19.4.11

Sumbangan atau Meminta-minta?

Pagi ini ada beberapa agenda <em>menclok-menclok</em>. Salah satunya ke ATM, mau ngecek honor cerpen sudah sampi apa belom. Nah, ini bukan curcol tentang honor tapi tentang seseorang yang nymperin aku waktu mau masuk ke ATM.

Seorang bapak, usianya mungkin sekitar 35 tahun, pakai baju batik dan celana kain, tangannya memegang segebok amplop warna putih.  Waktu aku mau masuk ke ATM, dia menyodorkan salah satu amplop itu sambil tersenyum, aku balas seadanya.

Selesai ngecek saldo ATM yang ternyata masih sama dengan sebelumnya, aku melirik amlpop itu. Di sisi depan amplop ditempeli stiker yang nyaris memenuhi sisi amplop, ada kop sebuah lembaga dan sederet tulisan yang menerangkan bahwa uang itu nantinya akan digunakan untuk membiayai anak yatim dan dhuafa.

Dengan niatan amal, aku memasukkan selembar ribuan ke dalam amplop dan ketika keluar ATM aku mengembalikannya pada bapak tadi. “Terima kasih, semoga menjadi berkah,” begitu katanya. Setelah itu, aku masuk mini market yang kebetulan memang dekat dengan ATM untuk membeli beberapa keperluan.

Pikiranku berkelana pada bapak tadi, juga pada beberapa perempuan berkerudung yang kadang ada di pom bensin dengan membawa kardus kosong ditempeli stiker dengan tulisan serupa dengan yang di amplop tadi, atau pada orang yang membawa kotak amal dan menyela ketenangan perjalanan di bus.

Umumnya, atau yang selama ini aku temui adalah orang Islam. Tercermin dari atribut yang digunakan, tulisan arab yang ada di stiker atau sholawat nabi dan doa yang mereka ucapkan. Ada tanda tanya besar di benakku tentang apa yang mereka lakukan.

Aku mengasumsikan bahwa apa yang mereka lakukan adalah “meminta” dengan cara yang halus dan sopan. Mereka menempatkan diri mereka satu tingkat lebih tinggi dibanding derajat orang-orang yang menengadahkan tangan di pinggir jalan, di pasar-pasar tradisional atau yang berkeliling dan mampir ke rumah-rumah dan toko-toko.

Mereka melakukannya dengan cara yang lebih baik dan lebih terhormat, tapi tujuannya sama, meminta dan mengharap belas kasihan orang lain. Bukankah mereka masih muda, masih mampu untuk berpikir dan bekerja dan bukankah Allah telah menjamin rezeki tiap makhluknya? Allah SWT berfirman: “tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allahlah yang mengatur rezekinya.”(Hud: 6).

Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung. Di mana burung itu keluar pada waktu pagi dengan perut kosong (lapar), dan pada waktu sore ia kembali dengan perut kenyang.” [HR.At-Tirmidzy(4/2344), Ibnu Majah(2/4164) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/318), dan dia berkata::”hadits ini hasan shahih”dan disepakati oleh Adz-Dzahaby)].

Yang berkelebat di pikiran adalah; bukankah kita memang diharuskan bekerja sebagai jalan untuk mencapai rezeki kita yang telah ditetapkan Allah SWT? Burung saja tak tinggal diam di sarangnya dan menanti siapa tahu nanti ada orang yang berbaik hati memberinya makanan. Dia terbang berkeliling untuk mencari makan. Bukankah manusia yang secara fisik dan akal lebih sempurna dari burung seharusnya bisa melakukannya dengan lebih baik?

Dan bukankah Islam tidak menyukai dan tidak mengajarkan yang seperti ini? Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, : “Tangan yang di atas itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah.Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta.” [HR.Al-Bukhary (3/1429/Al-Fath) dan Muslim (2/zakat/717), dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu-).

Lalu, kenapa mereka melakukannya? Bahkan uang itu akan digunakan untuk pembiayaan anak yatim dan kaum dhuafa, atau kadang untuk pembangunan masjid. Hal yang tentu sangat berbeda dengan kotak amal yang ada di masjid. Kotak amal di masjid hanya menunggu adanya orang yang ingin menyedekahkan sebagian hartanya untuk keperluan umat. Dua-duanya memang sukarela, bahkan pengemis pun juga diberi atas dasar sukarela.

Belum lagi fakta keberadaan anak yatim dan kaum dhuafa atau lokasi pembangunan masjid. Sering kali orang bertanya, “Ini beneran apa nggak ya?” Buat orang-orang yang dimintai tentu bukan masalah besar, karena ketika mereka merogoh kantong pastilah niat mereka benar-benar ingin beramak, berbagi dan mungkin membantu. Tapi buat yang minta?

Tidakkah mereka kasihan kalo harus memberi makan anak yatim dan kaum dhuafa dari hasil meminta, padahal mereka masih sanggup berpikir dan bekerja? Itupun kalo mereka memang benar melakukannya untuk itu, kalo ternyata hanya sebagai kedok? Entahlah, kita tak tahu, tak baik juga berburuk sangka. Yang pasti ketika kita mau memberi, semua diniatkan untuk amal.

Ah, ini hanya buah pemikiran pribadi, curcol sebagai ungkapan isi hati dan pikiran, dan tanpa tedeng aling-aling apapun. Semoga kita semua diberi keluasan berpikir dan bertindak sesuai dengan yang seharusnya. Semoga kita mampu berusaha untuk menemukan jalan rezeki kita. Amin ya Robb..

&nbsp;

<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5027/5633249273_a19633a4ee_m.jpg" alt="" width="240" height="180" />

18.4.11

Bulan Sedang Purnama

Malam ini, bulan sedang purnama, sayang

Lihatlah terangnya

Memancar penuh rasa

Ada rindu, ada kasih, ada peluk

Ada kehangatan di terangnya yang sendu

&nbsp;

Lihatlah sepasang burung hantu di atas dahan tinggi itu

Mereka tak terlihat murung dan seram seperti malam-malam biasa

Apa mereka tengah memadu kasih?

Hanyut dalam sinar lembut sang purnama?

&nbsp;

Tak ada yang tak suka dengan cahaya purnama malam ini

Kecuali mereka yang merasa kalah oleh terangnya

Kecuali mereka yang tak punya kasih

Kecuali mereka yang tak pernah merindu

Kecuali mereka yang dingin tanpa peluk

&nbsp;

<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5269/5634006438_df81e3887a_m.jpg" alt="" width="240" height="162" />

11.4.11

Bait Pertama

Senja sore itu terlihat begitu indah di mataku. Rasanya sudah  lama sekali aku tak melihat senja seindah ini dan memang senja di kotaku  adalah senja terindah. Senja di kota kecilku ini seolah menyajikan  nuansa lain. Di sini, ketika senja orang-orang terlihat keluar dari  kantor dan pulang ke rumah. Ada binar bahagia di wajah lelah mereka.  Begitu juga petani-petani di sawah. Mereka berjalan meniti pematang  sawah untuk pulang ke rumah setelah seharian berjemur di terik matahari.

&nbsp;

Wajah-wajah  lelah mereka seolah terhapus oleh senja yang mempesona. Saat matahari  tak bersinar terik dan justru memberikan rasa damai dan tenang, membuat  perjalanan pulang mereka menjadi nyaman dan membuat mereka ingin segera  sampai di rumah untuk berjumpa dengan anggota keluarga yang lain.  Berbagi cerita sehari sembari menanti senja lenyap berganti malam. Pasti  menyenangkan bisa menghabiskan saat indah bersama orang-orang terdekat.

&nbsp;

Suasana  yang tak pernah aku dapati di kota-kota besar seperti Surabaya,  tempatku tinggal selama beberapa tahun belakangan. Di kota metropolitan  itu, saat senja datang polusi seperti berada di puncaknya. Berbagai  jenis kendaraan bermotor, mulai dari sepeda motor, bemo, bus dan mobil  pribadi memenuhi jalan, seolah berlomba-lomba menyumbangkan asap polusi.  Mereka berebut ruas jalan untuk segera sampai di rumah. Ketika adzan  isya’ terdengar, jalanan baru terlihat lebih lengang.

&nbsp;

Karena  itulah, senja di kota kecil seperti kota kelahiranku ini selalu  memberikan nuansa yang berbeda, yang bahkan berkebalikan dengan senja di  kota-kota besar itu. Lagi pula, masyarakat kota yang identik dengan ego  dan individualismenya sering kali tak punya banyak waktu untuk  meluangkan waktu bercengkrama dengan keluarga, apalagi tetangga, sambil  menikmati suasana senja. Bahkan mungkin mereka tak menyadari kecantikan  matahari senja.

&nbsp;

Sore itu, ketika matahari berada  sejajar dengan arah pandang mata dan langit telah memerah, aku sengaja  duduk di pematang sawah ini untuk menikmati senja. Sudah lewat tiga  tahun sejak terakhir kali aku menikmati senja di tempat ini. Namun,  masih terekam jelas dalam ingatanku ketika sore itu, ketika terakhir  kali aku bertemu dengannya di pematang sawah ini. Ketika itu dia membawa  kabar baik; dia lulus uji coba terbang dan dalam waktu dekat dia akan  ditempatkan di ujung timur Indonesia. Ya, di Irian Jaya.

&nbsp;

Perasaanku  bercampur baur ketika itu. Aku senang dengan keberhasilannya, tapi aku  dihantui rasa takut kehilangannya. Ketakutan yang aku pelihara sejak  awal ketika dia memutuskan untuk masuk dan diterima di Akademi Angkatan  Udara dan entah sampai kapan akan terpelihara. Aku selalu bergidik ngeri  saat menyaksikan berita pesawat jatuh di TV dan bayang kengerian itulah  yang membuat aku tak pernah benar-benar mengikhlaskan kepergiannya ke  Irian Jaya.

&nbsp;

“Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja,”  begitu katanya, jawaban yang selalu aku terima saat aku menyatakan  kekhawatiranku. “Aku ingin sebelum pergi tugas, kita lebih dulu  bertunangan.”

&nbsp;

Sore itu aku dilamar di hadapan senja  yang memerahkan biru langit. Senja sore itu semakin terlihat mempesona  dan mungkin tak hanya memerahkan langit, tapi juga kedua pipiku. Napas  kebahagiaan serasa memenuhi seluruh rongga tubuhku, meski kekhawatiran  itu tak juga lenyap begitu saja.

&nbsp;

Setelah sore itu, dua  hari kemudian, dia datang bersama orang tuanya ke rumah untuk resmi  melamarku. Orang tuaku menyambut baik lamaran itu, mereka juga telah  begitu baik mengenal dia. Hari itu juga kami membicarakan rencana  pernikahanku dengannya yang akan dihelat dua tahun kemudian, setelah dia  menyelesaikan masa ikatan dinasnya di Irian Jaya dan bertepatan dengan  target lulus kuliahku. Kali itu, kekhawatiranku mereda, tergeser oleh  kebahagiaan yang seolah mengaliri tiap inchi tubuhku.

&nbsp;

Hari-hari  berlalu lebih indah dari sebelumnya. Dulu aku hanya bisa ngobrol  dengannya ketika akhir pekan datang, karena selama pendidikan dia  seperti di asrama. Dia baru bisa memegang ponsel ketika sabtu malam  datang, dan kerinduan kami harus terpuaskan dengan suara yang terdengar  di ujung telepon. Namun, bagi kami itu sudah lebih dari cukup, paling  tidak aku tahu dia baik-baik saja dan dia juga tahu aku masih menjaga  cintanya dengan baik.

&nbsp;

Sekarang, meski jarak kami kian  jauh, tapi aku bisa lebih sering berkomunikasi dengannya. Dia tak lagi  dibatasi dalam menggunakan alat komunikasi. Itu juga yang membuat  kekhawatiranku berkurang. Setahun berlalu dan segalanya masih baik-baik  saja sampai suatu hari aku sama sekali tak mendapat sms atau telepon  darinya. Di teleponnya yang terakhir, di malam sebelumnya, dia bercerita  dengan penuh suka cita kalau keesokan harinya akan ada latihan tempur  dengan pesawat baru. Dan yang membuatnya sangat senang adalah karena dia  ditunjuk sebagai pilot utama dalam latihan itu.

&nbsp;

Aku  ikut senang dengan kabar yang diberikannya, aku selalu bangga dengan  prestasi yang diraihnya, aku selalu suka dengan semangatnya yang  menggebu, yang bisa membuat bulu kudukku berdiri dan ikut tertular  semangatnya. Namun, ketika seharian aku tak mendengar kabar apa-apa  darinya, kecemasan merajaiku. Dan jawaban dari kecemasan itu aku dapati  di berita jam 5 sore di salah satu stasiun televisi swasta.

&nbsp;

“Kecelakaan  pesawat kembali terjadi, kali ini di Irian Jaya. Siang tadi, sebuah  pesawat yang digunakan untuk latihan tempur kehilangan keseimbangan dan  jatuh sebuah lapangan rumput di pulau Biak.” Samar-samar kudengar suara  penyiar berita dari kamar kos.

&nbsp;

“Na, ada kecelakaan  pesawat di Irian Jaya tuh!” teriak Bintang yang sedang duduk manis di  depan televisi di ruang tengah. Aku segera berlari keluar dan bergabung  dengannya. Terlihat gambar bangkai pesawat di layar televisi. Perasaanku  tak karuan.

&nbsp;

“Penyebab kecelakaan yang menewaskan pilot  dan co-pilot serta beberapa anggota militer luka-luka belum diketahui  hingga kini. Polisi masih berusaha melakukan penyidikan...” Dunia serasa  runtuh saat itu. Kesadaranku sudah lebih dulu pergi sebelum pembaca  berita itu selesai membacakan berita.

&nbsp;

Ada banyak sekali  orang yang mengerumuniku saat mataku terbuka. Wajah-wajah cemas itu  membuatku ingat berita sore tadi. Tangisku pecah tanpa suara. Di  sampingku, Bintang memelukku erat sambil mengusap kepalaku.

&nbsp;

Aku  tak ingin percaya dengan apa yang sudah terjadi. Aku tak ingin percaya  kalau dia sudah benar-benar pergi meninggalkanku. Aku tak ingin percaya  bahwa kini aku sendiri dan pernikahan itu tak akan pernah terjadi.  Namun, gundukan tanah bertabur bunga dan nama yang tertera di nisan itu  tak bisa aku elakkan. Aku dipaksa untuk percaya. Aku dipaksa untuk  menerima semua ini dengan tegar. Aku dipaksa untuk merelakan dia pergi  dariku selamanya.

&nbsp;

Menahun sudah aku mencoba melewati  semua ini dengan baik. Berusaha menerima, berusaha tegar, berusaha untuk  percaya. Dan di sinilah aku sekarang, di pematang sawah ini, tempat dia  melamarku tiga tahun lalu. Dan aku membiarkan semua kenangan tentangnya  hadir bersama senja yang memerahkan langit, padi yang kian menguning  dan kerinduan yang dibawa orang-orang yang lalu lalang ingin segera  sampai di rumah.

&nbsp;

Nyatanya aku tak pernah benar-benar  bisa merasa tegar, meski aku telah berhasil menerima dan merelakan  kepergiannya. Aku tak pernah benar-benar bisa mengingatnya tanpa  mengalirkan air mata, meski senyum selalu aku sunggingkan di bibirku.  Dunia memang terasa begitu berbeda sejak kepergiaannya. Semua tak lagi  sama, diriku pun tak lagi sama. Aku menjadi pendiam yang selalu murung  sejak saat itu.

&nbsp;

Teman-teman dekatku, keluargaku bahkan  keluarganya selalu mengingatkanku untuk terus bisa menjalani hidup  dengan baik. Mereka mengusahakan segala cara untuk membuatku semangat,  membuatku ceria. Namun, menjadi ceria dan bersemangat bagiku tak semudah  dulu, tak semudah ketika dia masih ada di sampingku.

&nbsp;

Ah,  aku membiarkan semua mengalir seperti air sungai, tak akan berhenti,  tapi aku yakin akan ada akhir dari semua ini seperti air sungai bermuara  di lautan. Aku merapatkan jaketku, bukan karena dingin angin melainkan  untuk menghangatkan hatiku yang menggigil mengenangnya.

&nbsp;

Samar-samar  telingaku menangkap sebuah lagu yang tak asing. Why Do You Love Me, dan  suara indah Rio Febrian yang melantunkannya, diiringi instrumen Erwin  Gutawa. Bulu kudukku berdiri, ingatkanku kembali pada sosoknya.  Sepertinya aku memang kelewatan merindukannya, hingga lagu yang kerap  kali mewarnai kisah kami terdengar sayup-sayup.

&nbsp;

"Why do  you love me?" tanyaku suatu ketika lagu itu pertama kali hadir dalam  cerita cinta kami, ketika kami tengah menikmati senja di sebuah kafe.

&nbsp;

"Because you love me," sahutnya sambil mencomot seiris roti bakar rasa coklat keju dan menyuapkannya padaku.

&nbsp;

"Then why do i love you?" sambungku.

&nbsp;

"Because  i love you," irisan kedua masuk ke mulutnya. Ah, kami bahkan tak pernah  tahu kenapa cinta ini hadir di hati kami, dan kami tak pernah peduli.

&nbsp;

Suara  nyanyian itu tak juga hilang, seolah benar-benar nyata ada. Aku mencoba  mencari arah datangnya suara, mungkin saja memang ada seseorang yang  tengah memainkan lagu itu. Benar saja, seorang lelaki sedang duduk  menghadap senja. Sebuah ponsel tergeletak di sampingnya, mungkin dari  sanalah asalnya lagu itu. Ternyata tak hanya aku yang menyukai lagu itu  dan senja. Aku tersenyup tipis sebelum berbalik pergi.

&nbsp;

"Mbak  Kina?" tegur seseorang. Aku berbalik dan mendapati seorang pemuda yang  membuat debar jantungku terpacu kian cepat. Wajah itu, sosok itu, sama  persis dengannya, hanya saja terlihat beberapa tahun lebih muda.

&nbsp;

"Ini  Satria, Mbak," lanjutnya. Aku berhambur lari dan memeluknya. Tangisku  pecah dalam pelukannya. Lelaki 5 tahun lebih muda dariku ini mengelus  rambutku, membiarkanku nyaman menangis dalam dekapannya.

&nbsp;

"Kamu  ngapain di sini?" tanyaku setelah tangisku mereda. Satria menyodorkan  sebuah foto, ada aku dan dia di sana. Itu foto kami tiga tahun yang  lalu. Di belakangnya tertulis tanggal yang sama dengan hari ini, hanya  angka terakhir tiga tahun lebih muda dari tahun ini. Foto yang  menampakkan cincin di jari kami ini memang kami ambil ketika itu,  sekedar untuk mengingat kejadian itu.

&nbsp;

"Aku menemukannya kemarin di kamar Abang, setelah aku cari ternyata di sini tempatnya," Satria melanjutkan sambil tersenyum.

&nbsp;

Wajah  ini benar-benar mengingatkanku padanya. Satria masih kecil, masih kelas  5 SD ketika pertama kali bertemu. Dia mengajakku bertandang ke rumahnya  ketika itu, di sanalah aku berkenalan dengan Satria dan Andi, adiknya  yang paling kecil. Dan sekarang Satria sudah hampir lulus SMA, Andi  pasti juga sudah beranjak remaja. Sejak kepergiannya, aku tak pernah  bertemu mereka lagi, aku terlalu hanyut dalam duniaku.

&nbsp;

Iya,  duniaku yang tak karuan karena kehilangan orang yang dengannya aku  telah merangkai mimpi masa depan yang nyaris sempurna. Dunia yang aku  ciptakan sejak dia pergi selamanya dariku, tanpa pesan, tanpa salam  perpisahan. Dunia dengan tembok yang begitu tinggi, hingga tak ada  seorang pun bisa melewatinya, untuk sekedar bertegur sapa denganku  apalagi mengajakku keluar dari dunia ini.

&nbsp;

"Kembalilah  menjadi seperti dulu, Mbak. Kami semua ingin melihat Mbak Kina yang  dulu," Satria berujar lagi. Aku menyambutnya dengan senyum.

&nbsp;

"Semua tak akan lagi sama seperti dulu, Sat. Dulu ada Abang kamu dan sekarang dia udah nggak ada."

&nbsp;

"Abang  akan selalu ada, Mbak, di hati kita," Satria menunjuk dadanya. "Aku  yakin, Abang juga nggak akan suka melihat Mbak Kina seperti ini  terus-terusan."

&nbsp;

Mataku menerawang jauh, seolah ingin  menembus langit yang merah dan berharap bisa melihat sosoknya sedang  tersenyum di sana. Aku benar-benar merindukannya, aku ingin dia ada di  sampingku, aku ingin bersamanya. Ah, air mataku mengalir lagi. Dia pasti  akan marah kalo melihatku menangis tanpa ada dia di dekatku, seperti  yang selalu dikatakannya dulu.

&nbsp;

"Sudah, Mbak," Satria  kembali merengkuh aku dalam pelukannya. "Sudah lewat dua tahun, Mbak,  kenanglah Abang sebagai orang yang baik dan tersenyumlah ketika kenangan  bersama Abang hadir, bukan menangis. Abang nggak suka kalo Mbak nangis,  Abang cuma pengen Mbak senyum, bahagia."

&nbsp;

"Iya, Sat.  Aku sudah bisa merelakannya pergi kok, karena itulah aku datang ke sini.  Aku ingin bisa tersenyum saat mengingatnya dan aku yakin aku bisa. Dua  tahun aku menyendiri dalam dunia yang membuatku tak bisa melihat  orang-orang yang menyayangi aku dan ingin aku kembali ceria. Aku hanya  sedang berusaha menyusun bait-bait hidupku tanpanya, Sat. Dan semua itu  sangat berat buatku, karena itu aku ingin sendiri, Sat. Sekarang,  setelah sekian tahun dan sekian bait aku tulis sendirian, aku merasa  yakin akan bisa melanjutkan hidupku dengan lebih baik, meski tanpa dia,"  Aku mengusap aliran air mataku.

&nbsp;

"Aku percaya Mbak pasti bisa. Kami semua ada di sini, Mbak, dan kami semua sayang sama Mbak." Aku mengacak-acak rambutnya.

&nbsp;

Senja  sudah hampir tenggelam. Warna merah langit perlahan memudar berganti  warna petang. Di penghabisan senja ini, tiba-tiba aku menangkap sosok  yang begitu aku rindukan. Inilah pertama kalinya aku melihat bayangan  itu. Dia sedang tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Aku  tersenyum dan berjanji dalam hati akan menjadi lebih baik, seperti yang  dia inginkan.

&nbsp;

"Mbak, berjanjilah untuk nggak akan  kembali ke bait pertama," ujar Satria ketika kami berjalan di pematang  sawah ke arah motor kami di parkir.

&nbsp;

"Maksud kamu?"

&nbsp;

"Sudah  menahun Mbak berusaha menyusun bait-bait hidup yang baru. Setelah ini,  berjanjilah nggak akan kembali lagi ke bait pertama, saat Mbak masih  sangat kacau dan nggak nerima kepergian Abang."

&nbsp;

Lagi-lagi  aku tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. Adikku ini sudah jauh  lebih dewasa kini. Dan dia benar, aku harus bisa melanjutkan bait-bait  hidupku tanpa pernah kembali ke bait pertama.

&nbsp;

<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5062/5633371843_2e9447b67d_m.jpg" alt="" width="240" height="200" />

inspired by s07's song : bait pertama

&nbsp;

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates