Senja sore itu terlihat begitu indah di mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat senja seindah ini dan memang senja di kotaku adalah senja terindah. Senja di kota kecilku ini seolah menyajikan nuansa lain. Di sini, ketika senja orang-orang terlihat keluar dari kantor dan pulang ke rumah. Ada binar bahagia di wajah lelah mereka. Begitu juga petani-petani di sawah. Mereka berjalan meniti pematang sawah untuk pulang ke rumah setelah seharian berjemur di terik matahari.
Wajah-wajah lelah mereka seolah terhapus oleh senja yang mempesona. Saat matahari tak bersinar terik dan justru memberikan rasa damai dan tenang, membuat perjalanan pulang mereka menjadi nyaman dan membuat mereka ingin segera sampai di rumah untuk berjumpa dengan anggota keluarga yang lain. Berbagi cerita sehari sembari menanti senja lenyap berganti malam. Pasti menyenangkan bisa menghabiskan saat indah bersama orang-orang terdekat.
Suasana yang tak pernah aku dapati di kota-kota besar seperti Surabaya, tempatku tinggal selama beberapa tahun belakangan. Di kota metropolitan itu, saat senja datang polusi seperti berada di puncaknya. Berbagai jenis kendaraan bermotor, mulai dari sepeda motor, bemo, bus dan mobil pribadi memenuhi jalan, seolah berlomba-lomba menyumbangkan asap polusi. Mereka berebut ruas jalan untuk segera sampai di rumah. Ketika adzan isya’ terdengar, jalanan baru terlihat lebih lengang.
Karena itulah, senja di kota kecil seperti kota kelahiranku ini selalu memberikan nuansa yang berbeda, yang bahkan berkebalikan dengan senja di kota-kota besar itu. Lagi pula, masyarakat kota yang identik dengan ego dan individualismenya sering kali tak punya banyak waktu untuk meluangkan waktu bercengkrama dengan keluarga, apalagi tetangga, sambil menikmati suasana senja. Bahkan mungkin mereka tak menyadari kecantikan matahari senja.
Sore itu, ketika matahari berada sejajar dengan arah pandang mata dan langit telah memerah, aku sengaja duduk di pematang sawah ini untuk menikmati senja. Sudah lewat tiga tahun sejak terakhir kali aku menikmati senja di tempat ini. Namun, masih terekam jelas dalam ingatanku ketika sore itu, ketika terakhir kali aku bertemu dengannya di pematang sawah ini. Ketika itu dia membawa kabar baik; dia lulus uji coba terbang dan dalam waktu dekat dia akan ditempatkan di ujung timur Indonesia. Ya, di Irian Jaya.
Perasaanku bercampur baur ketika itu. Aku senang dengan keberhasilannya, tapi aku dihantui rasa takut kehilangannya. Ketakutan yang aku pelihara sejak awal ketika dia memutuskan untuk masuk dan diterima di Akademi Angkatan Udara dan entah sampai kapan akan terpelihara. Aku selalu bergidik ngeri saat menyaksikan berita pesawat jatuh di TV dan bayang kengerian itulah yang membuat aku tak pernah benar-benar mengikhlaskan kepergiannya ke Irian Jaya.
“Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja,” begitu katanya, jawaban yang selalu aku terima saat aku menyatakan kekhawatiranku. “Aku ingin sebelum pergi tugas, kita lebih dulu bertunangan.”
Sore itu aku dilamar di hadapan senja yang memerahkan biru langit. Senja sore itu semakin terlihat mempesona dan mungkin tak hanya memerahkan langit, tapi juga kedua pipiku. Napas kebahagiaan serasa memenuhi seluruh rongga tubuhku, meski kekhawatiran itu tak juga lenyap begitu saja.
Setelah sore itu, dua hari kemudian, dia datang bersama orang tuanya ke rumah untuk resmi melamarku. Orang tuaku menyambut baik lamaran itu, mereka juga telah begitu baik mengenal dia. Hari itu juga kami membicarakan rencana pernikahanku dengannya yang akan dihelat dua tahun kemudian, setelah dia menyelesaikan masa ikatan dinasnya di Irian Jaya dan bertepatan dengan target lulus kuliahku. Kali itu, kekhawatiranku mereda, tergeser oleh kebahagiaan yang seolah mengaliri tiap inchi tubuhku.
Hari-hari berlalu lebih indah dari sebelumnya. Dulu aku hanya bisa ngobrol dengannya ketika akhir pekan datang, karena selama pendidikan dia seperti di asrama. Dia baru bisa memegang ponsel ketika sabtu malam datang, dan kerinduan kami harus terpuaskan dengan suara yang terdengar di ujung telepon. Namun, bagi kami itu sudah lebih dari cukup, paling tidak aku tahu dia baik-baik saja dan dia juga tahu aku masih menjaga cintanya dengan baik.
Sekarang, meski jarak kami kian jauh, tapi aku bisa lebih sering berkomunikasi dengannya. Dia tak lagi dibatasi dalam menggunakan alat komunikasi. Itu juga yang membuat kekhawatiranku berkurang. Setahun berlalu dan segalanya masih baik-baik saja sampai suatu hari aku sama sekali tak mendapat sms atau telepon darinya. Di teleponnya yang terakhir, di malam sebelumnya, dia bercerita dengan penuh suka cita kalau keesokan harinya akan ada latihan tempur dengan pesawat baru. Dan yang membuatnya sangat senang adalah karena dia ditunjuk sebagai pilot utama dalam latihan itu.
Aku ikut senang dengan kabar yang diberikannya, aku selalu bangga dengan prestasi yang diraihnya, aku selalu suka dengan semangatnya yang menggebu, yang bisa membuat bulu kudukku berdiri dan ikut tertular semangatnya. Namun, ketika seharian aku tak mendengar kabar apa-apa darinya, kecemasan merajaiku. Dan jawaban dari kecemasan itu aku dapati di berita jam 5 sore di salah satu stasiun televisi swasta.
“Kecelakaan pesawat kembali terjadi, kali ini di Irian Jaya. Siang tadi, sebuah pesawat yang digunakan untuk latihan tempur kehilangan keseimbangan dan jatuh sebuah lapangan rumput di pulau Biak.” Samar-samar kudengar suara penyiar berita dari kamar kos.
“Na, ada kecelakaan pesawat di Irian Jaya tuh!” teriak Bintang yang sedang duduk manis di depan televisi di ruang tengah. Aku segera berlari keluar dan bergabung dengannya. Terlihat gambar bangkai pesawat di layar televisi. Perasaanku tak karuan.
“Penyebab kecelakaan yang menewaskan pilot dan co-pilot serta beberapa anggota militer luka-luka belum diketahui hingga kini. Polisi masih berusaha melakukan penyidikan...” Dunia serasa runtuh saat itu. Kesadaranku sudah lebih dulu pergi sebelum pembaca berita itu selesai membacakan berita.
Ada banyak sekali orang yang mengerumuniku saat mataku terbuka. Wajah-wajah cemas itu membuatku ingat berita sore tadi. Tangisku pecah tanpa suara. Di sampingku, Bintang memelukku erat sambil mengusap kepalaku.
Aku tak ingin percaya dengan apa yang sudah terjadi. Aku tak ingin percaya kalau dia sudah benar-benar pergi meninggalkanku. Aku tak ingin percaya bahwa kini aku sendiri dan pernikahan itu tak akan pernah terjadi. Namun, gundukan tanah bertabur bunga dan nama yang tertera di nisan itu tak bisa aku elakkan. Aku dipaksa untuk percaya. Aku dipaksa untuk menerima semua ini dengan tegar. Aku dipaksa untuk merelakan dia pergi dariku selamanya.
Menahun sudah aku mencoba melewati semua ini dengan baik. Berusaha menerima, berusaha tegar, berusaha untuk percaya. Dan di sinilah aku sekarang, di pematang sawah ini, tempat dia melamarku tiga tahun lalu. Dan aku membiarkan semua kenangan tentangnya hadir bersama senja yang memerahkan langit, padi yang kian menguning dan kerinduan yang dibawa orang-orang yang lalu lalang ingin segera sampai di rumah.
Nyatanya aku tak pernah benar-benar bisa merasa tegar, meski aku telah berhasil menerima dan merelakan kepergiannya. Aku tak pernah benar-benar bisa mengingatnya tanpa mengalirkan air mata, meski senyum selalu aku sunggingkan di bibirku. Dunia memang terasa begitu berbeda sejak kepergiaannya. Semua tak lagi sama, diriku pun tak lagi sama. Aku menjadi pendiam yang selalu murung sejak saat itu.
Teman-teman dekatku, keluargaku bahkan keluarganya selalu mengingatkanku untuk terus bisa menjalani hidup dengan baik. Mereka mengusahakan segala cara untuk membuatku semangat, membuatku ceria. Namun, menjadi ceria dan bersemangat bagiku tak semudah dulu, tak semudah ketika dia masih ada di sampingku.
Ah, aku membiarkan semua mengalir seperti air sungai, tak akan berhenti, tapi aku yakin akan ada akhir dari semua ini seperti air sungai bermuara di lautan. Aku merapatkan jaketku, bukan karena dingin angin melainkan untuk menghangatkan hatiku yang menggigil mengenangnya.
Samar-samar telingaku menangkap sebuah lagu yang tak asing. Why Do You Love Me, dan suara indah Rio Febrian yang melantunkannya, diiringi instrumen Erwin Gutawa. Bulu kudukku berdiri, ingatkanku kembali pada sosoknya. Sepertinya aku memang kelewatan merindukannya, hingga lagu yang kerap kali mewarnai kisah kami terdengar sayup-sayup.
"Why do you love me?" tanyaku suatu ketika lagu itu pertama kali hadir dalam cerita cinta kami, ketika kami tengah menikmati senja di sebuah kafe.
"Because you love me," sahutnya sambil mencomot seiris roti bakar rasa coklat keju dan menyuapkannya padaku.
"Then why do i love you?" sambungku.
"Because i love you," irisan kedua masuk ke mulutnya. Ah, kami bahkan tak pernah tahu kenapa cinta ini hadir di hati kami, dan kami tak pernah peduli.
Suara nyanyian itu tak juga hilang, seolah benar-benar nyata ada. Aku mencoba mencari arah datangnya suara, mungkin saja memang ada seseorang yang tengah memainkan lagu itu. Benar saja, seorang lelaki sedang duduk menghadap senja. Sebuah ponsel tergeletak di sampingnya, mungkin dari sanalah asalnya lagu itu. Ternyata tak hanya aku yang menyukai lagu itu dan senja. Aku tersenyup tipis sebelum berbalik pergi.
"Mbak Kina?" tegur seseorang. Aku berbalik dan mendapati seorang pemuda yang membuat debar jantungku terpacu kian cepat. Wajah itu, sosok itu, sama persis dengannya, hanya saja terlihat beberapa tahun lebih muda.
"Ini Satria, Mbak," lanjutnya. Aku berhambur lari dan memeluknya. Tangisku pecah dalam pelukannya. Lelaki 5 tahun lebih muda dariku ini mengelus rambutku, membiarkanku nyaman menangis dalam dekapannya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku setelah tangisku mereda. Satria menyodorkan sebuah foto, ada aku dan dia di sana. Itu foto kami tiga tahun yang lalu. Di belakangnya tertulis tanggal yang sama dengan hari ini, hanya angka terakhir tiga tahun lebih muda dari tahun ini. Foto yang menampakkan cincin di jari kami ini memang kami ambil ketika itu, sekedar untuk mengingat kejadian itu.
"Aku menemukannya kemarin di kamar Abang, setelah aku cari ternyata di sini tempatnya," Satria melanjutkan sambil tersenyum.
Wajah ini benar-benar mengingatkanku padanya. Satria masih kecil, masih kelas 5 SD ketika pertama kali bertemu. Dia mengajakku bertandang ke rumahnya ketika itu, di sanalah aku berkenalan dengan Satria dan Andi, adiknya yang paling kecil. Dan sekarang Satria sudah hampir lulus SMA, Andi pasti juga sudah beranjak remaja. Sejak kepergiannya, aku tak pernah bertemu mereka lagi, aku terlalu hanyut dalam duniaku.
Iya, duniaku yang tak karuan karena kehilangan orang yang dengannya aku telah merangkai mimpi masa depan yang nyaris sempurna. Dunia yang aku ciptakan sejak dia pergi selamanya dariku, tanpa pesan, tanpa salam perpisahan. Dunia dengan tembok yang begitu tinggi, hingga tak ada seorang pun bisa melewatinya, untuk sekedar bertegur sapa denganku apalagi mengajakku keluar dari dunia ini.
"Kembalilah menjadi seperti dulu, Mbak. Kami semua ingin melihat Mbak Kina yang dulu," Satria berujar lagi. Aku menyambutnya dengan senyum.
"Semua tak akan lagi sama seperti dulu, Sat. Dulu ada Abang kamu dan sekarang dia udah nggak ada."
"Abang akan selalu ada, Mbak, di hati kita," Satria menunjuk dadanya. "Aku yakin, Abang juga nggak akan suka melihat Mbak Kina seperti ini terus-terusan."
Mataku menerawang jauh, seolah ingin menembus langit yang merah dan berharap bisa melihat sosoknya sedang tersenyum di sana. Aku benar-benar merindukannya, aku ingin dia ada di sampingku, aku ingin bersamanya. Ah, air mataku mengalir lagi. Dia pasti akan marah kalo melihatku menangis tanpa ada dia di dekatku, seperti yang selalu dikatakannya dulu.
"Sudah, Mbak," Satria kembali merengkuh aku dalam pelukannya. "Sudah lewat dua tahun, Mbak, kenanglah Abang sebagai orang yang baik dan tersenyumlah ketika kenangan bersama Abang hadir, bukan menangis. Abang nggak suka kalo Mbak nangis, Abang cuma pengen Mbak senyum, bahagia."
"Iya, Sat. Aku sudah bisa merelakannya pergi kok, karena itulah aku datang ke sini. Aku ingin bisa tersenyum saat mengingatnya dan aku yakin aku bisa. Dua tahun aku menyendiri dalam dunia yang membuatku tak bisa melihat orang-orang yang menyayangi aku dan ingin aku kembali ceria. Aku hanya sedang berusaha menyusun bait-bait hidupku tanpanya, Sat. Dan semua itu sangat berat buatku, karena itu aku ingin sendiri, Sat. Sekarang, setelah sekian tahun dan sekian bait aku tulis sendirian, aku merasa yakin akan bisa melanjutkan hidupku dengan lebih baik, meski tanpa dia," Aku mengusap aliran air mataku.
"Aku percaya Mbak pasti bisa. Kami semua ada di sini, Mbak, dan kami semua sayang sama Mbak." Aku mengacak-acak rambutnya.
Senja sudah hampir tenggelam. Warna merah langit perlahan memudar berganti warna petang. Di penghabisan senja ini, tiba-tiba aku menangkap sosok yang begitu aku rindukan. Inilah pertama kalinya aku melihat bayangan itu. Dia sedang tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum dan berjanji dalam hati akan menjadi lebih baik, seperti yang dia inginkan.
"Mbak, berjanjilah untuk nggak akan kembali ke bait pertama," ujar Satria ketika kami berjalan di pematang sawah ke arah motor kami di parkir.
"Maksud kamu?"
"Sudah menahun Mbak berusaha menyusun bait-bait hidup yang baru. Setelah ini, berjanjilah nggak akan kembali lagi ke bait pertama, saat Mbak masih sangat kacau dan nggak nerima kepergian Abang."
Lagi-lagi aku tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. Adikku ini sudah jauh lebih dewasa kini. Dan dia benar, aku harus bisa melanjutkan bait-bait hidupku tanpa pernah kembali ke bait pertama.
<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5062/5633371843_2e9447b67d_m.jpg" alt="" width="240" height="200" />
inspired by s07's song : bait pertama
0 komentar:
Posting Komentar