Kira-kira seminggu yang lalu, aku -bersama seorang teman named Fahmia- main ke
rumah teman lama kita. Kebetulan dia sementara ini berdomisili di rumah orang
tuanya di Ngawi. Teman kita ini, Karisma namanya, sudah menikah akhir tahun
2010 lalu, dan sekarang sudah punya baby perempuan. Adzra namanya.
Kunjungan kita ke rumah Karis ini bukan kunjungan dadakan,
tapi memang sudah terencana dan memang membawa misi khusus. Selain untuk
mempererat tali silaturahmi -karena biasanya kita cuma ketemu waktu reuni
tahunan- kita juga pengen dapet petuah-petuah pernikahan. Fahmia ini sudah
ancang-ancang mau dikhitbah (aamiin, insyaAllah), makanya dia ingin meluruskan
dan menguatkan niat. Aku? More than that.. *wkwkwkwkwkwk...*
Karis ini dermawan sekali, dia membagi apapun yang sekiranya
perlu kita tahu sebelum gerbang sacral itu kita lewati. Poin terpenting yang
aku ambil dari diskusi pendek kami kemarin adalah, bahwa perempuan itu
kodratnya punya tiga tugas, yaitu tugas natural, tugas domestik, dan tugas
sosial.
Tugas natural itu adalah tugas yang hanya bisa dilakukan
perempuan dan ndak mungkin digantikan oleh orang lain. Contohnya, hamil,
melahirkan, menyusui, dll.
Tugas domestik itu tugasnya ibu rumah tangga, seperti masak,
ngurus anak, nyuci, setrika, nyapu, dll. Tugas ini bisa “dibantu” *inget, bukan
digantikan* oleh orang lain. Dibantu itu dalam artian, bisa dikerjakan oleh
asisten rumah tangga, namun tetep yang memegang kendali adalah si istri. Itu
artinya, meski tak mengerjakannya sendiri karena suatu alasan, kita ndak bisa lepas
tangan dan tahu beres aja.
Yang terakhir, tugas sosial, yaitu tugas yang dilakukan di
luar rumah. Seperti bekerja, aktif di organisasi, pengajian, atau apa aja yang
dilakukan di luar rumah. Tugas sosial ini bukan tugas wajib seorang istri, dan
mustinya hanya boleh dilakukan ketika tugas natural dan domestik sudah bisa
dilakukan dengan tuntas.
Yup! Dalam islam, seorang istri tidak punya kewajiban untuk
bekerja, bahkan kalo istri mau bekerja pun harus atas izin suaminya. Ada suami
yang secara terus terang meminta istrinya tetap bekerja dengan alasan untuk
membantu perekonomian keluarga mereka. Ada suami yang member kebebasan penuh
pada istri, dan ada juga suami yang lebih senang jika istrinya yang mengurus
rumah tangga, bahkan ada suami yang terang-terangan melarang istrinya bekerja.
Masalah inilah yang sering kali -mungkin selalu- harus
dibicarakan pasangan yang mau ataupun yang sudah menikah. Karena perlu untuk
tahu dan mengerti apa keinginan masing-masing dan apa yang lebih mereka
butuhkan untuk rumah tangga mereka nantinya.
Kebanyakan lelaki yang merasa sudah mapan dengan pekerjaan
yang dimilikinya sekarang, lebih ingin istri mereka nanti berada di rumah. Bisa
karena dia ingin jika pulang kerja, dia tak harus mendapati rumah kosong karena
istrinya belum pulang. Bisa juga demi pendidikan dan kedekatannya dengan
anak-anak. Dan menurutku, lelaki ini sepenuhnya memahami bahwa mencari nafkah
untuk keluarga itu adalah mutlak tanggung jawabnya.
Kadang, sebagai perempuan, kita sempat memikirkan alternatif
untuk total menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Keduanya tentu punya
risiko dan konsekuensinya sendiri-sendiri. Ada enaknya, ada tidak enaknya, ada
sisi positif ada juga sisi negatifnya. Hanya tergantu bagaimana kita sanggup
menerima semua risiko yang ada dengan ikhlas dan konsekuen dengan pilihan yang
kita ambil.
Tak ada yang tahu bagaimana kita di masa depan, yang bisa dilakukan hanya melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan hari ini. Jadi, jangan takut untuk menentukan pilihan menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Dan jangan lupa untuk membicarakannya dengan (calon) partner hidup! :)
0 komentar:
Posting Komentar