17.12.10

Aku Pasti Kembali

Pagi itu Defa menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat baik dan teliti. Ini hari pertama ospeknya. Dengan langkah pasti Defa berjalan menuju kampus yang tak jauh dari rumah ostnya. Defa sengaja ngekost, walaupun dia punya saudara dekat di Surabaya ini. Belajar mandiri, katanya. Sampai di kampus, beberapa mahasiswa baru sudah terlihat sibuk di halaman kampus. Ada yang bercanda, ada yang duduk-duduk, ada juga yang menekuni buku atau ponsel. Ada rasa sepi menelusup karena terpisah teman-teman SMA-nya dulu, tapi Defa sadar kalo setiap orang punya impian yang harus diperjuangkan.

Baru beberapa saat Defa duduk di salah satu bangku di halaman kampus itu, panggilan lewat microphone sudah memaksanya bergabung dengan orang-orang yang masih asing baginya. Seorang dengan muka kaku berdiri di depan mereka dan menjelaskan panjang lebar tentang ospek yang akan mereka jalani beberapa hari itu.

Para senior lalu membagi para mahasiswa baru dalam kelompok. Setelah tahu ada di kelompok berapa, Defa mencari anggota kelompoknya yang lain dan bergabung dengan mereka. Jantung Deva bergemuruh, dia begitu terkejut saat melihat seorang masuk dan duduk tak jauh darinya, tapi Defa diam saja.

Tugas pertama mereka adalah membuat rumah dari kardus tebal yang nantinya akan menjadi base camp kelompok itu selama ospek berlangsung. Mereka harus berupaya agar rumah kardus itu bisa terus bertahan hingga ospek berakhir jika tak ingin mendapatkan hukuman. Mereka hanya diberi waktu satu malam dan besok sebelum jam 07.00 semua sudah harus selesai dan peserta ospek harus sudah berkumpul di halaman depan kampus. Kelompok Defa yang terdiri dari 10 orang sepakat mendirikan rumah itu di bawah sebuah pohon di halaman tengah kampus. Sudah jam 2 dini hari saat mereka selesai membangun rumah kardus itu. Mereka duduk-duduk di depan rumah barunya sambil beristirahat dan memperhatikan kelompok lain yang belum selesai.

“Alhamdulillah selesai juga,” sebuah suara tertangkap telinga Defa dan Defa kenal benar pemilik suara itu.

“Ada minuman dan makanan di sana,” sahut Defa, telunjuknya mengarah ke satu arah.

“Kok gak bilang dari tadi sih, Def!” Ivan menyahut.

“Maaf, lupa,” kata Defa. Ivan berdiri sambil tersenyum, tak ingin melihat gadis yang baru dikenalnya siang tadi terus merasa bersalah. Ivan mengambil kantong itu dan membagikan isinya pada rekan-rekannya yang lain.

“Capek?” suara itu terdengar oleh telinga Defa lagi. Kali ini Aldi, pemilik suara itu duduk tak jauh dari Defa.

“Lumayan,” jawab Defa setelah yakin pertanyaan itu memang tertuju padanya.

“Oh ya, makasih ya,” kata Aldi lagi.

“Untuk apa?”

“Untuk menceritakan semua yang pernah terjadi dulu yang sebelumnya gak aku ketahui dan aku minta maaf sudah salah paham sama kamu.”

“Apa itu berarti kita bisa menjadi teman setelah ini?”

“Mungkin gak,” kata Aldi, Defa menghembuskan napas kecewanya.

“Kenapa?” akhirnya tanya itu keluar juga dari mulut Defa setelah beberapa saat mereka terdiam. Aldi menoleh ke arah Defa dan melihat dengan jelas gurat kecewa di wajah Defa. Entah apa yang ada di pikiran Aldi. Dia hanya diam seolah pertanyaan Defa tidak membutuhkan jawaban.

“Ada yang pengen tidur gak?” tanya Ivan yang memang pemimpin kelompok ini. Hampir semua mengangkat tangan, termasuk Defa.

“Mau tidur di mana? Pulang ke rumah?” tanya Silva. Setelah berembuk, diputuskan yang cewek tidur di kost Defa dan cowok-cowok di mobil Dimas.

“Ya udah yuk, keburu pagi,” Lista bangkit dari duduknya diikuti yang lain. Sekitar jam 06.45 esok harinya, mereka sudah berkumpul di base camp yang mereka bangun kemarin. Hari-hari yang melelahkan mereka lalui, mereka dituntut untuk bisa bekerja sama dan solid dengan kelompoknya. Defa sangat bersyukur mendapat rekan-rekan yang hebat. Mereka benar-benar tim yang solid, mereka bahkan sering kali mendapat pujian dari senior-senior karena kekompakan mereka. Mereka seperti sudah saling mengenal selama beberapa tahun.

Hari terakhir ospek mereka dibawa ke bumi perkemahan dekat kampus dan harus menginap karena akan diadakan penjelajahan dan renungan malam. Kelompok Defa berangkat menjelajah saat jarum jam sudah menunjuk angka 12. Rute penjelajahan mereka melewati hutan yang kata orang-orang adalah hutan angker. Ivan memimpin kelompoknya berdoa sebelum berangkat.

“Ingat, jangan sampai kita terpisah di tengah jalan,” pesan Ivan pada teman-temannya. Yang lain mengangguk tanda mengerti. Mereka mulai melangkah. Dimas dan Aldi berjalan di depan sementara itu Ivan berjalan paling belakang agar bisa melindungi teman-teman ceweknya yang berjalan di tengah.

“Gak takut, Def?!” Ivan memulai obrolan dengan Defa yang berjalan di depannya.

“Si Ivan mulai ngrayu Defa lagi dech!” celetuk Yudha yang berjalan beriringan dengan Ivan membuat wajah Ivan memerah. Ivan memang sedang berusaha mendekati Defa. Beberapa hari mereka bersama sepertinya telah menumbuhkan benih cinta di hati Ivan. Defa hanya tersenyum menanggapi gurauan Yudha.

“Eh, Def kamu udah lama kenal Aldi ya?” tanya Imy yang berjalan di samping Defa. Mendengar pertanyaan Imy, Ivan dengan semangat mendekatkan telinganya, dia juga ingin tau tentang itu.

“Iya, Def, aku juga penasaran,” tambah Ivan.

“Kamu sih, semua tentang Defa juga kamu pengen tau,” celetuk Yudha lagi.

“Ststsst…” tegur Dinna yang berjalan di depan menghalau keributan yang terjadi di belakang, “Jangan rame terus, ntar setannya keluar lho…!!” katanya mengingatkan. Mereka langsung terdiam. Meski mereka belum pernah bertemu hantu, tapi mereka juga gak ingin bertemu karena mereka gak tau harus bagaimana kalo nantinya benar-benar bertemu. Say “Hello!” apa say “Aaagh…..!!!” trus lari?!?!?! Mereka terus berjalan mengikuti petunjuk yang sudah disediakan panitia. Senter yang hanya dua itu salah satunya sudah mulai meredup, cahayanya gak seterang saat mereka baru berangkat tadi.

“Bawa baterai cadangan kan?” tanya Dimas.

“Ada, butuh sekarang apa nanti?” sahut Silva.

“Siapkan dulu aja, kayaknya sebentar lagi senter ini mati.”

“Ok! Punya kamu, Van?” Silva menoleh ke belakang.

“Alhamdulillah masih cukup terang, nanti aja,” jawab Ivan.

“Aduh!” suara Silva terdengar lagi, sepertinya dia tersandung batu.

“Kamu gak papa, Sil?” tanya Galih yang menopang tubuh Silva yang mau jatuh.

“Gak, makasih. Tapi baterainya?” Silva mulai panik.

“Jatuh?” tanya Aldi yang menghentikan langkah dan berbalik ke belakang. Silva mengangguk sambil berjongkok mencari-cari baterai yang dijatuhkannya tadi. Ivan maju dan membantu menerangi.

“Ketemu,” seru Silva tak lama kemudian.

“Alhamdulillah. Diganti sekalian aja deh,” kata Dimas sambil mengeluarkan baterai lama dan menggantinya dengan yang baru. Mereka kemudian meneruskan perjalanan.

“Tunggu,” tiba-tiba Yudha bersuara. Aldi dan Dimas menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.

“Ada apa?” tanya Aldi.

“Apa Defa di depan?” Ivan dan Dimas langsung menerangi wajah teman-teman mereka sambil menghitung.

“Delapan, sembilan…” Ivan berhenti menghitung saat jari telunjuknya berhenti pada dirinya sendiri. “Kita kehilangan Defa,” katanya kemudian.

“Yudha, sejak kapan kamu tau Defa gak ada?” tanya Aldi.

“Waktu Silva hampir jatuh tadi, dia masih ada trus waktu kita jalan lagi, aku baru sadar kalo Imy jalan sendirian.” Yang lain mulai panik.

“Tenang, jangan panik,” Galih menenangkan, “Kita coba kembali ke tempat tadi, mungkin dia tertinggal,” usulnya. Yang lain setuju. Mereka kembali ke tempat baterai jatuh tadi dan mencoba mencari Defa di sana, tapi tak ada tanda-tanda Defa tertinggal.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dinna. Kepanikkan semakin terasa menyelimut mereka.

“Kita teruskan perjalanan,” putus Aldi.

“Meneruskan perjalanan? Bagaimana kalo Defa masih ada di hutan ini? Bagaimana kalo dia dimakan binatang buas?” tanya Ivan, emosi melihat sikap gak peduli Aldi.

“Lalu kita harus bagaimana? Menunggu sampai pagi dan mencari Defa? Apa kamu tahu bahayanya hutan ini?” balas Aldi.

“Kalo kamu memang tahu hutan ini berbahaya, kenapa justru kamu tega meninggalkan Defa di sini? Kita akan mencarinya sampai ketemu dan kita gak akan keluar dari hutan ini sampai Defa bisa kita temukan,” putus Ivan, “Siapa mau ikut?” lanjutnya.

“Aku ikut kamu, Van,” kata Imy

“Aku juga,” sahut yang lain satu per satu dan tinggal Aldi yang masih belum mengambil keputusan. Semua mata menatap padanya.

“Aku jalan terus,” katanya kemudian.

“Pengecut! Di mana kepedulianmu?” Ivan semakin emosi. Aldi gak peduli dengan kata-kata Ivan, dia benar-benar meneruskan perjalanannya, sementara itu Ivan cs mulai mencari Defa. Ivan membagi mereka menjadi dua dan mencari ke arah yang berlawanan. Adzan subuh sudah mulai terdengar, hari sudah mulai pagi, tapi Ivan cs belum juga berhasil menemukan Defa. Mereka memutuskan untuk terus berjalan menuju garis finish yang ditentukan panitia. Mereka siap menerima hukuman karena tidak sampai tepat waktu, lagipula mereka punya alasan yang kuat untuk itu. Tapi, perkiraan mereka salah. Tak ada senior yang marah ataupun bertanya kenapa mereka terlambat sampai garis finish.

“Defa sudah ketemu?” tanya Anis, salah satu koordinator kelompok mereka. Ivan cs melongo, hanya Dinna yang menggeleng sebagai respon atas pertanyaan itu.

“Dari mana kakak tau?” tanya Lista.

“Kalian ini bagaimana, semalam kan Aldi datang melapor katanya Defa gak ada dalam kelompok kalian, itu sebabnya kalian gak bisa meneruskan perjalanan. Iya kan?” jelas Anis.

“Trus di mana Aldi sekarang?” tanya Ivan.

“Setelah melapor, dia minta izin untuk membantu kalian mencari Defa dan dia belum kembali sampai sekarang. Apa kalian gak ketemu dia?”

“Kami terpisah,” kata Ivan lesu, ada sorot sesal di matanya.

“Lebih baik kalian sholat subuh dulu. Jangan khawatir, yang lain sudah ikut membantu mencari,” kata Anis sebelum berlalu meninggalkan mereka yang masih membisu.

“Menurutku, kita harus minta maaf ke Aldi saat dia kembali nanti,” kata Galih. Yang lain mengangguk lesu.

Hari sudah terang, tanda-tanda kehidupan mulai terasa seiring dengan hangat sinar matahari yang mulai bersinar, tapi Defa belum juga bisa ditemukan, juga Aldi.

“Tolooong…!!!” tiba-tiba terdengar suara seseorang meminta tolong. Begitu jelas hingga hampir semua yang ada di sana mendengar. Mereka semua diam, mencoba mempertajam indera pendengaran mereka. Serentak mereka berjalan ke satu arah dan mencari-cari pemilik suara itu.

“Di sana!” kata seseorang yang lain. Seluruh mata tertuju pada satu arah. Di bawah terlihat seorang melambai-lambaikan tangan.

“Defa di sini. Cepat kirim bantuan. Aku gak bisa membawa dia ke atas seorang diri,” teriak orang itu. Afif mengajak beberapa rekan pecinta alamnya untuk turun dari tebing yang cukup terjal itu. Dengan susah payah mereka sampai dan mendapati Aldi yang terduduk lemas dengan luka di beberapa bagian tubuhnya. Di samping Aldi ada Defa yang tersandar pada pohon dan masih dalam keadaan sadar. Keadaannya gak jauh beda dengan Aldi.

“Dia udah gak kuat jalan, mungkin kalian bisa memapah atau menggendongnya,” saran Aldi.

“Digendong saja,” kata Afif. “Kamu sendiri gimana? Apa perlu digendong juga?”

“Insya Allah, aku masih kuat berjalan,” jawab Aldi. Bergantian mereka menggendong Defa hingga sampai di tempat mereka berkumpul. Agak lama karena mereka memilih jalan setapak. Aldi langsung pingsan ketika mereka sampai dan tak lama kemudian Defa juga kehilangan kesadarannya. Tim P3K langsung beraksi. Mereka memberikan pertolongan pertama sebelum memutuskan untuk melarikan mereka berdua ke rumah sakit. Beberapa jam setelah ditangani dokter mereka berdua sadar dan Defa mulai bercerita.

“Waktu Silva hampir jatuh dan baterainya hilang, ada seseorang yang menarik tanganku. Ada dua laki-laki dan seorang perempuan. Mereka bilang ini adalah bagian dari ospek, jadi aku menurut saja waktu mereka membawa aku menjauh dari kelompokku. Mereka membawa aku ke sebuah pondok dan saat di pondok itulah aku tahu kalo mereka bukan senior-senior yang membimbing kita selama ini, tapi mereka adalah suruhan seseorang yang menaruh dendam sama aku,” jelas Defa.

“Menaruh dendam?” Imy menyela.

“Iya, aku gak bisa menerima lamarannya karena kita berbeda agama. Mungkin orang tuanya yang memang gak suka sama aku jadi bertambah benci karena aku menyakiti putra mereka satu-satunya,” lanjut Defa.

“Dari mana kamu tau itu perbuatan mereka?”

“Saat mereka sudah berhasil mengikat aku, salah seorang dari mereka menelfon seseorang dan mereka bilang kalo Tuan dan Nyonya Tommy, bos mereka akan segera datang untuk memberi palajaran. Alhamdulillah sebelum mereka datang, mas Aldi sudah menemukan aku.”

“Bagaimana dia bisa sampai di sana?” tanya Ivan penasaran. Defa menggeleng. Pandangan orang-orang di dalam kamar itu beralih ke Aldi yang dari tadi hanya duduk manis di atas kursi rodanya.

“Aku hanya berjalan dan aku melihat pondok kecil itu. Waktu aku dengar suara ribut di dalam, aku mencoba mencari tahu dan menemukan Defa yang diikat tangan dan kakinya sedangkan ketiga orang yang ada di sana bergantian mencaci dan memukulinya,” jelas Aldi.

“Ya sudahlah, yang penting kalian selamat. Masalah yang tadi nanti kita clear-kan di kantor polisi, biar nama Universitas kita gak ikut tercoreng karena kejadian ini,” kata Afif. “Kalian istirahat yang cukup, kami akan mengurus yang lainnya,” tambahnya. Afif keluar ruangan bersama dengan teman-temannya, sedangkan Ivan cs masih di sana.

“Maafkan aku sudah berprasangka buruk sama kamu,” kata Ivan menghampiri Aldi dan mengulurkan tangannya. Yang lain mengikuti.

“Iya sama-sama, aku ngerti  kalo saat itu kamu emosi, tapi aku sedikit merasa sakit hati waktu kamu bilang aku gak peduli sama dek Defa,” sahut Aldi.

“Ya sudah, sebaiknya kalian berdua istirahat yang cukup biar cepet sembuh,” saran Imy.

“Yud, bisa tolong antarkan aku kembali ke kamarku?” pinta Aldi pada Yudha. Yang diminta mengangguk mantap. Ivan cs keluar satu per satu dari kamar Defa, tinggal Yudha dan Aldi yang masih di sana.

“Dek, suatu saat nanti aku pasti kembali. Suatu saat setelah semua siap. Aku gak pernah lupa pada janji itu, karena itulah aku gak mungkin bisa bersahabat sama kamu. Apa kamu mau menunggu?” tanya Aldi sebelum meninggalkan ruangan. Defa tersenyum.

4.12.10

hujan

december 3rd 2010 @ 03.00 pm

.
hujan turun lagi. tak terasa dingin, justru hangat
nuansa roman terbawa oleh air yang menembus pori-pori bumi
menyajikan gambaran hujan sekian tahun silam
membuatku semakin merindukanmu

.
iya, hujan selalu membawa serta rinduku padamu
seolah rasa itu meluap, jatuh dan menembus bumi
persis seperti hujan

.
ah, andai saja kau hadir disini bersama hujan
tentu romantisme ini akan menjadi sempurna
sayangnya hujan tak pernah benar-benar membawamu ke hadapanku
hujan hanya menghadirkan baumu, bayangmu
dan aku harus puas dengan oleh-oleh hujan untukku

.
rindu ini mungkin seperti pandangan mata burung ketika terbang
luas tak berbatas, tak bertepi

17.11.10

hai cinta

November 17th 2010 @ 2:09 am

cinta, rasanya sudah  lama sekali kita tak berjabat tangan. apa kabarmu hari ini? apa kau  masih dijuluki virus pink yang bisa membuat hati orang berbunga-bunga  saat kau kunjungi? apa kau masih pandai membuat orang mabuk kepayang  hingga rela berkorban untukmu?

cinta, aku hampir lupa  kapan terakhir kali kita bertemu dan berbincang. apa kau masih suka  menyantap secangkir cappucino hangat dan sepiring roti bakar rasa coklat  keju? apa kau masih sering memperbincangkan ketulusan hati seorang yang  mencinta?

ah cinta, rindu sekali aku padamu. tidakkah kau  ingin berkunjung dan berbincang sejenak denganku? aku ingin sekali lagi  merasakan getarmu. aku ingin sekali lagi merasakan keyakinan yang  mengakar karena kehadiranmu. datanglah sesekali padaku, agar nurani ini  tak membeku.

16.11.10

Beku

November 16th 2010 @ 10:29 pm

hujan sudah benar-benar  mengguyurku. aku basah kuyup kini. sendiri mematung di ujung jalan,  menikmati sisa rintik hujan. daun-daun di ujung ranting bergerak seirama  mengikuti arah angin. siluet jingga lampu jalanan menyorot tajam ke  arahku, memantabkan peranku sebagai lakon dari kisah yang sedang aku  jalani.

dingin? aku tak tahu lagi arti kata itu. karena  aku sudah hampir beku. hatiku nyaris beku. jika saja air mata bisa  mencairkan kebekuan ini, tentu aku akan lebih memilih untuk menangis,  tapi sepertinya air mataku pun mulai membeku.

ah biarlah  aku membeku, asal doaku tak turut membeku pula. dan semoga, ketika  mentari hadir esok hari, kebekuan ini akan meleleh pelan-pelan.

31.10.10

Rindu dan Hujan

banyak orang menantikan datangnya hujan
sebagian karena tak suka panas
dan hujan selalu kuasa menghadirkan kesejukkan
sebagian karena rasanya terwakili oleh hujan
terutama kenangan kala hujan

dan rindu adalah salah satunya
rindu dan hujan adalah paket romantis
ketika titik rindu terluapkan oleh bulir-bulir hujan
kala gema rindu terwakilkan oleh guntur dan kilat petir
dan kala hujan menjadi pembawa romansa sendu

merindumu bisa jadi menyenangkan
atau malah menyakitkan
ketika rasa hanya serupa bulir hujan jatuh ke selokan
atau kala rasa hanya selintas kilatan petir disertai gemuruhnya

terasa senang atau sakit
rindu ini tetap ada
dan merindumu kala hujan
menjelmakan bahagia dan pedih di dinding hatiku

19.9.10

Aku Tak Ingin

Aku tak ingin bertemu dengannya,meski aku begitu merindukannya..
Aku tak ingin tanganku tergenggam dengannya,meski aku begitu menyayanginya..
Aku tak ingin dia ada di dekatku saat aku menangis,meski aku tau kehadirannya bisa menenangkanku..
Aku tak ingin dia mengusap air mataku,meski aku tau usapannya sanggup melenyapkan pedihku..
Aku tak ingin dia bernyanyi untuku,meski nyanyiannya akan bisa mengantarkanku ke lelapnya malam..

<a href="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/12/Think_About_You_by_Dr4kon.jpg"><img class="aligncenter size-medium wp-image-76" title="Think_About_You_by_Dr4kon" src="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/12/Think_About_You_by_Dr4kon-300x250.jpg" alt="" width="300" height="250" /></a>

18.9.10

Sisa Mimpi

kepada pagi,
kepada matahari,
kutitpkan sisa mimpi malam tadi
suatu hari akan kuisi kembali
tak lama
sebentar saja aku kembali
sendiri
kepada malam-malam sepi

.

-ketika fajar, 12 juli 2010-

13.9.10

Kita

<div>
<div>

Kita seperti dua orang  asing yang baru berkenalan kemarin sore. Tak banyak yang bisa  dibicarakan, karena terlalu banyak yang harus dipikirkan, karena terlalu  banyak yang harus lebih dulu dimengerti sebelum berbicara. Kita hanya  dua orang asing yang tak tau harus berbicara apa agar suasana menjadi  lebih hangat dan bersahabat. Kita hanya dua orang asing yang asyik  dengan dunia kita sendiri, yang belum saling memahami karena kita baru  berkenalan kemarin sore.

Kita seperti dua orang yang telah  hidup bersama sekian puluh tahun. Tak banyak yang bisa dibicarakan,  karena sudah terlalu banyak topik yang dibahas, bahkan mungkin  berulang-ulang, karena sudah terlalu banyak mengerti hingga tak perlu  saling bicara lagi. Kita hanya dua orang yang telah terlalu lama hidup  bersama, yang tak tau harus membicarakan apa lagi agar suasana kembali  hangat dan bersahabat. Kita hanya dua orang yang terlalu lama hidup  bersama, yang sudah terlalu memahami hingga kita jenuh untuk selalu  bersama.

<a href="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/09/I_want_you_with_me_by_Alephunky.jpg"><img class="aligncenter size-medium wp-image-78" title="I_want_you_with_me_by_Alephunky" src="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/09/I_want_you_with_me_by_Alephunky-300x300.jpg" alt="" width="300" height="300" /></a>

</div>
</div>
<div id="YontooInstallID" style="display: none;">DB0637C0-0401-35A4-06FA-85171F8E22C3</div>
<div id="YontooClientVersion" style="display: none;">1.03.01</div>

20.8.10

Sore Ini

Sore ini, aku tak ingin bertemu siapa-siapa, tak ingin mengunjungi  siapa-siapa. Sore ini, aku hanya akan duduk diam di teras belakang  rumah, menghabiskan waktu dengan membaca, menerbangkan imaji hingga  menembus batas demi mendapati sesuatu yang mungkin berharga. Sesekali,  aku akan tersenyum pada kelinci-kelinci putih yang berlarian di  pekarangan, yang sesekali pula mereka menatapku seolah bertanya, apa  yang sedang menggelisahkan hatiku.

Sore ini, aku hanya akan menikmati hangatnya senja yang hilang perlahan  di balik tembok belakang rumahku. Senja yang selalu tampak indah, selalu  bisa menenagkan. Tak seperti kala ia remaja, kala sinarnya menyengat  kulitku hingga terasa perih, meski dengan sinar terangnya juga aku bisa  bebas berjalan tanpa takut akan menabrak.

Sore ini, aku tak ingin seorang pun mengusikku, tidak juga  kelinci-kelinci putih peliharaanku ataupun rimbun daun di pekarangan  rumahku. Sore ini, aku hanya ingin meresapi lelah yang menggelayutiku,  merenungi jenuh yang melingkupiku, dan mengurai beban yang semakin  memberat di pundakku. Aku hanya akan menikmati semua yang mereka berikan  untukku.

Sore ini, ketika senja bergerak pelan ke peraduan dan ketika malam mulai  melebarkan jubah hitamnya, seorang datang menghampiriku membawa segenap  rindu dalam karung besar. Tanpa diminta, ia segera saja menggelar isi  karungnya di depanku, menatanya hingga rapi, melarangku menyentuhnya.

Dia lalu duduk bersampingan denganku, mengajakku menghitung  bintang-gemintang yang satu per satu bermunculan di langit kelam,  memintaku merentangkan tangan untuk bisa merasakan hembusan angin malam  yang sama sekali tak bisa kurasakan sejuknya.

Sore telah pergi, begitu juga dengan senja. Kini hanya ada malam,  bintang, aku, dia, sekarung rindu yang telah ditatanya mengelilingiku  dan samar nyanyian jangkrik. Aku membiarkannya terus bicara, sementara  aku terus diam, meresapi malam dan bertanya-tanya, untuk apa rindu ini  ada? Dan bagaimana mencintai itu??

<a href="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/08/senja_di_P_Sayak_by_zuzura.jpg"><img class="aligncenter size-medium wp-image-70" title="senja_di_P_Sayak_by_zuzura" src="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/08/senja_di_P_Sayak_by_zuzura-183x300.jpg" alt="" width="183" height="300" /></a>
<div id="YontooInstallID" style="display: none;">DB0637C0-0401-35A4-06FA-85171F8E22C3</div>
<div id="YontooClientVersion" style="display: none;">1.03.01</div>

17.8.10

Seandainya Aku Datang

Harusnya sekarang aku ada di stasiun. Meski aku tak tau pasti apa aku akan mendapatkannya lagi jika aku datang, tapi paling tidak aku bisa mengantarnya atau yang paling parah aku masih bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Tapi aku tak melakukannya. Aku malah diam di rumah, main play station sama Yoga, adikku, seolah tak menghiraukannya. Aku memang tak ingin memperdulikannya.

“Koq kamu masih di rumah Don?” Reza tiba-tiba nongol dan duduk di sampingku.

“Emang seharusnya aku ke mana?” aku balas bertanya tanpa mengalihkan pandanganku dari layar.

“Ya ke stasiunlah… Nina kan mau berangkat ke Yogya.., kamu nggak pengen nganterin dia?”

“Buat apa?” aku menaruh stik PS-ku dan memalingkan wajah padanya.

“Apa kamu juga harus tanya tentang perasaanmu sama aku?” Reza masih membalas dengan pertanyaan dan setelah itu dia mengambilalih stik PS-ku.

Aku diam saja, tapi tak ingin memikirkan kata-kata Reza. Aku memang menyayanginya, mungkin sangat, tapi rasa kecewa dan sakit itu seolah menjadi pemenang atas semuanya, termasuk rasa sayang dan kenangan. Konyol rasanya, tiga tahun aku bersamanya dan harus terpisah hanya karena alasan konyol. Kadang aku tak mengerti jalan pikirannya, bahkan kadang aku tak mengerti perasaannya.

Ah.., aku tak ingin memikirkannya lagi, tapi entah kenapa kenangan tentangnya terus menggangguku dan rasanya aku ingin bertemu dengannya. Dan tiba-tiba kebimbangan merajaiku. Apa aku harus berangkat ke stasiun dan mendapati lukaku yang masih menganga bertambah parah? Atau aku diam di sini dan membiarkannya berlalu dan setelah itu aku tak akan melihatnya lagi?

Entah apa yang menggerakkanku, aku beranjak ke kamar dan mengambil jaket dan kontak motor lalu melajukan bebekku menuju stasiun Gubeng. Reza bilang jadwal keberangkatannya jam 10 dan sekarang sudah jam 9.50.., yah semoga saja aku tak terlambat, meski sekedar untuk melihatnya.

Jam 10 lebih 15 menit. Aku parkir motorku dan secepat kilat aku berlari memasuki stasiun.

“Mbak, kereta ke Yogya sudah berangkat?” tanyaku pada penjual tiket. Wanita setengah baya itu tak menjawab, hanya mengangkat tangannya dan menunjuk ke belakang, tanda bahwa kereta yang aku tanyakan sedang melaju dan seketika itu aku tahu, aku benar-benar telah kehilangannya.

***

Sudah setahun sejak aku tak mendapati jejak Nina di stasiun, tapi waktu itu sama sekali tak cukup untuk mengobati sakit ini. Reza menyaranku membuka hati untuk seseorang yang mungkin bisa mewarnai hari-hariku, tapi aku tak pernah mengizinkan siapapun untuk mengetuknya, apalagi menjamahnya. Betapapun sakitnya hati ini karenanya, tapi rasa sayang itu tak pernah bisa hilang. Dan kini aku menyesal, kenapa aku tak datang lebih awal ke stasiun setahun yang lalu.

“Nungguin siapa mas?” tanya seorang pedagang asongan, menegurku. Mungkin dia heran, sudah berjam-jam aku duduk di sini, seperti tengah menunggu seseorang. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum menanggapi pertanyaannya. Pemuda yang kira-kira 3 tahun lebih muda dariku ini terlihat begitu lelah. Badannya kurus, matanya sayu dan bajunya lusuh.

“Kerja begini pasti berat banget ya mas?” aku membuka obrolan dengannya.

“Ya mo gimana lagi mas, orang tua saya nggak sanggup membiayai sekolah saya, padahal tinggal setahun lagi saya lulus SMP. Ya.., beginilah jadinya, saya harus membantu orang tua saya,” tuturnya sambil menerawangkan matanya. “Tahun lalu, waktu saya baru saja mulai dagang di sini, saya ketakutan mas. Waktu itu umur saya baru 14 tahun dan sebelumnya nggak pernah tahu bagaimana kehidupan di stasiun,” lanjutnya mengenang.

“Tapi sepertinya seru juga, ya mas?”

“Iya, banyak kejadian yang saya lihat di stasiun ini, paling asyik waktu kita rame-rame ngejar trus ngeroyok copet, Mas. Hehehehe..,” ujarnya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum. “Mas ini dari mana to, koq dari tadi duduk di sini terus?” lanjutnya.

“Saya ya dari sini aja, Mas. Nggak lagi nunggu siapa-siapa koq, cuma pengen duduk di sini aja,” sahutku.

“Aneh-aneh saja Mas ini.., biasanya anak muda itu nongkrongnya di mall atau di warung kopi, Mas, bukan di stasiun,” ujarnya. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara keributan, sepertinya ada orang jatuh.  Bocah asongan itu langsung menghampiri kerumunan, aku hanya diam memperhatikan sampai kerumunan itu bubar perlahan.

“Ada apa, Mas?” tanyaku.

“Ada ibu-ibu jatuh dari kereta. Lha wong keretanya blom bener-bener berhenti udah turun duluan.”

“Kasian ya, Mas. Trus gimana lukanya? Parah?”

“Cuma lecet koq. Dulu malah ada mbak-mbak yang tiba-tiba pingsan waktu mau naik ke kereta. Hidungnya berdarah trus langsung dilarikan ke rumah sakit.”

“Ooo…” hanya itu yang terlontar dari mulutku menanggapi ceritanya. Ternyata banyak cerita terjadi di sini, bukan hanya ceritaku yang kehilangan orang yang paling aku sayangi. Tak lama, aku pamit padanya. Pulang dari stasiun, aku sengaja lewat depan rumah Nina. Seperti biasa, aku hanya lewat dan berharap sosok Nina keluar menghampiriku, lalu aku akan kecewa karena sama sekali tak melihatnya.

Aku tahu, yang aku lakukan ini hanya akan menambah rasa sakitku, tapi terkadang aku menikmati rasa sakit ini, kadang aku menyukainya dan membiarkannya tetap ada.

“Cari siapa, Mas?” tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya menghampiriku.

“Oh.., nggak ada, Pak. Saya hanya lewat aja,” sahutku.

“Yang bener? Saya lihat Mas ini hampir tiap hari lewat dan berhenti di depan rumah ini, seperti ada yang dicari,” selidiknya.

“Bapak ada-ada saja. Saya permisi dulu, Pak,” pamitku.

“Mbak Nina baru saja datang ke rumah itu minggu lalu, hampir setiap sore dia duduk di teras samping itu sendirian,” katanya lagi. Aku menghentikan langkah, berpaling dan tersenyum padanya lalu pergi. Ingin rasanya tak peduli dengan perkataan bapak tukang becak yang suka nongkrong di depan rumah Nina itu, tapi rasa yang sama menekanku, rasa ingin menemuinya.

***

Sore itu, setengah hati dan harapan aku mendatangi rumahnya. Mungkin benar kata bapak tukang becak itu, Nina ada di rumah itu. Perhatianku terpusat pada teras samping rumah itu, tapi aku tak mendapati apa-apa, bahkan hingga adzan maghrib terdengar meraung. Aku pergi, kebiasaanku untuk lewat depan rumahnya tak berubah, hanya saja aku tak bisa membenarkan kata-kata bapak tukang becak itu.

Hingga suatu sore aku benar-benar melihatnya. Di duduk di sebuah bangku di teras samping rumahnya, sedang membaca buku. Ragu-ragu aku menghampirinya.

“Nin,” tegurku. Dia terhenyak mendengar namanya tersebut, matanya menatap tajam ke arahku. Wajahnya terlihat sangat pucat. Tanpa berkata apa-apa dia beranjak masuk ke dalam rumah, meninggalkanku terpaku di teras rumahnya.

Perasaan kacau menyergapku, aku tak tahu lagi harus apa. Aku hanya mendudukkan tubuhku di bangku yang didudukinya tadi. Mataku nanar menatap ke depan. Aku tahu aku akan mendapatkan luka ini, tapi aku tetap menjalaninya. Kadang aku pikir aku ini memang konyol dan mungkin aku memang sudah gila.

“Doni?” seorang wanita setengah baya menghampiriku, ibu Nina.

“Ibu?” sahutku, “Maafkan saya, Bu.”

“Kenapa harus minta maaf?” tanyanya. Dia duduk di sampingku.

“Karena saya datang lagi ke sini.”

“Tidak harus minta maaf, kamu nggak salah,” ujarnya dengan suara yang lembut. Aku jadi berpikir, mungkinkah wanita selembut ini tega menyakiti hati anaknya dengan memisahkan kami. “Mungkin saya yang seharusnya minta maaf,” lanjutnya.

“Karena melarang saya berhubungan dengan Nina? Kenapa, Bu?”

“Saya tidak pernah melarang hubungan kalian. Saya senang kamu bisa menjadi pendamping yang baik untuk Nina, tapi Nina bersikeras memutuskan berpisah dari kamu, hanya karena tak ingin melukaimu?”

“Maksud Ibu?” aku sangat terkejut dengan pernyataan ibu Nina. Setahuku, Nina memutuskanku karena ibunya tak setuju dengan hubungan kami, wanita ini yang jadi alasan Nina meninggalkanku.

“Nyonyaaaaaaa….!!!!!!” seseorang berteriak dari dalam rumah. Tergesa kami memasuki rumah. Seorang yang aku kenal sebagai mbok Nar sedang menopang tubuh Nina yang tergeletak di lantai. Darah segar mengalir dari hidungnya. Secepat kilat supir keluarga mereka menyalakan mesin mobil dan melarikan Nina ke rumah sakit. Ibu Nina menangis di sepanjang jalan ke rumah sakit, bahkan hingga Nina masuk ke UGD. Perasaanku campur aduk.

“Nina punya penyakit serius, kanker otak. Setahun terakkhir ini dia terus-terusan keluar masuk rumah sakit. Kepergiannya ke Yogya tahun lalu juga batal karena sebelum naik ke kereta dia sudah lebih dulu pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit, padahal waktu itu kita ada janji dengan dokter ahli yang sedang bertandang ke Yogya,” tuturnya saat dokter sedang memeriksanya di UGD. Mataku semakin nanar mendengar ceritanya.

“Nina pernah bilang, tak ada hal yang lebih melukai hatinya selain melihatmu bersedih. Karena itu dia tak ingin kamu melihatnya sakit, karena dia tahu kamu akan sangat sedih dengan keadaannya, walau sebenarnya dia sangat ingin kamu ada di dekatnya. Dia pikir, jarak yang dia ciptakan antara kamu dan dia bisa membuat kamu mencari perempuan lain yang bisa mendampingi kamu selamanya dan pelan-pelan bisa melupakannya,” ibu Nina mengakhiri ceritanya.

“Nina nggak pernah tahu, Bu, gimana sakitnya saya karena harus menjalani hari tanpanya. Nina nggak pernah tahu setiap hari saya lewat depan rumah ini dan berharap bisa melihatnya ada di rumah ini. Nina juga nggak pernah tahu kesedihan terberat saya adalah karena harus terpisah darinya.”

“Maafkan Nina, ya Don. Maafkan Nina..” kata ibu Nina sambil mengusap air mata yang mengucur dari tadi.

***

“Hanya satu orang yang boleh berada di dalam, Nina membutuhkan perawatan intensif,” kata dokter yang memeriksa Nina berdiri di pintu UGD.

“Kamu mau masuk, Don?” tawar ibu Nina. Aku mengangguk. Aku pakai baju jenguk sebelum masuk ke ruangan tempat Nina tertidur. Aku menangis melihatnya, matanya tertutup rapat, wajahnya pucat dan tubuhnya kurus sekali.

“Aku sayang kamu, Nin, aku selalu sayang kamu,” bisikku sambil menggenggam tangannya. Aku rasakan tangan itu balas menggenggamku, tapi tak ada reaksi dia akan sadar dari pingsannya. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menemani dia yang pasrah menjalani takdir hidupnya.

Keesokan harinya, dokter menyatakan Nina dalam kondisi koma. Kenyataan ini seolah menuntut kami untuk mempersiapkan diri untuk kehilangannya, dan tak ada hal lain yang bisa kami lakukan, termasuk tim dokter, selain memastikan peralatan untuk mempertahankan hidupnya dalam keadaan baik sembari menunggu berakhirnya koma ini.

***

Suatu sore, aku merasakan senja yang begitu indah dibanding hari-hari sebelumnya di rumah sakit ini. Aku merasa begitu merindukannya. Sudah seminggu Nina koma dan sudah seminggu ini pula aku menghabiskan waktu di rumah sakit ini, aku tak ingin jauh darinya. Aku tak tahu, apa dia merasakan kehadiranku, tapi aku berharap iya. Adzan maghrib sudah terdengar, aku pamit pada ibu Nina untuk sholat maghrib ke masjid yang ada di lingkungan rumah sakit. Kami memang biasa menjaganya bergantian. Di akhir sholatku, aku selalu mendoakannya, berharap Allah menyatukan kami kembali, dan aku bisa melihatnya tersenyum lagi.

Ibu Nina berhambur memelukku ketika aku kembali ke kamar rawat Nina. Dia tak berkata apa-apa ketika aku bertanya “Ada apa?”. Dia hanya menangis dan terus menangis. Aku mengajaknya duduk dan sesuatu menuntunku memasuki kamar rawat Nina. Lengking osiloskop meraung di sekeliling ruangan. Layar kecil dalam benda mati itu menunjukkan garis lurus berwarna hijau.

Nina benar-benar pergi, tanpa pesan, tanpa berkata apa-apa. Dia pergi begitu saja tanpa peduli padaku. Dan sesal itu kembali menyergapku. Lebih dari setahun yang lalu, seandainya aku datang lebih awal ke stasiun, aku pasti ikut membawanya ke rumah sakit ketika dia pingsan karena penyakitnya. Seandainya saat itu aku datang lebih awal, aku akan meyakinkan dia bahwa yang terbaik untukku adalah terus berada dekat dengannya dan aku bisa terus menemaninya di akhir hidupnya. Seandainya waktu itu aku datang lebih awal, tentu aku tak melewatkan lebih dari setahun waktuku jauh darinya.

Seandainya aku datang lebih awal, aku masih bisa berbisik di telinganya dan mengatakan aku sangat menyayanginya.

<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5221/5683901110_cd43f619da_m.jpg" alt="" width="240" height="180" />

Writen By : Nadia Maulana

*Published on Story Magazine : 8th Edition

27.7.10

Tempat Itu

Ada satu tempat, yang bisa membuatku sangat nyaman berada di dalamnya.  Tempat yang awalnya hanya aku yang tau. Tempat di mana aku bisa  meluapkan egoku setinggi-tingginya. Hanya kedamaian yang aku dapatkan di  sana. Termasuk juga semua kenangan masa lalu yang hanya bisa aku  tertawakan kini, saat semua sudah berlalu namun membekas begitu dalam di  kalbuku. Aku bisa menangis sepuasnya di sana, karena dia hanya  mengizinkan aku menangis jika aku sedang berada di sana.

Aku tak pernah peduli seberapa kotornya tempat itu, aku tetap  menganggapnya sebagai tempat terindah. Bukan karena aku bodoh, bukan  karena aku buta. Aku memang menyayangi tempat itu, aku selalu  mendambakan bisa selamanya tinggal di sana, tapi itu mustahil, aku  sadari itu.

Aku juga tak pernah memikirkan seberapa nistanya tempat itu, bagiku  tempat itu tetap jadi tempat terindah. Tempat yang hanya aku yang tau  pesonanya, yang hanya aku yang mengerti bagaimana indahnya, yang hanya  aku yang bisa merasakan kedamaian yang diciptakannya, yang hanya aku  yang bisa menangis sepuasnya di sana, yang hanya aku yang mengerti  bagaimana dia mampu memanjakan pengunjungnya, yang hanya aku yang  mengetahui detail tentangnya.

Sayang, aku tak bisa membersihkan kotoran2 di sana, tak bisa menghapus  setitik nila yang seolah telah merusak semua keindahan yang dimilikinya.

Tapi aku tau, ada satu celah yang masih benar2 bersih dan tak terjamah  siapapun. Celah yang hanya aku yang tau, yang hanya aku yang bisa  memasukinya. Meski nyaris tak tertangkap indera penglihatan, aku tau,  aku yakin tempat itu masih ada. Tempat yang nyaman, penuh kedamaian,  yang bisa memanjakan, yang halus, yang bisa menjadi cawan yang bisa  menampung lelehan air mataku, yang memberiku ruang yang sangat luas  untuk melambungkan egoku. Aku tau tempat itu masih ada dan hanya ada  untukku.

20.7.10

Aku tak ingin lelah dan jenuh ini mengalahkanku

Kadang, aku merasa begitu lelah dengan rutinitas yang aku jalani. Dulu,  awal tahun pertamaku di organisasi pers kampus (gita), aku masih  bersemangat. Aku banyak menemukan hal baru karena sebelumnya aku tak  begitu ngerti tentang pers. Aku masuk UKM ini hanya karena aku ingin  menulis (hehehe…). Lalu, saat hari-hari mulai disibukkan dengan mencari  berita, wawancara, nulis berita, rapat dll, aku mulai merasa lelah, aku  jenuh. Belum lagi karena rutinitas kuliah.

Jenuhku mereda saat awal tahun kedua aku terpilih jadi PimRed. Aku mulai  bersemangat lagi. Tapi setelah setengah tahun berlalu, rasa lelah dan  jenuh itu datang lagi. Lelah memimpin rapat redaksi, lelah ngedit  berita, lelah lay out, dan lelah. Tapi aku merasa punya tanggung jawab  menyelesaikan tugasku, karena aku tau aku punya tugas dan aku tau tiga  sahabatku percaya padaku. Mereka membuat aku bersemangat lagi, aku tak  ingin menyerah pada rasa lelah ini.

Tahun berikutnya, saat pergantian pengurus, aku jadi PimPrush. Kerja  yang menurutku sangat berat karena aku gak punya pengalaman di bidang  ini, tapi lagi-lagi ketiga sahabatku menguatkanku (teng kyu yo rek..!!  hehe..). Mereka bilang, kalo jadi PimRed aja bisa, kenapa PimPrush gak  bisa? Tapi sekali lagi, aku merasa tak sanggup. Kalo PimRed enak, aku  punya minat sama tulisan, tapi kalo PimPrush? Huwaduhhhh……..!!!!!!!

But.., want don’t want harus dijalani juga, karena beberapa kali usul  reshuffle juga gak di-ACC sama Pimum. Dan minim pengalaman plus rasa tak  sanggup ini kembali membuatku lelah dan jenuh. Aku harus mengusahakan  dana, tapi aku gak punya pengalaman untuk ini. Bersyukur sekali aku  punya tiga sahabat ditambah pengurus-pengurus 2007 lainnya yang bisa  membantuku hingga akhirnya tercetus ide untuk workshop.

Di tengah kesibukan magang, workshop jalan dengan dikoordinir  temen-temen baru angkatan 2008 yang patut dapet empat jempol karena  semangatnya. Hasilnya lumayan, setidaknya bisa memberikan sumbangsih  nama buat modal dikenal, bahwa gita gak melulu soal berita dan redaksi,  tapi juga punya usaha pengembangan. Hasil yang nyata adalah salah satu  peserta workshop itu tahun ini mendaftar jadi anggota gita. Not bad,  kan..??

Dari rangkaian itu, aku sadar kalo begitu berartinya mempertahankan  semangat untuk terus eksis, untuk berkarya dan gak mudah menyerah pada  ego. Kalo saja dulu aku memilih menyerah pada lelah dan jenuhku, aku tak  mungkin bisa jadi PimRed, aku tak mungkin juga bisa ngadain workshop  bareng generasi penerus gita dan berhasil menarik peminat yang lumayan.
Dan semangat itu ada pada diri kita sendiri. Pihak luar, sahabat-sahabat  itu pengompor yang selalu bisa membarakan semangat yang memang udah ada  dalam diri kita. Semangat untuk belajar, semangat untuk terus berkarya  dan bersama dengan keluarga-keluarga baru kita. Semangat untuk gak  begitu saja menyerah pada lelah dan jenuh.

Karena lelah dan jenuh itu sangat wajar terjadi, bukan hanya dalam  hubungan belajar atau berorganisasi, tapi pada semua sisi hidup kita,  pada rutinitas, pada hubungan antarpersonal atau apapun. Tapi, jangan  menyerah dan mengalah pada lelah dan jenuh itu, karena kalo nyerah, kita  akan kehilangan banyak hal. Paling tidak, kita telah kehilangan  kekuatan untuk bangkit. Jangan selalu mengandalkan orang lain, jangan  mengharap semangat dari orang lain, karena inti semangat itu ada dalam  diri kita sendiri. Kita harus ingat, kita punya tujuan, kita punya  cita-cita dan impian yang harus tercapai.

Lelah dan jenuh hanya titik yang harus disiasati dengan memompa semangat  itu lebih kuat. Lelah dan jenuh hanyalah proses yang harus kita lalui  ditengah rutinitas yang kadang terasa membelenggu. Seorang temanku  bilang, “hanya kita yang bisa mengatasinya, hanya kita yang bisa membuat  rutinitas itu menjadi sesuatu yang indah dan berarti untuk diri kita,  dan hanya kita yang bisa membuat lelah dan jenuh ini menjadi titik yang  hanya harus dilalui dalam berproses. Hingga saat ini, aku masih berusaha  dan aku ingin kita berusaha bersama-sama mengatasi lelah dan jenuh yang  bisa datang kapan saja.

Jadi, saat lelah dan jenuh itu terasa, katakanlah pada dirimu sendiri,  “Aku tak ingin lelah dan jenuh ini mengalahkanku.”

13.7.10

Osteosarkoma

Adel mengusap keringat di keningnya. “Kenapa hari ini panas sekali?”  gumamnya. Adel berhenti sejenak di bawah sebuah pohon yang teduh.  Tatapan matanya tiba-tiba terpaku pada sesosok manusia yang berada  sekitar 100 meter di depannya. Orang itu berjalan ke arahnya dan berlalu  begitu saja dari hadapannya. Adel tak bisa mengalihkan pandangannya  hingga orang itu menghilang di balik pintu salah satu gedung fakultas.
“Woi..!!” seorang teman Adel, Desty, datang mengagetkan. “Lagi ngeliatin siapa sih, kok sampai melotot gitu?” tambahnya.
“Kamu liat cowok yang barusan masuk gedung itu gak? Yang lewat di  depanku barusan?” tanyaku. Desty menggeleng bingung. Adel mendesah  lemas. Dia terduduk.
“Emang siapa sih?” Tanya Desty.
“Aku gak tahu, tapi dia mirip banget sama kakakku yang udah meninggal, kembarannya kak David.” Jawab Adel.
“Cuma mirip kan?”
“Mirip banget, nyaris gak ada bedanya. Aku seperti melihat kakakku.” Adel mencoba meyakinkan sahabatnya.
“Mungkin kak David emang ke sini.”
“Mana mungkin, dia di Bogor sekarang. Lagian aku masih bisa membedakan mereka meski mereka kembar.”
“Sudahlah, mungkin kamu cuma kangen sama kakak kamu, jadi ada orang yang  mirip dikit aja kamu kira itu dia.” Desty mencoba menenangkan. Adel  diam saja. “Sudah, kita ada kelas bentar lagi. Yuk?!” ajak Desty. Adel  menurut.

Malam harinya Adel ngoceh di depan mic untuk menyapa pendengar setia  radio tempatnya bekerja sebagai announcer. Adel membawakan catatan  sayang bersama partner gilanya, Yoga.
“Kamu tahu gak sih, Del, tiap kali aku bawakan acara ini bareng kamu,  aku merasa ada sesuatu yang masuk dalam tubuh kita.” Kata Yoga selesai  siaran.
“Kok bisa?” sambung Adel.
“Iya, biasanya kan kita becanda terus kayak orang gila, tapi giliran  acara catatan sayang  kita jadi seperti orang yang dewasa banget.”
“Enak aja kita kayak orang gila. Bukan kita, tapi kamu. Eh, tapi bener juga ya?!?!”
“Coba kita bisa kayak gitu terus.”
“Ye… gak asyik dunk..!! Ada saat orang itu harus jadi bijaksana and  dewasa, tapi biar gak stress kita juga harus sering ketawa and becanda.”
“Ini sisanya yang tadi ya?” ejek Yoga, Adel melotot dan Yoga hanya cengar-cengir.
“Kamu anterin aku pulang kan?”
“Iya, tapi aku ke belakang dulu ya.”
“Oke, aku tunggu di loby.”
Ponsel Adel tiba-tiba berbunyi. Satu pesan diterima. Adel mendengus saat tahu siapa yang mengirim sms itu.
“Kamu kenapa?” tegur Yoga yang tiba-tiba muncul.
“Ada orang iseng.”
“Gangguin kamu?”
“Awalnya dia bilang dia seneng denger aku siaran, tapi lama-lama dia jadi sering sms aku dan isinya cuma basa-basi aja.”
“Mungkin dia suka sama kamu.”
“Ketemu aja belom pernah.”
“Lho, jatuh cinta kan gak harus bertemu secara fisik. Ikuti kata hati aja.” Kata Yoga.
“Sisa yang tadi?” ejek Adel.
“Sialan! Udah ah, udah malam.”
Pesan dari orang yang sok misterius itu datang lagi beberapa saat  setelah Adel masuk ke kamarnya. “Kenalilah aku lebih jauh. Aku gak  pernah punya niat buruk sama kamu. Aku cuma pengen jadi sahabat kamu.”  Berkali-kali Adel membaca tulisan itu. Hatinya bimbang. Di satu sisi dia  ingin tahu siapa orang itu, tapi di sisi lain dia membenarkan kata-kata  Yoga. Untuk menjalin hubungan dengan seseorang kita gak harus bertemu  dengan dia. Setengah hati Adel mengetik balasan untuk orang yang mengaku  bernama Ega itu. “Maaf, aku gak bermaksud menuduh kamu punya niat  buruk. Makasih ya, aku juga akan nyoba untuk jadi sahabat kamu.”
“Makasih. Sudah malam, buruan tidur. Moga mimpi indah.” Ega membalas lagi. Adel tersenyum yang entah berarti apa.

Lama-kelamaan Adel mulai terbiasa dengan sosok misterius Ega dan lama-kelamaan juga Adel merasa nyaman bicara dengan Ega.
“Kamu kenapa, Del?” Tanya Yoga sore itu ketika keduanya sedang menunggu  giliran siaran. Adel menggeleng, wajahnya terlihat pucat. “Gimana kabar  orang yang suka sms kamu itu?”
“Baik, kami bersahabat sekarang. Dia orang yang menyenangkan.”
“Dan kamu mulai jatuh cinta sama dia?!” tebak Yoga.
“Jatuh cinta?!” Adel bergumam sendiri. Tiba-tiba ponsel Adel berbunyi.  Satu pesan diterima. Dari Ega. “Jangan murung. Aku gak bisa lihat kamu  sedih.” Adel tertegun membaca sms itu. Tiba-tiba dia bangkit dan  melongokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tapi tak ada orang asing di  sekitar sana, lagipula mana mungkin ada orang asing yang bisa masuk ke  ruang khusus pegawai ini. Adel menuju jendela, tapi tak ada orang yang  mencurigakan di luar sana.
“Kamu ngapain sih?” Tanya Yoga yang bingung dengan tingkah Adel.
“Dia ada di sekitar sini.”
“Siapa?”
“Ega, orang yang sering sms aku itu. Dia ada di sekitar sini.”
“Kok bisa?” Yoga jadi tambah bingung. Adel menunjukkan sms di ponselnya.
“Mungkin gak ya, si Ega ini orang kantor sini?” Adel menebak-nebak.
“Karena dia tahu kamu lagi kusut?” Yoga balik bertanya. Adel mengangguk.
“Mungkin gak ya?!” Tanya Adel lagi, Yoga hanya mengangkat bahu.
“Woi, giliran kalian siaran nih! Cepet siap-siap!” tegur si station  manager. Mereka berdua segera mempersiapkan diri. Adel terpaksa menunda  rasa penasarannya tentang sosok misterius itu. Jam sudah menunjukkan  pukul 22.00 saat Adel dan Yoga keluar dari ruang siaran. Mereka  bersiap-siap pulang.
“Aku ambil motor dulu, kamu tunggu di depan ya?!” kata Yoga, Adel  mengiyakan. Beberapa menit kemudian Yoga datang dengan motornya. Adel  beranjak berdiri, tapi tiba-tiba dia terjatuh. Kakinya terasa sangat  lemah. Dengan sigap Yoga turun dari motor dan berlari ke arahnya.
“Kenapa, Del?” tanyanya sambil melepas helm.
“Gak tahu.” Jawab Adel sambil memegang kakinya. Yoga membantunya duduk dan memeriksa kaki Adel.
“Rasanya gimana?” Tanya Yoga.
“Seperti kram.”
“Perlu ke rumah sakit?” Tanya Yoga lagi sambil membantu Adel memijat kakinya. Adel menggeleng.
“Antar aku pulang aja.” Katanya.
“Gak papa naik motor?” Yoga meyakinkan. Adel mengangguk sambil menahan  sakit. Yoga memapah Adel ke motornya dan secepat mungkin melajukan  motornya.
“Kakinya tiba-tiba sakit, tolong nanti dibantu ya.” Pesan Yoga pada Nia,  salah satu anak kost yang paling dekat dengan Adel. Nia mengangguk  mengiyakan. “Del, aku pamit pulang ya. Jangan lupa istirahat.” Pamit  Yoga sebelum pergi.
“Makasih, Ga.” Sahut Adel.
Nia mengambilkan air hangat untuk membasuh kaki Adel. Setelah merasa lebih baik, Adel melaksanakan sholat isya’.
“Perlu dibasuh air hangat lagi, Del?” Tanya Nia.
“Gak usah, sudah jauh lebih baik kok.” Jawab Adel sambil menggeleng, “Makasih ya.”
“Sama-sama. Aku masuk kamar ya. Kalo kamu butuh sesuatu, kamu teriak  aja.” Pesan Nia sebelum masuk ke kamarnya. Adel tersenyum. beberapa saat  kemudian ponsel Adel berbunyi. Satu pesan diterima. Dari Ega, “Malam  Adel, lagi ngapain?! Kamu baik-baik saja kan?” Adel mengerutkan  keningnya, heran. Dibalas juga sms itu.
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kabarku?” selidiknya.
“Perasaanku gak enak, aku takut terjadi apa-apa sama kamu. Apa sesuatu yang buruk telah terjadi?”
“Aku gak papa. Cuma tadi pulang siaran tiba-tiba kakiku sakit.”
“Kenapa?”
“Gak tahu. Mungkin karena terlalu lelah.”
“Ya sudah, istirahat ya. Semoga cepet sembuh dan besok bisa beraktifitas seperti biasa.”
“Iya. Makasih.”
Adel menghembuskan napas berat. Dia masih penasaran, bagaimana Ega bisa  tahu kalo sebelum siaran tadi dia sempat melamun sedih. Lalu yang baru  saja terjadi, benarkah dia bilang seperti itu karena merasakan firasat  yang tidak enak. Pikiran-pikiran tentang Ega akhirnya membuat Adel  terlelap.

Keesokan harinya Adel merasa lebih baik. Rasa sakit semalam tak bersisa  sama sekali. Adel mulai berpikir ada yang gak beres dengan salah satu  bagian tubuhnya itu. Beberapa bulan terakhir ini kakinya sering sekali  merasakan rasa sakit seperti yang dirasakannya semalam. Kadang bisa  sampai berhari-hari, kadang hanya sesaat. Selain itu Adel sering kali  merasakan nyeri di ulu hatinya dan sesak napas. Ayah Adel pernah bilang  kalo rasa sakit itu datang karena Adel kurang berolahraga. Awalnya Adel  menurut kata ayahnya untuk rajin olahraga. Rasa sakit itu memang  berkurang frekuensinya, tapi tidak bisa hilang sama sekali dan sekarang  justru terasa semakin sakit. Bahkan setiap pagi Adel harus selalu  menarik napas panjang dan menekan ulu hatinya kuat-kuat saat menaiki  tangga menuju ruang kuliahnya di lantai 3 atau 4. Selain itu kakinya  selalu terasa sangat berat dan sakit. Adel sudah pernah ke dokter untuk  mencari tahu apa yang terjadi dengan kakinya, tapi dokter hanya memberi  obat yang tidak sama sekali tidak berpengaruh pada rasa sakitnya.
Siang itu Adel mengajak Desty ke perpustakaan kampus untuk mencari bahan  tugasnya. Saat sedang sibuk mencari buku di antara rak-rak, tiba-tiba  Adel melihat sosok orang yang pernah dilihatnya beberapa bulan yang  lalu. Satu sosok yang sangat mirip dengan kakaknya yang sudah meninggal  beberapa tahun yang lalu. Kali ini Adel tak mau kehilangan lagi, dia  harus membuktikan pada Desty dan pada dirinya sendiri bahwa orang itu  memang ada dan mirip dengan kakaknya. Orang itu berjalan masuk ke ruang  referensi skripsi. Adel menyusulnya, tapi saat Adel masuk Adel sudah  kehilangan jejaknya. Adel mencoba mencarinya di antara rak-rak, tapi dia  tak bisa menemukannya. Saat Adel sudah mulai putus asa, tiba-tiba dia  melihat orang itu berjalan ke pintu dan keluar ruangan. Adel bergegas  mengikutinya, tapi lagi-lagi orang itu sudah menghilang entah ke mana.  Adel terduduk di salah satu bangku. Pikirannya kacau, napasnya  terengah-engah dan dadanya terasa sesak. Adel mengedarkan pandangannya  lagi sambil mengatur napas. Dia begitu terkejut saat mendapati sosok  yang dicarinya tadi ada di salah satu rak di dekatnya. Baru saja Adel  berdiri dan mulai melangkah, seseorang menabraknya. Mau tak mau Adel  membantunya memunguti buku-buku yang berjatuhan. Adel tak sempat  menjawab saat orang itu mengucapkan maaf dan terima kasih karena dia tak  ingin kehilangan jejak lagi. Tapi terlambat. Sosok misterius itu sudah  tak ada di tempatnya. Adel mendesah gusar.
“Kamu kenapa?” Tanya Desty yang sudah berdiri di sampingnya.
“Aku melihatnya lagi.” Jawab Adel.
“Melihat apa?”
“Orang yang mirip kakakku.”
“Mana?” Desty mencari-cari.
“Itu dia, aku gak sempat mengejarnya.”
“Kok bisa?”
“Eh, itu dia.” Seru Adel dan langsung berlari ke arah orang itu. Adel merasa menang saat dia bisa menyentuh bahu orang itu.
“Maaf, ada apa ya?!” Tanya orang itu bingung. Adel mendongakkan  kepalanya dan tak habis pikir karena orang itu sangat jauh berbeda  dengan almarhum kakaknya. Adel mengamatinya sekali lagi, mulai dari  ujung kaki sampai ujung rambut. Sama sekali tak ada kemiripan dengan  almarhum kakaknya. Hanya baju yang dipakainya sama dengan baju orang  yang sedari tadi dikejarnya.
“Oh maaf, aku salah orang.” Kata Adel akhirnya. Secepat mungkin Adel  menarik tangan Desty untuk keluar dari ruangan itu. Mereka duduk di  salah satu bangku di depan gedung perpustakaan. Adel masih mencoba  mengatur napasnya, mencoba melonggarkan paru-parunya yang terasa sesak.  Dia termenung, dia benar-benar tak habis pikir. Desty hanya diam,  membiarkan sahabatnya itu menenangkan diri sambil sesekali menepuk-nepuk  bahu Adel.
“Gimana kaki kamu?” Tanya Yoga yang tiba-tiba datang dan duduk di samping Adel.
“Udah gak sakit lagi kok.” Jawab Adel.
“Muka kamu kok pucat, kamu gak papa?”
“Dia tadi lihat orang yang menurutnya mirip sama almarhum kakaknya, tapi ternyata dia salah.” Jelas Desty.
“Mungkin kamu cuma kangen.” Komentar Yoga. “Eh, kalian masih ada kuliah  lagi?” lanjut Yoga, kedua gadis itu menggeleng. “Kita makan, yuk?!”
“Kamu yang traktir?” canda Desty.
“Boleh.” Sahut Yoga. Mereka bertiga berjalan beriringan ke kantin.  Namun, baru beberapa langkah Adel terjatuh. Dia mengaduh sambil menekan  pergelangan kakinya. “Sakit lagi.” Katanya meringis.
“Kita bawa dia ke klinik kampus.” Usul Desty. Yoga mengiyakan. Mereka  memapah Adel menuju klinik. Beberapa saat kemudian mereka sudah  mendapatkan hasil pemeriksaan. Dokter memberikan beberapa obat  antibiotik dan sebuah surat rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut ke  rumah sakit.

Beberapa minggu kemudian.
Malam itu Adel dan Yoga bercanda sambil menunggu giliran siaran.
“Eh, kamu udah ke rumah sakit buat periksa kaki kamu?” Tanya Yoga.
“Belum. Udah gak sakit lagi kok.”
“Wah, berarti obat dari klinik kita manjur dunk?!” sahut Yoga. Adel  hanya tersenyum karena sebenarnya dia berhenti minum obat itu karena  obat itu sama sekali tak mengurangi rasa sakit yang sebenarnya masih dan  semakin sering terasa akhir-akhir ini.
“Trus gimana kabar Ega?” sambung Yoga.
“Baik. Aku merasa nyaman sama dia dan aku udah gak peduli lagi dia siapa  dan di mana karena tanpa aku ketemu dia, aku tetap bisa merasakan  kehadirannya.”
“Jatuh cinta beneran?” sindir Yoga. Adel senyam-senyum.
“Woi, it’s your time!” teriak si SM memanggil keduanya.
“Oke! We are coming!” seru Adel sambil menghambur ke ruang siaran. Yoga  mengamati tubuh Adel hingga menghilang di balik pintu. Ditariknya napas  panjang dan dihembuskannya perlahan. Terdengar sangat berat.
“Woi, malah ngelamun!” seru Adel memaksa Yoga mengembalikan suasana hatinya agar bisa bekerja dengan baik.
“Ga, besok bisa antar aku ke terminal gak?” Tanya Adel ketika Yoga mengantarnya pulang selesai siaran.
“Mau pulang kampung?”
“Iya. Bisa gak?”
“Jam berapa?”
“Terserah kamu bisanya jam berapa, tapi kalo bisa jangan terlalu sore.”
“Ya udah, besok selesai kuliah jam 10 aku jemput kamu. Emang kamu udah izin cuti di radio? Trus kuliah kamu gimana?”
“Aku udah ngomong ma pak SM tadi dan kebetulan kuliahku lagi banyak yang kosong. Kesempatan bisa di ruma lebih lama.”
“Ya udah.”
“Makasih ya.”
“Oke! Aku pulang dulu.”
Adel merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Sudah pulang siaran?” satu pesan tertampil di layar ponsel Adel, dari Ega.
“Sudah. Ga, aku merasa bersalah sama Yoga karena aku bohong sama dia.” Balas Adel.
“Bohong tentang apa dan kenapa?”
“Tentang rasa sakit di kakiku. Aku bilang aku sudah gak merasakannya lagi. Aku gak pengen buat dia khawatir.”
“Ya sudahlah. Suatu saat dia pasti bisa ngerti.”
“Yah, semoga aja dia gak akan marah sama aku. Ga, besok aku pulang ke  rumah orang tuaku. Ayahku minta aku pulang biar bisa nemenin aku periksa  kakiku. Doakan gak akan ada apa-apa ya.”
“Pasti. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Kamu percaya kan aku  akan selalu ada buat kamu meskipun aku gak bisa hadir di samping kamu?”
“Iya, aku percaya. Makasih, Ga. Kadang aku merasa kamu seperti Yoga yang  selalu memperhatikan aku.” Di seberang sana Ega hanya tersenyum membaca  sms Adel. Keduanya menerawang menatap langit dan bergulat dengan  pikirannya sendiri hingga terlelap.

Malam itu Adel termenung sendiri di kamarnya. Dari matanya mengalir  butiran bening. Setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan, akhirnya  hari ini dia mendapatkan hasilnya dan hatinya seperti dicabik-cabik saat  tahu bahwa rasa sakit di kakinya selama ini karena kanker. Yah,  osteosarkoma. Kanker tulang. Stadium 3.
“Kanker itu sudah mulai merambat ke organ-organ dalam. Seandainya  diketahui lebih dini, penyebarannya bisa dihambat dengan amputasi pada  asal bibit kanker itu tumbuh. Rasa sakit pada ulu hati dan sesak pada  paru-paru yang Adel alami selama ini tidak lain adalah karena infeksi  kanker tersebut. Tidak ada jalan lain lagi. Kami hanya bisa memberikan  obat pengurang rasa sakit. Sudah tidak ada harapan untuk sembuh, tapi  jangan berkecil hati. Keajaiban bisa datang kepada siapa saja. Tetap  jaga kondisi dan jangan terlalu lelah.” Kata-kata dokter siang tadi  masih terekam dengan jelas di kepala Adel. Adel merasa hidupnya sudah  hancur.
Ponselnya berdering. Nama Yoga tertampil di layar. Adel enggan menjawab  telfon itu. Dia meletakkan ponsel itu begitu saja, tapi Yoga pun tak  langsung patah semangat. Adel terus membiarkannya hingga akhirnya ponsel  itu berhenti berdering.
“Apa yang kamu inginkan sekarang?” Tanya ayah Adel keesokan harinya.
“Adel ingin menyelesaikan kuliah, ingin tetap jadi penyiar radio.” Jawab  Adel. Sang ibu memeluk buah hatinya dengan sangat sayang.
“Kamu yakin kamu kuat?! Ayah tidak keberatan kalo kamu berhenti kuliah  kalo itu bisa membuat kamu merasa lebih tenang.” Kata ayah. “Jangan  memaksakan diri.”
“Adel gak ingin sisa hidup Adel jadi sia-sia.” Air mata Adel meleleh lagi.
“Ya sudah, tapi kamu jangan tinggal di kost lagi. Ayah akan mengontrak  sebuah rumah. Biar kakak kamu bisa tinggal serumah dan menjaga kamu.”

Seminggu kemudian Adel mulai menjalani harinya seperti biasa dan dia  menurut untuk tinggal di rumah kontrak bersama kakaknya. Adel sudah  menceritakan semuanya pada Ega dan hanya Ega yang tahu tentang  penyakitnya itu. Adel sudah bertekad untuk bersikap seperti biasa. Dia  tak ingin orang lain, terutama Yoga dan Desty tahu tentang penyakitnya  itu. Semua itu hanya karena Adel tak ingin mereka mengkhawatirkan  dirinya. Adel tak ingin menyusahkan orang lain.
Sore itu Adel diantar kakaknya ke tempat kerjanya untuk minta pindah jam  siaran. Bersyukur sekali si SM itu baik hati. Dia mengizinkan Adel  memegang acara request line dengan jam on line mulai pukul 19.00-21.00.  Sayangnya Adel gak selalu bisa siaran bareng Yoga. Sore itu juga Adel  bertemu Yoga.
“Hei, kapan balik?” sapa Yoga.
“Kemarin siang. Ga, aku pindah jam siaran. Aku pegang request line sekarang.”
“Kenapa?”
“Gak papa. Cuma biar lebih santai aja, kan juga gak terlalu malam.”
“Yah…gak bisa siaran bareng lagi donk. Aku kan cuma sesekali aja pegang acara itu.”
“Kamu ini kaya’ anak kecil aja. Kita kan masih bisa ketemu. Kamu takut kangen sama aku ya?!” canda Adel, Yoga mencibir.
“Mulai kapan siarannya?”
“Besok.”
“Ya udah, besok kalo bisa aku temani. Sekarang kamu mau ke mana?”
“Pulang.”
“Perlu di antar?”
“Gak usah, aku sama kakakku.”
“Lho, sejak kapan dia di sini?”
“Kemarin dia datang bareng aku. Kita ngontrak rumah sekarang. Kapan-kapan main ya.”
“Oke. Salam buat kakak kamu.”
Keduanya menghembuskan napas berat saat berpisah. Mereka seperti memikul beban yang sangat berat.

Beberapa bulan berlalu. Adel masih rapi menutupi penyakitnya dari dua  orang yang sangat disayanginya. Bahkan Adel masih bisa beralasan pulang  karena ada kepentingan di rumahnya saat Yoga wisuda. Padahal saat itu  dia sedang terbaring lemah di rumah sakit. Sementara itu ada Ega yang  selalu ada untuknya. Hanya Ega yang tahu apa yang sebenarnya terjadi  pada Adel, termasuk sudah berapa kali Adel harus masuk rumah sakit  karena tiba-tiba pingsan.
Waktu terus berlalu dan Adel masih terus berjuang melawan penyakitnya  dan menutupinya dari Desty dan Yoga. Hati Adel terasa semakin perih saat  Yoga semakin memperhatikannya walau sebenarnya dia tak tahu apa yang  terjadi pada Adel. Kadang Adel merasa enggan untuk meninggalkan dunia  ini. Dia tak ingin meninggalkan Yoga. Yah, semakin lama Adel semakin  sadar kalo Yoga bukan sekedar sahabat dan partner siarannya, tapi Adel  menyayangi Yoga lebih dari itu. Berkali-kali Ega menyarankan Adel  mengungkapkan perasaannya, tapi Adel selalu menolak dan dia pun tak  ingin Yoga menyatakan perasaan yang sama. Bagi Adel hal itu hanya akan  menambah rasa sakitnya dan bersyukurlah dia karena Yoga memang tak  pernah mengatakannya walau sebenarnya Yoga pun memendam perasaan  padanya. Tak ada yang tahu kenapa Yoga hanya menyimpan perasaan itu  seorang diri.
Saat yang dinanti Adel akhirnya tiba juga. Setelah berjuang demi  menyeselaikan skripsi, akhirnya dia lulus juga. Orang tua Adel merasa  sangat bangga pada putri bungsunya itu. Tak peduli seganas apa penyakit  itu, Adel bisa mencapai targetnya untuk lulus tepat waktu. Tepat waktu  masa studi dan tepat waktu sebelum dia harus menghembuskan napas  terakhirnya. Sehari setelah dia mengenakan toga kebanggaannya, Adel  harus masuk rumah sakit lagi. Kali ini benar-benar sudah parah,  kankernya sudah sampai satadium 4. Secepat mungkin Adel dipindahkan ke  rumah sakit yang sedari awal mengetahui sejarah penyakitnya. Dengan  kondisi sangat lemah, Adel dibawa pulang ke kampung halamannya.
“Hanya menunggu waktu saja, Pak.” Kata dokter yang merawat Adel.  “Perkiraan kami kurang lebih 2 sampai 3 bulan lagi, tapi hanya Tuhan  yang menentukan.” Tambahnya. Orang tua Adel harus bersiap menerima  kenyataan akan kehilangan anak mereka untuk yang kedua kalinya.
“Ibu benar-benar menyesal tidak menuruti saran dokter untuk memeriksakan  kamu dari dulu. Ibu percaya pada kata-kata orang tua yang menyebutkan  tidak mungkin ada lebih dari satu orang anak ibu yang mengidap penyakit  yang sama.” Ibu Adel bicara sambil terisak.
“Maksud ibu apa?” Tanya Adel bingung.
“Penyakit itu adalah penyakit keturunan dari kakek buyut kamu. Beberapa  tahun yang lalu, kak Davin meninggal karena penyakit yang sama. Kami  pikir karena Davin dan David kembar, mungkin David juga mengidap  penyakit yang sama. Ternyata David baik-baik saja. Orang-orang tua kami  bilang gak mungkin ada dua anak kami mengidap penyakit yang sama, tapi  ternyata penyakit itu juga menyerang kamu. Maafkan kami, sayang.” Jelas  ayah. Adel meneteskan air mata lagi.
“Sudahlah, semua sudah digariskan-Nya. Hidup mati kita, Dia yang  menetukan. Ayah dan ibu pernah ajarkan itu kan?” jawab Adel sambil  tersenyum, “Adel gak pernah menyalahkan siapa-siapa kok.” Lanjutnya.  Adel kemudian menceritakan pengalamannya melihat almarhum kakaknya,  Davin, di kampus. Ibu semakin terisak mendengarnya.
Permintaan Adel untuk pulang akhirnya dikabulkan oleh dokter dengan syarat Adel harus istirahat ekstra.

Malam itu, lewat tengah malam Adel terjaga karena mimpi buruk. Dia  mengirim sms pada Ega. “Ega, mungkin aku gak akan lama lagi menghirup  udara di bumi ini. Sebenarnya aku gak ingin meninggalkan Yoga. Aku  takut, Ga.”
“Adel jangan nangis. Aku ataupun Yoga gak akan mampu melihat kamu  menangis. Jangan pesimis, kamu harus berjuang. Kami semua menyayangi  kamu.”
“Aku sudah lelah berjuang, Ga. Aku capek. Ga, sebelum aku pergi aku pengen ketemu kamu.”
“Untuk apa?”
“Aku ingin berterima kasih sama kamu. Aku pengen melihat kamu.”
Lama sekali tak ada balasan dari Ega. Tiba-tiba ponsel Adel berdering.  Bukan balasan sms, tapi telfon dari Yoga. Ragu-ragu Adel menekan tombol  answer.
“Belum tidur, Del?” Tanya Yoga dari seberang.
“Belum. Kamu sendiri kok belum tidur, kenapa?”
“Gak tahu nih, mataku gak bisa diajak kompromi. Kamu kenapa?”
“Tadi udah tidur, tapi tiba-tiba bangun trus gak bisa tidur lagi. Eh, radio apa kabar?”
“Sepi gak ada kamu. Mentang-mentang udah jadi sarjana, udah gak mau siaran lagi.”
“Ye…”
Mereka berbincang dan bercanda seperti biasanya hingga adzan subuh  terdengar. Keesokan harinya kondisi Adel memburuk, dia harus menginap di  rumah sakit lagi.
“Kak David, nanti kalo ada sms dari Ega yang tanya alamat rumah sakit  atau alamat rumah, tolong dibalas ya.” Pesan Adel pada kakaknya sebelum  dia pingsan dan akhirnya koma. Benar saja, siang itu Ega menanyakan  alamat Adel dan David membalasnya.
“Bagaimana keadaan Adel?” seseorang tiba-tiba mengagetkan David yang sedang duduk di depan ruangan ICU.
“Yoga?! Ngapain kamu di sini?” David balik bertanya.
“Aku ingin melihat Adel.”
“Bagaimana kamu bisa tahu kami ada di sini?”
“Dari alamat yang kamu berikan pada Ega.” Yoga duduk di samping David.
“Kamu kenal Ega?”
“Sangat.”
“Lalu di mana dia sekarang?”
“Ega dan aku adalah orang yang sama.”
“Jadi selama ini…?!”
“Iya. Aku ingin melindungi dan memperhatikan dia tanpa dia harus tahu siapa aku.”
“Kenapa?”
“Karena Adel tak pernah ingin ada orang yang tersakiti karenanya. Selama  ini dia selalu menutupi penyakitnya dari Yoga dan Desty hanya karena  dia tak ingin dikhawatirkan. Adel gak ingin menerima perhatian lebih  dari Yoga karena itu hanya akan membuatnya lebih sakit karena dia tak  mungkin bisa bertahan lama. Itu sebabnya aku terus bertahan menjadi Ega.  Hanya dengan itu aku bisa melindunginya dan menjaganya. Dia percaya  pada Ega. Semalam dia bilang ingin bertemu dengan Ega dan saat itu juga  aku memutuskan untuk datang dan mengaku padanya. Aku ingin dia tahu Yoga  gak keberatan kalo harus tersakiti. Yoga ataupun Ega hanya ingin  menjaganya.” Jelas Yoga. Keduanya terdiam untuk beberapa saat.
“Pagi tadi kondisinya memburuk. Dia pingsan dan sekarang dia koma. Kamu  bisa masuk kalo kamu ingin melihatnya.” Kata David. Yoga segera beranjak  dari tempatnya dan masuk ke dalam. Adel terlihat sangat kurus dan  pucat.
“Maafkan aku, Del. Mungkin aku telah menempuh cara yang salah, tapi  sungguh. Aku hanya mencari cara agar aku bisa memperhatikan kamu. Agar  aku bisa menjadi orang yang bisa kamu percaya hingga kamu gak pernah  ragu untuk menceritakan semuanya hanya karena kamu gak ingin menyakiti  aku. Aku sayang kamu, Del.” Mata Yoga mulai basah. Tak lama berselang  orang tua Adel masuk bersama David. Mereka tersenyum melihat Yoga.
“Gak ada satu pun dari kita yang ingin dia pergi, tapi kita gak bisa  berbuat apa-apa.” Kata David disusul dengan bunyi melengking dari  osiloskop yang menampilkan garis lurus. Senyuman kecil menghiasi wajah  pucat Adel yang mulai mendingin. Mereka semua tersenyum dalam tangis  kehilangan.

Merinduimu

Apa kamu tau, aku sering kali berusaha mencari tempat berteduh saat  hujan mengguyurku. Aku takut aku akan mati karena hujan itu, karena aku  tau sistem imunku tak selamanya dalam keadaan baik. Terlalu sering sakit  tentu bisa membuat kita mati, bukan? Dan mungkin kamu   pun tak tau,  aku terlalu takut untuk itu.

Dan aku berteduh di bawah bayangmu, sekuat hati mencari rasa aman dan  nyaman di sana. Dan ketika itu, aku semakin merinduimu. Rindu yang  semakin menggunung hingga akhirnya mungkin akan menutupi duniaku. Aku  tau, aku hanya seorang bodoh yang bertahan dengan kerinduanku pada  bayangmu.

Tapi kenapa aku harus merinduimu, padahal bayangmu begitu lekat dalam  pikiranku? Tak ada yang tau kenapa rasaku begini, bahkan aku sendiri tak  mengerti. Aku hanya tau, aku merinduimu, aku mau kamu. Lalu aku sadar,  siapa aku ini, betapa tak berhaknya aku punya rasa ini. Betapa aku tak  patut merindui kamu yang nyatanya hanya berupa bayang-bayang yang  terlalu lekat dalam pikiranku.

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates