12.8.11

Si Ego

Semua orang ingin dimengerti. Semua orang butuh dimengerti. Sama seperti mereka menginginkan dan membutuhkan adanya pengakuan.

Eksistensi. Semua orang ingin dan butuh diterima oleh orang-orang di sekitarnya.

Tak ada orang yang tanpa ego. Kadang kala ego itu menguasai diri begitu kejam. Memaksa ditempatkan di singgasana tertinggi. Menjaga harga.

Dan tak ada yang pernah benar-benar bisa "menerima" orang lain sepenuhnya. Sama seperti diri kita yang tak bisa secara mutlak diterima oleh orang lain. Setiap orang butuh adaptasi. Butuh penyesuaian.

Proses menerima adalah proses yang panjang. Bahkan mungkin seluruh hidup kita tak ada cukup untuk menuntaskan proses ini. Proses dengan kesabaran tak berbatas, namun bercelah.

Suatu kala, seseorang akan dipaksa untuk menerima. Dipaksa untuk bisa beradaptasi dengan sempurna. Mau tak mau. Suka tak suka. Sudi tak sudi.

Suatu ketika, seseorang harus memaksa turun sang ego dari kursi kejayaannya. Memaksa ego mengalah. Membiarkan penerimaan mengambil alih tugas dan singgasananya.

Bukan karena tak peduli dengan harga. Bukan karena tak ada lagi harga yang bisa dipertahankan. Justru semua untuk harga.

Harga sebagai manusia dewasa yang paham bagaimana harus membawa diri. Mengerti bagaimana harus mengambil sikap. Sadar bahwa ada kalanya ego harus mengalah.

Karena kita tidak melangkah di awang-awang, tidak juga di air. Kita melangkah di atas pasir, menjejak runtun selaras dengan jalan takdir yang sudah terpatri.

3.8.11

#10

“Aku ingin menangis.”

Lirih suaraku berbisik pada angin lalu. Angin menjawab lewat desaunya. Mengayun pucuk-pucuk cemara. Aku tak menahannya lagi. Kubiarkan air mataku tumpah seperti air bah. Lepas. Berhambur.

Sudah sebulan lamanya aku menahan galau ini. Membiarkannya bersemayam di lubuk hati. Membangun pagar untuk menghalangi tumpahnya air bah ini. Beban menahun itu terasa begitu berat sebulan terakhir.

Tiba-tiba saja aku merasa bisa melihatnya di mana-mana. Di jalanan yang macet. Di taman yang penuh keceriaan. Di heningnya malam. Di teriknya siang. Di sela desau angin. Di antara butir-butir hujan. Di jingganya senja. Aku melihatnya di mana-mana.

Aku tahu ini rindu. Rindu yang terajut layaknya detik-detik terangkai waktu menjadi tahun. Rindu tak bertepi seperti langit yang tak berbatas. Rindu menghangatkan seperti senja jingga yang merangkum hangat sinarnya.

Ah, bahkan mungkin kau pun tak pernah tahu adanya rindu yang mengakar ini. Jika kau tahu, tak mungkin kau menghilang begitu saja bertahun-tahun lamanya. Meninggalkanku bersama senja yang selalu bisa menghangatkan rindu ini dengan sinarnya.

Apa kau ingat, beberapa menit sebelum kau benar-benar pergi, kau pernah berkata senja adalah tempat rindu tertaut? Senja di sini dan senja di kotamu akan selalu terlihat sama. Tercipta oleh surya yang sama. Jingga yang sama. Hangat yang sama.

Karena itulah aku di sini sekarang. Diam menatap senja saat rindu ini tak lagi bisa terbendung. Saat aku tak mampu lagi menahan galau ini. Ya, aku hanya bisa begini setiap kali rindu ini meledak.

Menatap jingga yang hangat. Tanpa isyarat kau akan datang. Tanpa warta yang bisa melegakan rasaku.

Apakah di sana kau juga masih suka menatap senja? Apakah senjamu masih sama? Apakah rasamu masih bersemayam dalam kalbumu?

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates