3.8.11

#10

“Aku ingin menangis.”

Lirih suaraku berbisik pada angin lalu. Angin menjawab lewat desaunya. Mengayun pucuk-pucuk cemara. Aku tak menahannya lagi. Kubiarkan air mataku tumpah seperti air bah. Lepas. Berhambur.

Sudah sebulan lamanya aku menahan galau ini. Membiarkannya bersemayam di lubuk hati. Membangun pagar untuk menghalangi tumpahnya air bah ini. Beban menahun itu terasa begitu berat sebulan terakhir.

Tiba-tiba saja aku merasa bisa melihatnya di mana-mana. Di jalanan yang macet. Di taman yang penuh keceriaan. Di heningnya malam. Di teriknya siang. Di sela desau angin. Di antara butir-butir hujan. Di jingganya senja. Aku melihatnya di mana-mana.

Aku tahu ini rindu. Rindu yang terajut layaknya detik-detik terangkai waktu menjadi tahun. Rindu tak bertepi seperti langit yang tak berbatas. Rindu menghangatkan seperti senja jingga yang merangkum hangat sinarnya.

Ah, bahkan mungkin kau pun tak pernah tahu adanya rindu yang mengakar ini. Jika kau tahu, tak mungkin kau menghilang begitu saja bertahun-tahun lamanya. Meninggalkanku bersama senja yang selalu bisa menghangatkan rindu ini dengan sinarnya.

Apa kau ingat, beberapa menit sebelum kau benar-benar pergi, kau pernah berkata senja adalah tempat rindu tertaut? Senja di sini dan senja di kotamu akan selalu terlihat sama. Tercipta oleh surya yang sama. Jingga yang sama. Hangat yang sama.

Karena itulah aku di sini sekarang. Diam menatap senja saat rindu ini tak lagi bisa terbendung. Saat aku tak mampu lagi menahan galau ini. Ya, aku hanya bisa begini setiap kali rindu ini meledak.

Menatap jingga yang hangat. Tanpa isyarat kau akan datang. Tanpa warta yang bisa melegakan rasaku.

Apakah di sana kau juga masih suka menatap senja? Apakah senjamu masih sama? Apakah rasamu masih bersemayam dalam kalbumu?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates