Adel mengusap keringat di keningnya. “Kenapa hari ini panas sekali?” gumamnya. Adel berhenti sejenak di bawah sebuah pohon yang teduh. Tatapan matanya tiba-tiba terpaku pada sesosok manusia yang berada sekitar 100 meter di depannya. Orang itu berjalan ke arahnya dan berlalu begitu saja dari hadapannya. Adel tak bisa mengalihkan pandangannya hingga orang itu menghilang di balik pintu salah satu gedung fakultas.
“Woi..!!” seorang teman Adel, Desty, datang mengagetkan. “Lagi ngeliatin siapa sih, kok sampai melotot gitu?” tambahnya.
“Kamu liat cowok yang barusan masuk gedung itu gak? Yang lewat di depanku barusan?” tanyaku. Desty menggeleng bingung. Adel mendesah lemas. Dia terduduk.
“Emang siapa sih?” Tanya Desty.
“Aku gak tahu, tapi dia mirip banget sama kakakku yang udah meninggal, kembarannya kak David.” Jawab Adel.
“Cuma mirip kan?”
“Mirip banget, nyaris gak ada bedanya. Aku seperti melihat kakakku.” Adel mencoba meyakinkan sahabatnya.
“Mungkin kak David emang ke sini.”
“Mana mungkin, dia di Bogor sekarang. Lagian aku masih bisa membedakan mereka meski mereka kembar.”
“Sudahlah, mungkin kamu cuma kangen sama kakak kamu, jadi ada orang yang mirip dikit aja kamu kira itu dia.” Desty mencoba menenangkan. Adel diam saja. “Sudah, kita ada kelas bentar lagi. Yuk?!” ajak Desty. Adel menurut.
Malam harinya Adel ngoceh di depan mic untuk menyapa pendengar setia radio tempatnya bekerja sebagai announcer. Adel membawakan catatan sayang bersama partner gilanya, Yoga.
“Kamu tahu gak sih, Del, tiap kali aku bawakan acara ini bareng kamu, aku merasa ada sesuatu yang masuk dalam tubuh kita.” Kata Yoga selesai siaran.
“Kok bisa?” sambung Adel.
“Iya, biasanya kan kita becanda terus kayak orang gila, tapi giliran acara catatan sayang kita jadi seperti orang yang dewasa banget.”
“Enak aja kita kayak orang gila. Bukan kita, tapi kamu. Eh, tapi bener juga ya?!?!”
“Coba kita bisa kayak gitu terus.”
“Ye… gak asyik dunk..!! Ada saat orang itu harus jadi bijaksana and dewasa, tapi biar gak stress kita juga harus sering ketawa and becanda.”
“Ini sisanya yang tadi ya?” ejek Yoga, Adel melotot dan Yoga hanya cengar-cengir.
“Kamu anterin aku pulang kan?”
“Iya, tapi aku ke belakang dulu ya.”
“Oke, aku tunggu di loby.”
Ponsel Adel tiba-tiba berbunyi. Satu pesan diterima. Adel mendengus saat tahu siapa yang mengirim sms itu.
“Kamu kenapa?” tegur Yoga yang tiba-tiba muncul.
“Ada orang iseng.”
“Gangguin kamu?”
“Awalnya dia bilang dia seneng denger aku siaran, tapi lama-lama dia jadi sering sms aku dan isinya cuma basa-basi aja.”
“Mungkin dia suka sama kamu.”
“Ketemu aja belom pernah.”
“Lho, jatuh cinta kan gak harus bertemu secara fisik. Ikuti kata hati aja.” Kata Yoga.
“Sisa yang tadi?” ejek Adel.
“Sialan! Udah ah, udah malam.”
Pesan dari orang yang sok misterius itu datang lagi beberapa saat setelah Adel masuk ke kamarnya. “Kenalilah aku lebih jauh. Aku gak pernah punya niat buruk sama kamu. Aku cuma pengen jadi sahabat kamu.” Berkali-kali Adel membaca tulisan itu. Hatinya bimbang. Di satu sisi dia ingin tahu siapa orang itu, tapi di sisi lain dia membenarkan kata-kata Yoga. Untuk menjalin hubungan dengan seseorang kita gak harus bertemu dengan dia. Setengah hati Adel mengetik balasan untuk orang yang mengaku bernama Ega itu. “Maaf, aku gak bermaksud menuduh kamu punya niat buruk. Makasih ya, aku juga akan nyoba untuk jadi sahabat kamu.”
“Makasih. Sudah malam, buruan tidur. Moga mimpi indah.” Ega membalas lagi. Adel tersenyum yang entah berarti apa.
Lama-kelamaan Adel mulai terbiasa dengan sosok misterius Ega dan lama-kelamaan juga Adel merasa nyaman bicara dengan Ega.
“Kamu kenapa, Del?” Tanya Yoga sore itu ketika keduanya sedang menunggu giliran siaran. Adel menggeleng, wajahnya terlihat pucat. “Gimana kabar orang yang suka sms kamu itu?”
“Baik, kami bersahabat sekarang. Dia orang yang menyenangkan.”
“Dan kamu mulai jatuh cinta sama dia?!” tebak Yoga.
“Jatuh cinta?!” Adel bergumam sendiri. Tiba-tiba ponsel Adel berbunyi. Satu pesan diterima. Dari Ega. “Jangan murung. Aku gak bisa lihat kamu sedih.” Adel tertegun membaca sms itu. Tiba-tiba dia bangkit dan melongokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tapi tak ada orang asing di sekitar sana, lagipula mana mungkin ada orang asing yang bisa masuk ke ruang khusus pegawai ini. Adel menuju jendela, tapi tak ada orang yang mencurigakan di luar sana.
“Kamu ngapain sih?” Tanya Yoga yang bingung dengan tingkah Adel.
“Dia ada di sekitar sini.”
“Siapa?”
“Ega, orang yang sering sms aku itu. Dia ada di sekitar sini.”
“Kok bisa?” Yoga jadi tambah bingung. Adel menunjukkan sms di ponselnya.
“Mungkin gak ya, si Ega ini orang kantor sini?” Adel menebak-nebak.
“Karena dia tahu kamu lagi kusut?” Yoga balik bertanya. Adel mengangguk.
“Mungkin gak ya?!” Tanya Adel lagi, Yoga hanya mengangkat bahu.
“Woi, giliran kalian siaran nih! Cepet siap-siap!” tegur si station manager. Mereka berdua segera mempersiapkan diri. Adel terpaksa menunda rasa penasarannya tentang sosok misterius itu. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 saat Adel dan Yoga keluar dari ruang siaran. Mereka bersiap-siap pulang.
“Aku ambil motor dulu, kamu tunggu di depan ya?!” kata Yoga, Adel mengiyakan. Beberapa menit kemudian Yoga datang dengan motornya. Adel beranjak berdiri, tapi tiba-tiba dia terjatuh. Kakinya terasa sangat lemah. Dengan sigap Yoga turun dari motor dan berlari ke arahnya.
“Kenapa, Del?” tanyanya sambil melepas helm.
“Gak tahu.” Jawab Adel sambil memegang kakinya. Yoga membantunya duduk dan memeriksa kaki Adel.
“Rasanya gimana?” Tanya Yoga.
“Seperti kram.”
“Perlu ke rumah sakit?” Tanya Yoga lagi sambil membantu Adel memijat kakinya. Adel menggeleng.
“Antar aku pulang aja.” Katanya.
“Gak papa naik motor?” Yoga meyakinkan. Adel mengangguk sambil menahan sakit. Yoga memapah Adel ke motornya dan secepat mungkin melajukan motornya.
“Kakinya tiba-tiba sakit, tolong nanti dibantu ya.” Pesan Yoga pada Nia, salah satu anak kost yang paling dekat dengan Adel. Nia mengangguk mengiyakan. “Del, aku pamit pulang ya. Jangan lupa istirahat.” Pamit Yoga sebelum pergi.
“Makasih, Ga.” Sahut Adel.
Nia mengambilkan air hangat untuk membasuh kaki Adel. Setelah merasa lebih baik, Adel melaksanakan sholat isya’.
“Perlu dibasuh air hangat lagi, Del?” Tanya Nia.
“Gak usah, sudah jauh lebih baik kok.” Jawab Adel sambil menggeleng, “Makasih ya.”
“Sama-sama. Aku masuk kamar ya. Kalo kamu butuh sesuatu, kamu teriak aja.” Pesan Nia sebelum masuk ke kamarnya. Adel tersenyum. beberapa saat kemudian ponsel Adel berbunyi. Satu pesan diterima. Dari Ega, “Malam Adel, lagi ngapain?! Kamu baik-baik saja kan?” Adel mengerutkan keningnya, heran. Dibalas juga sms itu.
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kabarku?” selidiknya.
“Perasaanku gak enak, aku takut terjadi apa-apa sama kamu. Apa sesuatu yang buruk telah terjadi?”
“Aku gak papa. Cuma tadi pulang siaran tiba-tiba kakiku sakit.”
“Kenapa?”
“Gak tahu. Mungkin karena terlalu lelah.”
“Ya sudah, istirahat ya. Semoga cepet sembuh dan besok bisa beraktifitas seperti biasa.”
“Iya. Makasih.”
Adel menghembuskan napas berat. Dia masih penasaran, bagaimana Ega bisa tahu kalo sebelum siaran tadi dia sempat melamun sedih. Lalu yang baru saja terjadi, benarkah dia bilang seperti itu karena merasakan firasat yang tidak enak. Pikiran-pikiran tentang Ega akhirnya membuat Adel terlelap.
Keesokan harinya Adel merasa lebih baik. Rasa sakit semalam tak bersisa sama sekali. Adel mulai berpikir ada yang gak beres dengan salah satu bagian tubuhnya itu. Beberapa bulan terakhir ini kakinya sering sekali merasakan rasa sakit seperti yang dirasakannya semalam. Kadang bisa sampai berhari-hari, kadang hanya sesaat. Selain itu Adel sering kali merasakan nyeri di ulu hatinya dan sesak napas. Ayah Adel pernah bilang kalo rasa sakit itu datang karena Adel kurang berolahraga. Awalnya Adel menurut kata ayahnya untuk rajin olahraga. Rasa sakit itu memang berkurang frekuensinya, tapi tidak bisa hilang sama sekali dan sekarang justru terasa semakin sakit. Bahkan setiap pagi Adel harus selalu menarik napas panjang dan menekan ulu hatinya kuat-kuat saat menaiki tangga menuju ruang kuliahnya di lantai 3 atau 4. Selain itu kakinya selalu terasa sangat berat dan sakit. Adel sudah pernah ke dokter untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan kakinya, tapi dokter hanya memberi obat yang tidak sama sekali tidak berpengaruh pada rasa sakitnya.
Siang itu Adel mengajak Desty ke perpustakaan kampus untuk mencari bahan tugasnya. Saat sedang sibuk mencari buku di antara rak-rak, tiba-tiba Adel melihat sosok orang yang pernah dilihatnya beberapa bulan yang lalu. Satu sosok yang sangat mirip dengan kakaknya yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kali ini Adel tak mau kehilangan lagi, dia harus membuktikan pada Desty dan pada dirinya sendiri bahwa orang itu memang ada dan mirip dengan kakaknya. Orang itu berjalan masuk ke ruang referensi skripsi. Adel menyusulnya, tapi saat Adel masuk Adel sudah kehilangan jejaknya. Adel mencoba mencarinya di antara rak-rak, tapi dia tak bisa menemukannya. Saat Adel sudah mulai putus asa, tiba-tiba dia melihat orang itu berjalan ke pintu dan keluar ruangan. Adel bergegas mengikutinya, tapi lagi-lagi orang itu sudah menghilang entah ke mana. Adel terduduk di salah satu bangku. Pikirannya kacau, napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sesak. Adel mengedarkan pandangannya lagi sambil mengatur napas. Dia begitu terkejut saat mendapati sosok yang dicarinya tadi ada di salah satu rak di dekatnya. Baru saja Adel berdiri dan mulai melangkah, seseorang menabraknya. Mau tak mau Adel membantunya memunguti buku-buku yang berjatuhan. Adel tak sempat menjawab saat orang itu mengucapkan maaf dan terima kasih karena dia tak ingin kehilangan jejak lagi. Tapi terlambat. Sosok misterius itu sudah tak ada di tempatnya. Adel mendesah gusar.
“Kamu kenapa?” Tanya Desty yang sudah berdiri di sampingnya.
“Aku melihatnya lagi.” Jawab Adel.
“Melihat apa?”
“Orang yang mirip kakakku.”
“Mana?” Desty mencari-cari.
“Itu dia, aku gak sempat mengejarnya.”
“Kok bisa?”
“Eh, itu dia.” Seru Adel dan langsung berlari ke arah orang itu. Adel merasa menang saat dia bisa menyentuh bahu orang itu.
“Maaf, ada apa ya?!” Tanya orang itu bingung. Adel mendongakkan kepalanya dan tak habis pikir karena orang itu sangat jauh berbeda dengan almarhum kakaknya. Adel mengamatinya sekali lagi, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sama sekali tak ada kemiripan dengan almarhum kakaknya. Hanya baju yang dipakainya sama dengan baju orang yang sedari tadi dikejarnya.
“Oh maaf, aku salah orang.” Kata Adel akhirnya. Secepat mungkin Adel menarik tangan Desty untuk keluar dari ruangan itu. Mereka duduk di salah satu bangku di depan gedung perpustakaan. Adel masih mencoba mengatur napasnya, mencoba melonggarkan paru-parunya yang terasa sesak. Dia termenung, dia benar-benar tak habis pikir. Desty hanya diam, membiarkan sahabatnya itu menenangkan diri sambil sesekali menepuk-nepuk bahu Adel.
“Gimana kaki kamu?” Tanya Yoga yang tiba-tiba datang dan duduk di samping Adel.
“Udah gak sakit lagi kok.” Jawab Adel.
“Muka kamu kok pucat, kamu gak papa?”
“Dia tadi lihat orang yang menurutnya mirip sama almarhum kakaknya, tapi ternyata dia salah.” Jelas Desty.
“Mungkin kamu cuma kangen.” Komentar Yoga. “Eh, kalian masih ada kuliah lagi?” lanjut Yoga, kedua gadis itu menggeleng. “Kita makan, yuk?!”
“Kamu yang traktir?” canda Desty.
“Boleh.” Sahut Yoga. Mereka bertiga berjalan beriringan ke kantin. Namun, baru beberapa langkah Adel terjatuh. Dia mengaduh sambil menekan pergelangan kakinya. “Sakit lagi.” Katanya meringis.
“Kita bawa dia ke klinik kampus.” Usul Desty. Yoga mengiyakan. Mereka memapah Adel menuju klinik. Beberapa saat kemudian mereka sudah mendapatkan hasil pemeriksaan. Dokter memberikan beberapa obat antibiotik dan sebuah surat rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut ke rumah sakit.
Beberapa minggu kemudian.
Malam itu Adel dan Yoga bercanda sambil menunggu giliran siaran.
“Eh, kamu udah ke rumah sakit buat periksa kaki kamu?” Tanya Yoga.
“Belum. Udah gak sakit lagi kok.”
“Wah, berarti obat dari klinik kita manjur dunk?!” sahut Yoga. Adel hanya tersenyum karena sebenarnya dia berhenti minum obat itu karena obat itu sama sekali tak mengurangi rasa sakit yang sebenarnya masih dan semakin sering terasa akhir-akhir ini.
“Trus gimana kabar Ega?” sambung Yoga.
“Baik. Aku merasa nyaman sama dia dan aku udah gak peduli lagi dia siapa dan di mana karena tanpa aku ketemu dia, aku tetap bisa merasakan kehadirannya.”
“Jatuh cinta beneran?” sindir Yoga. Adel senyam-senyum.
“Woi, it’s your time!” teriak si SM memanggil keduanya.
“Oke! We are coming!” seru Adel sambil menghambur ke ruang siaran. Yoga mengamati tubuh Adel hingga menghilang di balik pintu. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya perlahan. Terdengar sangat berat.
“Woi, malah ngelamun!” seru Adel memaksa Yoga mengembalikan suasana hatinya agar bisa bekerja dengan baik.
“Ga, besok bisa antar aku ke terminal gak?” Tanya Adel ketika Yoga mengantarnya pulang selesai siaran.
“Mau pulang kampung?”
“Iya. Bisa gak?”
“Jam berapa?”
“Terserah kamu bisanya jam berapa, tapi kalo bisa jangan terlalu sore.”
“Ya udah, besok selesai kuliah jam 10 aku jemput kamu. Emang kamu udah izin cuti di radio? Trus kuliah kamu gimana?”
“Aku udah ngomong ma pak SM tadi dan kebetulan kuliahku lagi banyak yang kosong. Kesempatan bisa di ruma lebih lama.”
“Ya udah.”
“Makasih ya.”
“Oke! Aku pulang dulu.”
Adel merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Sudah pulang siaran?” satu pesan tertampil di layar ponsel Adel, dari Ega.
“Sudah. Ga, aku merasa bersalah sama Yoga karena aku bohong sama dia.” Balas Adel.
“Bohong tentang apa dan kenapa?”
“Tentang rasa sakit di kakiku. Aku bilang aku sudah gak merasakannya lagi. Aku gak pengen buat dia khawatir.”
“Ya sudahlah. Suatu saat dia pasti bisa ngerti.”
“Yah, semoga aja dia gak akan marah sama aku. Ga, besok aku pulang ke rumah orang tuaku. Ayahku minta aku pulang biar bisa nemenin aku periksa kakiku. Doakan gak akan ada apa-apa ya.”
“Pasti. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Kamu percaya kan aku akan selalu ada buat kamu meskipun aku gak bisa hadir di samping kamu?”
“Iya, aku percaya. Makasih, Ga. Kadang aku merasa kamu seperti Yoga yang selalu memperhatikan aku.” Di seberang sana Ega hanya tersenyum membaca sms Adel. Keduanya menerawang menatap langit dan bergulat dengan pikirannya sendiri hingga terlelap.
Malam itu Adel termenung sendiri di kamarnya. Dari matanya mengalir butiran bening. Setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan, akhirnya hari ini dia mendapatkan hasilnya dan hatinya seperti dicabik-cabik saat tahu bahwa rasa sakit di kakinya selama ini karena kanker. Yah, osteosarkoma. Kanker tulang. Stadium 3.
“Kanker itu sudah mulai merambat ke organ-organ dalam. Seandainya diketahui lebih dini, penyebarannya bisa dihambat dengan amputasi pada asal bibit kanker itu tumbuh. Rasa sakit pada ulu hati dan sesak pada paru-paru yang Adel alami selama ini tidak lain adalah karena infeksi kanker tersebut. Tidak ada jalan lain lagi. Kami hanya bisa memberikan obat pengurang rasa sakit. Sudah tidak ada harapan untuk sembuh, tapi jangan berkecil hati. Keajaiban bisa datang kepada siapa saja. Tetap jaga kondisi dan jangan terlalu lelah.” Kata-kata dokter siang tadi masih terekam dengan jelas di kepala Adel. Adel merasa hidupnya sudah hancur.
Ponselnya berdering. Nama Yoga tertampil di layar. Adel enggan menjawab telfon itu. Dia meletakkan ponsel itu begitu saja, tapi Yoga pun tak langsung patah semangat. Adel terus membiarkannya hingga akhirnya ponsel itu berhenti berdering.
“Apa yang kamu inginkan sekarang?” Tanya ayah Adel keesokan harinya.
“Adel ingin menyelesaikan kuliah, ingin tetap jadi penyiar radio.” Jawab Adel. Sang ibu memeluk buah hatinya dengan sangat sayang.
“Kamu yakin kamu kuat?! Ayah tidak keberatan kalo kamu berhenti kuliah kalo itu bisa membuat kamu merasa lebih tenang.” Kata ayah. “Jangan memaksakan diri.”
“Adel gak ingin sisa hidup Adel jadi sia-sia.” Air mata Adel meleleh lagi.
“Ya sudah, tapi kamu jangan tinggal di kost lagi. Ayah akan mengontrak sebuah rumah. Biar kakak kamu bisa tinggal serumah dan menjaga kamu.”
Seminggu kemudian Adel mulai menjalani harinya seperti biasa dan dia menurut untuk tinggal di rumah kontrak bersama kakaknya. Adel sudah menceritakan semuanya pada Ega dan hanya Ega yang tahu tentang penyakitnya itu. Adel sudah bertekad untuk bersikap seperti biasa. Dia tak ingin orang lain, terutama Yoga dan Desty tahu tentang penyakitnya itu. Semua itu hanya karena Adel tak ingin mereka mengkhawatirkan dirinya. Adel tak ingin menyusahkan orang lain.
Sore itu Adel diantar kakaknya ke tempat kerjanya untuk minta pindah jam siaran. Bersyukur sekali si SM itu baik hati. Dia mengizinkan Adel memegang acara request line dengan jam on line mulai pukul 19.00-21.00. Sayangnya Adel gak selalu bisa siaran bareng Yoga. Sore itu juga Adel bertemu Yoga.
“Hei, kapan balik?” sapa Yoga.
“Kemarin siang. Ga, aku pindah jam siaran. Aku pegang request line sekarang.”
“Kenapa?”
“Gak papa. Cuma biar lebih santai aja, kan juga gak terlalu malam.”
“Yah…gak bisa siaran bareng lagi donk. Aku kan cuma sesekali aja pegang acara itu.”
“Kamu ini kaya’ anak kecil aja. Kita kan masih bisa ketemu. Kamu takut kangen sama aku ya?!” canda Adel, Yoga mencibir.
“Mulai kapan siarannya?”
“Besok.”
“Ya udah, besok kalo bisa aku temani. Sekarang kamu mau ke mana?”
“Pulang.”
“Perlu di antar?”
“Gak usah, aku sama kakakku.”
“Lho, sejak kapan dia di sini?”
“Kemarin dia datang bareng aku. Kita ngontrak rumah sekarang. Kapan-kapan main ya.”
“Oke. Salam buat kakak kamu.”
Keduanya menghembuskan napas berat saat berpisah. Mereka seperti memikul beban yang sangat berat.
Beberapa bulan berlalu. Adel masih rapi menutupi penyakitnya dari dua orang yang sangat disayanginya. Bahkan Adel masih bisa beralasan pulang karena ada kepentingan di rumahnya saat Yoga wisuda. Padahal saat itu dia sedang terbaring lemah di rumah sakit. Sementara itu ada Ega yang selalu ada untuknya. Hanya Ega yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Adel, termasuk sudah berapa kali Adel harus masuk rumah sakit karena tiba-tiba pingsan.
Waktu terus berlalu dan Adel masih terus berjuang melawan penyakitnya dan menutupinya dari Desty dan Yoga. Hati Adel terasa semakin perih saat Yoga semakin memperhatikannya walau sebenarnya dia tak tahu apa yang terjadi pada Adel. Kadang Adel merasa enggan untuk meninggalkan dunia ini. Dia tak ingin meninggalkan Yoga. Yah, semakin lama Adel semakin sadar kalo Yoga bukan sekedar sahabat dan partner siarannya, tapi Adel menyayangi Yoga lebih dari itu. Berkali-kali Ega menyarankan Adel mengungkapkan perasaannya, tapi Adel selalu menolak dan dia pun tak ingin Yoga menyatakan perasaan yang sama. Bagi Adel hal itu hanya akan menambah rasa sakitnya dan bersyukurlah dia karena Yoga memang tak pernah mengatakannya walau sebenarnya Yoga pun memendam perasaan padanya. Tak ada yang tahu kenapa Yoga hanya menyimpan perasaan itu seorang diri.
Saat yang dinanti Adel akhirnya tiba juga. Setelah berjuang demi menyeselaikan skripsi, akhirnya dia lulus juga. Orang tua Adel merasa sangat bangga pada putri bungsunya itu. Tak peduli seganas apa penyakit itu, Adel bisa mencapai targetnya untuk lulus tepat waktu. Tepat waktu masa studi dan tepat waktu sebelum dia harus menghembuskan napas terakhirnya. Sehari setelah dia mengenakan toga kebanggaannya, Adel harus masuk rumah sakit lagi. Kali ini benar-benar sudah parah, kankernya sudah sampai satadium 4. Secepat mungkin Adel dipindahkan ke rumah sakit yang sedari awal mengetahui sejarah penyakitnya. Dengan kondisi sangat lemah, Adel dibawa pulang ke kampung halamannya.
“Hanya menunggu waktu saja, Pak.” Kata dokter yang merawat Adel. “Perkiraan kami kurang lebih 2 sampai 3 bulan lagi, tapi hanya Tuhan yang menentukan.” Tambahnya. Orang tua Adel harus bersiap menerima kenyataan akan kehilangan anak mereka untuk yang kedua kalinya.
“Ibu benar-benar menyesal tidak menuruti saran dokter untuk memeriksakan kamu dari dulu. Ibu percaya pada kata-kata orang tua yang menyebutkan tidak mungkin ada lebih dari satu orang anak ibu yang mengidap penyakit yang sama.” Ibu Adel bicara sambil terisak.
“Maksud ibu apa?” Tanya Adel bingung.
“Penyakit itu adalah penyakit keturunan dari kakek buyut kamu. Beberapa tahun yang lalu, kak Davin meninggal karena penyakit yang sama. Kami pikir karena Davin dan David kembar, mungkin David juga mengidap penyakit yang sama. Ternyata David baik-baik saja. Orang-orang tua kami bilang gak mungkin ada dua anak kami mengidap penyakit yang sama, tapi ternyata penyakit itu juga menyerang kamu. Maafkan kami, sayang.” Jelas ayah. Adel meneteskan air mata lagi.
“Sudahlah, semua sudah digariskan-Nya. Hidup mati kita, Dia yang menetukan. Ayah dan ibu pernah ajarkan itu kan?” jawab Adel sambil tersenyum, “Adel gak pernah menyalahkan siapa-siapa kok.” Lanjutnya. Adel kemudian menceritakan pengalamannya melihat almarhum kakaknya, Davin, di kampus. Ibu semakin terisak mendengarnya.
Permintaan Adel untuk pulang akhirnya dikabulkan oleh dokter dengan syarat Adel harus istirahat ekstra.
Malam itu, lewat tengah malam Adel terjaga karena mimpi buruk. Dia mengirim sms pada Ega. “Ega, mungkin aku gak akan lama lagi menghirup udara di bumi ini. Sebenarnya aku gak ingin meninggalkan Yoga. Aku takut, Ga.”
“Adel jangan nangis. Aku ataupun Yoga gak akan mampu melihat kamu menangis. Jangan pesimis, kamu harus berjuang. Kami semua menyayangi kamu.”
“Aku sudah lelah berjuang, Ga. Aku capek. Ga, sebelum aku pergi aku pengen ketemu kamu.”
“Untuk apa?”
“Aku ingin berterima kasih sama kamu. Aku pengen melihat kamu.”
Lama sekali tak ada balasan dari Ega. Tiba-tiba ponsel Adel berdering. Bukan balasan sms, tapi telfon dari Yoga. Ragu-ragu Adel menekan tombol answer.
“Belum tidur, Del?” Tanya Yoga dari seberang.
“Belum. Kamu sendiri kok belum tidur, kenapa?”
“Gak tahu nih, mataku gak bisa diajak kompromi. Kamu kenapa?”
“Tadi udah tidur, tapi tiba-tiba bangun trus gak bisa tidur lagi. Eh, radio apa kabar?”
“Sepi gak ada kamu. Mentang-mentang udah jadi sarjana, udah gak mau siaran lagi.”
“Ye…”
Mereka berbincang dan bercanda seperti biasanya hingga adzan subuh terdengar. Keesokan harinya kondisi Adel memburuk, dia harus menginap di rumah sakit lagi.
“Kak David, nanti kalo ada sms dari Ega yang tanya alamat rumah sakit atau alamat rumah, tolong dibalas ya.” Pesan Adel pada kakaknya sebelum dia pingsan dan akhirnya koma. Benar saja, siang itu Ega menanyakan alamat Adel dan David membalasnya.
“Bagaimana keadaan Adel?” seseorang tiba-tiba mengagetkan David yang sedang duduk di depan ruangan ICU.
“Yoga?! Ngapain kamu di sini?” David balik bertanya.
“Aku ingin melihat Adel.”
“Bagaimana kamu bisa tahu kami ada di sini?”
“Dari alamat yang kamu berikan pada Ega.” Yoga duduk di samping David.
“Kamu kenal Ega?”
“Sangat.”
“Lalu di mana dia sekarang?”
“Ega dan aku adalah orang yang sama.”
“Jadi selama ini…?!”
“Iya. Aku ingin melindungi dan memperhatikan dia tanpa dia harus tahu siapa aku.”
“Kenapa?”
“Karena Adel tak pernah ingin ada orang yang tersakiti karenanya. Selama ini dia selalu menutupi penyakitnya dari Yoga dan Desty hanya karena dia tak ingin dikhawatirkan. Adel gak ingin menerima perhatian lebih dari Yoga karena itu hanya akan membuatnya lebih sakit karena dia tak mungkin bisa bertahan lama. Itu sebabnya aku terus bertahan menjadi Ega. Hanya dengan itu aku bisa melindunginya dan menjaganya. Dia percaya pada Ega. Semalam dia bilang ingin bertemu dengan Ega dan saat itu juga aku memutuskan untuk datang dan mengaku padanya. Aku ingin dia tahu Yoga gak keberatan kalo harus tersakiti. Yoga ataupun Ega hanya ingin menjaganya.” Jelas Yoga. Keduanya terdiam untuk beberapa saat.
“Pagi tadi kondisinya memburuk. Dia pingsan dan sekarang dia koma. Kamu bisa masuk kalo kamu ingin melihatnya.” Kata David. Yoga segera beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam. Adel terlihat sangat kurus dan pucat.
“Maafkan aku, Del. Mungkin aku telah menempuh cara yang salah, tapi sungguh. Aku hanya mencari cara agar aku bisa memperhatikan kamu. Agar aku bisa menjadi orang yang bisa kamu percaya hingga kamu gak pernah ragu untuk menceritakan semuanya hanya karena kamu gak ingin menyakiti aku. Aku sayang kamu, Del.” Mata Yoga mulai basah. Tak lama berselang orang tua Adel masuk bersama David. Mereka tersenyum melihat Yoga.
“Gak ada satu pun dari kita yang ingin dia pergi, tapi kita gak bisa berbuat apa-apa.” Kata David disusul dengan bunyi melengking dari osiloskop yang menampilkan garis lurus. Senyuman kecil menghiasi wajah pucat Adel yang mulai mendingin. Mereka semua tersenyum dalam tangis kehilangan.
0 komentar:
Posting Komentar