ruangan penjaga. Kami sholat maghrib dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Kalian tau poin penting apa yang aku dapat dari perjalanan yang melelahkan tapi sangat menyenangkan ini? Ya, meski berbatas dan sangat sederhana, tapi aku merasa sangat bahagia. Karena bukan nilai secara materi yang diukur dari sini, tapi keinginan dan usaha untuk saling memberi, menerima, membahagiakan. Semua pasti akan sangat berbeda saat hanya harus menjalani foto pre-wed di studio atau yang langsung di-handle oleh vendor.

Dan semua ini terasa sempurna karena rasa syukur. Aku tak menuntut sesuatu yang mewah darinya, aku tak mengukur bahagiaku dari materi, tapi usahanya, niatnya dan apa yang diberikannya dalam bingkai kesederhanaan rasanya sudah lebih dari cukup untuk merasakan bahagia. Karena yang terpenting adalah dia ada di sisi, saat susah maupun senang.

Kita tak perlu sibuk mencari yang sempurna, ketika hal yang sangat sederhana telah mampu membuat kita bahagia.

Semoga kesyukuran ini selalu terjaga, semoga kemauan untuk saling memberi, menerima, menjaga dan membahagiakan itu selalu tumbuh dan berkembang dalam diri kami. Aamiin Ya Rabb.. :)

i praise then i feel bless..

Protektif vs Posesif

Punya seseorang yang memperhatikan dan melindungi kita, itu pasti menyenangkan. Kita jadi kayak punya alarm yang otomatis akan berbunyi kalo sesuatu yang “ndak baik” akan “menerkam” kita. Lagian, orang mana -utamanya perempuan- yang ndak mau diperhatiin dan dilindungi. Mungkin nyaris tak ada. Tapiiii, kalo perhatian dan perlindungan ini kelewat batas, kadang jadi sebel juga, iya ndak? Hehehe...

Nah, yang namanya batas itu juga relatif, tiap orang punya standart sendiri-sendiri soal batasnya. Seperti baik dan buruk, benar dan salah. Beda kepala, beda sudut padang, beda latar belakang, tentu akan beda pula memaknainya. Kadang yang kita rasa cukup, dianggap berlebihan oleh orang lain. Sebaliknya, yang dianggap cukup sama orang lain, justru terasa berlebihan buat kita.

Tulisan ini ada bukan tanpa alasan, bukan juga tanpa suatu kejadian yang akhirnya memunculkan rasa ingin tau dan akhirnya jadi rasa ingin berbagi. Kali ini sumbernya dari pengalaman pribadi.

Yang akan kubahas di sini adalah sifat protektif. Sempat terpikir, bertanya-tanya, bahkan sampai browsing, apa protektif itu sama dengan posesif? Keduanya sama-sama “ngatur” dan “membatasi” dan kalo berlebihan bisa bikin ndak nyaman pasangan dan berdampak pada ndak nyamannya hubungan. Tapi sekali lagi, berlebihan atau ndak itu relatif. Hehehe...

Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang kuakses online, protektif itu bersangkutan dengan proteksi, bersifat melindungi. Dan posesif bersifat merasa menjadi pemilik, mempunyai sifat cemburu. Dari sini sudah jelas beda artinya, dan pasti akan beda juga dalam penerapannya.

Aku memiliki keduanya, tentu dengan kadar yang sewajarnya *menurutku* dan semoga memang tidak berlebihan. Dan menurutku itu hal yang wajar. Saat kita menyayangi seseorang, sifat-sifat semacam ini akan otomatis muncul. Karena kita selalu ingin memperhatikan, melindungi, menjadi yang terbaik, hingga merasa tak ingin kehilangan.

But, tentu saja musti masih dalam taraf normal, biar hubungan tetep terasa nyaman untuk kedua belah pihak. Karena yang dicari dari sebuah hubungan itu ndak jauh-jauh dari rasa aman dan nyaman untuk yang menjalani hubungan itu. Karena saat sudah merasa nyaman, seorang pasti akan selalu kembali, selalu setia.

Contoh protektif itu adalah ketika si dia sangat menjaga waktu makanmu karena tau kamu punya sakit mag akut, atau dia yang ndak membolehkanmu pulang larut malam sendirian karena kuatir akan terjadi hal buruk di jalan, atau saat dia melarangmu berpergian jauh dalam waktu singkat karena kuatir kamu akan capek lalu sakit.

Contoh posesif itu adalah ketika si dia melarangmu pergi bersama teman-teman satu genk karena dia tau salah satunya ada yang menaruh hati padamu, atau saat dia marah-marah kalo ada temen laki-laki datang ke rumahmu padahal niatnya cuma main, atau saat dia selalu memantau kamu lagi ada di mana, ngapain dan sama siapa.

Protektif itu didasari oleh rasa ingin melindungi, karena dia khawatir dan tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang disayanginya. Kalo berlebihan tentu bisa memunculkan rasa tak nyaman, karena yang “dijaga” jadi merasa disepelekan, dianggap anak kecil yang musti dijagain segala sesuatunya. Dan yang “menjaga” pun merasa tak nyaman, sering kali khawatir akan terjadi hal buruk, dan kekhawatiran ini meningkatkan nalurinya untuk melindungi.

Posesif itu didasari oleh rasa memiliki dan diikuti oleh rasa takut kehilangan yang berlebihan. Rasa ini menelurkan naluri untuk memberikan perhatian lebih, menjaga agar miliknya tak sampai hilang, pergi, apalagi diambil orang. Rasa tak nyaman? Tentu saja ada. Yang dijaga akan selalu merasa di-kepo, dan kebebasannya seolah hilang. Yang menjaga juga selalu dihantui rasa khawatir dan takut kehilangan.

Protektif ini lebih bisa dimasukkan katagori positif, karena tujuannya baik dan masuk akal *meski kadang ndak masuk akal juga saking berlebihannya. Hohohohoho..*

Posesif lebih ke arah negatif, karena sering kali hanya berdasarkan pada rasa curiga, cenderung mengekang dan tujuannya hanya karena merasa memiliki dan tak ingin kehilangan.

Orang yang protektif belum tentu posesif, begitu juga orang posesif belum tentu dia akan protektif juga. Dan kukira ini bukan harga mati yang sama sekali tak bisa ditawar. Artinya soal seperti ini masih bisa dibicarakan berdua, agar keduanya bisa merasa lebih nyaman menjalani hubungan. Lagipula, kadang kita perlu untuk menjadi protektif ataupun posesif, untuk menunjukkan kita saying. Hanya saja musti tau tempat dan tau waktu, dan terpenting tau batasnya.

Karena segalanya tergantung kita bisa menerima atau tidak, dan tergantung batas toleransi kita untuk bisa menerimanya.

Orang bilang, saat kita menggenggam pasir terlalu erat, pelan-pelan butiran pasir itu akan lolos lewat celah jemari kita hingga habis. Dan saat kita hanya menaruhnya di atas telapak tangan tanpa melindunginya, angin bisa saja menerbangkannya hingga habis.

source : ikhwan-kiri.blogspot.com

18.9.12

Kembali

"Hai," kalimat itu menggantung di kerongkonganku, terlontar lirih, tak berniat kulanjutkan.

Mata itu berpaling padaku yang terpaku di depan pintu. Sedetik kemudian disusulkannya senyum simpul dan sapaan, “Hai.”

Aku tak beranjak, kakiku kaku, mataku mulai panas.

“Apa kabar?” dia mengulurkan tangannya dan entah kapan dia bergerak mendekat. Yang kutahu dia di depanku kini, berjarak tak lebih dari 1 meter.

“Masuklah,” hanya ini yang bisa kulakukan, membalik badan, berjalan memunggunginya dan menyeka air di sudut mata.

Kami duduk berhadapan kini, di ruang tamu rumahku. Ya, dia datang, setelah lebih dari satu tahun kami tak bertemu, tak berkomunikasi.

Seperti ada pendingin yang dipasang di segala sudut, aku nyaris menggigil. Bergetar, entah karena apa. Ada nyeri yang membuat paru-paruku seperti kehabisan udara, aku nyaris tak bisa bernapas. Sesak, entah oleh apa.

“Apa kabar?” pertanyaan itu berulang, dia tersenyum.

“Baik. Kamu?”

“Baik juga. Aku rindu,” mata itu menatapku lembut.

Kulengkungkan senyum, tak peduli betapa tak karuannya senyum itu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menahan nyeri, menahan desakan air mata, dan menjagaku otakku agar tetap waras. Ya, aku harus tetap waras untuk tak mengumbar rasaku untuknya.

“Kamu tak suka aku datang?”

Kutatap mata itu lekat-lekat, berharap bisa menemukan jawab atas pertanyaannya. Berharap tak harus mengaku jujur atas rasaku.

“Kaget aja,” kusisipkan tawa kecil.

“Aku tadi iseng-iseng pengen mampir. Beruntunglah aku, kamu ada di rumah.”

“Maaf, aku sama sekali tak terpikir kamu akan datang lagi ke rumah ini.”

“Aku selalu ingin datang ke sini, sama seperti aku selalu merindukanmu, tapi baru sekarang aku bisa.”

“Uumm.., kuambilkan minum dulu ya,” tak tunggu jawabannya.

Kutinggalkan dia. Aku hanya harus berlalu dari hadapannya untuk bisa bernapas lega, aku hanya perlu menata hatiku untuk bisa bersikap biasa saja padanya. Dulu, aku sendiri yang memintanya untuk menuruti titah ayahnya yang sedang sakit keras, untuk meninggalkanku. Sudah lebih dari setahun aku berusaha menerima kenyataan kami tak bisa bersama, selama itu pula aku terus berlari menjauh darinya. Berharap jarak bisa memudarkan rasa.

Dan ketika dia muncul begini, aku harus mengaku kalah. Rasa itu tak berubah, dan kini aku harus menahan nyeri karena tak bisa berbuat apa-apa untuk rasa ini. Ya, aku harus tetap waras untuk bisa menahan diri, untuk tahu diri, dia bukan untukku.

Kubawakan secangkir teh hangat untuknya, sekaligus untuk sedikit saja mencairkan kebekuan kami. Aku harus bisa bersikap sebagai teman untuknya, tak peduli seberat apa harus menahan rasa ini.

“Aku sudah memutuskan untuk memperjuangkanmu,” kalimat itu terlontar sebelum aku sempat duduk.

Mata kami bertemu. Ada nyala dalam kelembutan tatapan itu. Nyala yang tak kumengerti apa artinya. Aku bisu, tak terlintas kata apapun untuk menjawabnya. Hanya mata yang saling menatap, dan mulai memanas. Entah karena terlalu lama atau karena terlalu kuat menahan desakan rasa.

"Jangan melarangku lagi, ya? Aku hanya ingin kita bisa bersama lagi."




15.9.12

Tiga Tugas

Kira-kira seminggu yang lalu, aku -bersama seorang teman named Fahmia- main ke rumah teman lama kita. Kebetulan dia sementara ini berdomisili di rumah orang tuanya di Ngawi. Teman kita ini, Karisma namanya, sudah menikah akhir tahun 2010 lalu, dan sekarang sudah punya baby perempuan. Adzra namanya.

Kunjungan kita ke rumah Karis ini bukan kunjungan dadakan, tapi memang sudah terencana dan memang membawa misi khusus. Selain untuk mempererat tali silaturahmi -karena biasanya kita cuma ketemu waktu reuni tahunan- kita juga pengen dapet petuah-petuah pernikahan. Fahmia ini sudah ancang-ancang mau dikhitbah (aamiin, insyaAllah), makanya dia ingin meluruskan dan menguatkan niat. Aku? More than that.. *wkwkwkwkwkwk...*

Karis ini dermawan sekali, dia membagi apapun yang sekiranya perlu kita tahu sebelum gerbang sacral itu kita lewati. Poin terpenting yang aku ambil dari diskusi pendek kami kemarin adalah, bahwa perempuan itu kodratnya punya tiga tugas, yaitu tugas natural, tugas domestik, dan tugas sosial.

Tugas natural itu adalah tugas yang hanya bisa dilakukan perempuan dan ndak mungkin digantikan oleh orang lain. Contohnya, hamil, melahirkan, menyusui, dll.

Tugas domestik itu tugasnya ibu rumah tangga, seperti masak, ngurus anak, nyuci, setrika, nyapu, dll. Tugas ini bisa “dibantu” *inget, bukan digantikan* oleh orang lain. Dibantu itu dalam artian, bisa dikerjakan oleh asisten rumah tangga, namun tetep yang memegang kendali adalah si istri. Itu artinya, meski tak mengerjakannya sendiri karena suatu alasan, kita ndak bisa lepas tangan dan tahu beres aja.

Yang terakhir, tugas sosial, yaitu tugas yang dilakukan di luar rumah. Seperti bekerja, aktif di organisasi, pengajian, atau apa aja yang dilakukan di luar rumah. Tugas sosial ini bukan tugas wajib seorang istri, dan mustinya hanya boleh dilakukan ketika tugas natural dan domestik sudah bisa dilakukan dengan tuntas.

Yup! Dalam islam, seorang istri tidak punya kewajiban untuk bekerja, bahkan kalo istri mau bekerja pun harus atas izin suaminya. Ada suami yang secara terus terang meminta istrinya tetap bekerja dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Ada suami yang member kebebasan penuh pada istri, dan ada juga suami yang lebih senang jika istrinya yang mengurus rumah tangga, bahkan ada suami yang terang-terangan melarang istrinya bekerja.

Masalah inilah yang sering kali -mungkin selalu- harus dibicarakan pasangan yang mau ataupun yang sudah menikah. Karena perlu untuk tahu dan mengerti apa keinginan masing-masing dan apa yang lebih mereka butuhkan untuk rumah tangga mereka nantinya.

Kebanyakan lelaki yang merasa sudah mapan dengan pekerjaan yang dimilikinya sekarang, lebih ingin istri mereka nanti berada di rumah. Bisa karena dia ingin jika pulang kerja, dia tak harus mendapati rumah kosong karena istrinya belum pulang. Bisa juga demi pendidikan dan kedekatannya dengan anak-anak. Dan menurutku, lelaki ini sepenuhnya memahami bahwa mencari nafkah untuk keluarga itu adalah mutlak tanggung jawabnya.

Kadang, sebagai perempuan, kita sempat memikirkan alternatif untuk total menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Keduanya tentu punya risiko dan konsekuensinya sendiri-sendiri. Ada enaknya, ada tidak enaknya, ada sisi positif ada juga sisi negatifnya. Hanya tergantu bagaimana kita sanggup menerima semua risiko yang ada dengan ikhlas dan konsekuen dengan pilihan yang kita ambil.
 
Tak ada yang tahu bagaimana kita di masa depan, yang bisa dilakukan hanya melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan hari ini. Jadi, jangan takut untuk menentukan pilihan menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Dan jangan lupa untuk membicarakannya dengan (calon) partner hidup! :)

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates