14.12.11

Purnama Merindu


bulan malam ini purnama sempurna
cantik
mengingatkanku pada sempurnanya cinta kita

apa kita sedang memandangi bulan yang sama?
bermandi terang yang menderakan getar rindu

mungkinkah kita sedang mengecupi rindu yang sama?
rindu yang menjalari seluruh sel dalam tubuh
penuh hingga ke celah terkecil

akankah kau datang malam ini?
duduk di samping saja
memandang purnama bersama
dan meresapi rindu ini
hanya berdua saja

karena aku rindu
karena aku ingin kau di sisiku
menghabiskan malam berdua saja
hingga bulan tenggelam dalam terang langit pagi


surabaya - sidoarjo, 12.12.11

poem collaboration with Annisa Reswara

Merah dan Biru

malam kala itu,
dia datang membawa merah dan biru
memberikan semua untukku

aku tau,
hatinya milikku
pikirannya dipenuhi bayangku
raganya mengharap hadirku di sisinya

aku tau,
karena aku merasakan serupa
hati ini miliknya

malam kala itu,
dia datang dengan merah dan biru
mengabarkan warna hatinya
yang merah mencinta
dan biru merindu

Rindu

aku ingin kau ada di sini saat ini
meski kita hanya bisa duduk
bersampingan dan membisu

aku ingin hadirmu di sisiku
agar luruh segala risau ini
biar hati ini tenang

apa kau tau?
biru ini terasa semakin pekat
menyelimuti dinding hati
rata tanpa celah

dan apa kau tau?
biru ini terasa menyakitkan
karena aku hanya bisa diam
tak ada yang bisa kulakukan untuknya

hanya menyimpannya rapat-rapat
membawanya dalam lelap
dan ternyata
dalam mimpi pun
rindu tetap menyakitkan..


surabaya, 13 . 12 . 11

23.11.11

Malamku

malamku,
apakah menurutmu jatuh cinta itu bisa salah?
jika iya, sepertinya aku telah melakukan kesalahan fatal,
karena aku jatuh dan mencinta di tempat yang tak seharusnya..

malamku,
menurutmu, bagaimana bisa cinta datang dalam sekejab namun tertanam begitu dalam?
apakah cinta yang seperti itu benar ada?

malamku,
aku tak pernah tau apa dia benar mencintaiku,
aku tak pernah mengerti artiku di hatinya,
aku hanya tau hatiku telah terbawa olehnya..

malamku,
bukankah kau selalu jadi pahlawan untuk rasa?
kali ini aku tak akan meminta bulan dan bintangmu menyampaikan kasihku,
tak juga meminta anginmu membisikkan rinduku..

kali ini aku memintamu menenggelamkan rasaku dalam pekatmu,
tenggelamkan dan larutkan dalam-dalam,
agar aku tak lagi berat menyimpannya dalam hati,
agar aku tak lagi dihantui rasa bersalah akan menyakiti banyak hati,
agar aku tak lagi merasa takut jika harus melepas atau kehilangannya..

tenggelamkan dan larutkanlah rasa ini dalam pekatmu,
karena aku percaya,
kau akan menyimpannya baik-baik untukku..

29.10.11

Hujan 5 cm

Hujan dan kenangan tentangmu berjarak 5 cm. Aku sengaja mengaturnya begitu. Memberi jarak, meski tak sampai sedepa. Karena katamu hati perlu jeda. Katamu rasa perlu jeda.

Dulu aku selalu membantahmu. Bagiku hati dan rasa berjalan beriringan, selalu berkesinambungan. Tak perlu jeda yang bisa membuatnya luruh perlahan. Ya, aku selalu merasa tak membutuhkan jeda untuk hatiku, dan rasaku.

Namun menahun setelah perpisahan itu, aku mulai mengerti. Meski telah terlambat. Setidaknya kini aku mengerti dan mulai memberi jeda pada hatiku, dan rasaku.

Malam ini hujan pertama di tanahku. Bau khas hujan membawa serta hadir bayangmu. Aku terpekur menatap kaca jendela yang mulai berbintik tetesan air. Hujan tahu benar, kapan ia harus turun.

Aku mundur selangkah, memberi jarak agar bisa mengatur segalanya dengan sempurna. Hujan dan kenangan tentangmu yang telah memenuhi hati dan rasaku. Kuatur jaraknya, 5 cm.

Tak perlu terlalu jauh, namun cukup untuk memberi jeda bagi hati dan rasa. Tak perlu terlalu jauh, agar jika perlahan ia luruh, aku bisa segera mengatasinya.


October 24th 2011

6.10.11

Muara Hati


Kupandangi wajah tirus di depanku. Ia tersenyum ketika mata kami bertemu. Kubalas. Tatapan mataku berpindah ke bibirnya yang komat-kamit, melagukan bait-bait romantis. Menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Apalagi yang sedang mencinta. Jemarinya lentik menari di atas senar gitar, seirama dengan gerak pasangannya yang cekatan berpindah dari satu kunci ke kunci yang lain.

“Kupikir dia sama dengan sejenisnya, playboy,” suara yang datang lamat-lamat itu cukup membuatku berpaling.

Bian duduk di sampingku, menatap sapa padanya. Aku tersenyum, mataku kembali menatapnya. Kulihat sisa senyum sapanya pada Bian. Dia masih saja bernyanyi.

“Nggak semua musisi playboy, Bian,” aku menanggapinya.

“Ah, kau sendiri sudah lama mengenalnya. Dulu, dia benar-benar petualang cinta, pecinta setiap wanita jelita,” Bian mengerling padaku, “Tapi aku berbahagia, dia telah menemukan pelabuhan cintanya.”

Kutatap Bian dari sudut mataku. Rangkaian kata itu kujawab dengan senyum.

“Setiap tetes air selalu bermuara, Bian. Ada kalanya dia mengalir tenang, kadang harus menempuh jalan berputar, atau jalan penuh bebatuan,” mataku kembali padanya. Lagunya sudah hampir habis, “Meskipun pernah tersesat, toh nantinya dia pasti menemukannya.”

“Semoga memang kamu,” Bian mengikuti arah mataku.

Riuh tepuk tangan memenuhi kafe. Lagunya tuntas. Lagi-lagi dia melempar senyum.

“Saya mau menyanyikan satu lagu lagi. Lagu baru, khusus untuk seseorang. Judulnya ‘muara hati’. Please listen.”

2.10.11

Galau #3

bulan malam ini sabit, manisku
apa kau tahu artinya?

sabit adalah sebuah penantian
perjalanan panjang sasi
untuk menjelma purnama

ia terlihat menawan malam ini
mengingatkanku pada senyummu

ah, kau tahu?
tiba-tiba saja aku merindu
tapi kuhanya bisa diam dalam harap
bukahkah kau berjanji akan menemuiku
ketika purnama?

ingin kupercepat laju hari
biar sabit cepat purnama
biar penantian ini lekas usai

30.9.11

Warna Hatiku

Malam,
apa kau tahu apa warna hati?
setahuku dia merah, tapi aku tak yakin lagi kini

Karena dua malam yang lalu
ketika dia memainkan gitarnya untuk mengiringi sebuah lagu
aku merasa hatiku berwarna putih

Alunan suara dan petikan gitarnya
seolah mampu menghapus segala luka
hanya hawa nyaman yang tersaji

Malam kemarin
ketika dia melagu dengan harmonika
aku berpikir mungkin saja hati berwarna hijau

Karena kala itu dia seperti oksigen
yang ditiupkan dedaunan
dia seolah membawaku ke padang rumput luas
tak berbatas

Dan malam ini
aku rasa hati ini sebenarnya biru
karena sepertinya aku merindu

28.9.11

Perempuan Itu Adalah Ibuku - Arifin C. Noer

Perempuan yang bernama kesabaran
pabila malam menutup pintu - pintu rumah
masih saja ia duduk menjaga
anak - anak yang sedang gelisah dalam tidurnya

Perempuan itu adalah ibuku

Perempuan yang menangguhkan segalanya
bagi impian - impian yang mendatang. Telah
          memaafkan
setiap dosa dan kenakalan
anak - anak sepanjang zaman

Perempuan itu adalah ibuku

Bagi siapa Tuhan menerbitkan
matahari surga. Bagi siapa Tuhan memberikan
singgasanaNya. Dan dengan segala ketulusan
ia membasuh setiap niat busuk anak - anaknya

Dia adalah ibu


PS: try this link to listen (musikalisasi puisi by filesky.. :D)

20.9.11

Kuis..!! Bikin FF Bertema Air yuuuukk...!!!

Halloooooooo temanzzz....!!!

Setelah beberapa bulan draft Aquanetta mengendap demi menanti terkumpulnya semua materi, kini Aquanetta sudah nyaris siap diluncurkan. Tapiiiiii..., dalam buku pertama kami ini, kami ingin sekali membagi mimpi menerbitkan tulisan pada kamu. So, kami memutuskan untuk menyisihkan beberapa halaman untuk karya Flash Fiction (FF) kamu.
 
Mauuuu?? Cekidot..!! ^^

Syarat dan ketentuan FF Aquanetta
  1. Peserta tidak terbatas umur, semua bisa ikut.
  2. Peserta wajib join di fanpage Aquanetta. Klik link ini : http://www.facebook.com/pages/Aquanetta/287822657900915
  3. Peserta wajib men-share note ini dan men-tag min.20 teman lengkap dengan gambarnya. Link note harus di-share juga di page Aquanetta.
  4. Naskah FF harus berhubungan dengan filosofi air atau bisa nyontek di link ini : http://www.facebook.com/pages/Aquanetta/287822657900915?sk=info
  5. Naskah tidak mengandung SARA dan pornografi.
  6. Panjang naskah max.200 kata.
  7. Naskah dikirim ke email aquanetta.2011@gmail.com (file harap di-attach, jangan taruh di badan email).
    Format subject email : judul FF_nama akun FB
    Contoh : Aquanetta_Nadia Maulana
  8. Jangan lupa sertakan nama lengkap, nama pena, akun FB (jika ada), akun twitter (jika ada), dan URL blog (jika ada), tulis di badan email.
  9. Batas akhir pengumpulan naskah tanggal 30 September 2011.
  10. Pemenang akan diumumkan seminggu setelah kuis ditutup.
  11. Akan dipilih 2 FF terbaik akan diterbitkan dalam Antologi Cerita Aquanetta, dan keputusan mengenai pemenang tidak dapat diganggu gugat.
  12. Pemenang akan mendapatkan masing-masing 1 eksemplar Antologi Cerita Aquanetta.
  13. Untuk FF yang belum beruntung, sepenuhnya menjadi hak penulis.
    Dan teruslah berkarya. ^^
  14. Untuk info lebih jelas, silakan mengajukan pertanyaan ke fanpage Aquanetta.

So?? Tunggu apa lagi??
Buruaaaaaaaaaaaaaaaaaaann...!!! ^^



presented by : annisa reswara & nadia maulana

19.9.11

My Blog Theme Song

Yo Te Amo by Chayanne

En palabras simples y comunes yo te extraño
En lenguaje terrenal mi vida eres tu
En total simplicidad seria yo te amo
Y en un trozo de poesia tu seras mi luz, mi bien
El espacio donde me alimento de tu piel que es bondad
La fuerza que me mueve dentro para recomenzar
Y en tu cuerpo encontrar la paz

Si la vida me permite a lado tuyo
Creceran mis ilusiones no lo dudo
Y si la vida la perdiera un instante
Que me llene de ti
Para amar despues de amarte...vida

No tengas miedos ni dudas
(choro) este amor es demasiado bueno
Que tu seras mi mujer
(choro) yo te pertenezco todo entero
Mira mi pecho, lo dejo abierto
Para que vivas en el

Para tu tranquilidad me tienes en tus manos
Para mi debilidad la única eres tu
Al final tan solo se que siempre te he esperado
Y que llegas a mi vida
Y tu me das la luz del bien
Ese mundo donde tus palabras hacen su voluntad
La magia de este sentimiento que es tan fuerte y total
Y tus ojos que son mi paz

Si la vida me permite a lado tuyo
Creceran mis ilusiones no lo dudo
Si la vida la perdiera en un instante
Que me llene de ti para amar despues de amarte...vida

No tengas miedos ni dudas
(choro) este amor es demasiado bueno
Que tu seras mi mujer
(choro) yo te pertenezco todo entero
Mira mi pecho lo dejo abierto
Para que vivas en el



I Love You

In simple words, I miss you
In earthly language, you are my life
In total simplicity, the kindness is of your skin
The strength inside moves me to begin again
And in your body I find peace

If life permits me to be by your side
I have no doubt, my dreams will grow
If I were to lose my life in a second,
Let me be full of you
To live life after loving you.

Have no fears or doubts
This love is much to good
You will be my woman
I belong to you entirely
Look at my chest, It is open
For you to live in it.

For your peace of mind, you have me in your hands
For you are my only weakness
to the end, I only know that I will wait for you
That you are my life, and give me your light, and goodness
The world where your words are your will

The magic of this feeling, that is so strong and complete
And your eyes are my peace

If life permits me to be by your side
I have no doubt, my dreams will grow
If I were to lose my life in a second,
Let me be full of you
To love life after loving you.

Have no fears or doubts
This love is much to good
You will be my woman
I belong to you entirely
Look at my chest, It is open
For you to live in it

Galau #2


Hari ini tanggal 19 September. Biasanya aku akan terjaga semalaman, menunggu jarum panjang jam melewati angka 12 hingga menggeser jarum pendeknya tepat berada di 12. Menanti datangnya 19 September dengan sabar dan saat waktunya tiba, aku akan menelfonnya. Penuh harap menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.

Namun, tiga tahun belakangan aku hanya mengirimkan pesan, SMS. Dan hari ini, aku tak tahu harus apa. Haruskah seperti tahun-tahun lalu? Atau tak usah berucap apa-apa, berpura tak tahu? Tiga tahun lalu, dia membalas SMS-ku dengan telfon, dua tahun terakhir dia hanya membalas, “Iya, terimakasih.” Jawaban yang mungkin akan kudapatkan juga hari ini.

Mataku memanas. Aku tak tidur semalaman. Kubuang pandangku ke luar jendela, berharap menemu sejuk embun di ujung dedaunan. Tak ada, surya telah menguapkannya ke langit. Hanya seorang pedagang sayur yang terlihat sedang dikerubuti ibu-ibu. Terdengar beberapa orang menawar harga.

Aku jadi berpikir, andai rasa ini bisa kutawar. Sayangnya tidak, aku hanya harus menerima. Penerimaan yang berat. Penerimaan yang membutuhkan berjuta daya.

Tiba-tiba terpikir untuk membuatkannya kue. Entahlah, kekuatan apa yang menuntunku hingga aku benar-benar melakukannya. Seharian berkutat di dapur, tak peduli dengan kewajiban ngantor. Hanya berpikir menyelesaikan kue ini, mempraktikkan resep yang baru tadi pagi juga kusalin dari internet. Black forest. Kesukaannya.

Jarum pendek jam di angka 12. Sudah tengah hari. Sudah sejam aku duduk di kursi meja makan ini. Memandangi kue berdiameter tak lebih dari 20 cm. Topping cherry di atasnya menggodaku, seolah mengolok, “Hatinya tak akan begitu saja luruh hanya karena black forest ini.”

Ya, sepertinya dia tak mungkin begitu saja memaafkanku hanya karena aku membuatkan kue kesukaannya. Kesalahanku terlalu besar, mungkin tak termaafkan. Lelaki pengagung kejujuran sepertinya tak mentolerir sebuah kebohongan. Dan aku telah melakukannya. Aku menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dia ketahui.

Masa bodoh! Dua tahun sudah aku tenggelam dalam penyesalan. Dua tahun sudah aku memintanya memaafkan khilafku, menerimaku sebagai manusia yang tak luput dari khilaf. Kali ini aku harus menemuinya, meski nantinya hanya jawaban “Iya, terimakasih” yang aku dapatkan.

Kumasukkan kue itu dalam kardus. Kutukar baju lusuhku dengan gaun termanis pemberiannya dulu. Kutiti langkah menuju tempat tinggalnya.

Ramai. Ada banyak orang di sana. Seperti ada perayaan. Wajar saja, bukankah dia memang berulang tahun hari ini. Mungkin saja teman-temannya datang memberikan kejutan.

Aku menunggu di seberang jalan. Menunggu riuh itu bubar. Menunda bertemu dengannya. Menatapnya dari jauh. Dia tersenyum. Berbahagia. Begitu banyak orang yang menyayanginya, pantas saja dia tak memperdulikanku. Aku tersenyum tipis.

Dua jam aku menunggu, riuh itu memudar. Satu per satu pergi. Tinggal dia sendiri, berdiri menghadap ke jalan. Mata kami bertemu. Mataku memanas. Matanya berpaling ke lain arah. Tubuhku membeku, kakiku seperti terpaku. Tubuhnya berbalik, punggung itu lalu hilang di balik pintu.

Aku tergugu.



12.9.11

21 Agustus

Galih, begitu ia memperkenalkan dirinya. Menyebutkan nama sambil menyalami satu per satu orang yang ada di basecamp.

Dia adalah orang baru dalam tim backpacker-ku. Akbar yang membawanya karena dia punya hobi yang sama dengan kami. Tak ada yang istimewa. Tak ada rasa tertarik. Tak ada getar terasa dalam jabat tangan ataupun tatapan mata. Pertemuan yang biasa saja.

Galih orang yang menyenangkan. Meski sore itu adalah pertemuan pertamanya dengan Jejak, tim backpacker-ku, tapi dia sudah seperti orang lama. Dia pandai beradaptasi. Dia tak ragu berbagi pengalamannya. Tak jenuh mendengar cerocos kami. Siapapun akan langsung merasa akrab dengannya. Akrab seolah teman lama.

Itulah pertama kali aku bertemu dengannya, lima tahun yang lalu. Ketika itu aku baru 18 tahun. Dia dua tahun lebih tua dariku. Aku baru kuliah dan ia masuk tahun keduanya di bangku kuliah.

Berlalunya waktu membuat kami menjadi sahabat. Sebenarnya dia adalah sahabat semua orang, tapi beberapa kesempatan telah lebih mendekatkan kami. Dia berbagi banyak hal padaku tanpa sungkan. Aku bercerita apa saja dengannya tanpa ragu.

###

Kereta api yang kutumpangi menghentikan laju ketika sampai di stasiun Tugu. Beberapa orang yang tertidur seolah mendengar alarm. Masih setengah mengantuk, mereka yang akan turun menyiapkan barang-barang bawaan. Aku termasuk dalam beberapa orang yang mengantri turun. Kuseret koper hijauku menjauhi kerumunan. Berjalan ke arah pasar terbesar di Jogja yang tak begitu jauh dari stasiun.

Pukul 09.00 wib. Masih pagi sekali ketika aku sampai di depan toko ini. Tulisan close di pintu kaca baru saja dibalik, bertepatan dengan kedatanganku. Kini tulisan open sudah terpampang di sana, tanda bahwa calon pembeli sudah boleh masuk dan mencari-cari tas atau koper yang berjodoh dengannya.

Aku berdiri di depan toko itu. Tepat di depan beberapa barang dagangan dipajang. Ada dua koper yang sedang dipamerkan di kotak kaca berbentuk persegi panjang itu. Dua tas ransel dan satu tas gunung. Sebuah manekin laki-laki berdandan sporty duduk, manekin yang perempuan juga berdandan sport tapi tetap modis, tangannya seperti sedang menyeret pegangan koper.

###

Ngapain kamu berdiri di sini? Pengen jadi kayak mereka? telunjuknya menunjuk manekin di balik kaca.

Aku tak menyahut. Dia ngakak sambil memegangi perut. Tawa itu mereda ketika aku tak beringsut marah seperti biasanya ketika dia meledekku. Dari sudut mata aku melihatnya mencoba mengikuti arah pandangku. Sebuah koper berwarna hijau tua. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Ukurannya sedang, mungkin M dari skala SML.

Bagus ya, aku bergumam.

Koper ini? Aku mengangguk. Buat apa?

Buat naruh barang bawaan dong, masa buat kandang kucing? sedikit sewot aku menyahut. Dia tergelak lagi.

Masa backpacker-an mau bawa koper? Ribet, Non! Backpacker itu ya bawanya tas ransel, kalo nggak muat bawa tas gunung, dia terus tergelak.

Kali ini aku bersungut. Aku melangkah pergi meninggalkannya yang masih tergelak sambil menahan kram perut. Apa salahnya backpacker bawa koper? Lagian aturan dari mana kalo backpacker harus selalu bawa tas ransel atau tas gunung? Dasar orang aneh!

Jejak sedang traveling ke Jogja, mengunjungi beberapa tempat peninggalan kerajaan. Keraton salah satunya. Di tengah kunjungan ke keraton, aku merengek minta mampir ke Malioboro. Dan jadilah malam itu kami menghabiskan waktu berjalan-jalan di Malioboro. Hingga aku bertemu dengan koper itu. Hingga aku bertemu juga dengan dia.

Galih! seorang perempuan menyebut nama Galih. Kami yang sedang menikmati kopi di Kali Code serentak memusatkan pandangan padanya.

Yang dipanggil hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Perempuan berambut panjang dengan dandanan feminin itu mendekat.

Kok kamu nggak bilang kalo lagi di Jogja? dia menyalami Galih.

Nggak kepikiran. Hehehe, Galih cengengesan.

Siapa, Lih, kenalin dong! celetuk Bonbon.

Oiya, kenalin ini Raya. Ray, ini temen-temen backpacker-ku dari Surabaya, perempuan itu menyalami kami satu per satu sambil menebar senyum.

Raya siapanya Galih? kali ini Gino yang iseng.

Tunangannya, gadis itu menjawab dengan suara halus.

Wah, kok kamu nggak bilang-bilang sih punya tunangan cakep? Bonbon meninju bahu Galih pelan.

Galih masih saja cengengesan. Tiba-tiba aku jadi merasa tak nyaman dengan suasana ini. Rasa-rasanya aku ingin menyingkir saja dari sana, dari cowok-cowok yang sibuk menggoda Raya. Aku jadi muak melihat wajah cengengesan Galih, seolah dia memang sangat bangga memiliki tunangan yang nyaris sempurna. Iya, tunangan. Entah, tiba-tiba saja aku benci dengan kata itu.

Itulah pertama kalinya aku merasakan cemburu. Bahkan sebelum aku menyadari ada rasa istimewa yang tumbuh untuk Galih. Malam itu, di tengah himpitan rasa tidak nyaman karena kehadiran Raya, aku menyadari perasaanku. Aku menyayangi Galih. Bukan sayang seorang sahabat. Bukan pula sayang adik pada kakaknya. Tapi sayang perempuan pada laki-laki yang telah mengisi hari dan hatinya.

Hari itu tepat dua tahun sejak pertemuan kami. Tanggal hari itu adalah tanggal yang sama dengan hari ketika dia datang ke basecamp Jejak untuk pertama kalinya. Tanggal yang sama juga dengan hari ini, ketika aku berdiri di depan etalase kaca, tempat barang dagangan dipajang. Tanggal 21 Agustus.

###

Koper yang merah kemarin mana ya? seorang perempuan terdengar menyeletuk.

Kita lihat ke dalam aja, siapa tahu memang sudah nggak dipajang lagi, lelaki yang bersamanya menenangkan. Mereka berdua lalu masuk ke dalam toko.

Aku tersenyum tipis. Dialog itu juga pernah kuucapkan dulu. Bedanya dulu aku seorang diri, tidak seperti pasangan ini. Dan sepertinya mereka merasakan kekecewaan yang sama dengan yang kurasakan dua tahun yang lalu. Koper yang diinginkan sudah terbeli oleh orang lain. Tapi, mungkin akan ada sedikit perbedaan di sini. Dan anggaplah aku sedikit lebih mujur dari perempuan itu.

###

Aku benar-benar jatuh cinta pada koper hijau tua itu. Beberapa toko koper di Surabaya kudatangi, tapi tak ada yang sama. Aku harus kembali ke Jogja untuk mendapatkannya. Setelah beberapa bulan menabung, aku kembali ke toko itu. Sendirian. Tak mungkin aku mengajak Galih. Dia pasti akan menertawaiku habis-habisan. Mungkin sampai gulung-gulung di trotoar menahan kram perutnya. Makanya kuputuskan untuk datang sendiri.

Sayangnya, aku terlambat. Setengah jam yang lalu, pembelinya baru saja meninggalkan toko. Begitu kata penjualnya sebelum menawariku koper yang lain, yang lalu kuabaikan. Aku kembali ke Surabaya dengan tangan kosong.

Dari mana aja sih? Dari tadi aku nungguin kamu nih! Galih sudah bertengger di teras rumah ketika aku sampai.

Baru pulang dari Jogja, kurebahkan tubuhku di kursi.

Ke Jogja? Ngapain? Sama siapa?

Mo beli koper. Sendiri.

Trus mana kopernya?

Udah keburu dibeli orang, kututup mata dan telinga, bersiap dengan gelak tawa yang akan diluncurkannya.

Kamu ngapain? samar kudengar dia bersuara. Kupicingkan mata. Melirik.

Taraaaaaaaa...!! teriaknya, ada benda persegi panjang terlihat mataku.

Wow..!! teriakanku tak kalah kencang. Kuraih benda itu. Aku yakin, mataku pasti berbinar-binar kini. Benda itu nyata di depanku. Koper hijau tua itu bisa kusentuh dengan jemariku.

Selamat ulang tahun..!! Galih menyusulkan ucapan selamat.

Spontan aku memeluknya. Tak peduli dia gelagapan. Aku terus memeluknya dan berucap terimakasih setulusnya. Galih memberikan koper yang benar-benar aku inginkan. Dia memberikannya sebagai kado ulang tahun. Bagaimana aku bisa menyembunyikan gembiraku? Bagaimana bisa hatiku tak berbunga-bunga?

Eits, jangan cuma makasih aja. Traktir makan dong! dia nyengir kuda saat pelukanku terlepas.

“Beres! Kamu mau makan apa? Aku traktir sampai perutmu buncit! kali ini aku yang tergelak.

Malam itu kami pergi ke sebuah warung makan dengan menu sate ayam. Menu kesukaannya. Dia menghabiskan hampir 50 tusuk sate malam itu. Perutnya benar-benar jadi buncit!

Aku hampir tak bisa tidur setelahnya. Koper itu kutaruh di atas tempat tidur, di sampingku berbaring. Sesekali kupeluk dan sesekali itu pula aku tersenyum sendiri. Kenapa dia membelikan koper ini untukku? Kenapa dia begitu perhatian? Tiba-tiba saja aku jadi norak karena kege-eran. Aku benar-benar tak bisa tidur malam itu. Sibuk memeluk koper. Sibuk senyum-senyum. Sibuk bertanya-tanya. Sibuk menerka-nerka perasaannya.

Setengah tahun telah lewat sejak saat itu. Koper ini menjadi barang paling istimewa buatku. Bukan saja karena aku suka, tapi juga karena ini adalah hadiah ulang tahun darinya. Aku belum pernah memakainya, karena memang tak ada agenda keluar kota enam bulan belakangan.

Galih akan diwisuda hari ini. Semua keluarga berkumpul, teman-teman juga diundang untuk syukuran. Gadis itu juga datang. Iya, Raya. Hari itu dia terlihat begitu anggun dan cantik dengan long dress merah marun. Dia terus-terusan saja menempel pada Galih. Membuatku sebal setengah mati. Kami makan bersama di sebuah rumah makan. Keluarganya, teman-teman Jejak, dan Raya.

“Mumpung kita semua lagi ngumpul, saya mau mengumumkan hal penting,” ayah Galih membuka pembicaraan sesaat setelah memesan makanan. Kami yang semula saling bercanda kini hening. Semua mata terfokus pada lelaki yang duduk di ujung meja itu.

“Karena Galih sudah lulus, sudah bekerja pula, maka dalam jangka waktu dekat Galih dan Raya akan segera menikah.”

Ya Tuhan!
Duniaku terasa gelap seketika. Ucapan selamat yang keluar dari mulut teman-temanku ini menambah perih. Aku seperti dilempar ke dasar lautan. Kosong. Sendiri. Kehabisan napas. Kulihat Galih dan Raya senyum-senyum menanggapi satu per satu jabatan tangan. Ucapan selamat. Hancur sudah. Hilang sudah. Mati sudah.

Aku ingin lari sejauhnya. Aku ingin terbang setingginya. Aku ingin menghilang saja. Aku tak betah di sini. Aku tak tahan dengan derai tawa ini. Aku sakit. Aku harus pergi! Iya, aku memang harus pergi, kalau tidak, Galih dan mereka semua akan menertawakan kekonyolanku. Menertawai air mata yang jatuh tidak pada tempatnya.

Aku hanya mengirimkan pesan singkat pada Galih, bilang bahwa aku harus pergi karena bunda membutuhkan bantuanku. Juga mengucapkan selamat atas rencana pernikahannya. Ya, aku tak harus merusak suasana dan rencananya karena sikap kekanakanku. Aku merasa tak punya alasan untuk marah.

Hatiku lebih lega ketika sms itu berhasil kukirim. Tak kuhiraukan apa balasannya. Aku terlanjur tenggelam dalam tumpukan bantal. Menyembunyikan tangisku. Menelantarkan jam tangan yang seharusnya aku berikan sebagai ucapan selamat atas kelulusannya.

Kami jarang sekali bertemu setelah itu. Aku menyibukkan diri dengan tugas-tugas kuliah. Aku bahkan melewatkan traveling Jejak ke Pacitan demi menghindarinya. Padahal aku adalah orang paling bersemangat ketika kami merencanakan agenda itu. Aku benar-benar tak tahan bertemu dengannya. Aku tak peduli disebut pengecut yang tak berani menghadapi masalah. Aku lebih memilih menjaga hatiku agar tak terus tersakiti.

Tiga bulan berlalu. Di suatu senja, Bonbon mendatangiku yang tengah berkutat dengan laptop di bangku berpayung di kampus.

“Ke mana aja sih, nggak pernah kelihatan?” tegurnya sambil mencomot kue coklat, temanku sore itu.

“Kuliah lagi padat, banyak tugas.”

“Segitunya sampai nggak nengokin basecamp?”

Iya maaf, tapi basecamp nggak akan lari kemana-mana kan?” ledekku.

“Gila!” Bonbon nyengir, “Berhubung kamu jarang kelihatan di basecamp, aku bawain ini buat kamu. Aku nggak mau dianggap nggak memegang amanah,” Bonbon mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Benda persegi panjang berwarna merah marun. Seketika aku ingat dengan long dress Raya.

“Apaan tuh?”

“Undangan pernikahannya Galih dan Raya. Makanya, ke basecamp dong. Masa kamu sampai nggak tahu, padahal ini udah dua minggu ada di sana...”

Aku tak lagi mau mendengar kata-kata Bonbon. Lukaku kala itu masih merah. Kini aku harus menerima luka baru. Kalau saja Bonbon tahu, inilah salah satu alasan aku jarang ke basecamp. Inilah alasan terbesarku tak ingin tahu kabar tentangnya.

                                                                       ###                                     

Luka itulah yang membawaku ke sini. Berdiri di depan toko ini. Menenteng koper pemberiannya. Hari ini, tanggal yang sama dengan tanggal kami bertemu untuk pertama kali. Tanggal yang sama juga dengan yang tercetak di undangan pernikahannya. Tanggal di mana aku merasa harus mengakhiri semuanya. Rasa sakit ini.

“Maaf, Mbak, saya tidak membeli koper bekas,” pemilik toko itu sendiri yang menemuiku.

“Saya tidak berniat menjualnya, Pak, saya hanya ingin mengembalikannya. Koper itu dulu dibeli di toko ini. Labelnya masih belum saya lepas.”

Lelaki tua itu lalu memeriksa koper yang kini ada di atas mejanya. Memeriksa labelnya. Memperhatikan kondisi koper yang memang masih sangat baik.

“Ya sudah, saya beli lagi saja, Mbak, barangnya masih sangat bagus.”

“Nggak usah, Pak, ambil saja. Terimakasih,” aku beranjak pergi. Berharap cinta dan luka itu tertinggal di sini bersama koper itu.

“Mbak, ada yang ketinggalan,” lelaki tua itu mengejarku. Menyerahkan kertas berlipat empat, “Ada di dalam koper.”

Rasa itu ada di hati. Tertanam begitu saja. Tumbuh dengan sendirinya. Mekar tanpa harus disiram. Semoga dia cukup berarti hingga tak merusak hubungan kita selama ini. Semoga dia cukup berarti untuk menghentikan perjodohanku dengan Raya. Aku mencintaimu, Melati.
– Galih –

Perempuan mana yang tak akan bersuka cita mendapatkan rangkaian kata semacam ini? Dalam keadaan hati yang normal, barisan kata itu akan terasa menjadi ungkapan rasa paling membahagiakan. Membikin hati melayang-layang, kegirangan hingga lupa tempat berpijak.

Namun, hatiku tidak sedang dalam keadaan normal k. Hatiku terluka sangat parah. Deretan huruf itu lebih terasa seperti anak panah yang dilesakkan satu per satu, tepat ke jantung. Begitu menyayat. Begitu tajam menghujam. Begitu mematikan.

Dadaku seketika sesak oleh penyesalan. Mataku seketika penuh dengan air mata. Kakiku seketika terasa lumpuh. Aku luluh bersimpuh. Menahan deru tangis. Menahan sesal yang membuncah ruah. Rasa sakit ini jauh lebih sakit dibanding saat aku menerima undangan pernikahannya. Jauh lebih mengiris. Jauh lebih menyiksa.
Tanggal 21 Agustus. Saat semuanya berawal. Saat semuanya berakhir.


* cerpen untuk lomba "cinta dalam koper" tapi nggak lolos.. :D

12.8.11

Si Ego

Semua orang ingin dimengerti. Semua orang butuh dimengerti. Sama seperti mereka menginginkan dan membutuhkan adanya pengakuan.

Eksistensi. Semua orang ingin dan butuh diterima oleh orang-orang di sekitarnya.

Tak ada orang yang tanpa ego. Kadang kala ego itu menguasai diri begitu kejam. Memaksa ditempatkan di singgasana tertinggi. Menjaga harga.

Dan tak ada yang pernah benar-benar bisa "menerima" orang lain sepenuhnya. Sama seperti diri kita yang tak bisa secara mutlak diterima oleh orang lain. Setiap orang butuh adaptasi. Butuh penyesuaian.

Proses menerima adalah proses yang panjang. Bahkan mungkin seluruh hidup kita tak ada cukup untuk menuntaskan proses ini. Proses dengan kesabaran tak berbatas, namun bercelah.

Suatu kala, seseorang akan dipaksa untuk menerima. Dipaksa untuk bisa beradaptasi dengan sempurna. Mau tak mau. Suka tak suka. Sudi tak sudi.

Suatu ketika, seseorang harus memaksa turun sang ego dari kursi kejayaannya. Memaksa ego mengalah. Membiarkan penerimaan mengambil alih tugas dan singgasananya.

Bukan karena tak peduli dengan harga. Bukan karena tak ada lagi harga yang bisa dipertahankan. Justru semua untuk harga.

Harga sebagai manusia dewasa yang paham bagaimana harus membawa diri. Mengerti bagaimana harus mengambil sikap. Sadar bahwa ada kalanya ego harus mengalah.

Karena kita tidak melangkah di awang-awang, tidak juga di air. Kita melangkah di atas pasir, menjejak runtun selaras dengan jalan takdir yang sudah terpatri.

3.8.11

#10

“Aku ingin menangis.”

Lirih suaraku berbisik pada angin lalu. Angin menjawab lewat desaunya. Mengayun pucuk-pucuk cemara. Aku tak menahannya lagi. Kubiarkan air mataku tumpah seperti air bah. Lepas. Berhambur.

Sudah sebulan lamanya aku menahan galau ini. Membiarkannya bersemayam di lubuk hati. Membangun pagar untuk menghalangi tumpahnya air bah ini. Beban menahun itu terasa begitu berat sebulan terakhir.

Tiba-tiba saja aku merasa bisa melihatnya di mana-mana. Di jalanan yang macet. Di taman yang penuh keceriaan. Di heningnya malam. Di teriknya siang. Di sela desau angin. Di antara butir-butir hujan. Di jingganya senja. Aku melihatnya di mana-mana.

Aku tahu ini rindu. Rindu yang terajut layaknya detik-detik terangkai waktu menjadi tahun. Rindu tak bertepi seperti langit yang tak berbatas. Rindu menghangatkan seperti senja jingga yang merangkum hangat sinarnya.

Ah, bahkan mungkin kau pun tak pernah tahu adanya rindu yang mengakar ini. Jika kau tahu, tak mungkin kau menghilang begitu saja bertahun-tahun lamanya. Meninggalkanku bersama senja yang selalu bisa menghangatkan rindu ini dengan sinarnya.

Apa kau ingat, beberapa menit sebelum kau benar-benar pergi, kau pernah berkata senja adalah tempat rindu tertaut? Senja di sini dan senja di kotamu akan selalu terlihat sama. Tercipta oleh surya yang sama. Jingga yang sama. Hangat yang sama.

Karena itulah aku di sini sekarang. Diam menatap senja saat rindu ini tak lagi bisa terbendung. Saat aku tak mampu lagi menahan galau ini. Ya, aku hanya bisa begini setiap kali rindu ini meledak.

Menatap jingga yang hangat. Tanpa isyarat kau akan datang. Tanpa warta yang bisa melegakan rasaku.

Apakah di sana kau juga masih suka menatap senja? Apakah senjamu masih sama? Apakah rasamu masih bersemayam dalam kalbumu?

26.7.11

l-i-n-g-l-u-n-g

Ada yang tak beres dengan hati dan pikiranku malam ini. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Bahkan tak dapat dilerai dalam rasa. Mungkin bingung, mungkin resah, mungkin galau, mungkin senang, mungkin sedih. Entahlah. Hanya saja, aku ingin menangis. Meski entah untuk apa, untuk siapa.

Malam ini bulan nyaris purnama. Mungkin akan sempurna besok. Mungkin juga lusa. Bulan yang selalu merindu. Ah rindu. Mungkinkah malam ini aku sedang merindu? Merindu apa? Merindu siapa? Sepertinya tak ada. Sepertinya memang tak sedang merindu.

Bulan bersanding dengan mendung malam ini. Perpaduan yang tak begitu indah. Merusak pesona langit malam. Awan mendung telah menutup jalan cahaya bintang. Bintang itu harapan. Dia pernah bilang begitu dulu. Dia? Kenapa tiba-tiba aku teringat padanya? Diakah sumber ketidakberesan malam ini? Aku benar-benar tak tahu.

Biarkan sajalah. Dia atau bukan, tak akan ada bedanya. Tak akan berpengaruh apa-apa. Tak membuat mendung menjauh ataupun menjatuhkan air hujan. Tak membuat bulan tiba-tiba jadi purnama. Tak mampu membantu bintang menembuskan cahaya melewati awan hitam.

Dia atau bukan, semua akan tetap sama. Rasa ini pun tetap tak terjemahkan dalam kata. Kecuali oleh hening. Hening yang menetramkan, menghangatkan. Seperti bulan, meski tak purnama.



* Surabaya,
Malam-malam yang lalu, ketika bulan nyaris purnama

13.7.11

#8

Dear Heart,
Bukan maksudku untuk selalu menutup pintumu dan menguncinya rapat-rapat, tapi maafkanlah. Maafkan karena aku belum mampu membukakannya untuk siapapun. Maafkan karena aku belum mampu menepis ingatanku tentangnya.

Dear Heart,
Jingga di dindingmu masih juga kentara. Tentu kau selalu ingat betapa sinar surya kala senja adalah perekat yang manis untukmu dan dia. Kau dan dia, dua hati yang telah menjadi satu, saling mengisi dan melengkapi, meski kini terpisah di dua dunia yang tak lagi sama.

Pematang sawah, pantai berpasir putih, pucuk-pucuk cemara. Ketika hijau menjadi jingga. Ketika putih dan biru terbaur jingga. Semua terjadi ketika senja, karena memang hanya itulah waktu yang kau miliki bersamanya. Untuk saling meleburkan rasa. Kau dan dia tahu, meski tak ada kata terbisik dariku dan dia, pemilik kekasih hatimu.

Dear Heart,
Kau tahu benar, kemana hati itu bertuan. Sama seperti aku yang tahu benar kemana mata itu menatap. Ah, bahkan masih sangat lekat dalam ingatanku, bagaimana dia tersenyum, bagaimana mata itu menatapku dengan sangat teduh, penuh dengan kelembutan dan kasih sayang.

Bagaimana mungkin bisa kita lupa pada dia, yang bersamanya impian dan harapan telah terangkai sempurna. Bagaimana mungkin kita lupa pada kehangatan senja yang serupa dengan hangat kasihnya. Kau dan aku sama-sama memahami, bahwa tak ada yang lebih indah dari sebuah pertautan. Bahwa tak ada yang lebih hangat dari senja. Bahwa senja ini selalu membawa kehangatan berlebih.

Dear Heart,
Hari ini ada cinta datang mengetuk. Dan aku masih tak berani membukakan gembok pintumu. Aku hanya mengintipnya dari jendela. Lihatkah kau, ketika ia datang dengan seikat mawar putih pertanda ketulusan hatinya untukmu? Lihatkah kau, di depan pintumu dia memamerkan senyum terhangat dan tatapan mata paling teduh?

Dia datang ketika birunya langit telah menjadi jingga karena ulah sang surya. Aku tak bergeming dari jendela. Membiarkannya terus berdiri membelakangi senja yang perlahan terusir petang. Apakah kau merasakan dingin seperti yang aku rasakan? Aku bahkan telah menggigil kini.

Masih terlalu banyak jingga di dindingmu. Masih terlalu pekat bayangnya di dirimu. Akankah kau memintaku membukakan pintu dan mempersilakannya menata dirimu kembali?

it's not only - gita fam

Once upon a time i found a miracle
It’s shine, it’s warm and comfort
Gave me light in every single day, in every single night
Together forever with you my friends

It’s not only an ordinary place, it’s also family
It’s not only a place to be journalist, but also place to journal our friendship
To free your imagination, and to gather our stories

Behind this sculptures, more sweats drops over and over
Sacrifice of tiredness and hard works has been possessed inside us
Hold me tight and don’t ever give up
Together we spread the news over the world

It’s not only a place to share your mind off, but also share your soul
It’s not only a place to laugh and kidding, but also place to crying and shading
To feel with your heart beating, to memorize everything

Once upon a time i found a miracle
It’s shine, it’s warm and comfort
Gave me light in every single day, in every single night
Together forever with you my friends

lyric by : ratri, radit, dian
guitar by : arul

wanna hear??
download this song here..
(cuma satu kali rekaman dengan alat yang apa adanya, jadi maklum kalo hasilnya tak begitu baik. at least..itulah karya kami untuk kalian semua.. :D)

Take and Give

Kadang, orang bahkan tak tau apa yang telah dia lakukan, apa yang dia katakan, apa yang tengah dia rasakan, apa yang sedang dia pikirkan. Mungkin saja polah yang dianggapnya biasa telah mengganggu orang lain. Mungkin saja perkataan yang dianggapnya biasa telah menyinggung perasaan orang lain. Mungkin saja rasa dalam hatinya hanya rasa yang ada karena sensibilitasnya. Atau mungkin saja yang ada di pikirannya hanya pemikiran-pemikiran yang hanya bisa menyenangkan dirinya.

Segalanya tak selalu sama seperti yang kita harapkan. Saat kita melakukan sesuatu yang kita anggap benar tapi ternyata salah di mata orang lain. Saat kita berkata bermaksud bercanda, ternyata kata itu menyinggung perasaan orang lain. Saat kita merasa terasing, ternyata tak selalu karena mereka tak menganggap kita. Saat kita berpikir masalah ini bukan muncul karena kesalahan kita, ternyata kita justru punya andil besar di dalamnya.

Dalam bertingkah, mungkin kita telah memikirkan bahwa apa yang kita lakukan itu benar, tapi mungkin kita tak mencoba menjadi orang yang menerima perlakuan kita, kita tak memahami bagaimana pola berpikirnya, apakah dia akan dengan lapang dada menerima dan membenarkan perilaku kita atau justru sebaliknya.

Dalam berkata, mungkin sebelumnya kita telah mengolah kata-kata itu dalam otak kita dan berusaha menyampaikannya sesederhana mungkin, sehalus mungkin, tapi kata-kata itu masih saja membekas luka di hati orang lain. Apa kita yang salah dalam memilih kosa kata atau orang lain yang tak dapat mengolah dan mengerti maksud kita?

Dalam hati kita, tempat kita merasakan segala sesuatunya, kadang rasa itu ada karena kita terlalu “sensi”. Orang lain memang sangat mempengaruhi mood kita. Kita merasa senang saat kita merasa dihargai karena apa yang kita lakukan, atau paling tidak orang mau mendengarkan saat kita berbicara dengannya.

Dalam berpikir, kita selalu ingin yang terbaik untuk diri kita dan semuanya. Namun, kadang tanpa sadar ego kita telah menjadi penguasa dalam pemikiran itu. Karena suatu masalah, orang bisa menyalahkan orang lain dengan begitu kejam karena menurut pemikirannya, dia sudah benar. Atau sebaliknya, karena pemikirannya tentang suatu masalah, dia bisa menyalahkan dirinya sendiri dan memilih menghukum dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kita sebagai makluk sosial tak boleh hanya menerima, tapi kita harus pula memberi, karena orang lain yang berhubungan dengan kita pun tak hanya berkewajiban memberi, tapi juga berhak menerima. Ini bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas dalam memberi, ini masalah pemahaman dan penghargaan yang sama-sama dibutuhkan oleh makhluk sosial.

Ketika orang ingin dipahami, maka dia harus lebih dulu memahami. Jika kita merasa tak dipahami, mungkin lawan main kita pun belum merasa dipahami. Kita butuh mengerti bagaimana cara berpikirnya, bagaimana responnya terhadap peristiwa tertentu, bagaimana dia ingin diperlakukan. Karena dengan itu kita bisa menempatkan diri dengan benar padanya. Seorang temanku bilang, “ketika kita benar-benar sudah mengerti, kita tak akan sakit hati dengan apapun yang diperbuatnya.” Logis, karena kita memang tau bagaimana dia berpikir untuk sesuatu yang telah dilakukannya.

Dan kita tak bisa menuntut orang lain melakukan ini, tapi kita bisa mengusahakan diri kita untuk berpikir dan melakukan ini ketika kita sadar bahwa semua berawal dari diri kita sendiri. Tak ada yang bisa menyakiti hati kita kecuali diri kita sendiri, ego kita sendiri, pemikiran kita sendiri, rasa kita sendiri. Orang lain bertindak, berkata, berpikir dan merasa semaunya, begitu pula dengan kita. Namun, saat kita sadar semua berawal dari diri kita sendiri, kita akan mencoba berpikir, kenapa dia bertindak, berkata, berpikir dan merasa demikian? Kita hanya akan mencoba memahaminya.

Dan jika mereka telah sampai pada waktunya, ketika mereka sadar semua berawal dari diri mereka sendiri, mungkin mereka akan melakukan hal yang sama, mereka akan mengusahakan yang sama seperti yang kita usahakan saat ini, memahami dan menghargai, memberi dan menerima.

Pernah diceritakan oleh seseorang, tentang cita-citanya untuk mengubah dunia, tapi dia merasa dunia terlalu sulit untuk diubah. Lalu dia menyederhanakan keinginannya, dia ingin mengubah negerinya, tapi keinginannya itu dirasa berat pula. Menjelang usianya yang setengah abad, dia berpikir untuk mengubah keluarganya saja, tapi ternyata dia pun gagal. Lalu, saat dia sudah terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dia berpikir untuk mengubah dirinya. Dan dia menyesal, kenapa tak sedari dulu dia berkeinginan mengubah dirinya? Jika dia bisa mengubah dirinya dan menjadi panutan, tentu setelah itu perlahan-lahan dia akan bisa mengubah keluarganya, negerinya, bahkan dunia.

Tulisan ini hanya buah pemikiranku yang tak selalu benar atau sejalan dengan pemikiran orang lain. Aku pun bukan orang yang bisa selalu mengerti dan menghargai orang lain. Aku juga bukan orang yang selalu bisa memberi setimpal dengan apa yang aku terima. Tapi aku berusaha. Aku berusaha untuk tak membangun pagar tembok yang bisa melindungiku dari rasa sakit tapi justru bisa membuatku terasing dari orang-orang di sekitarku.

5.7.11

Cinta Jailangkung

"Maaf ya, aku datang terlambat."
"It's ok. Kita juga baru mulai kok," pemilik suara lembut namun tegas itu tersenyum.

Dia lalu meneruskan bicara sambil mengedarkan tatapan tajam matanya dari satu orang ke orang yang lain. Hatiku berdesir ketika sorot mata itu tertuju padaku. Bumi seolah berhenti berputar dan kehilangan gravitasinya. Aku melayang. Aku tak tahu pasti sejak kapan aku mulai memperhatikannya.

Mungkin sejak pertama kali kami bertemu di kelompok KKN ini. Mungkin sejak pertama kali mata kami saling memandang. Atau mungkin saat aku duduk bersampingan dengannya. Aku benar-benar tak tahu. Yang aku tahu, ada rasa tumbuh dalam hatiku untuknya. Entah siapa yang melempar benih, entah dengan cara apa, entah di mana, entah kapan. Aku menikmati rasa ini, meski tak punya keberanian mengungkapkan. Kubiarkan diriku tersihir oleh suara lembut namun tegas dan tatapan mata tajam namun tetap terlihat teduh. Kubiarkan bumi berhenti berputar dan kehilangan gravitasinya.

Aku hanya ingin menikmati rasa ini, tanpa takut akan jatuh dan tersungkur. Siapa sangka cinta ini bersambut? Dia menyatakannya, beberapa saat setelah kami pulang dari lokasi KKN. Kebersamaan beberapa bulan terakhir juga telah membuatnya merasakan terhentinya rotasi bumi dan hilangnya gravitasi. Dia pun tak pernah tahu, kapan, di mana dan bagaimana awal mula rasa itu tumbuh.

Tak penting. Yang penting, kami telah bersepakat untuk bersama merajut benang kasih kami. Janji setia seperti pasang-pasang merpati. Bumi tak lagi berhenti berputar, tak juga kehilangan gravitasinya, karena kami tak lagi merasa hidup di bumi. Hari-hari yang begitu indah, begitu menyentuh, begitu menyenangkan. Aku pikir, mungkin saat itu kami hidup di bulan. Tanpa rotasi. Tanpa gravitasi. Berbonus bintang gemintang di siang dan malam.

Kisah yang kurasa terajut begitu sempurna. Bagi kami cinta itu membahagiakan. Meski terkadang ada kerikil-kerikil kecil mengusik, tapi itu tak mengurangi makna cinta yang terbangun. Aku tak pernah menyesalkan apa pun. Dia tak pernah mengharap lebih dari yang kami miliki. Satu-satunya penyesalanku adalah kepergianku ke Bali untuk riset skripsiku. Seharusnya aku menunggunya pulang dari Jakarta. Seharusnya aku bisa berangkat tiga hari lagi, bukan hari itu.

Hari ketika segala keindahan harus berakhir. Hari ketika aku dihempaskan kembali ke bumi yang berhenti berotasi dan kehilangan gravitasi. Aku tak melayang seperti yang sudah-sudah. Kali ini aku tersiksa di kehampaan udara. Kehabisan oksigen. Seluruh saraf persendianku seperti lumpuh. Aliran darahku seperti terhenti. Leherku seperti tercekik kuat dan tak ada udara dalam ruang paru-paruku. Tak ada yang bisa kusalahkan atas kepergiannya.

Bukan masinis kereta yang lalai hingga keretanya keluar jalur dan masuk ke jurang. Bukan lelaki berjubah putih bertitel dokter yang bilang telah berusaha menyelamatkan nyawanya, tapi gagal. Aku ingin menuntut, tapi tak ada yang bisa kutuntut. Aku ingin marah, tapi tak ada yang bisa kumarahi. Aku ingin meluapkan rasa menyiksa ini. Aku ingin udara dalam paru-paruku. Aku ingin darahku kembali mengalir dan sendiku kembali berfungsi, agar aku bisa mengantarnya ke pusara.

Namun aku tak bisa melakukan apa-apa. Tak bergerak, bahkan untuk menangis pun aku tak sanggup. Hanya kenangan bersamanya yang memenuhi kepalaku. Aku tak mampu menghentikannya, meski kenangan itu semakin menghampa paru-paru. Kenangan saat pertama bertemu, saat cinta bersambut, saat cinta mekar bersemi, saat cinta pergi. Hari itu, aku menyadari cinta itu tak sempurna. Cinta itu tak selalu membahagiakan. Cinta itu seperti jailangkung, datang tak dijemput pulang tanpa berpamit, tak juga diantar.

4.7.11

#9

Pernahkah kau merasakan rindu yang begitu menggebu? Rindu setengah mati hingga membuat makanan favorit jadi tak sedap, bahkan untuk sekedar dipandang. Rindu menggila hingga mata terus terjaga dari pagi ke pagi. Rindu sepenuh hati hingga seluruh tubuh merasakannya, bahkan di denyut nadi dan aliran darah. Rindu yang menyiksa. Tak doyan makan. Tak bisa tidur. Membikin seluruh saraf galau.

Rindu ini adalah rindu tanpa obat. Aku tak pernah benar-benar merasa tersembuhkan darinya. Tidak dengan pertemuan. Tidak dengan mendengar suaranya. Tidak dengan pelukan. Tidak dengan usapan di pipi yang teraliri air mata. Tidak dengan kebersamaam sepanjang waktu.

Mungkin hanya senja. Hanya dengan memandang senja perihnya rindu menjelmakan senyuman. Hanya dengan mengikuti perjalanan jingga mengusir biru langit tubuh membaik. Perut terasa lapar. Nadi berdenyut teratur. Darah mengalir lancar. Hanya dengan menikmati senja racun rindu itu justru menjadi penawar. Racun penawar racun.

Karena hanya senja yang mampu menghadirkan kembali berbagai kenangan. Mampu membuat mata ini terpejam. Menumbuhkan nyali untuk menjejakkan kaki di dunia mimpi. Dunia penuh kenangan. Dunia tempat rindu melebur seperti es mencair karena udara panas. Dunia dengan seribu jenis bunga yang mekar bersamaan. Kupu-kupu aneka warna di putik sari bunga. Padang rumput yang hijau tenpa cela. Nyanyian bidadari surga yang melenakan kalbu.

Sayangnya, senja hanya datang sekejab. Saat sang surya telah terlalu lelah berpijar. Saat lalu lintas sedang berada di puncak kemacetan. Waktu yang kelewat sempit untuk menawar luka rindu. Kelewat sempit untuk mengecap madu rindu.

<img alt="" src="http://ukhtishalihah.files.wordpress.com/2011/02/senja.jpg" class="aligncenter" width="332" height="307" />

2.7.11

Mie Ayam Cinta

“Bang, minta mangkuk satu lagi ya?”
“Dua, Bang.”
Tak sampai semenit, abang penjual mie ayam itu mengasurkan dua buah mangkuk. Dia satu. Aku satu. Nyaris bersamaan, kami mengambil wadah sambal lalu saling tersenyum. Menertawakan tingkah masing-masing. Aku mengalah sewajarnya, lady’s first. Membiarkannya lebih dulu menyendokkan sambal ke mangkuk bersihnya dua kali. Aku menyusul mengambil tiga sendok.
“Ternyata kita punya kebiasaan makan mie ayam yang sama,” dia berkomentar ketika aku menyisihkan sebagian isi mangkuk mie-ku ke mangkuk berisi sambal.
“Hahaha, iya, memang lebih enak begini.”
“Iya, meski kadang orang memandang aneh kebiasaan ini. Hahaha..”

###

Dialog itu terjadi tiga tahun silam, saat untuk pertama kalinya aku menraktirnya makan mie ayam di sini, di warung mie ayam favoritku. Aku memang menjanjikan semangkuk mie ayam asal dia punya keberanian untuk melawan argumen seorang dosen yang nyata-nyata salah. Dia benar melakukannya. Teman baruku di kampus ini benar-benar suka tantangan seperti yang pernah dipamerkannya di awal pertemuan kami.
Dia adalah mahasiswai pindahan dari Jogja yang tak pernah mau menceritakan alasan kepindahannya. “Aku suka tantangan, aku suka hal baru,” selalu itu yang jadi alasan. Dan biasanya orang akan berhenti bertanya saat mendapat jawaban itu. Pertemuan pertama kami terjadi seperti di film-film drama. Dia berlari tergesa dan menabrakku di tikungan gedung kampus. Sama-sama terjatuh. Sama-sama minta maaf. Lalu saling berkenalan.
Sudah lewat setahun sejak dia di wisuda lalu menghilang begitu saja dari peredaran. Tanpa pesan, namun penuh kesan. Ya, penuh kesan. Karena hingga kini pun aku masih merindukan saat-saat bersamanya yang memang selalu mengesankan.

###

“Selamat jadi pengangguran,” aku menyodorkan buket mawar putih. Ucapan selamat atas kelulusannya.
“Sapa bilang aku akan jadi pengangguran? Tak lama, aku pasti sudah akan sibuk dengan pekerjaan baru yang penuh tantangan,” seperti biasa, dia begitu percaya diri. Membuat nyaliku ciut.
“Iya deh, percaya! Tapi kamu jahat.”
“Kok jahat?”
“Ya iyalah, kamu lulus duluan. Ninggalin aku!”
“Sapa suruh kamu lambat. Cepetan dikerjain sama TA-nya, biar cepet nyusul jadi pengangguran,” dia tergelak. Aku paling suka melihatnya tertawa. Sangat manis.
“Tunggu aku ya,” tawanya terhenti saat melihat rautku berubah serius.
“Kenapa aku harus nunggu kamu lulus?”
“Because i love you,” mata itu menatap tajam padaku, seolah mencari kebenaran kata-kataku.
“Faniiii...!!! Selamat yaaaa....” segerombolan perempuan, yang kukenali sebagai teman-temannya datang.
Mereka berebut memberikan ucapan selamat. Cium pipi kanan. Cium pipi kiri. Berpose di depan kamera bergantian. Aku tersingkir begitu saja. Dia masih sempat melirikku dari sudut matanya sebelum digiring teman-temannya mencari lokasi foto yang lebih bagus. Dia pergi dengan buket mawar putih dariku. Dia pergi tanpa menjawab pernyataan cintaku.

###

“Minta mangkuknya satu lagi ya, Bang.”
“Dua, Bang,” sebuah suara menyahut. Sejenak aku tertegun. Benar-benar mengingatkanku padanya.
“Mbak pesen mangkuk buat apa? Kan belum pesen mie ayamnya?” si abang penjual mie ayam tak langsung mengambilkan mangkuk.
“Kalo begitu sekarang saya pesan mie ayamnya.”
Aku menoleh ke sumber suara. Perempuan yang berdiri di sampingku ini meringis. Memamerkan deretan giginya yang putih. Dia lalu duduk di sampingku. Mengabaikan mataku yang terbelalak dan mulutku yang melongo karena kehadirannya.
“Aku mau bayar hutang,” katanya beberapa menit kemudian. Sepertinya dia sudah tak tahan melihat ekspresiku.
“Hutang apa?” aku tergagap.
“I love you too.”
“Mie ayam dan mangkuknya, Mbak dan Mas,” abang penjual mie ayam itu masih sempat mempersilakan kami makan sebelum berlalu. Dari sudut mataku, aku tahu dia terseyum.

10.6.11

Customer Service Must Have It

Menjadi Customer Service (CS) sebuah perusahaan / lembaga / organisasi apapun, tidaklah mudah. Ada beberapa kriteria khusus yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga akhirnya dia bisa lolos dan menjadi seorang CS. Kriteria tersebut sebenarnya bisa dimiliki oleh semua orang, karena kriteria yang dimaksud dapat dibangun atau dilatih.

Barusan aku dikecewakan oleh seorang CS karena pelayanannya yang kurang memuaskan. Bukan dari segi solusi yang diberikan untuk permasalahanku, tapi dari cara dia memberikan pelayanan. Aku mengeluhkan blog ini, yang bermasalah di salah satu posting. Kebetulan penyedia web ini memang melayani keluhan secara online, chating lewat YM. Nah, siang ini aku coba menghubungi CS, karena aku udah gak sanggup menyelesaikan masalah itu.

Si CS ini menyapaku dengan “bapak” yang kemudian aku ralat “panggil nadia saja mas” tapi gak direspon sama dia. Selanjutnya, dia tetap memanggil “bapak” atau “pak” sampai akhirnya aku bilang “mas panggil nadia saja, saya perempuan ?” dan setelah itu dia ganti panggil “bu”. Ini point pertama.

Poin kedua, setelah membalas sapaan “selamat pagi”-ku, dia tanya, “bisa saya bantu?” dan aku memulai dengan bilang inti permasalahan. Dia lalu minta aku ngecek di admin, tapi ternyata dia blom ngerti masalah yang aku tanyakan, dan otomatin solusi yang diberikannya juga mubadzir. Aku lalu coba menjelaskan dengan detail sampe ngasih contoh di web-nya.

Setelah aku menjelaskan, dia diem lama banget. Aku gak tahu pasti berapa lama, yang jelas dia diam, dan bagi orang yang sedang menunggu, waktu sedikit tetep aja kerasa lama. Sampai akhirnya aku tanya “gimana mas?” dan dia jawab “mohon ditunggu.” Poin ketiga.

Setelah sekian menit berlalu, dia lalu menyarankan untuk kirim email saja ke tim suport. Ya sudah, aku lalu mengucapkan terimakasih yang tak berbalas. Poin keempat.

Aku memang bukan seorang CS, tapi sebagai penerima layanan aku bisa merasakan puas atau tidaknya dengan pelayanan yang diberika oleh CS itu. Aku pernah ikut training sebagai Call Center Telkomsel, yang kemudian aku tinggalkan di tengah jalan karena ada amanah yang harus aku tuntaskan. Dan aku menyadari bahwa menjadi seorang CS itu sangat tidak mudah. Kita dituntut untuk tampil sempurna untuk mencapai kepuasan pelanggan.

Seorang CS tidak hanya harus menguasai produk yang mereka miliki atau solusi yang diberikan ketika pelanggan protes dan mengeluh. CS memiliki tugas yang sebenarnya lebih berat dari itu, yaitu memberikan pelayanan yang baik sehingga pelanggan merasa puas dan kekecewaannya karena produk bisa sedikit terobati.

Dari mana pelanggan bisa merasa puas. Pertama adalah dari solusi yang diberikan untuk masalah yang dikeluhkan. Kedua dari pelayanan yang diberikan oleh CS. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Solusi yang baik tapi CS-nya sewot, siapa yang akan suka? CS-nya ramah tapi solusi tidak tepat, siapa yang tak akan lebih kecewa? Product knowledge bisa dipelajari dengan membaca dan mungkin menghafal, tapi sikap dalam melayani? Inilah yang sering kali dikesampingkan oleh mereka, para CS.

Poin pertama yang dilakukan mas CS tadi adalah bahwa dia tidak mengidentifikasi siapa pelanggannya, apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena CS tidak berhadapan langsung, maka dia perlu bertanya sebenarnya. Kalo bertemu langsung, CS bisa langsung menentukan bagaimana dia harus memanggil customernya, apa “bapak”, “ibu”, “mbak”, “mas” atau “adik”. Begitu juga ketika ditelfon, CS bisa mengenali lewat suara, apa ini suara laki-laki atau perempuan. Tapi lewat chating? Wajah gak kelihatan, suara juga tak terdengar.

Aku sampai berpikir mungkin mas CS itu punya indera penerawangan yang mungkin sedang tidak berfungsi baik, jadi dia mengenaliku sebagai “bapak.” Kesalahan fital juga ketika pelanggan sudah meminta untuk dipanggil dengan nama tertentu, tapi CS tidak memperhatikan, justru meneruskan. Ketika training di Telkomsel yang lalu, aku diajarkan untuk menuruti apa mau pelanggan. Call Center juga termasuk CS, tapi pelayanannya melalui telfon.

Menanyakan nama adalah standart opening Caroline (panggilan untuk CC Telkomsel). Sapaan yang biasa digunakan adalah “bapak” atau “ibu”, namun ketika pelanggan meminta untuk dipanggil “adik” kita tak boleh menolak. Karena itu adalah satu poin yang bisa memberikan rasa senang dan nyaman pelanggan yang menjadi lawan bicara kita.

Memang, tidak semua orang mempermasalahkah bagaimana dia dipanggil, tapi bukankah pelanggan sebuah perusahaan selalu heterogen? Bermacam-macam sifat, karakter dan kemauan. Dan memberikan rasa nyaman pada lawan bicara itu rasanya berhukum WAJIB untuk CS.

Poin kedua adalah identifikasi masalah. Jadi CS juga harus SABAR. Kadang pelanggan tidak tahu bagaimana harus menjelaskan masalahnya atau dia tidak paham dengan istilah-istilah teknik yang sebenarnya bisa membantu penyelesaian masalah. Dan CS harus benar-benar menjadi pendengar yang baik. Ketika pelanggan sudah selesai menceritakan masalahnya, WAJIB juha hukumnya untuk mengklarifikasi, agar kedua belah pihak sama-sama mengerti apa yang dibicarakan. Karena kadang CS sok tahu masalah pelanggan padahal bukan itu yang ditanyakan. Ya, kaya’ mas CS tadi itu.

Setelah itu, ketika kita harus meminta waktu untuk menyelesaikan masalah, kita juga WAJIB ngomong sama pelanggan. Paling tidak bilang “mohon tunggu sebentar” atau yang diajarkan di training Caroline dulu bilangnya “apakah bapak/ibu berkenan menunggu?” So, kita harus menginformasikan bahwa kita membutuhkan waktu untuk membantu masalah pelanggan, jangan tiba-tiba ngilang gitu aja. Pelanggan yg by phone atau by chating kan gak bisa lihat CS lagi ngapain, jadi harus dikasih tahu, biar pelanggannya gak bingung. Ini adalah poin ketiga yang gak dilakukan mas CS tadi.

Strandart closing Caroline adalah “Apa sudah cukup jelas dengan penjelasan yang kamu berikan?” dan setelah itu “Terimakasih telah menghubungi Telkomsel, selamat pagi/siang/sore/malam bapak/ibu (nama).” Yup! Paling tidak, minimal, CS mengucapkan terimakasih. Untuk apa? Untuk kepercayaan yang diberikan pelanggan pada CS. Karena pelanggan percaya bahwa ketika mereka mendapat masalah CS adalah orang yang tepat untuk membantu pelanggan menyelesaikan masalah.

Dan mas CS itu tadi, sama sekali gak balas ketika aku, pelanggannya mengucapkan terimakasih. Dia cuek bebek. Itu adalah poin keempatnya yang bikin aku kecewa.

Menjadi CS di dunia nyata, di dunia kabel dan di dunia maya itu memang berbeda cara dan kriterianya. Di dunia nyata, CS berhadapan langsung dengan pelanggan, otomatis dia harus berpenampilan rapi jali, selalu tersenyum dan bisa mengendalikan emosi dengan tetap menampilkan senyum meski nada bicara ditekan untuk mempertegas.

Di dunia kabel, CS tidak harus berpenampilan rapi, tidak harus selalu tersenyum, namun harus bisa memperdengarkan smiling voice pada pelanggan. Nada bicara harus stabilm tidak ada penekanan apalagi nada bicara tinggi. Telkomsel misalnya, dia mempunyai rekaman suara tiap Caroline saat meyalani pelanggan dan ketika nada tinggi atau nada dengan sebuah penekanan ditemukan, maka itu akan jadi catatan untuk si Caroline.

Di dunia maya, CS tidak melihat wajah dan tidak mendengar suara pelanggan. CS juga tidak dituntut untuk tampil rapi, selalu tersenyum, juga tidak harus punya smiling voice atau mempertahankan suara agar tidak meninggi atau menekan. CS di dunia maya hanya harus bisa memilih diksi terbaik untuk bisa berkomunikasi dengan pelanggan. Diksi yang mudah dimengerti, yang tidak menimbulkan pertanyaan lanjutan, yang tidak membuat marah pelanggan tersulut karena kesal.

Namun, ketiga dunia CS ini memiliki dua attitude yang sama yaitu RAMAH dan SABAR. So, buat yang berminat jadi CS, latihlah kedua hal itu dengan sempurna, maka “nilai jual”-mu akan sangat tinggi, terutama untuk perusahaan-perusahaan yang memberikan jasa pelayanan dengan standart tinggi.

9.6.11

#7

Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam benaknya, apa yang dia pikirkan tentangku. Dia hanya selalu berdiri di sana, bersandar pada salah satu tiang besi penyangga atap berlapis jerami. Yang kuingat bukanlah tubuhnya yang tinggi tegap, bukan juga kulitnya yang sawo matang, atau rambut ikal yang sedikit melewati telinga.

Satu-satunya yang membuatku selalu ingat adalah matanya. Mata bersorot tajam yang selalu terfokus padaku saat jemariku memainkan piano dan bibirku melantun bait-bait lagu. Aku tak pernah tahu siapa namanya, dari mana dia berasal. Aku tak pernah menemukan kesempatan untuk bertanya. Dia selalu pergi beberapa saat sebelum laguku tuntas.

Sore itu, dia ada di sana, sama seperti yang sudah-sudah. Cahaya jingga menembus kacamatanya, menyinari mata yang tak berkurang ketajamannya karena terhalang kaca. Di tengah sinar temaram senja yang menyusup di sela celah dinding bambu, aku melihatnya tersenyum ketika mata kami bertemu. Dan mata itu seketika berubah menjadi begitu teduh hingga membuat jari dan bibirku beku sesaat.

Hari itu, dia tak lebih dulu pulang seperti biasa. Dia duduk di meja paling ujung, mungkin menungguku. Meski aku tak tahu pasti, namun ada sesuatu yang memaksaku mendatanginya. Dia tak memperlihatkan ekspresi apapun ketika aku telah berdiri di depannya. Hanya isyarat agar aku duduk berseberangan dengannya. Seperti terhipnotis, aku menurut isyaratnya.

Menit-menit penuh kebekuan berlalu. Bahkan hangat senja tak mampu mencairkannya. Dia diam. Aku diam. Hanya mata kami saling menatap, seolah dari mata inilah kami bisa saling berkomunikasi. Tanpa harus berkata. Dan aku melihat keteduhan dalam kebekuan ini. Mata itu menyuguhkan perasaan aman dan nyaman. Rasa yang tak seharusnya muncul untuk orang yang bahkan tak kutahu namanya.

Sayup suara orang mengaji mulai terdengar, tanda waktu maghrib akan segera datang. Entah apa yang membuatku tersenyum, tapi ujung bibir ini terlanjur tertarik ke atas. Aku jengah sendiri pada sikapku. Tak lama aku lalu berdiri, berniat pergi, namun suara yang terlontar dari bibirnya menahanku. Suara yang sangat halus namun tegas dan sangat jelas.

“Would you marry me?”

8.6.11

Cinta = Pasir

Masih belum jam 6 ketika sebuah sms dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku. Dan sederet nama yang dia sebutkan untuk memperkenalkan diri rasanya memang lebih ampuh menghilangkan kantuk daripada secangkir kopi. Eits! Tapi kita tidak akan membahas nama siapa yang tertera di sana, it’s not a big deal! Yang akan kita bahas adalah isi smsnya. Hehehe...

Setelah bersms ria beberapa kali akhirnya ketahuan kalo yang sms itu adalah tunangannya orang yang namanya disebut tadi. Jadi awalnya mbak ini sms pake nama tunangannya untuk menyelidiki siapa aku, yang notabene nomorku ini pernah dipake seorang temen ngirim sms yang ternyata salah kirim. Salah kirimnya ke nomor tunangannya mbak itu.

Dia sok kenal banget di sms, seolah dia yang berperan sebagai tunangannya itu kenal banget sama aku. Ketika sudah ketahuan kalo kita gak saling kenal, mbak ini bilang kalo dia ngira aku ini mantannya tunangannya yang mau gangguin hubungan mereka. Nah, inilah isi sms yang akan kita bahas.

Dari kata-kata yang terlontar dalam sms mbak itu, aku bisa menyimpulkan kalo dia adalah orang yang posesif, over protektif. Menurutku ada dua sebab dia bersikap begitu. Pertama, karena pasangannya suka selingkuh. Kedua, karena dia terlalu cinta dan terlalu gak percaya sama pasangannya, terlalu takut kehilangan.

Untuk alasan pertama, aku punya keyakinan, bahwa selingkuh itu hanyalah tabiat, bukan watak. Itu artinya kebiasaan atau hobi selingkuh ini bisa diubah. Pada suatu saat, ketika seorang laki-laki ataupun perempuan telah menemukan seseorang yang memang benar tercipta untuknya, dia akan bisa menjaga hatinya. Seseorang yang ketika bertemu hati menjadi nyaman dan aman. Yang ketika berjauhan, hati tak merasa khawatir akan dikhianati. Yang membuat dia berpikir bahwa bersama orang inilah dia akan menjalani kehidupan.

Ketika sudah bertemu dengan yang begini, yang harus ada adalah konsistensi. Karena ada kalanya rasa dalam hati itu memerlukan penjagaan agar dia tetap ada dan tak pernah luntur. Caranya? Bersyukurlah, nikmatilah, yakinlah. Karena yang Allah berikan untuk kita itu adalah yang terbaik. Meski sebenarnya, tanpa penjagaan yang ketat pun rasa itu akan bertumbuh dengan sendirinya. Tapi sekali lagi, untuk yang punya hobi selingkuh, penjagaan dan konsistensi itu perlu.

Untuk yang punya pasangan suka selingkuh, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah menjadi pasangan paling setia untuknya. Ingatlah apa yang membuatnya jatuh cinta dan jagalah agar itu tetap ada. Rangkaikan suasana yang nyaman dan aman dalam hubungan. Ketika dia benar mencinta, dia akan berpikir dua kali untuk menyakiti hati orang yang dengan tulus menjaga cintanya untuk dia. Karena memang sewajarnya orang, ketika dia merasa nyaman dia pasti akan selalu kembali.

Nah, yang alasan kedua ini agak serem. Pesan singkat yang aku berikan sama mbak tadi adalah bahwa cinta itu seperti pasir dalam genggaman. Kalo kita menggenggamnya terlalu longgar, kita akan mudah kehilangannya, dia bisa terbang tertiup angin atau jatuh ke bumi begitu saja. Kalo kita terlalu rapat, perlahan butir demi butir akan lolos dari genggaman kita dan kemudian mungkin bisa hilang sama sekali.

Pasir itu dianalogikan sebagai perasaan kasih sayang. Ketika kita membiarkannya, tak peduli dengan pasangan kita, bukan tidak mungkin suatu saat rasa itu akan memudar. Begitu juga ketika kita mengikatnya terlalu erat. Dia bisa saja berontak dan memilih untuk melepaskan diri. Karena pada dasarnya manusia selalu mendamba rasa nyaman. Karena pada dasarnya manusia suka kebebasan. Dan, manusia mana yang tahan dipenjara terus-terusan. Tidakkah rasa nyaman yang sebelumnya ada perlahan hilang seiring dengan terenggutnya kebebasan.

Pasangan adalah orang terdekat dengan kita. Ketika bahagia menghampiri, rasanya tawa tak sempurna jika pasangan tak bisa ikut merasakannya. Ketika sedih, dia akan menjadi tempat ternyaman untuk berkeluh kesah, untuk mecurahkan segala rasa. Begitu juga sebaliknya, ketika dia bahagia, kita juga akan merasakan bahagianya, tanpa dibagi. Ketika dia bersedih, kite berusaha menjadi orang pertama yang bisa mengerti kesedihannya, berusaha menenangkan dan meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Sejujurnya aku merasa kasihan sama mbak tadi, baru juga tunangan, blom jadi suami, tapi dia menjaga pasangannya sedemikian ketat. Aku tak tahu bagaimana pasangannya, apa memang suka selingkuh atau mbak ini aja yang over. Tapi, ketika sms salah sambung aja dipermasalahkan, diselidiki sampe segitunya, i think there’s something not ok. Berlebihan sekali. Dan memang kasihan sekali. Betapa hatinya selalu galau, selalu dihantui perasaan akan dikhianati. Betapa rasa nyaman mendampingi pasangan itu tak lagi ada karena dikuasai curiga.

Aku jadi berpikir, mungkin saja itu bukan cinta, tapi rasa yang kuat untuk memiliki, hanya karena tak ingin kehilangan. Mungkin sama seperti kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, tentu kita tak ingin orang lain mengambilnya, bahkan sekedar menyentuhnya. Ah, bagaimana kalo ternyata tunangannya itu bukan jodohnya. Mungkin saja dia akan gila.

Yah, bukankah kita selalu diingatkan untuk mencintai seseorang karena Allah? Bukankah cinta sesama manusia itu sebenarnya semu dan sementara? Dan memang lebih baik kalo cinta yang sepenuhnya pada sesama manusia berlainan jenis itu hanya terberi untuk suami atau istri. :D

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates