18.9.12

Kembali

"Hai," kalimat itu menggantung di kerongkonganku, terlontar lirih, tak berniat kulanjutkan.

Mata itu berpaling padaku yang terpaku di depan pintu. Sedetik kemudian disusulkannya senyum simpul dan sapaan, “Hai.”

Aku tak beranjak, kakiku kaku, mataku mulai panas.

“Apa kabar?” dia mengulurkan tangannya dan entah kapan dia bergerak mendekat. Yang kutahu dia di depanku kini, berjarak tak lebih dari 1 meter.

“Masuklah,” hanya ini yang bisa kulakukan, membalik badan, berjalan memunggunginya dan menyeka air di sudut mata.

Kami duduk berhadapan kini, di ruang tamu rumahku. Ya, dia datang, setelah lebih dari satu tahun kami tak bertemu, tak berkomunikasi.

Seperti ada pendingin yang dipasang di segala sudut, aku nyaris menggigil. Bergetar, entah karena apa. Ada nyeri yang membuat paru-paruku seperti kehabisan udara, aku nyaris tak bisa bernapas. Sesak, entah oleh apa.

“Apa kabar?” pertanyaan itu berulang, dia tersenyum.

“Baik. Kamu?”

“Baik juga. Aku rindu,” mata itu menatapku lembut.

Kulengkungkan senyum, tak peduli betapa tak karuannya senyum itu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menahan nyeri, menahan desakan air mata, dan menjagaku otakku agar tetap waras. Ya, aku harus tetap waras untuk tak mengumbar rasaku untuknya.

“Kamu tak suka aku datang?”

Kutatap mata itu lekat-lekat, berharap bisa menemukan jawab atas pertanyaannya. Berharap tak harus mengaku jujur atas rasaku.

“Kaget aja,” kusisipkan tawa kecil.

“Aku tadi iseng-iseng pengen mampir. Beruntunglah aku, kamu ada di rumah.”

“Maaf, aku sama sekali tak terpikir kamu akan datang lagi ke rumah ini.”

“Aku selalu ingin datang ke sini, sama seperti aku selalu merindukanmu, tapi baru sekarang aku bisa.”

“Uumm.., kuambilkan minum dulu ya,” tak tunggu jawabannya.

Kutinggalkan dia. Aku hanya harus berlalu dari hadapannya untuk bisa bernapas lega, aku hanya perlu menata hatiku untuk bisa bersikap biasa saja padanya. Dulu, aku sendiri yang memintanya untuk menuruti titah ayahnya yang sedang sakit keras, untuk meninggalkanku. Sudah lebih dari setahun aku berusaha menerima kenyataan kami tak bisa bersama, selama itu pula aku terus berlari menjauh darinya. Berharap jarak bisa memudarkan rasa.

Dan ketika dia muncul begini, aku harus mengaku kalah. Rasa itu tak berubah, dan kini aku harus menahan nyeri karena tak bisa berbuat apa-apa untuk rasa ini. Ya, aku harus tetap waras untuk bisa menahan diri, untuk tahu diri, dia bukan untukku.

Kubawakan secangkir teh hangat untuknya, sekaligus untuk sedikit saja mencairkan kebekuan kami. Aku harus bisa bersikap sebagai teman untuknya, tak peduli seberat apa harus menahan rasa ini.

“Aku sudah memutuskan untuk memperjuangkanmu,” kalimat itu terlontar sebelum aku sempat duduk.

Mata kami bertemu. Ada nyala dalam kelembutan tatapan itu. Nyala yang tak kumengerti apa artinya. Aku bisu, tak terlintas kata apapun untuk menjawabnya. Hanya mata yang saling menatap, dan mulai memanas. Entah karena terlalu lama atau karena terlalu kuat menahan desakan rasa.

"Jangan melarangku lagi, ya? Aku hanya ingin kita bisa bersama lagi."




0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates