29.10.11

Hujan 5 cm

Hujan dan kenangan tentangmu berjarak 5 cm. Aku sengaja mengaturnya begitu. Memberi jarak, meski tak sampai sedepa. Karena katamu hati perlu jeda. Katamu rasa perlu jeda.

Dulu aku selalu membantahmu. Bagiku hati dan rasa berjalan beriringan, selalu berkesinambungan. Tak perlu jeda yang bisa membuatnya luruh perlahan. Ya, aku selalu merasa tak membutuhkan jeda untuk hatiku, dan rasaku.

Namun menahun setelah perpisahan itu, aku mulai mengerti. Meski telah terlambat. Setidaknya kini aku mengerti dan mulai memberi jeda pada hatiku, dan rasaku.

Malam ini hujan pertama di tanahku. Bau khas hujan membawa serta hadir bayangmu. Aku terpekur menatap kaca jendela yang mulai berbintik tetesan air. Hujan tahu benar, kapan ia harus turun.

Aku mundur selangkah, memberi jarak agar bisa mengatur segalanya dengan sempurna. Hujan dan kenangan tentangmu yang telah memenuhi hati dan rasaku. Kuatur jaraknya, 5 cm.

Tak perlu terlalu jauh, namun cukup untuk memberi jeda bagi hati dan rasa. Tak perlu terlalu jauh, agar jika perlahan ia luruh, aku bisa segera mengatasinya.


October 24th 2011

6.10.11

Muara Hati


Kupandangi wajah tirus di depanku. Ia tersenyum ketika mata kami bertemu. Kubalas. Tatapan mataku berpindah ke bibirnya yang komat-kamit, melagukan bait-bait romantis. Menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Apalagi yang sedang mencinta. Jemarinya lentik menari di atas senar gitar, seirama dengan gerak pasangannya yang cekatan berpindah dari satu kunci ke kunci yang lain.

“Kupikir dia sama dengan sejenisnya, playboy,” suara yang datang lamat-lamat itu cukup membuatku berpaling.

Bian duduk di sampingku, menatap sapa padanya. Aku tersenyum, mataku kembali menatapnya. Kulihat sisa senyum sapanya pada Bian. Dia masih saja bernyanyi.

“Nggak semua musisi playboy, Bian,” aku menanggapinya.

“Ah, kau sendiri sudah lama mengenalnya. Dulu, dia benar-benar petualang cinta, pecinta setiap wanita jelita,” Bian mengerling padaku, “Tapi aku berbahagia, dia telah menemukan pelabuhan cintanya.”

Kutatap Bian dari sudut mataku. Rangkaian kata itu kujawab dengan senyum.

“Setiap tetes air selalu bermuara, Bian. Ada kalanya dia mengalir tenang, kadang harus menempuh jalan berputar, atau jalan penuh bebatuan,” mataku kembali padanya. Lagunya sudah hampir habis, “Meskipun pernah tersesat, toh nantinya dia pasti menemukannya.”

“Semoga memang kamu,” Bian mengikuti arah mataku.

Riuh tepuk tangan memenuhi kafe. Lagunya tuntas. Lagi-lagi dia melempar senyum.

“Saya mau menyanyikan satu lagu lagi. Lagu baru, khusus untuk seseorang. Judulnya ‘muara hati’. Please listen.”

2.10.11

Galau #3

bulan malam ini sabit, manisku
apa kau tahu artinya?

sabit adalah sebuah penantian
perjalanan panjang sasi
untuk menjelma purnama

ia terlihat menawan malam ini
mengingatkanku pada senyummu

ah, kau tahu?
tiba-tiba saja aku merindu
tapi kuhanya bisa diam dalam harap
bukahkah kau berjanji akan menemuiku
ketika purnama?

ingin kupercepat laju hari
biar sabit cepat purnama
biar penantian ini lekas usai

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates