“Galih,” begitu ia memperkenalkan dirinya. Menyebutkan nama sambil
menyalami satu per satu orang yang ada
di basecamp.
Dia
adalah orang baru dalam tim backpacker-ku.
Akbar yang membawanya karena dia punya
hobi yang sama dengan kami. Tak ada yang istimewa. Tak ada rasa tertarik. Tak
ada getar terasa dalam jabat tangan ataupun tatapan mata. Pertemuan yang biasa
saja.
Galih
orang yang menyenangkan. Meski sore itu adalah pertemuan pertamanya dengan
Jejak, tim backpacker-ku, tapi dia
sudah seperti orang lama. Dia pandai beradaptasi. Dia tak ragu berbagi
pengalamannya. Tak jenuh mendengar cerocos kami.
Siapapun akan langsung merasa akrab dengannya. Akrab seolah teman lama.
Itulah
pertama kali aku bertemu dengannya, lima tahun yang lalu. Ketika itu aku baru
18 tahun. Dia dua tahun lebih tua dariku. Aku baru kuliah dan ia masuk tahun keduanya di bangku kuliah.
Berlalunya
waktu membuat kami menjadi sahabat. Sebenarnya dia adalah sahabat semua orang,
tapi beberapa kesempatan telah lebih mendekatkan kami. Dia berbagi banyak hal
padaku tanpa sungkan. Aku bercerita apa saja dengannya tanpa ragu.
###
Kereta
api yang kutumpangi menghentikan laju ketika sampai di stasiun Tugu. Beberapa
orang yang tertidur seolah mendengar alarm. Masih setengah mengantuk, mereka yang
akan turun menyiapkan barang-barang bawaan. Aku termasuk dalam beberapa orang
yang mengantri turun. Kuseret koper hijauku menjauhi kerumunan. Berjalan ke
arah pasar terbesar di Jogja yang tak begitu jauh dari stasiun.
Pukul
09.00 wib. Masih pagi sekali ketika aku sampai di depan toko ini. Tulisan “close” di pintu kaca baru saja dibalik, bertepatan dengan
kedatanganku. Kini tulisan “open” sudah terpampang di sana,
tanda bahwa calon pembeli sudah boleh masuk dan mencari-cari tas atau koper
yang berjodoh dengannya.
Aku
berdiri di depan toko itu. Tepat di depan beberapa barang dagangan dipajang.
Ada dua koper yang sedang dipamerkan di kotak kaca berbentuk persegi panjang
itu. Dua tas ransel dan satu tas gunung. Sebuah manekin laki-laki berdandan sporty duduk, manekin yang perempuan
juga berdandan sport tapi tetap
modis, tangannya seperti sedang menyeret pegangan koper.
###
“Ngapain
kamu berdiri di sini? Pengen jadi kayak
mereka?” telunjuknya menunjuk manekin di balik kaca.
Aku
tak menyahut. Dia ngakak sambil memegangi perut. Tawa itu mereda ketika aku tak
beringsut marah seperti biasanya ketika dia meledekku. Dari sudut mata aku
melihatnya mencoba mengikuti arah pandangku. Sebuah koper berwarna hijau tua.
Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Ukurannya sedang, mungkin M dari
skala SML.
“Bagus
ya,” aku bergumam.
“Koper
ini?” Aku mengangguk. “Buat apa?”
“Buat
naruh barang bawaan dong, masa buat kandang kucing?” sedikit sewot aku menyahut. Dia tergelak lagi.
“Masa
backpacker-an mau bawa koper? Ribet,
Non! Backpacker itu ya bawanya tas
ransel, kalo nggak muat bawa tas gunung,”
dia terus tergelak.
Kali
ini aku bersungut. Aku melangkah pergi meninggalkannya yang masih tergelak
sambil menahan kram perut. Apa salahnya backpacker bawa koper? Lagian aturan
dari mana kalo backpacker harus
selalu bawa tas ransel atau tas gunung? Dasar orang aneh!
Jejak
sedang traveling ke Jogja,
mengunjungi beberapa tempat peninggalan kerajaan. Keraton salah satunya. Di
tengah kunjungan ke keraton, aku merengek minta mampir ke Malioboro. Dan
jadilah malam itu kami menghabiskan waktu berjalan-jalan di Malioboro. Hingga
aku bertemu dengan koper itu. Hingga aku bertemu juga dengan dia.
“Galih!” seorang perempuan menyebut nama Galih. Kami yang sedang
menikmati kopi di Kali Code serentak memusatkan pandangan padanya.
Yang
dipanggil hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Perempuan berambut
panjang dengan dandanan feminin itu mendekat.
“Kok
kamu nggak bilang kalo lagi di Jogja?”
dia menyalami Galih.
“Nggak
kepikiran. Hehehe,” Galih cengengesan.
“Siapa,
Lih, kenalin dong!” celetuk Bonbon.
“Oiya,
kenalin ini Raya. Ray, ini temen-temen backpacker-ku
dari Surabaya,” perempuan itu menyalami kami satu
per satu sambil menebar senyum.
“Raya
siapanya Galih?” kali ini Gino yang iseng.
“Tunangannya,” gadis itu menjawab dengan suara halus.
“Wah,
kok kamu nggak bilang-bilang sih punya tunangan cakep?” Bonbon meninju bahu Galih pelan.
Galih
masih saja cengengesan. Tiba-tiba aku jadi merasa tak nyaman dengan suasana
ini. Rasa-rasanya aku ingin menyingkir saja dari sana, dari cowok-cowok yang
sibuk menggoda Raya. Aku jadi muak melihat wajah cengengesan Galih, seolah dia
memang sangat bangga memiliki tunangan yang nyaris sempurna. Iya, tunangan.
Entah, tiba-tiba saja aku benci dengan kata itu.
Itulah
pertama kalinya aku merasakan cemburu. Bahkan sebelum aku menyadari ada rasa
istimewa yang tumbuh untuk Galih. Malam itu, di tengah himpitan rasa tidak
nyaman karena kehadiran Raya, aku menyadari perasaanku. Aku menyayangi Galih.
Bukan sayang seorang sahabat. Bukan pula sayang adik pada kakaknya. Tapi sayang
perempuan pada laki-laki yang telah mengisi hari
dan hatinya.
Hari
itu tepat dua tahun sejak pertemuan kami. Tanggal hari itu adalah tanggal yang
sama dengan hari ketika dia datang ke basecamp
Jejak untuk pertama kalinya. Tanggal yang sama juga dengan hari ini, ketika aku
berdiri di depan etalase kaca, tempat barang dagangan dipajang. Tanggal 21
Agustus.
###
“Koper
yang merah kemarin mana ya?” seorang perempuan terdengar
menyeletuk.
“Kita
lihat ke dalam aja, siapa tahu memang sudah nggak dipajang lagi,” lelaki yang bersamanya menenangkan. Mereka berdua lalu
masuk ke dalam toko.
Aku
tersenyum tipis. Dialog itu juga pernah kuucapkan
dulu. Bedanya dulu aku seorang diri, tidak seperti pasangan ini. Dan sepertinya
mereka merasakan kekecewaan yang sama dengan yang kurasakan dua tahun yang
lalu. Koper yang diinginkan sudah terbeli oleh orang lain. Tapi, mungkin akan
ada sedikit perbedaan di sini. Dan anggaplah aku sedikit lebih mujur dari
perempuan itu.
###
Aku
benar-benar jatuh cinta pada koper hijau tua itu. Beberapa toko koper di
Surabaya kudatangi, tapi tak ada yang sama. Aku harus kembali ke Jogja untuk
mendapatkannya. Setelah beberapa bulan menabung, aku kembali ke toko itu.
Sendirian. Tak mungkin aku mengajak Galih. Dia pasti akan menertawaiku
habis-habisan. Mungkin sampai gulung-gulung di trotoar menahan kram perutnya.
Makanya kuputuskan untuk datang sendiri.
Sayangnya,
aku terlambat. Setengah jam yang lalu, pembelinya baru saja meninggalkan toko.
Begitu kata penjualnya sebelum menawariku koper yang lain, yang lalu kuabaikan.
Aku kembali ke Surabaya dengan tangan kosong.
“Dari
mana aja sih? Dari tadi aku nungguin kamu nih!”
Galih sudah bertengger di teras rumah ketika aku sampai.
“Baru
pulang dari Jogja,” kurebahkan tubuhku di kursi.
“Ke
Jogja? Ngapain? Sama siapa?”
“Mo
beli koper. Sendiri.”
“Trus
mana kopernya?”
“Udah
keburu dibeli orang,” kututup mata dan telinga, bersiap
dengan gelak tawa yang akan diluncurkannya.
“Kamu
ngapain?” samar kudengar dia bersuara.
Kupicingkan mata. Melirik.
“Taraaaaaaaa...!!” teriaknya, ada benda persegi panjang terlihat mataku.
“Wow..!!”
teriakanku tak
kalah kencang. Kuraih
benda itu. Aku yakin, mataku pasti berbinar-binar kini. Benda itu nyata di
depanku. Koper hijau tua itu bisa kusentuh dengan jemariku.
“Selamat
ulang tahun..!!” Galih menyusulkan ucapan selamat.
Spontan
aku memeluknya. Tak peduli dia gelagapan. Aku terus memeluknya dan berucap
terimakasih setulusnya. Galih memberikan koper yang benar-benar aku inginkan.
Dia memberikannya sebagai kado ulang tahun. Bagaimana aku bisa menyembunyikan
gembiraku? Bagaimana bisa hatiku tak berbunga-bunga?
“Eits,
jangan cuma makasih aja. Traktir makan dong!”
dia nyengir kuda saat pelukanku terlepas.
“Beres!
Kamu mau makan apa? Aku traktir sampai perutmu buncit!” kali ini aku yang tergelak.
Malam
itu kami pergi ke sebuah warung makan dengan menu sate ayam. Menu kesukaannya.
Dia menghabiskan hampir 50 tusuk sate malam itu. Perutnya benar-benar jadi
buncit!
Aku
hampir tak bisa tidur setelahnya. Koper itu kutaruh di atas tempat tidur, di
sampingku berbaring. Sesekali kupeluk dan sesekali itu pula aku tersenyum
sendiri. Kenapa dia membelikan koper ini untukku? Kenapa dia begitu perhatian?
Tiba-tiba saja aku jadi norak karena kege-eran. Aku benar-benar tak bisa tidur
malam itu. Sibuk memeluk koper. Sibuk senyum-senyum. Sibuk bertanya-tanya.
Sibuk menerka-nerka perasaannya.
Setengah tahun telah lewat sejak saat itu. Koper ini
menjadi barang paling istimewa buatku. Bukan saja karena aku suka, tapi juga
karena ini adalah hadiah ulang tahun darinya. Aku belum pernah memakainya,
karena memang tak ada agenda keluar kota enam bulan belakangan.
Galih akan diwisuda hari ini. Semua keluarga berkumpul,
teman-teman juga diundang untuk syukuran. Gadis itu juga
datang. Iya, Raya. Hari itu dia terlihat begitu anggun dan cantik dengan long dress merah marun. Dia terus-terusan saja menempel pada Galih. Membuatku sebal setengah mati. Kami makan bersama di sebuah rumah makan. Keluarganya,
teman-teman Jejak, dan Raya.
“Mumpung kita semua lagi ngumpul, saya mau mengumumkan
hal penting,” ayah Galih membuka pembicaraan sesaat setelah memesan makanan.
Kami yang semula saling bercanda kini hening. Semua mata terfokus pada lelaki
yang duduk di ujung meja itu.
“Karena Galih sudah lulus, sudah bekerja pula, maka dalam
jangka waktu dekat Galih dan Raya akan segera menikah.”
Ya Tuhan!
Duniaku terasa
gelap seketika. Ucapan selamat yang keluar dari mulut teman-temanku ini
menambah perih. Aku seperti dilempar ke dasar lautan. Kosong. Sendiri.
Kehabisan napas. Kulihat Galih dan Raya senyum-senyum menanggapi satu per satu
jabatan tangan. Ucapan selamat. Hancur sudah. Hilang sudah. Mati sudah.
Aku ingin lari sejauhnya. Aku ingin terbang setingginya.
Aku ingin menghilang saja. Aku tak betah di sini. Aku tak tahan dengan derai
tawa ini. Aku sakit. Aku harus pergi!
Iya, aku memang
harus pergi, kalau tidak, Galih dan mereka semua akan menertawakan
kekonyolanku. Menertawai air mata yang jatuh tidak pada tempatnya.
Aku hanya mengirimkan pesan singkat pada Galih, bilang
bahwa aku harus pergi karena bunda membutuhkan bantuanku. Juga mengucapkan
selamat atas rencana pernikahannya. Ya, aku tak harus merusak suasana dan
rencananya karena sikap kekanakanku. Aku merasa tak punya alasan untuk marah.
Hatiku lebih lega ketika sms itu berhasil kukirim. Tak
kuhiraukan apa balasannya. Aku terlanjur tenggelam dalam tumpukan bantal.
Menyembunyikan tangisku. Menelantarkan jam tangan yang seharusnya aku berikan
sebagai ucapan selamat atas kelulusannya.
Kami jarang sekali bertemu setelah itu. Aku menyibukkan
diri dengan tugas-tugas kuliah. Aku bahkan melewatkan traveling Jejak ke Pacitan demi menghindarinya. Padahal aku adalah
orang paling bersemangat ketika kami merencanakan agenda itu. Aku benar-benar
tak tahan bertemu dengannya. Aku tak peduli disebut pengecut yang tak berani
menghadapi masalah. Aku lebih memilih menjaga hatiku agar tak terus tersakiti.
Tiga bulan berlalu. Di suatu senja, Bonbon mendatangiku
yang tengah berkutat dengan laptop di bangku berpayung di kampus.
“Ke mana aja sih, nggak pernah kelihatan?” tegurnya
sambil mencomot kue coklat, temanku sore itu.
“Kuliah lagi padat, banyak tugas.”
“Segitunya sampai nggak nengokin basecamp?”
“Iya
maaf, tapi basecamp nggak akan lari
kemana-mana kan?” ledekku.
“Gila!” Bonbon nyengir, “Berhubung kamu jarang kelihatan
di basecamp, aku bawain ini buat kamu. Aku nggak mau dianggap nggak memegang
amanah,” Bonbon mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Benda persegi panjang
berwarna merah marun. Seketika aku ingat dengan long dress Raya.
“Apaan tuh?”
“Undangan pernikahannya Galih dan Raya. Makanya, ke basecamp dong. Masa kamu
sampai nggak tahu, padahal ini udah dua minggu ada di sana...”
Aku tak lagi mau mendengar kata-kata Bonbon. Lukaku kala
itu masih merah. Kini aku harus menerima luka baru. Kalau saja Bonbon tahu,
inilah salah satu alasan aku jarang ke basecamp.
Inilah alasan terbesarku tak ingin tahu kabar tentangnya.
###
Luka itulah yang membawaku ke sini. Berdiri di depan toko
ini. Menenteng koper pemberiannya. Hari ini, tanggal yang sama dengan tanggal
kami bertemu untuk pertama kali. Tanggal yang sama juga dengan yang tercetak di
undangan pernikahannya. Tanggal di mana aku merasa harus mengakhiri semuanya.
Rasa sakit ini.
“Maaf, Mbak, saya tidak membeli koper bekas,” pemilik
toko itu sendiri yang menemuiku.
“Saya tidak berniat menjualnya, Pak, saya hanya ingin
mengembalikannya. Koper itu dulu dibeli di toko ini. Labelnya masih belum saya
lepas.”
Lelaki tua itu lalu memeriksa koper yang kini ada di atas
mejanya. Memeriksa labelnya. Memperhatikan kondisi koper yang memang masih
sangat baik.
“Ya sudah, saya beli lagi saja, Mbak, barangnya masih
sangat bagus.”
“Nggak usah, Pak, ambil saja. Terimakasih,” aku beranjak
pergi. Berharap cinta dan luka itu tertinggal di sini bersama koper itu.
“Mbak, ada yang ketinggalan,” lelaki tua itu mengejarku.
Menyerahkan kertas berlipat empat, “Ada di dalam koper.”
Rasa itu ada di hati. Tertanam
begitu saja. Tumbuh dengan sendirinya. Mekar tanpa
harus disiram. Semoga dia cukup berarti hingga tak merusak hubungan kita selama
ini. Semoga dia cukup berarti untuk menghentikan perjodohanku dengan Raya. Aku
mencintaimu, Melati.
– Galih –
Perempuan mana yang tak akan bersuka cita mendapatkan
rangkaian kata semacam ini? Dalam keadaan hati yang normal, barisan kata itu
akan terasa menjadi ungkapan rasa paling membahagiakan. Membikin hati melayang-layang, kegirangan
hingga lupa tempat berpijak.
Namun, hatiku
tidak sedang dalam keadaan normal k. Hatiku terluka
sangat parah. Deretan huruf itu lebih terasa seperti anak panah yang dilesakkan satu per satu, tepat ke jantung. Begitu menyayat. Begitu tajam menghujam.
Begitu mematikan.
Dadaku seketika sesak oleh penyesalan. Mataku seketika
penuh dengan air mata. Kakiku seketika terasa lumpuh. Aku luluh bersimpuh.
Menahan deru tangis. Menahan sesal yang membuncah ruah. Rasa sakit ini jauh
lebih sakit dibanding saat aku menerima undangan pernikahannya. Jauh lebih
mengiris. Jauh lebih menyiksa.
Tanggal 21 Agustus. Saat semuanya berawal. Saat semuanya
berakhir.
* cerpen untuk lomba "cinta dalam koper" tapi nggak lolos.. :D