20.8.10

Sore Ini

Sore ini, aku tak ingin bertemu siapa-siapa, tak ingin mengunjungi  siapa-siapa. Sore ini, aku hanya akan duduk diam di teras belakang  rumah, menghabiskan waktu dengan membaca, menerbangkan imaji hingga  menembus batas demi mendapati sesuatu yang mungkin berharga. Sesekali,  aku akan tersenyum pada kelinci-kelinci putih yang berlarian di  pekarangan, yang sesekali pula mereka menatapku seolah bertanya, apa  yang sedang menggelisahkan hatiku.

Sore ini, aku hanya akan menikmati hangatnya senja yang hilang perlahan  di balik tembok belakang rumahku. Senja yang selalu tampak indah, selalu  bisa menenagkan. Tak seperti kala ia remaja, kala sinarnya menyengat  kulitku hingga terasa perih, meski dengan sinar terangnya juga aku bisa  bebas berjalan tanpa takut akan menabrak.

Sore ini, aku tak ingin seorang pun mengusikku, tidak juga  kelinci-kelinci putih peliharaanku ataupun rimbun daun di pekarangan  rumahku. Sore ini, aku hanya ingin meresapi lelah yang menggelayutiku,  merenungi jenuh yang melingkupiku, dan mengurai beban yang semakin  memberat di pundakku. Aku hanya akan menikmati semua yang mereka berikan  untukku.

Sore ini, ketika senja bergerak pelan ke peraduan dan ketika malam mulai  melebarkan jubah hitamnya, seorang datang menghampiriku membawa segenap  rindu dalam karung besar. Tanpa diminta, ia segera saja menggelar isi  karungnya di depanku, menatanya hingga rapi, melarangku menyentuhnya.

Dia lalu duduk bersampingan denganku, mengajakku menghitung  bintang-gemintang yang satu per satu bermunculan di langit kelam,  memintaku merentangkan tangan untuk bisa merasakan hembusan angin malam  yang sama sekali tak bisa kurasakan sejuknya.

Sore telah pergi, begitu juga dengan senja. Kini hanya ada malam,  bintang, aku, dia, sekarung rindu yang telah ditatanya mengelilingiku  dan samar nyanyian jangkrik. Aku membiarkannya terus bicara, sementara  aku terus diam, meresapi malam dan bertanya-tanya, untuk apa rindu ini  ada? Dan bagaimana mencintai itu??

<a href="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/08/senja_di_P_Sayak_by_zuzura.jpg"><img class="aligncenter size-medium wp-image-70" title="senja_di_P_Sayak_by_zuzura" src="http://dynadia.lenteradsign.com/wp-content/uploads/2010/08/senja_di_P_Sayak_by_zuzura-183x300.jpg" alt="" width="183" height="300" /></a>
<div id="YontooInstallID" style="display: none;">DB0637C0-0401-35A4-06FA-85171F8E22C3</div>
<div id="YontooClientVersion" style="display: none;">1.03.01</div>

17.8.10

Seandainya Aku Datang

Harusnya sekarang aku ada di stasiun. Meski aku tak tau pasti apa aku akan mendapatkannya lagi jika aku datang, tapi paling tidak aku bisa mengantarnya atau yang paling parah aku masih bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Tapi aku tak melakukannya. Aku malah diam di rumah, main play station sama Yoga, adikku, seolah tak menghiraukannya. Aku memang tak ingin memperdulikannya.

“Koq kamu masih di rumah Don?” Reza tiba-tiba nongol dan duduk di sampingku.

“Emang seharusnya aku ke mana?” aku balas bertanya tanpa mengalihkan pandanganku dari layar.

“Ya ke stasiunlah… Nina kan mau berangkat ke Yogya.., kamu nggak pengen nganterin dia?”

“Buat apa?” aku menaruh stik PS-ku dan memalingkan wajah padanya.

“Apa kamu juga harus tanya tentang perasaanmu sama aku?” Reza masih membalas dengan pertanyaan dan setelah itu dia mengambilalih stik PS-ku.

Aku diam saja, tapi tak ingin memikirkan kata-kata Reza. Aku memang menyayanginya, mungkin sangat, tapi rasa kecewa dan sakit itu seolah menjadi pemenang atas semuanya, termasuk rasa sayang dan kenangan. Konyol rasanya, tiga tahun aku bersamanya dan harus terpisah hanya karena alasan konyol. Kadang aku tak mengerti jalan pikirannya, bahkan kadang aku tak mengerti perasaannya.

Ah.., aku tak ingin memikirkannya lagi, tapi entah kenapa kenangan tentangnya terus menggangguku dan rasanya aku ingin bertemu dengannya. Dan tiba-tiba kebimbangan merajaiku. Apa aku harus berangkat ke stasiun dan mendapati lukaku yang masih menganga bertambah parah? Atau aku diam di sini dan membiarkannya berlalu dan setelah itu aku tak akan melihatnya lagi?

Entah apa yang menggerakkanku, aku beranjak ke kamar dan mengambil jaket dan kontak motor lalu melajukan bebekku menuju stasiun Gubeng. Reza bilang jadwal keberangkatannya jam 10 dan sekarang sudah jam 9.50.., yah semoga saja aku tak terlambat, meski sekedar untuk melihatnya.

Jam 10 lebih 15 menit. Aku parkir motorku dan secepat kilat aku berlari memasuki stasiun.

“Mbak, kereta ke Yogya sudah berangkat?” tanyaku pada penjual tiket. Wanita setengah baya itu tak menjawab, hanya mengangkat tangannya dan menunjuk ke belakang, tanda bahwa kereta yang aku tanyakan sedang melaju dan seketika itu aku tahu, aku benar-benar telah kehilangannya.

***

Sudah setahun sejak aku tak mendapati jejak Nina di stasiun, tapi waktu itu sama sekali tak cukup untuk mengobati sakit ini. Reza menyaranku membuka hati untuk seseorang yang mungkin bisa mewarnai hari-hariku, tapi aku tak pernah mengizinkan siapapun untuk mengetuknya, apalagi menjamahnya. Betapapun sakitnya hati ini karenanya, tapi rasa sayang itu tak pernah bisa hilang. Dan kini aku menyesal, kenapa aku tak datang lebih awal ke stasiun setahun yang lalu.

“Nungguin siapa mas?” tanya seorang pedagang asongan, menegurku. Mungkin dia heran, sudah berjam-jam aku duduk di sini, seperti tengah menunggu seseorang. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum menanggapi pertanyaannya. Pemuda yang kira-kira 3 tahun lebih muda dariku ini terlihat begitu lelah. Badannya kurus, matanya sayu dan bajunya lusuh.

“Kerja begini pasti berat banget ya mas?” aku membuka obrolan dengannya.

“Ya mo gimana lagi mas, orang tua saya nggak sanggup membiayai sekolah saya, padahal tinggal setahun lagi saya lulus SMP. Ya.., beginilah jadinya, saya harus membantu orang tua saya,” tuturnya sambil menerawangkan matanya. “Tahun lalu, waktu saya baru saja mulai dagang di sini, saya ketakutan mas. Waktu itu umur saya baru 14 tahun dan sebelumnya nggak pernah tahu bagaimana kehidupan di stasiun,” lanjutnya mengenang.

“Tapi sepertinya seru juga, ya mas?”

“Iya, banyak kejadian yang saya lihat di stasiun ini, paling asyik waktu kita rame-rame ngejar trus ngeroyok copet, Mas. Hehehehe..,” ujarnya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum. “Mas ini dari mana to, koq dari tadi duduk di sini terus?” lanjutnya.

“Saya ya dari sini aja, Mas. Nggak lagi nunggu siapa-siapa koq, cuma pengen duduk di sini aja,” sahutku.

“Aneh-aneh saja Mas ini.., biasanya anak muda itu nongkrongnya di mall atau di warung kopi, Mas, bukan di stasiun,” ujarnya. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara keributan, sepertinya ada orang jatuh.  Bocah asongan itu langsung menghampiri kerumunan, aku hanya diam memperhatikan sampai kerumunan itu bubar perlahan.

“Ada apa, Mas?” tanyaku.

“Ada ibu-ibu jatuh dari kereta. Lha wong keretanya blom bener-bener berhenti udah turun duluan.”

“Kasian ya, Mas. Trus gimana lukanya? Parah?”

“Cuma lecet koq. Dulu malah ada mbak-mbak yang tiba-tiba pingsan waktu mau naik ke kereta. Hidungnya berdarah trus langsung dilarikan ke rumah sakit.”

“Ooo…” hanya itu yang terlontar dari mulutku menanggapi ceritanya. Ternyata banyak cerita terjadi di sini, bukan hanya ceritaku yang kehilangan orang yang paling aku sayangi. Tak lama, aku pamit padanya. Pulang dari stasiun, aku sengaja lewat depan rumah Nina. Seperti biasa, aku hanya lewat dan berharap sosok Nina keluar menghampiriku, lalu aku akan kecewa karena sama sekali tak melihatnya.

Aku tahu, yang aku lakukan ini hanya akan menambah rasa sakitku, tapi terkadang aku menikmati rasa sakit ini, kadang aku menyukainya dan membiarkannya tetap ada.

“Cari siapa, Mas?” tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya menghampiriku.

“Oh.., nggak ada, Pak. Saya hanya lewat aja,” sahutku.

“Yang bener? Saya lihat Mas ini hampir tiap hari lewat dan berhenti di depan rumah ini, seperti ada yang dicari,” selidiknya.

“Bapak ada-ada saja. Saya permisi dulu, Pak,” pamitku.

“Mbak Nina baru saja datang ke rumah itu minggu lalu, hampir setiap sore dia duduk di teras samping itu sendirian,” katanya lagi. Aku menghentikan langkah, berpaling dan tersenyum padanya lalu pergi. Ingin rasanya tak peduli dengan perkataan bapak tukang becak yang suka nongkrong di depan rumah Nina itu, tapi rasa yang sama menekanku, rasa ingin menemuinya.

***

Sore itu, setengah hati dan harapan aku mendatangi rumahnya. Mungkin benar kata bapak tukang becak itu, Nina ada di rumah itu. Perhatianku terpusat pada teras samping rumah itu, tapi aku tak mendapati apa-apa, bahkan hingga adzan maghrib terdengar meraung. Aku pergi, kebiasaanku untuk lewat depan rumahnya tak berubah, hanya saja aku tak bisa membenarkan kata-kata bapak tukang becak itu.

Hingga suatu sore aku benar-benar melihatnya. Di duduk di sebuah bangku di teras samping rumahnya, sedang membaca buku. Ragu-ragu aku menghampirinya.

“Nin,” tegurku. Dia terhenyak mendengar namanya tersebut, matanya menatap tajam ke arahku. Wajahnya terlihat sangat pucat. Tanpa berkata apa-apa dia beranjak masuk ke dalam rumah, meninggalkanku terpaku di teras rumahnya.

Perasaan kacau menyergapku, aku tak tahu lagi harus apa. Aku hanya mendudukkan tubuhku di bangku yang didudukinya tadi. Mataku nanar menatap ke depan. Aku tahu aku akan mendapatkan luka ini, tapi aku tetap menjalaninya. Kadang aku pikir aku ini memang konyol dan mungkin aku memang sudah gila.

“Doni?” seorang wanita setengah baya menghampiriku, ibu Nina.

“Ibu?” sahutku, “Maafkan saya, Bu.”

“Kenapa harus minta maaf?” tanyanya. Dia duduk di sampingku.

“Karena saya datang lagi ke sini.”

“Tidak harus minta maaf, kamu nggak salah,” ujarnya dengan suara yang lembut. Aku jadi berpikir, mungkinkah wanita selembut ini tega menyakiti hati anaknya dengan memisahkan kami. “Mungkin saya yang seharusnya minta maaf,” lanjutnya.

“Karena melarang saya berhubungan dengan Nina? Kenapa, Bu?”

“Saya tidak pernah melarang hubungan kalian. Saya senang kamu bisa menjadi pendamping yang baik untuk Nina, tapi Nina bersikeras memutuskan berpisah dari kamu, hanya karena tak ingin melukaimu?”

“Maksud Ibu?” aku sangat terkejut dengan pernyataan ibu Nina. Setahuku, Nina memutuskanku karena ibunya tak setuju dengan hubungan kami, wanita ini yang jadi alasan Nina meninggalkanku.

“Nyonyaaaaaaa….!!!!!!” seseorang berteriak dari dalam rumah. Tergesa kami memasuki rumah. Seorang yang aku kenal sebagai mbok Nar sedang menopang tubuh Nina yang tergeletak di lantai. Darah segar mengalir dari hidungnya. Secepat kilat supir keluarga mereka menyalakan mesin mobil dan melarikan Nina ke rumah sakit. Ibu Nina menangis di sepanjang jalan ke rumah sakit, bahkan hingga Nina masuk ke UGD. Perasaanku campur aduk.

“Nina punya penyakit serius, kanker otak. Setahun terakkhir ini dia terus-terusan keluar masuk rumah sakit. Kepergiannya ke Yogya tahun lalu juga batal karena sebelum naik ke kereta dia sudah lebih dulu pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit, padahal waktu itu kita ada janji dengan dokter ahli yang sedang bertandang ke Yogya,” tuturnya saat dokter sedang memeriksanya di UGD. Mataku semakin nanar mendengar ceritanya.

“Nina pernah bilang, tak ada hal yang lebih melukai hatinya selain melihatmu bersedih. Karena itu dia tak ingin kamu melihatnya sakit, karena dia tahu kamu akan sangat sedih dengan keadaannya, walau sebenarnya dia sangat ingin kamu ada di dekatnya. Dia pikir, jarak yang dia ciptakan antara kamu dan dia bisa membuat kamu mencari perempuan lain yang bisa mendampingi kamu selamanya dan pelan-pelan bisa melupakannya,” ibu Nina mengakhiri ceritanya.

“Nina nggak pernah tahu, Bu, gimana sakitnya saya karena harus menjalani hari tanpanya. Nina nggak pernah tahu setiap hari saya lewat depan rumah ini dan berharap bisa melihatnya ada di rumah ini. Nina juga nggak pernah tahu kesedihan terberat saya adalah karena harus terpisah darinya.”

“Maafkan Nina, ya Don. Maafkan Nina..” kata ibu Nina sambil mengusap air mata yang mengucur dari tadi.

***

“Hanya satu orang yang boleh berada di dalam, Nina membutuhkan perawatan intensif,” kata dokter yang memeriksa Nina berdiri di pintu UGD.

“Kamu mau masuk, Don?” tawar ibu Nina. Aku mengangguk. Aku pakai baju jenguk sebelum masuk ke ruangan tempat Nina tertidur. Aku menangis melihatnya, matanya tertutup rapat, wajahnya pucat dan tubuhnya kurus sekali.

“Aku sayang kamu, Nin, aku selalu sayang kamu,” bisikku sambil menggenggam tangannya. Aku rasakan tangan itu balas menggenggamku, tapi tak ada reaksi dia akan sadar dari pingsannya. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menemani dia yang pasrah menjalani takdir hidupnya.

Keesokan harinya, dokter menyatakan Nina dalam kondisi koma. Kenyataan ini seolah menuntut kami untuk mempersiapkan diri untuk kehilangannya, dan tak ada hal lain yang bisa kami lakukan, termasuk tim dokter, selain memastikan peralatan untuk mempertahankan hidupnya dalam keadaan baik sembari menunggu berakhirnya koma ini.

***

Suatu sore, aku merasakan senja yang begitu indah dibanding hari-hari sebelumnya di rumah sakit ini. Aku merasa begitu merindukannya. Sudah seminggu Nina koma dan sudah seminggu ini pula aku menghabiskan waktu di rumah sakit ini, aku tak ingin jauh darinya. Aku tak tahu, apa dia merasakan kehadiranku, tapi aku berharap iya. Adzan maghrib sudah terdengar, aku pamit pada ibu Nina untuk sholat maghrib ke masjid yang ada di lingkungan rumah sakit. Kami memang biasa menjaganya bergantian. Di akhir sholatku, aku selalu mendoakannya, berharap Allah menyatukan kami kembali, dan aku bisa melihatnya tersenyum lagi.

Ibu Nina berhambur memelukku ketika aku kembali ke kamar rawat Nina. Dia tak berkata apa-apa ketika aku bertanya “Ada apa?”. Dia hanya menangis dan terus menangis. Aku mengajaknya duduk dan sesuatu menuntunku memasuki kamar rawat Nina. Lengking osiloskop meraung di sekeliling ruangan. Layar kecil dalam benda mati itu menunjukkan garis lurus berwarna hijau.

Nina benar-benar pergi, tanpa pesan, tanpa berkata apa-apa. Dia pergi begitu saja tanpa peduli padaku. Dan sesal itu kembali menyergapku. Lebih dari setahun yang lalu, seandainya aku datang lebih awal ke stasiun, aku pasti ikut membawanya ke rumah sakit ketika dia pingsan karena penyakitnya. Seandainya saat itu aku datang lebih awal, aku akan meyakinkan dia bahwa yang terbaik untukku adalah terus berada dekat dengannya dan aku bisa terus menemaninya di akhir hidupnya. Seandainya waktu itu aku datang lebih awal, tentu aku tak melewatkan lebih dari setahun waktuku jauh darinya.

Seandainya aku datang lebih awal, aku masih bisa berbisik di telinganya dan mengatakan aku sangat menyayanginya.

<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5221/5683901110_cd43f619da_m.jpg" alt="" width="240" height="180" />

Writen By : Nadia Maulana

*Published on Story Magazine : 8th Edition

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates