2.7.11

Mie Ayam Cinta

“Bang, minta mangkuk satu lagi ya?”
“Dua, Bang.”
Tak sampai semenit, abang penjual mie ayam itu mengasurkan dua buah mangkuk. Dia satu. Aku satu. Nyaris bersamaan, kami mengambil wadah sambal lalu saling tersenyum. Menertawakan tingkah masing-masing. Aku mengalah sewajarnya, lady’s first. Membiarkannya lebih dulu menyendokkan sambal ke mangkuk bersihnya dua kali. Aku menyusul mengambil tiga sendok.
“Ternyata kita punya kebiasaan makan mie ayam yang sama,” dia berkomentar ketika aku menyisihkan sebagian isi mangkuk mie-ku ke mangkuk berisi sambal.
“Hahaha, iya, memang lebih enak begini.”
“Iya, meski kadang orang memandang aneh kebiasaan ini. Hahaha..”

###

Dialog itu terjadi tiga tahun silam, saat untuk pertama kalinya aku menraktirnya makan mie ayam di sini, di warung mie ayam favoritku. Aku memang menjanjikan semangkuk mie ayam asal dia punya keberanian untuk melawan argumen seorang dosen yang nyata-nyata salah. Dia benar melakukannya. Teman baruku di kampus ini benar-benar suka tantangan seperti yang pernah dipamerkannya di awal pertemuan kami.
Dia adalah mahasiswai pindahan dari Jogja yang tak pernah mau menceritakan alasan kepindahannya. “Aku suka tantangan, aku suka hal baru,” selalu itu yang jadi alasan. Dan biasanya orang akan berhenti bertanya saat mendapat jawaban itu. Pertemuan pertama kami terjadi seperti di film-film drama. Dia berlari tergesa dan menabrakku di tikungan gedung kampus. Sama-sama terjatuh. Sama-sama minta maaf. Lalu saling berkenalan.
Sudah lewat setahun sejak dia di wisuda lalu menghilang begitu saja dari peredaran. Tanpa pesan, namun penuh kesan. Ya, penuh kesan. Karena hingga kini pun aku masih merindukan saat-saat bersamanya yang memang selalu mengesankan.

###

“Selamat jadi pengangguran,” aku menyodorkan buket mawar putih. Ucapan selamat atas kelulusannya.
“Sapa bilang aku akan jadi pengangguran? Tak lama, aku pasti sudah akan sibuk dengan pekerjaan baru yang penuh tantangan,” seperti biasa, dia begitu percaya diri. Membuat nyaliku ciut.
“Iya deh, percaya! Tapi kamu jahat.”
“Kok jahat?”
“Ya iyalah, kamu lulus duluan. Ninggalin aku!”
“Sapa suruh kamu lambat. Cepetan dikerjain sama TA-nya, biar cepet nyusul jadi pengangguran,” dia tergelak. Aku paling suka melihatnya tertawa. Sangat manis.
“Tunggu aku ya,” tawanya terhenti saat melihat rautku berubah serius.
“Kenapa aku harus nunggu kamu lulus?”
“Because i love you,” mata itu menatap tajam padaku, seolah mencari kebenaran kata-kataku.
“Faniiii...!!! Selamat yaaaa....” segerombolan perempuan, yang kukenali sebagai teman-temannya datang.
Mereka berebut memberikan ucapan selamat. Cium pipi kanan. Cium pipi kiri. Berpose di depan kamera bergantian. Aku tersingkir begitu saja. Dia masih sempat melirikku dari sudut matanya sebelum digiring teman-temannya mencari lokasi foto yang lebih bagus. Dia pergi dengan buket mawar putih dariku. Dia pergi tanpa menjawab pernyataan cintaku.

###

“Minta mangkuknya satu lagi ya, Bang.”
“Dua, Bang,” sebuah suara menyahut. Sejenak aku tertegun. Benar-benar mengingatkanku padanya.
“Mbak pesen mangkuk buat apa? Kan belum pesen mie ayamnya?” si abang penjual mie ayam tak langsung mengambilkan mangkuk.
“Kalo begitu sekarang saya pesan mie ayamnya.”
Aku menoleh ke sumber suara. Perempuan yang berdiri di sampingku ini meringis. Memamerkan deretan giginya yang putih. Dia lalu duduk di sampingku. Mengabaikan mataku yang terbelalak dan mulutku yang melongo karena kehadirannya.
“Aku mau bayar hutang,” katanya beberapa menit kemudian. Sepertinya dia sudah tak tahan melihat ekspresiku.
“Hutang apa?” aku tergagap.
“I love you too.”
“Mie ayam dan mangkuknya, Mbak dan Mas,” abang penjual mie ayam itu masih sempat mempersilakan kami makan sebelum berlalu. Dari sudut mataku, aku tahu dia terseyum.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates