"Hai," kalimat itu menggantung di kerongkonganku, terlontar lirih, tak
berniat kulanjutkan.
Mata itu berpaling padaku yang terpaku di depan pintu.
Sedetik kemudian disusulkannya senyum simpul dan sapaan, “Hai.”
Aku tak beranjak, kakiku kaku, mataku mulai panas.
“Apa kabar?” dia mengulurkan tangannya dan entah kapan dia
bergerak mendekat. Yang kutahu dia di depanku kini, berjarak tak lebih dari 1
meter.
“Masuklah,” hanya ini yang bisa kulakukan, membalik badan,
berjalan memunggunginya dan menyeka air di sudut mata.
Kami duduk berhadapan kini, di ruang tamu rumahku. Ya, dia
datang, setelah lebih dari satu tahun kami tak bertemu, tak berkomunikasi.
Seperti ada pendingin yang dipasang di segala sudut, aku
nyaris menggigil. Bergetar, entah karena apa. Ada nyeri yang membuat
paru-paruku seperti kehabisan udara, aku nyaris tak bisa bernapas. Sesak, entah
oleh apa.
“Apa kabar?” pertanyaan itu berulang, dia tersenyum.
“Baik. Kamu?”
“Baik juga. Aku rindu,” mata itu menatapku lembut.
Kulengkungkan senyum, tak peduli betapa tak karuannya senyum
itu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menahan nyeri, menahan desakan air
mata, dan menjagaku otakku agar tetap waras. Ya, aku harus tetap waras untuk
tak mengumbar rasaku untuknya.
“Kamu tak suka aku datang?”
Kutatap mata itu lekat-lekat, berharap bisa menemukan jawab
atas pertanyaannya. Berharap tak harus mengaku jujur atas rasaku.
“Kaget aja,” kusisipkan tawa kecil.
“Aku tadi iseng-iseng pengen mampir. Beruntunglah aku, kamu
ada di rumah.”
“Maaf, aku sama sekali tak terpikir kamu akan datang lagi ke
rumah ini.”
“Aku selalu ingin datang ke sini, sama seperti aku selalu
merindukanmu, tapi baru sekarang aku bisa.”
“Uumm.., kuambilkan minum dulu ya,” tak tunggu jawabannya.
Kutinggalkan dia. Aku hanya harus berlalu dari hadapannya
untuk bisa bernapas lega, aku hanya perlu menata hatiku untuk bisa bersikap
biasa saja padanya. Dulu, aku sendiri yang memintanya untuk menuruti titah
ayahnya yang sedang sakit keras, untuk meninggalkanku. Sudah lebih dari setahun
aku berusaha menerima kenyataan kami tak bisa bersama, selama itu pula aku
terus berlari menjauh darinya. Berharap jarak bisa memudarkan rasa.
Dan ketika dia muncul begini, aku harus mengaku kalah. Rasa itu
tak berubah, dan kini aku harus menahan nyeri karena tak bisa berbuat apa-apa
untuk rasa ini. Ya, aku harus tetap waras untuk bisa menahan diri, untuk tahu
diri, dia bukan untukku.
Kubawakan secangkir teh hangat untuknya, sekaligus untuk
sedikit saja mencairkan kebekuan kami. Aku harus bisa bersikap sebagai teman
untuknya, tak peduli seberat apa harus menahan rasa ini.
“Aku sudah memutuskan untuk memperjuangkanmu,” kalimat itu
terlontar sebelum aku sempat duduk.
Mata kami bertemu. Ada nyala dalam kelembutan tatapan itu. Nyala
yang tak kumengerti apa artinya. Aku bisu, tak terlintas kata apapun untuk
menjawabnya. Hanya mata yang saling menatap, dan mulai memanas. Entah karena
terlalu lama atau karena terlalu kuat menahan desakan rasa.
"Jangan melarangku lagi, ya? Aku hanya ingin kita bisa bersama lagi."
"Jangan melarangku lagi, ya? Aku hanya ingin kita bisa bersama lagi."
0 komentar:
Posting Komentar