15.9.12

Tiga Tugas

Kira-kira seminggu yang lalu, aku -bersama seorang teman named Fahmia- main ke rumah teman lama kita. Kebetulan dia sementara ini berdomisili di rumah orang tuanya di Ngawi. Teman kita ini, Karisma namanya, sudah menikah akhir tahun 2010 lalu, dan sekarang sudah punya baby perempuan. Adzra namanya.

Kunjungan kita ke rumah Karis ini bukan kunjungan dadakan, tapi memang sudah terencana dan memang membawa misi khusus. Selain untuk mempererat tali silaturahmi -karena biasanya kita cuma ketemu waktu reuni tahunan- kita juga pengen dapet petuah-petuah pernikahan. Fahmia ini sudah ancang-ancang mau dikhitbah (aamiin, insyaAllah), makanya dia ingin meluruskan dan menguatkan niat. Aku? More than that.. *wkwkwkwkwkwk...*

Karis ini dermawan sekali, dia membagi apapun yang sekiranya perlu kita tahu sebelum gerbang sacral itu kita lewati. Poin terpenting yang aku ambil dari diskusi pendek kami kemarin adalah, bahwa perempuan itu kodratnya punya tiga tugas, yaitu tugas natural, tugas domestik, dan tugas sosial.

Tugas natural itu adalah tugas yang hanya bisa dilakukan perempuan dan ndak mungkin digantikan oleh orang lain. Contohnya, hamil, melahirkan, menyusui, dll.

Tugas domestik itu tugasnya ibu rumah tangga, seperti masak, ngurus anak, nyuci, setrika, nyapu, dll. Tugas ini bisa “dibantu” *inget, bukan digantikan* oleh orang lain. Dibantu itu dalam artian, bisa dikerjakan oleh asisten rumah tangga, namun tetep yang memegang kendali adalah si istri. Itu artinya, meski tak mengerjakannya sendiri karena suatu alasan, kita ndak bisa lepas tangan dan tahu beres aja.

Yang terakhir, tugas sosial, yaitu tugas yang dilakukan di luar rumah. Seperti bekerja, aktif di organisasi, pengajian, atau apa aja yang dilakukan di luar rumah. Tugas sosial ini bukan tugas wajib seorang istri, dan mustinya hanya boleh dilakukan ketika tugas natural dan domestik sudah bisa dilakukan dengan tuntas.

Yup! Dalam islam, seorang istri tidak punya kewajiban untuk bekerja, bahkan kalo istri mau bekerja pun harus atas izin suaminya. Ada suami yang secara terus terang meminta istrinya tetap bekerja dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Ada suami yang member kebebasan penuh pada istri, dan ada juga suami yang lebih senang jika istrinya yang mengurus rumah tangga, bahkan ada suami yang terang-terangan melarang istrinya bekerja.

Masalah inilah yang sering kali -mungkin selalu- harus dibicarakan pasangan yang mau ataupun yang sudah menikah. Karena perlu untuk tahu dan mengerti apa keinginan masing-masing dan apa yang lebih mereka butuhkan untuk rumah tangga mereka nantinya.

Kebanyakan lelaki yang merasa sudah mapan dengan pekerjaan yang dimilikinya sekarang, lebih ingin istri mereka nanti berada di rumah. Bisa karena dia ingin jika pulang kerja, dia tak harus mendapati rumah kosong karena istrinya belum pulang. Bisa juga demi pendidikan dan kedekatannya dengan anak-anak. Dan menurutku, lelaki ini sepenuhnya memahami bahwa mencari nafkah untuk keluarga itu adalah mutlak tanggung jawabnya.

Kadang, sebagai perempuan, kita sempat memikirkan alternatif untuk total menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Keduanya tentu punya risiko dan konsekuensinya sendiri-sendiri. Ada enaknya, ada tidak enaknya, ada sisi positif ada juga sisi negatifnya. Hanya tergantu bagaimana kita sanggup menerima semua risiko yang ada dengan ikhlas dan konsekuen dengan pilihan yang kita ambil.
 
Tak ada yang tahu bagaimana kita di masa depan, yang bisa dilakukan hanya melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan hari ini. Jadi, jangan takut untuk menentukan pilihan menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Dan jangan lupa untuk membicarakannya dengan (calon) partner hidup! :)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates