"I called this a miracle"
Ini adalah status yang kutulis di BBM-ku hari itu. Hari saat sebuah cincin dipasang melingkar di jari manis kami. Ya, dia memang seperti sebuah keajaiban, sebuah jawaban atas tanya yang menahun mengendap di sudut hati.
Dedicated to my beloved
friends ; BEBE (Irma, Aya, Hanna, Adit, Fian, Kedo), Ratri, Priesta, Dini.
Thank you for everything guys. I’m nothing without you all. I love you.
Ini adalah status yang kutulis di BBM-ku hari itu. Hari saat sebuah cincin dipasang melingkar di jari manis kami. Ya, dia memang seperti sebuah keajaiban, sebuah jawaban atas tanya yang menahun mengendap di sudut hati.
Dulu,
kupikir aku tak mungkin akan menemukan jalan keluar dari “ruang” itu. Rasa yang
dulu ada seolah membekapku erat, aku seperti tak punya pilihan selain menerima
dan menggantungkan harapan kecil untuk sebuah perubahan. Hingga aku lelah
berharap dan hanya bisa menerima. Ya, aku seperti terjebak di ruang hampa udara
yang mungkin telah kuciptakan sendiri. Kala itu, aku seperti tak punya daya
untuk bisa keluar, semua jalan seolah tertutup rapat, tanpa celah.
Berdamai
dengan diri sendiri dan keadaan memanglah hal terbaik yang bisa kulakukan saat
itu. Ketika sudah letih berharap dan hanya bisa menerima, kunyamankan diriku
sendiri dengan keadaan yang ada. Melebur dengan hal-hal menyenangkan di tempat
kerja, bersama kawan-kawan baru. Kunikmati setiap hal baik dan belajar
mengabaikan hal-hal yang bisa menghitamkan hati. Kulakukan semua, seperti
perlakuan yang biasa kuterima.
Bermula di
akhir 2010 dan meledak diakhir 2011. Perdamaianku dengan keadaan ternyata telah
menghasilkan daya yang begitu besar hingga aku merasa kuat dan berani mendobrak
tembok untuk bisa menghirup udara bebas. Ya, aku benar melakukannya. Pada satu fase
hidup, di jalan yang membelok, aku menemukan rasa yang lama hilang.
Daya itu mengakar
dan menguat. Semua tentu tak terjadi tiba-tiba, kuyakin apa yang telah terjadi
telah menghimpun segalanya menjadi satu. Dan finally, aku mendapatkan
kebebasanku, meski untuk itu aku harus mengorbankan banyak orang, mengecewakan
banyak hati. Puji syukur, mereka ridho dan mendoakan yang terbaik buatku.
Aku bebas,
meski saat tembok itu sudah berhasil kuhancurkan dan aku berhasil keluar, aku
harus lebih dulu terjatuh ke jurang. Ya, ruang hampa udara itu ada di tepian
jurang. Tertatih? Iya. Dayaku telah habis untuk membobol tembok itu, bahkan
sama sekali tak tersisa untuk sekedar melengkung senyuman kecil.
Namun,
sekali lagi, perdamaianku dengan keadaan menguatkanku. Beruntung, beberapa
orang teman yang selalu ada di sisi siap menggenggam tanganku. Tanpa mereka aku
tak akan bisa sekuat sekarang. Daya yang terkumpul perlahan kupusatkan untuk
mensyukuri segala yang ada. Rasa sakit, rasa kecewa. Kuyakini ada rencana indah
Tuhan di balik semua ini.
Sebuah
titik balik yang kualami terjadi dengan sangat sederhana. Suatu hari seorang
kawan lama, kawan dekat waktu KKN, mengajakku liburan ke Malang. Kuterima
ajakannya, selain karena sudah sangat lama tidak bertemu dengannya, kupikir aku
juga butuh liburan. Dan di sanalah titik balik itu terjadi. Bertemu dan
berkumpul dengan teman-teman lama, berbagi cerita, berbagi tawa.
Ketika aku
bisa tertawa terbahak-bahak hanya karena lelucon sederhana, ketika aku bisa
menikmati hawa positif yang dibawa oleh alam untuk jiwaku, ketika itu juga aku
merasa telah kehilangan banyak hal. Ya, entah sudah berapa lama aku tak bisa
tertawa selepas ini. Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam hiruk pikuk
pekerjaan dan urusan hati hingga aku lupa jalan pulang. Ah, sebenarnya memang
sebelumnya aku tak benar-benar punya “rumah” untuk pulang selain pada-Nya dan
rumahku sendiri.
Sudah terlalu
banyak hal menyenangkan kulupakan. Sudah terlalu banyak energi negatif yang
merasukiku hingga sulit untuk berpikir tentang apa itu bahagia dan bagaimana
aku bisa mendapatkannya. Nyatanya, mengingat hal menyenangkan itu begitu
mudahnya, dan bahagia itu ternyata begitu sederhana.
Dua hari
dua malam kami menghabiskan waktu bersama. Dan dini hari itu, ketika mereka
semua lelap, tiba-tiba aku terjaga. Tak habis syukurku mengingat apa yang sudah
kujalani selama ini. Ah, aku benar-benar telah kehilangan banyak hal, bahkan
mungkin nyaris kehilangan diriku. I have to move on.
Dini hari
itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bahagia. Aku harus menemukan cara
untuk bahagia. Aku tak lagi harus memaksakan diri untuk ini dan itu, aku tau
apa yang aku butuhkan, aku tau apa yang harus aku lakukan.
Aku tak
pernah ingin menyesalkan apapun yang pernah kuputuskan. Aku sudah memikirkannya
sangat lama, aku sudah berjuta kali menimbangnya, karena itu aku tak goyah.
Apalagi setelah titik balik itu terjadi, aku makin mantab dengan keputusanku. Aku
tak tau apa keputusanku bisa diterima semua orang dengan pikiran positif, tapi
buatku ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.
Kita,
manusia hanya harus mengusahakan yang terbaik yang bisa dilakukannya saat itu. Karena
kita tak pernah tau seperti apa masa depan kita. Kadang kupikir keputusan ini
sangatlah egois, tapi keterpaksaan yang bisa saja kuteruskan hanya akan semakin
menyakitkan. Saat itu, aku hanya tau bahwa yang terbaik yang bisa kulakukan
adalah mundur.
Dan
sepertinya Dia memang sudah menyiapkan segalanya, tentunya dengan cara yang
sangat tidak terduga. Karena setelah titik balik itu terjadi pada diriku, aku
didekatkan dengan seseorang, kawan lama juga yang kebetulan liburan ke Malang
tempo hari.
Kami sudah
sangat jarang bertemu sejak urusan KKN selesai, dulu pun kami bukan teman dekat.
Bertemu hanya sesekali dan hanya tegur sapa seadanya. Sudah lebih dari dua
tahun rasanya. Ketika pertama kali mengenalnya, atau ketika kembali bertemu
dengannya, aku tak pernah memikirkan dia akan menjadi bagian terpenting dalam
hidupku. Aku benar-benar memulainya dari nol.
Kedekatan
ini terjadi begitu saja, mungkin lebih tepatnya tak disengaja. Berawal dari hal
yang sangat sepele dan segalanya berjalan seperti air mengalir. Rasa nyaman itu
hadir perlahan dari komunikasi yang terjalin lewat candaan. Keinginan untuk
peduli dan berada di dekatnya semakin kuat. Kuyakin semua itu ta terjadi dengan
sendirinya. Karena ada Tuhan yang menanamkan bibit cinta kasih dalam diri kami.
Mimpi-mimpi
yang kusimpan rapat, yang dulu pernah terkubur oleh kekecewaan, pelan-pelan
kembali bermunculan, meminta untuk diwujudkan. Dan aku merasa membutuhkan orang
seperti dia untuk menjadikan mimpi-mimpi itu nyata. Aku merasa benar-benar
“pulang” saat bersamanya, saat berbicara dan berbagi mimpi dengannya.
Pada suatu
hari itu, dia mengajakku untuk berbicara serius tentang hati. Malam itu, tepat sebulan
sejak pertemuan pertama kali setelah dua tahun tak bertemu, kami bersepakat
untuk saling memilih dan menjalani komitmen. Dia tak pernah memintaku jadi ‘pacar’
tapi dia memintaku menjadi ‘istri’ dan ibu untuk anak-anaknya.
Segalanya
terjadi sangat cepat dan mudah. Keluarganya menyambutku dengan sangat hangat,
aku bahkan seperti berada di keluargaku sendiri meski baru pertama kali bertemu
mereka. Dan tak sampai sebulan setelah secara pribadi ‘melamarku’ dia
mendatangi orang tuaku, mengatakan pada mereka bahwa dia ingin menjalin
hubungan serius denganku. Kali ini pun jalan kami mulus, orang tuaku menghargai
niat baiknya, mereka menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.
Dan
rentetan prosesi itu terjadilah. Dua bulan berikutnya dia sudah membawa orang
tuanya ke rumahku, silaturahmi dua keluarga terjadi. Bulan berikutnya orang
tuaku membalas silaturahmi ke rumahnya dan bulan selanjutnya satu langkah pasti
terjalani. Di jari manis kami sudah melingkar cincin sebagai tanda ikatan, kami
bertunangan.
Aku masih
belum mengerti bagaimana keyakinan ini bisa tumbuh dan mengakar sedemikian
cepat di hati kami. Umumnya, butuh waktu menahun untuk menyiapkan diri
menghadapi pintu gerbang pernikahan, bahkan untuk sekedar meyakini diri bahwa
selamanya kita akan hidup dengan satu orang yang sama. Mencintai orang yang
sama setiap harinya.
Pernikahan bukanlah
pintu gerbang kemenangan. Dia hanyalah gerbang tempat kami memasuki fase
kehidupan yang baru yang musti lebih kental dengan aroma toleransi untuk selalu
bisa saling menerima, memaafkan dan memberikan yang terbaik.
Dan jika
hari ini ada air mata mengaliri wajahku, itu karena aku merasa sangat bahagia
dan kehilangan kata untuk berucap syukur. Jalan berliku ini telah menemu muara.
Aku tak hanya telah menemukan jalan pulang, tapi aku sungguh-sungguh sudah
menemukan “rumah” yang sederhana namun sempurna. Ya, sempurna karena bersyukur.
Thank you for everything guys. I’m nothing without you all. I love you.