26.7.11

l-i-n-g-l-u-n-g

Ada yang tak beres dengan hati dan pikiranku malam ini. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Bahkan tak dapat dilerai dalam rasa. Mungkin bingung, mungkin resah, mungkin galau, mungkin senang, mungkin sedih. Entahlah. Hanya saja, aku ingin menangis. Meski entah untuk apa, untuk siapa.

Malam ini bulan nyaris purnama. Mungkin akan sempurna besok. Mungkin juga lusa. Bulan yang selalu merindu. Ah rindu. Mungkinkah malam ini aku sedang merindu? Merindu apa? Merindu siapa? Sepertinya tak ada. Sepertinya memang tak sedang merindu.

Bulan bersanding dengan mendung malam ini. Perpaduan yang tak begitu indah. Merusak pesona langit malam. Awan mendung telah menutup jalan cahaya bintang. Bintang itu harapan. Dia pernah bilang begitu dulu. Dia? Kenapa tiba-tiba aku teringat padanya? Diakah sumber ketidakberesan malam ini? Aku benar-benar tak tahu.

Biarkan sajalah. Dia atau bukan, tak akan ada bedanya. Tak akan berpengaruh apa-apa. Tak membuat mendung menjauh ataupun menjatuhkan air hujan. Tak membuat bulan tiba-tiba jadi purnama. Tak mampu membantu bintang menembuskan cahaya melewati awan hitam.

Dia atau bukan, semua akan tetap sama. Rasa ini pun tetap tak terjemahkan dalam kata. Kecuali oleh hening. Hening yang menetramkan, menghangatkan. Seperti bulan, meski tak purnama.



* Surabaya,
Malam-malam yang lalu, ketika bulan nyaris purnama

13.7.11

#8

Dear Heart,
Bukan maksudku untuk selalu menutup pintumu dan menguncinya rapat-rapat, tapi maafkanlah. Maafkan karena aku belum mampu membukakannya untuk siapapun. Maafkan karena aku belum mampu menepis ingatanku tentangnya.

Dear Heart,
Jingga di dindingmu masih juga kentara. Tentu kau selalu ingat betapa sinar surya kala senja adalah perekat yang manis untukmu dan dia. Kau dan dia, dua hati yang telah menjadi satu, saling mengisi dan melengkapi, meski kini terpisah di dua dunia yang tak lagi sama.

Pematang sawah, pantai berpasir putih, pucuk-pucuk cemara. Ketika hijau menjadi jingga. Ketika putih dan biru terbaur jingga. Semua terjadi ketika senja, karena memang hanya itulah waktu yang kau miliki bersamanya. Untuk saling meleburkan rasa. Kau dan dia tahu, meski tak ada kata terbisik dariku dan dia, pemilik kekasih hatimu.

Dear Heart,
Kau tahu benar, kemana hati itu bertuan. Sama seperti aku yang tahu benar kemana mata itu menatap. Ah, bahkan masih sangat lekat dalam ingatanku, bagaimana dia tersenyum, bagaimana mata itu menatapku dengan sangat teduh, penuh dengan kelembutan dan kasih sayang.

Bagaimana mungkin bisa kita lupa pada dia, yang bersamanya impian dan harapan telah terangkai sempurna. Bagaimana mungkin kita lupa pada kehangatan senja yang serupa dengan hangat kasihnya. Kau dan aku sama-sama memahami, bahwa tak ada yang lebih indah dari sebuah pertautan. Bahwa tak ada yang lebih hangat dari senja. Bahwa senja ini selalu membawa kehangatan berlebih.

Dear Heart,
Hari ini ada cinta datang mengetuk. Dan aku masih tak berani membukakan gembok pintumu. Aku hanya mengintipnya dari jendela. Lihatkah kau, ketika ia datang dengan seikat mawar putih pertanda ketulusan hatinya untukmu? Lihatkah kau, di depan pintumu dia memamerkan senyum terhangat dan tatapan mata paling teduh?

Dia datang ketika birunya langit telah menjadi jingga karena ulah sang surya. Aku tak bergeming dari jendela. Membiarkannya terus berdiri membelakangi senja yang perlahan terusir petang. Apakah kau merasakan dingin seperti yang aku rasakan? Aku bahkan telah menggigil kini.

Masih terlalu banyak jingga di dindingmu. Masih terlalu pekat bayangnya di dirimu. Akankah kau memintaku membukakan pintu dan mempersilakannya menata dirimu kembali?

it's not only - gita fam

Once upon a time i found a miracle
It’s shine, it’s warm and comfort
Gave me light in every single day, in every single night
Together forever with you my friends

It’s not only an ordinary place, it’s also family
It’s not only a place to be journalist, but also place to journal our friendship
To free your imagination, and to gather our stories

Behind this sculptures, more sweats drops over and over
Sacrifice of tiredness and hard works has been possessed inside us
Hold me tight and don’t ever give up
Together we spread the news over the world

It’s not only a place to share your mind off, but also share your soul
It’s not only a place to laugh and kidding, but also place to crying and shading
To feel with your heart beating, to memorize everything

Once upon a time i found a miracle
It’s shine, it’s warm and comfort
Gave me light in every single day, in every single night
Together forever with you my friends

lyric by : ratri, radit, dian
guitar by : arul

wanna hear??
download this song here..
(cuma satu kali rekaman dengan alat yang apa adanya, jadi maklum kalo hasilnya tak begitu baik. at least..itulah karya kami untuk kalian semua.. :D)

Take and Give

Kadang, orang bahkan tak tau apa yang telah dia lakukan, apa yang dia katakan, apa yang tengah dia rasakan, apa yang sedang dia pikirkan. Mungkin saja polah yang dianggapnya biasa telah mengganggu orang lain. Mungkin saja perkataan yang dianggapnya biasa telah menyinggung perasaan orang lain. Mungkin saja rasa dalam hatinya hanya rasa yang ada karena sensibilitasnya. Atau mungkin saja yang ada di pikirannya hanya pemikiran-pemikiran yang hanya bisa menyenangkan dirinya.

Segalanya tak selalu sama seperti yang kita harapkan. Saat kita melakukan sesuatu yang kita anggap benar tapi ternyata salah di mata orang lain. Saat kita berkata bermaksud bercanda, ternyata kata itu menyinggung perasaan orang lain. Saat kita merasa terasing, ternyata tak selalu karena mereka tak menganggap kita. Saat kita berpikir masalah ini bukan muncul karena kesalahan kita, ternyata kita justru punya andil besar di dalamnya.

Dalam bertingkah, mungkin kita telah memikirkan bahwa apa yang kita lakukan itu benar, tapi mungkin kita tak mencoba menjadi orang yang menerima perlakuan kita, kita tak memahami bagaimana pola berpikirnya, apakah dia akan dengan lapang dada menerima dan membenarkan perilaku kita atau justru sebaliknya.

Dalam berkata, mungkin sebelumnya kita telah mengolah kata-kata itu dalam otak kita dan berusaha menyampaikannya sesederhana mungkin, sehalus mungkin, tapi kata-kata itu masih saja membekas luka di hati orang lain. Apa kita yang salah dalam memilih kosa kata atau orang lain yang tak dapat mengolah dan mengerti maksud kita?

Dalam hati kita, tempat kita merasakan segala sesuatunya, kadang rasa itu ada karena kita terlalu “sensi”. Orang lain memang sangat mempengaruhi mood kita. Kita merasa senang saat kita merasa dihargai karena apa yang kita lakukan, atau paling tidak orang mau mendengarkan saat kita berbicara dengannya.

Dalam berpikir, kita selalu ingin yang terbaik untuk diri kita dan semuanya. Namun, kadang tanpa sadar ego kita telah menjadi penguasa dalam pemikiran itu. Karena suatu masalah, orang bisa menyalahkan orang lain dengan begitu kejam karena menurut pemikirannya, dia sudah benar. Atau sebaliknya, karena pemikirannya tentang suatu masalah, dia bisa menyalahkan dirinya sendiri dan memilih menghukum dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kita sebagai makluk sosial tak boleh hanya menerima, tapi kita harus pula memberi, karena orang lain yang berhubungan dengan kita pun tak hanya berkewajiban memberi, tapi juga berhak menerima. Ini bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas dalam memberi, ini masalah pemahaman dan penghargaan yang sama-sama dibutuhkan oleh makhluk sosial.

Ketika orang ingin dipahami, maka dia harus lebih dulu memahami. Jika kita merasa tak dipahami, mungkin lawan main kita pun belum merasa dipahami. Kita butuh mengerti bagaimana cara berpikirnya, bagaimana responnya terhadap peristiwa tertentu, bagaimana dia ingin diperlakukan. Karena dengan itu kita bisa menempatkan diri dengan benar padanya. Seorang temanku bilang, “ketika kita benar-benar sudah mengerti, kita tak akan sakit hati dengan apapun yang diperbuatnya.” Logis, karena kita memang tau bagaimana dia berpikir untuk sesuatu yang telah dilakukannya.

Dan kita tak bisa menuntut orang lain melakukan ini, tapi kita bisa mengusahakan diri kita untuk berpikir dan melakukan ini ketika kita sadar bahwa semua berawal dari diri kita sendiri. Tak ada yang bisa menyakiti hati kita kecuali diri kita sendiri, ego kita sendiri, pemikiran kita sendiri, rasa kita sendiri. Orang lain bertindak, berkata, berpikir dan merasa semaunya, begitu pula dengan kita. Namun, saat kita sadar semua berawal dari diri kita sendiri, kita akan mencoba berpikir, kenapa dia bertindak, berkata, berpikir dan merasa demikian? Kita hanya akan mencoba memahaminya.

Dan jika mereka telah sampai pada waktunya, ketika mereka sadar semua berawal dari diri mereka sendiri, mungkin mereka akan melakukan hal yang sama, mereka akan mengusahakan yang sama seperti yang kita usahakan saat ini, memahami dan menghargai, memberi dan menerima.

Pernah diceritakan oleh seseorang, tentang cita-citanya untuk mengubah dunia, tapi dia merasa dunia terlalu sulit untuk diubah. Lalu dia menyederhanakan keinginannya, dia ingin mengubah negerinya, tapi keinginannya itu dirasa berat pula. Menjelang usianya yang setengah abad, dia berpikir untuk mengubah keluarganya saja, tapi ternyata dia pun gagal. Lalu, saat dia sudah terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dia berpikir untuk mengubah dirinya. Dan dia menyesal, kenapa tak sedari dulu dia berkeinginan mengubah dirinya? Jika dia bisa mengubah dirinya dan menjadi panutan, tentu setelah itu perlahan-lahan dia akan bisa mengubah keluarganya, negerinya, bahkan dunia.

Tulisan ini hanya buah pemikiranku yang tak selalu benar atau sejalan dengan pemikiran orang lain. Aku pun bukan orang yang bisa selalu mengerti dan menghargai orang lain. Aku juga bukan orang yang selalu bisa memberi setimpal dengan apa yang aku terima. Tapi aku berusaha. Aku berusaha untuk tak membangun pagar tembok yang bisa melindungiku dari rasa sakit tapi justru bisa membuatku terasing dari orang-orang di sekitarku.

5.7.11

Cinta Jailangkung

"Maaf ya, aku datang terlambat."
"It's ok. Kita juga baru mulai kok," pemilik suara lembut namun tegas itu tersenyum.

Dia lalu meneruskan bicara sambil mengedarkan tatapan tajam matanya dari satu orang ke orang yang lain. Hatiku berdesir ketika sorot mata itu tertuju padaku. Bumi seolah berhenti berputar dan kehilangan gravitasinya. Aku melayang. Aku tak tahu pasti sejak kapan aku mulai memperhatikannya.

Mungkin sejak pertama kali kami bertemu di kelompok KKN ini. Mungkin sejak pertama kali mata kami saling memandang. Atau mungkin saat aku duduk bersampingan dengannya. Aku benar-benar tak tahu. Yang aku tahu, ada rasa tumbuh dalam hatiku untuknya. Entah siapa yang melempar benih, entah dengan cara apa, entah di mana, entah kapan. Aku menikmati rasa ini, meski tak punya keberanian mengungkapkan. Kubiarkan diriku tersihir oleh suara lembut namun tegas dan tatapan mata tajam namun tetap terlihat teduh. Kubiarkan bumi berhenti berputar dan kehilangan gravitasinya.

Aku hanya ingin menikmati rasa ini, tanpa takut akan jatuh dan tersungkur. Siapa sangka cinta ini bersambut? Dia menyatakannya, beberapa saat setelah kami pulang dari lokasi KKN. Kebersamaan beberapa bulan terakhir juga telah membuatnya merasakan terhentinya rotasi bumi dan hilangnya gravitasi. Dia pun tak pernah tahu, kapan, di mana dan bagaimana awal mula rasa itu tumbuh.

Tak penting. Yang penting, kami telah bersepakat untuk bersama merajut benang kasih kami. Janji setia seperti pasang-pasang merpati. Bumi tak lagi berhenti berputar, tak juga kehilangan gravitasinya, karena kami tak lagi merasa hidup di bumi. Hari-hari yang begitu indah, begitu menyentuh, begitu menyenangkan. Aku pikir, mungkin saat itu kami hidup di bulan. Tanpa rotasi. Tanpa gravitasi. Berbonus bintang gemintang di siang dan malam.

Kisah yang kurasa terajut begitu sempurna. Bagi kami cinta itu membahagiakan. Meski terkadang ada kerikil-kerikil kecil mengusik, tapi itu tak mengurangi makna cinta yang terbangun. Aku tak pernah menyesalkan apa pun. Dia tak pernah mengharap lebih dari yang kami miliki. Satu-satunya penyesalanku adalah kepergianku ke Bali untuk riset skripsiku. Seharusnya aku menunggunya pulang dari Jakarta. Seharusnya aku bisa berangkat tiga hari lagi, bukan hari itu.

Hari ketika segala keindahan harus berakhir. Hari ketika aku dihempaskan kembali ke bumi yang berhenti berotasi dan kehilangan gravitasi. Aku tak melayang seperti yang sudah-sudah. Kali ini aku tersiksa di kehampaan udara. Kehabisan oksigen. Seluruh saraf persendianku seperti lumpuh. Aliran darahku seperti terhenti. Leherku seperti tercekik kuat dan tak ada udara dalam ruang paru-paruku. Tak ada yang bisa kusalahkan atas kepergiannya.

Bukan masinis kereta yang lalai hingga keretanya keluar jalur dan masuk ke jurang. Bukan lelaki berjubah putih bertitel dokter yang bilang telah berusaha menyelamatkan nyawanya, tapi gagal. Aku ingin menuntut, tapi tak ada yang bisa kutuntut. Aku ingin marah, tapi tak ada yang bisa kumarahi. Aku ingin meluapkan rasa menyiksa ini. Aku ingin udara dalam paru-paruku. Aku ingin darahku kembali mengalir dan sendiku kembali berfungsi, agar aku bisa mengantarnya ke pusara.

Namun aku tak bisa melakukan apa-apa. Tak bergerak, bahkan untuk menangis pun aku tak sanggup. Hanya kenangan bersamanya yang memenuhi kepalaku. Aku tak mampu menghentikannya, meski kenangan itu semakin menghampa paru-paru. Kenangan saat pertama bertemu, saat cinta bersambut, saat cinta mekar bersemi, saat cinta pergi. Hari itu, aku menyadari cinta itu tak sempurna. Cinta itu tak selalu membahagiakan. Cinta itu seperti jailangkung, datang tak dijemput pulang tanpa berpamit, tak juga diantar.

4.7.11

#9

Pernahkah kau merasakan rindu yang begitu menggebu? Rindu setengah mati hingga membuat makanan favorit jadi tak sedap, bahkan untuk sekedar dipandang. Rindu menggila hingga mata terus terjaga dari pagi ke pagi. Rindu sepenuh hati hingga seluruh tubuh merasakannya, bahkan di denyut nadi dan aliran darah. Rindu yang menyiksa. Tak doyan makan. Tak bisa tidur. Membikin seluruh saraf galau.

Rindu ini adalah rindu tanpa obat. Aku tak pernah benar-benar merasa tersembuhkan darinya. Tidak dengan pertemuan. Tidak dengan mendengar suaranya. Tidak dengan pelukan. Tidak dengan usapan di pipi yang teraliri air mata. Tidak dengan kebersamaam sepanjang waktu.

Mungkin hanya senja. Hanya dengan memandang senja perihnya rindu menjelmakan senyuman. Hanya dengan mengikuti perjalanan jingga mengusir biru langit tubuh membaik. Perut terasa lapar. Nadi berdenyut teratur. Darah mengalir lancar. Hanya dengan menikmati senja racun rindu itu justru menjadi penawar. Racun penawar racun.

Karena hanya senja yang mampu menghadirkan kembali berbagai kenangan. Mampu membuat mata ini terpejam. Menumbuhkan nyali untuk menjejakkan kaki di dunia mimpi. Dunia penuh kenangan. Dunia tempat rindu melebur seperti es mencair karena udara panas. Dunia dengan seribu jenis bunga yang mekar bersamaan. Kupu-kupu aneka warna di putik sari bunga. Padang rumput yang hijau tenpa cela. Nyanyian bidadari surga yang melenakan kalbu.

Sayangnya, senja hanya datang sekejab. Saat sang surya telah terlalu lelah berpijar. Saat lalu lintas sedang berada di puncak kemacetan. Waktu yang kelewat sempit untuk menawar luka rindu. Kelewat sempit untuk mengecap madu rindu.

<img alt="" src="http://ukhtishalihah.files.wordpress.com/2011/02/senja.jpg" class="aligncenter" width="332" height="307" />

2.7.11

Mie Ayam Cinta

“Bang, minta mangkuk satu lagi ya?”
“Dua, Bang.”
Tak sampai semenit, abang penjual mie ayam itu mengasurkan dua buah mangkuk. Dia satu. Aku satu. Nyaris bersamaan, kami mengambil wadah sambal lalu saling tersenyum. Menertawakan tingkah masing-masing. Aku mengalah sewajarnya, lady’s first. Membiarkannya lebih dulu menyendokkan sambal ke mangkuk bersihnya dua kali. Aku menyusul mengambil tiga sendok.
“Ternyata kita punya kebiasaan makan mie ayam yang sama,” dia berkomentar ketika aku menyisihkan sebagian isi mangkuk mie-ku ke mangkuk berisi sambal.
“Hahaha, iya, memang lebih enak begini.”
“Iya, meski kadang orang memandang aneh kebiasaan ini. Hahaha..”

###

Dialog itu terjadi tiga tahun silam, saat untuk pertama kalinya aku menraktirnya makan mie ayam di sini, di warung mie ayam favoritku. Aku memang menjanjikan semangkuk mie ayam asal dia punya keberanian untuk melawan argumen seorang dosen yang nyata-nyata salah. Dia benar melakukannya. Teman baruku di kampus ini benar-benar suka tantangan seperti yang pernah dipamerkannya di awal pertemuan kami.
Dia adalah mahasiswai pindahan dari Jogja yang tak pernah mau menceritakan alasan kepindahannya. “Aku suka tantangan, aku suka hal baru,” selalu itu yang jadi alasan. Dan biasanya orang akan berhenti bertanya saat mendapat jawaban itu. Pertemuan pertama kami terjadi seperti di film-film drama. Dia berlari tergesa dan menabrakku di tikungan gedung kampus. Sama-sama terjatuh. Sama-sama minta maaf. Lalu saling berkenalan.
Sudah lewat setahun sejak dia di wisuda lalu menghilang begitu saja dari peredaran. Tanpa pesan, namun penuh kesan. Ya, penuh kesan. Karena hingga kini pun aku masih merindukan saat-saat bersamanya yang memang selalu mengesankan.

###

“Selamat jadi pengangguran,” aku menyodorkan buket mawar putih. Ucapan selamat atas kelulusannya.
“Sapa bilang aku akan jadi pengangguran? Tak lama, aku pasti sudah akan sibuk dengan pekerjaan baru yang penuh tantangan,” seperti biasa, dia begitu percaya diri. Membuat nyaliku ciut.
“Iya deh, percaya! Tapi kamu jahat.”
“Kok jahat?”
“Ya iyalah, kamu lulus duluan. Ninggalin aku!”
“Sapa suruh kamu lambat. Cepetan dikerjain sama TA-nya, biar cepet nyusul jadi pengangguran,” dia tergelak. Aku paling suka melihatnya tertawa. Sangat manis.
“Tunggu aku ya,” tawanya terhenti saat melihat rautku berubah serius.
“Kenapa aku harus nunggu kamu lulus?”
“Because i love you,” mata itu menatap tajam padaku, seolah mencari kebenaran kata-kataku.
“Faniiii...!!! Selamat yaaaa....” segerombolan perempuan, yang kukenali sebagai teman-temannya datang.
Mereka berebut memberikan ucapan selamat. Cium pipi kanan. Cium pipi kiri. Berpose di depan kamera bergantian. Aku tersingkir begitu saja. Dia masih sempat melirikku dari sudut matanya sebelum digiring teman-temannya mencari lokasi foto yang lebih bagus. Dia pergi dengan buket mawar putih dariku. Dia pergi tanpa menjawab pernyataan cintaku.

###

“Minta mangkuknya satu lagi ya, Bang.”
“Dua, Bang,” sebuah suara menyahut. Sejenak aku tertegun. Benar-benar mengingatkanku padanya.
“Mbak pesen mangkuk buat apa? Kan belum pesen mie ayamnya?” si abang penjual mie ayam tak langsung mengambilkan mangkuk.
“Kalo begitu sekarang saya pesan mie ayamnya.”
Aku menoleh ke sumber suara. Perempuan yang berdiri di sampingku ini meringis. Memamerkan deretan giginya yang putih. Dia lalu duduk di sampingku. Mengabaikan mataku yang terbelalak dan mulutku yang melongo karena kehadirannya.
“Aku mau bayar hutang,” katanya beberapa menit kemudian. Sepertinya dia sudah tak tahan melihat ekspresiku.
“Hutang apa?” aku tergagap.
“I love you too.”
“Mie ayam dan mangkuknya, Mbak dan Mas,” abang penjual mie ayam itu masih sempat mempersilakan kami makan sebelum berlalu. Dari sudut mataku, aku tahu dia terseyum.

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates