31.5.11

#6

Secangkir kopi yang kuminum siang tadi benar terasa. Biasanya aku akan tertidur hingga kondektur bus meneriaki tempatku turun. Namun, sepertinya kali ini aku benar-benar harus menikmati perjalanan. Sepanjang perjalanan ini mataku terus terjaga meski pening karena hasil pembakaran solar mendera kepalaku.

Untunglah bulatan kuning di ufuk barat sedang bersahabat. Sinarnya tak lagi menyengat, namun mulai menghangat. Sudah pukul 16.00, satu jam lagi aku akan sampai di kota kecilku. Kota tempat senja paling indah. Kota tempat semua kenangan berkumpul dan perlahan membiru, mengundang rindu.

Seraut wajah tergambar samar. Senja dan kota kecil itu memang selalu mengingatkanku padanya. Pada seseorang tempat rindu ini tertaut. Hhh.. tiga tahun telah berlalu sejak pertemuan terakhir kami yang tak disengaja, di pesta pertunangannya. Dan mungkin saat itu memang akan jadi yang terakhir, karena mungkin mereka telah menikah sekarang. Meski aku tak mendengar kabar dari Intan, temanku yang kala itu memintaku menemaninya hadir di pertunangan Dinda, teman SMA-nya.

Kalau saja aku tahu, tentu aku tak akan datang. Lebih baik aku tak bertemu dengannya selamanya, daripada harus bertemu dan menyaksikannya menyelipkan cincin di jari seorang gadis. Ah, bahkan rasa sakit kala itu masih terasa, meski kini bisa kuhadapi dengan senyum. Iya, hidupku harus terus berjalan baik meski asa untuk bersamanya hilang tersapu badai.

Mentari senja bersinar hangat. Bulatan jingga itu menyebarkan rona, menodai langit biru dengan jingganya. Tepat pukul 17.00 ketika kakiku menginjak tanah kelahiran. Aku menyempatkan diri menatap senja di sela riuh pengayuh becak dan tukang ojek mencari penumpang.

Senja ini sungguh indah. Andai bukan di terminal, mungkin aku akan berlama-lama memandanginya, hingga gelap merayap mengusir jingga. Aku berbalik membelakangi senja. Selangkah terhenti karena sosok itu hadir di depanku, menggendong tas ransel besar di punggung. Mata kami bertatap, dia tersenyum dari seberang.

Dia berjalan ke arahku, berdiri di belakangku. Punggung kami berhadapan. Bisu.

“Senja di sini telah membatalkan pertunanganku. Aku tak jadi menikah.”

20.5.11

#4

"Arya, besok aku dioperasi. Doakan semua lancar ya," pesan singkat di <em>inbox</em> email itu bertanggal seminggu yang lalu.

Aku ingat benar, seminggu yang lalu aku bertengkar hebat dengan Salma. Adu mulut yang membuat kami saling menjauh untuk memastikan hati kami, demi pernikahan yang tanggalnya sudah tercetak di undangan. Dan aku memilih menyepi di rumah seorang teman di daerah pegunungan. Berharap sejuknya udara di sini bisa berdampak pada otakku.

Seminggu yang kami tetapkan, dan di sinilah aku sekarang. Duduk di meja paling ujung sebuah kafe, berteman laptop sambil menunggu kedatangan Salma. Dan menemukan email itu, jauh sebelum Salma nampak. Bayangan seorang gadis yang menjadi pemicu perdebatanku dengan Salma seminggu lalu hadir lagi. Operasi? Sakit apa dia?

Ponselku menanda sebuah pesan singkat tiba-tiba. Dari Salma. "Aku baru bisa bertemu lusa," begitu katanya. Aku mendengus, memberesi laptop, berlalu dari kafe.

Esok paginya disambut kecewa. Tak ada email balasan darinya. Apa penyakitnya benar serius? Pikiranku jadi kacau, kalut. Kecemasan menyelimutiku seperti kabut tebal di dini hari yang dingin. Seharian aku menyalakan laptop, beribu kali me-<em>refresh</em> email, tapi nihil. Padahal biasanya dia akan langsung membalas email yang masuk. Dia benar-benar mengganggu pikiranku kini, juga hatiku. Di tengah malam, aku menembus kabut dingin menapaki jalan ke rumah seorang teman di daerah pegunungan.

"Cinta itu bukan untuk dipikir, kawan, tak akan ada jawaban dalam pikiranmu," Rendi bertutur seolah dia tahu semua tentang cinta. Aku jengah, mengalihkan tatapan pada matahari senja. Andai aku bisa terus tertidur seperti sejak dini hati tadi sampai di rumah Rendy, tentu aku tak harus kembali memikirkannya.

"Kalau Salma yang operasi pasti aku juga akan secemas ini," aku membela diri, meneguhkan pendirian, bahwa tak ada yang perlu diubah, bahwa rasa yang tertinggal untuknya tak lebih berarti dari pernikahan yang sudah di depan mata.

Seminggu yang lalu, ketika aku menghabiskan hari di sini, aku sudah memutuskan untuk tak mengubah apapun. Aku hanya memberi waktu pada Salma untuk memahami posisiku, bahwa aku dan dia tak lagi berkekasih seperti beberapa tahun silam. Kami sahabat kini. Meski ada sisa rasa di hati, tapi sekali lagi, nalarku berkata rasa itu tak lebih berarti dari kesepakatan ikrar yang tak lama lagi aku ucapkan. Nalarku bilang, tak ada yang bisa diubah dari hubungan berlandas perjodohan antara keluarga kami. Lagipula, Salma seorang gadis yang baik. Aku nyaris tak punya alasan untuk menolak kesempurnaannya.

"Tanyakanlah pada hatimu, kawan, jawab yang sesungguhnya ada di sana. Masih ada waktu 24 jam sebelum kembali dan bertemu Salma," Rendi meninggalkanku bersamaan langit yang beranjak jingga di ufuk barat.

Aku mencoba mengakses email dari ponsel. Cuaca cerah mendukung jaringan. Ada email balasan darinya, hatiku diam-diam bersorak lega. Dia mengabarkan ala kadarnya, seperti seorang sahabat. Operasinya lancar, katanya, dan sekarang dia masih dirawat di rumah sakit. Segera saja aku menyambar kunci motor dan beranjak pergi. Ada keinginan yang begitu kuat untuk menemuinya. Sekedar ingin tahu keadaannya.

"Tanpa bertanya pun sebenarnya kamu sudah menemu jawabnya, Ar, kalau tidak kamu tak akan kembali ke sini tengah malam karena tak mendapat balasan email dan tak akan pergi begitu tergesa hanya untuk tahu keadaannya," Rendi memungkas katanya dengan senyum dan menepuk bahuku.

Aku tak juga mengerti maksud katanya, tapi tak urung mengangsurkan senyum simpul sebelum melajukan motor ke barat, seperti ingin menjemput surya senja yang semakin jingga. Hanya satu yang ada di pikiran dan hatiku kini, aku ingin menemuinya.

#5

Mestinya dia bisa membaca dari mataku, betapa aku tak menginginkan perpisahan ini. Lupakah dia jika senja adalah saksi bisu jejak cinta kami yang hangat dan menentramkan? Kenapa perpisahan ini justru disahkannya ketika langit telah bersemburat jingga? Kenapa pengakuan itu dituturkannya saat senja? Ah, tak ada gunanya menyimpan tanya, toh tak akan berjawab. Aku hanya harus melangkahkan kakiku menjejaki pasir pantai. Membiarkan buih air laut menjilat liar kaki telanjangku. Aku hanya harus menghapus aliran air di pipiku, karena meski dibiarkan mengalir pun dia tak akan menemu muara. Aku hanya harus menerima bahwa kisah ini telah berakhir, toh dia juga tak berlari menjajari dan menghentikan langkahku.

&nbsp;

*****

&nbsp;

Rasanya, ingin sekali mengelakkan keadaan. Dinding hatiku seperti tergores parang tajam melihat lelehan air di pipinya yang tak mampu kuseka. Aku benar telah melukai hatinya. Melukai kisah yang sudah menahun terangkai bersama. Andaikan ada obat untuk lukamu, yang mampu membuatku tak harus kehilanganmu, tentu akan kupersembahkan untukmu. Berbaliklah. Karena kakiku seperti terpatri oleh salah tak termaafkan, tak mampu mengejarmu. Maafkanlah aku. Berhentilah menjejak langkah di pasir pantai. Jangan tinggalkanku bersama senja yang menyimpan kenangan manis cerita kita.

Keluh Sesalku

Bergeming dalam keramaian

Gendang telingaku seolah telah kedap suara

Menangkis setiap tebaran-tebaran asa yang mereka janjikan

Aku tak mau dengar apapun, meski itu manis

Aku sudah terlalu lelah

Toh manis itu akhirnya hanya menjadi getir yang tiada tara

Membikin lidahku mati rasa

Kelu, malu pada Tuhanku

Apa harus kukata ketika kesatuan huruf tak bisa kueja

Tak bisa ku maknai dan membuatku terjebak ke dalam kubangan dosa di masa lalu

Hanya karena manis itu, manis yang semu itu

Yang membuatku terbang melayang menembusi langit tingkat tujuh

Dan lalu menghempaskanku hingga palung lautan

Oh Tuhan, haruskah aku mencabik daging-daging berdosa ini?

Daging-daging yang bernaung di dalam kemunafikan dunia fana ini

Yang melekati tulang putih memudar karena noda dosa

Sungguh, aku kehilangan arah tujuanku

Aku linglung, tak bisa lagi memaknai hakikatku bernapas di dunia ini

Pantaskah aku menemu jalan pulang, seperti janji manis yang tertulis dalam kitab-Mu?

Merangkai asa sekali lagi dan meraih derajat tinggi di depan mata-Mu

Menapaki jalan putih dan meninggalkan kubangan kelam

Kuyakini dalam hati, manis-Mu tak sama dengan manis mereka

Manis-Mu bukan manis semu yang hanya sekejap

Manis-Mu kan membawaku ke dalam keabadian akhirat

Izinkanku mengecap setetes manis itu, Ya Rabb...

&nbsp;

&nbsp;

ps : unpredictable poem collaboration with irmencretoz.. :D

&nbsp;

15.5.11

#3

<em>Dear Lintang,</em>

<em>Kau pasti sangat berbahagia kini, ketika setelah bulan-bulan nyaris menahun akhirnya aku melepaskannya untukmu. Iya, aku telah memilih untuk melepasnya, meski kau tahu pasti semua ini terasa sangat berat untukku. Tapi aku sudah merasa sangat lelah, Lintang, aku lelah terus ada dalam posisi yang tidak dikehendaki sejak kamu datang di antara kami. </em>

<em>Ingin rasanya aku merutukimu yang kembali ke sini, berada lebih dekat dengannya setelah sekian tahun kau harus menyelesaikan studi di lain kota. Kenapa kau harus kembali, Lintang? Kenapa tak menetap saja di sana dan mencari lelaki pendamping hidupmu di sana? Kenapa dia yang harus kau ambil dariku?</em>

<em>Kau memang bukan siapa-siapa buatku, aku bahkan pertama kali melihatmu di foto, bersampingan dengannya. “Sahabat” begitu dia mengenalkanmu padaku. Aku tak pernah khawatir hingga kau datang. Awalnya kau memang bukan siapa-siapa buatku, tapi kini kau adalah orang yang paling aku benci. Iya, aku kelewat membencimu.</em>

<em>Kau memang hanya sahabat yang dikenalnya sejak kecil karena rumah kalian bertetangga, tapi dia mengabaikanku karenamu. Lihatlah betapa dia lebih memikirkan segala sesuatu tentangmu, dan tak lagi peduli ke mana aku menapaki kaki menjalani hubungan kami. Lalu, menurutmu, untuk apa lagi aku ada di sisinya? Hanya untuk menjadi penonton setia kebersamaan kalian? Bertepuk tangan riuh saat dia mampu melakukan apapun untukmu? Aku tak sudi!</em>

<em>Aku tak ingin lagi menahannya, dia terang tak merasa bahagia bersamaku. Lihat saja, dia tertawa begitu keras hingga perutnya kram saat kau menceritakan sesuatu yang bahkan tak terlalu lucu didengar, dan dia hanya tertawa sejenak saat aku yang bercerita, tawa untuk patut-patutan. Hanya </em><em>karena </em><em>dia berstatus kekasihku. Dia begitu khawatir saat suhu badanmu naik dua derajat, tapi dia bahkan tak menoleh ketika aku muntah karena maagku kambuh.</em>

<em>Aku mencintainya, Lintang, sangat mencintainya, tapi apalah arti cinta ini jika tak mampu membuat orang yang aku cintai bahagia bersamaku? Bukankah lebih baik aku tak berkekasih dia? Bukankah lebih baik aku meniadakannya? Karena aku tak bisa melihatnya bahagia tanpaku, Lintang, sekalipun kau adalah sahabat dekatnya. Dan kini, aku menyerahkannya padamu, Lintang. Kau mesti tahu hal terbaik apa yang bisa kau lakukan untuk sahabat yang menggilaimu ini.</em>

&nbsp;

Tak ada nama di akhir surat, tapi aku tahu pasti siapa yang mengirimnya, gadis psikopat yang selalu mencemburui kedekatanku dan sahabatku hanya karena status kekasih yang dimilikinya. Surat itu berwarna kuning gading itu ada di atas meja apartemennya, tempatku berada kini. Di lantai berkarpet coklat tergeletak seorang pemuda dengan mulut berbusa, seperti habis keracunan. Di sudut ruangan, seorang gadis telah mengiris nadinya, mencecerkan darah hingga menggenang.

Air mataku luruh berjatuhan, entah karena sedih, takut atau rasa bersalah yang mencekik. Kertas itu kuremas, kekalutan menyelubungiku, aku bahkan tak tahu harus berbuat apa. Beberapa menit yang lalu, aku masih berpikir undangan makan bersama ini adalah awal membaiknya hubungan kami bertiga. Ah, aku terlampau naif.

Di balik <em>gordyn</em> yang terbuka, cahaya jingga melirikku. Sinar senja yang sering kali menenangkan itu berubah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Aku meringkuk di sudut ruangan, berlawanan arah dengan gadis itu. Menghindari sinar jingga yang kini memenuhi ruangan. Aku tercekam ketakutan.

14.5.11

#2

Aku menyebutnya gadis senja. Bukan, dia bukan bidadari dari langit lapis tujuh yang turun ke bumi saat mentari beranjak ke peraduan. Dia adalah gadis biasa, manusia, dengan paras yang tidak terlampau ayu dan tubuh tak seindah gitar spanyol.

Aku selalu melihatnya duduk di tempat itu, di meja paling barat. Memilih kursi yang menghadap laut dan matahari senja. Dia selalu datang ketika matahari sudah jingga, nyaris setiap hari kecuali di Rabu. Sudah sejak dua bulan belakangan. Memesan jus alpukat dan waffle. Memusatkan perhatian pada tiga hal, laut, senja dan laptop.

Dia selalu terlihat sibuk mengetik. Sesekali terhenti memperhatikan geliat air laut, kali lain ia terdiam menikmati sinar senja. Setelah itu dia kembali pada laptopnya, seolah telah menemukan berjuta kata dari laut dan senja untuk dituliskannya.

Aku hanya selalu memperhatikannya dari kejauhan, menyempatkan diri melihatnya sambil melayani pesanan pembeli lain. Jarak kami jadi begitu dekat ketika aku mengantarkan pesanannya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, mencoba menebak-nebak arti sinar matanya yang lebih redup dari surya senja.

Sudah lewat pukul 4 sore, harusnya dia telah duduk manis di kursinya, tapi dia belum juga terlihat. Aku memastikan hari. Bukan, ini bukan Rabu. Aku masih mencari-carinya ketika tak lama berselang dia muncul, tapi dia sedikit berbeda hari ini. Tangannya tak menenteng tas laptop.

"Seperti biasa, Mbak?" aku gunakan kesempatan pertamaku. Dia mengangguk, kali ini sambil tersenyum dan menatap mataku. Benar, lain dari sebelumnya yang hanya tersenyun sepatutnya.

“Dua porsi ya, Mas,” ia menyusulkan pesanan sebelum aku jauh.

Tambah lagi satu di luar kebiasaan. Ah, mungkin saja hari ini dia sedang menunggu seorang teman, dan karena itulah dia tak membawa serta laptopnya. Yah, seorang teman, atau mungkin seorang kekasih. Aku mendengus dan merutuk diri, tak seharusnya aku merasa terlampau kecewa.

"Silakan, Mbak," kesempatan kedua sekaligus terakhir untuk berada sedekat ini dengannya.

Sekali lagi dia tersenyum, tapi aku harus menyudahi menikmati senyum itu, aku harus kembali ke dalam menanti pengunjung lain datang dan memesan.

"Mas, bisa temani saya ngobrol?” aku berbalik dan menatapnya, “Mulai hari ini, saya ingin menjalani sore saya bersama senja, laut dan seorang teman,” diselipkannya senyum di sela kata-kata itu.

13.5.11

#1

“Silakan, Mbak,” <em>waiters</em> itu berlalu setelah meletakkan secangkir cappucino di mejaku. Cangkir kedua sejak sejam lalu aku duduk seorang diri di bangku ini.

Semburat jingga mulai memenuhi dinding-dinding kafe yang didominasi oleh bambu. Kubiarkan sinar jingga itu menerpa wajahku, sedikit menyilaukan pandangku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Kualihkan pandanganku dari cerah senja ke laptop, mencari-cari sesuatu. Aku memasang <em>headset</em>, memanjakan telingaku dengan sebuah lagu.

<em>Why Do You Love Me</em> versi Rio Febrian dan Erwin Gutawa mengalun indah, membawa sejuta kenangan. Aku sudah terbiasa begini, saat rindu ini serasa tak mampu terbendung di keluasan hati dan kedalaman jiwa, aku mengumpulkan kepingan <em>puzzle</em> bertema kenangan. Seperti yang sedang aku lakukan kini.

Aku sengaja menunggu senja di kafe ini, menikmatinya dari bangku di sudut ruangan. Tenggelam dalam kenangan saat aku terbiasa bersamanya di sini, di bangku ini, di keindahan senja serupa ini. Memesan cappucino hangat dan sepiring roti bakar rasa coklat keju.

Dan lagu ini menambah senyum di wajahku, memudahkanku mengumpulkan berjuta kenangan tentang cinta pertama, kisah cinta semasa SMA. Teori cinta pertama yang tak terlupa ini sepertinya memang berlaku buatku. Sekian tahun aku menepis rindu ini, mencoba membuangnya jauh-jauh dari hatiku. Namun, semakin ingin melupakan semakin ingat aku padanya.

Lalu, aku memutuskan untuk membiarkannya ada, tak ingin lebih lama lagi menyiksa hati. Kalau dia memang ada, untuk apa diingkari, menyakiti hati sendiri. Dan kini, aku bisa tersenyum saat si rindu bergelayut manja padaku, memenuhi ruang hati dan pikiranku, mengaliri nadiku. Tak apa, aku tak memusuhinya, tak mengusirnya, tak mengingkarinya. Sekalipun aku tak pernah menemu jawab tentangnya.

“Hai,” suara itu menyapaku lembut, menyusup ke telingaku yang ber-<em>headset</em>, selembut bayangnya yang kini hadir di hadapanku. Aku tersenyum padanya. Berbalas.

Semburat jingga menerpa wajahnya yang kali ini terlihat lebih kusut dari biasanya. Ah, mungkin aku sudah mulai melupakan raut wajahnya kini, hingga dia nampak tak setampan biasanya. Aku menatapnya, membiarkannya hilang perlahan seperti yang sudah-sudah. Mata itu balik menatapku, serasa selembut suasana senja yang menengahi kami.

<em>“I miss you so bad,”</em> bisiknya tak terdengar oleh telingaku yang memakai <em>headset</em>, tapi bisa kubaca jelas dari gerak bibirnya.

<em>“Me too,”</em> aku menyahut di sela senyum. Tatapanku beralih pada tangannya yang bergerak mendekati jemariku. “Andai bisa, aku ingin sekali bisa menyentuhmu, meski hanya bayangmu.”

Jemari itu benar menyentuhku, aku berjingkat dan spontan menarik tangan dari atas meja. <em>Headset </em>di telingaku terlepas. Sentuhan itu terasa begitu nyata. Dia terasa begitu nyata di depanku.

“Kenapa?” kali ini lembut suaranya kudengar jelas. <em>“I’m here,”</em> dia menuntun tanganku untuk menyetuh wajahnya.

Tanganku bergetar saat kulitku bersentuhan dengan kulit wajahnya. Air mataku tumpah. Bahagia.

11.5.11

karena si rindu

menenggelamkan diri dalam remang sang chandra kirana

membiarkan rindu menggelayut manja

berayun dari hati pindah ke otak

dari otak ke aliran darah

dari aliran darah ke nadi

dari nadi kembali ke jantung hati

&nbsp;

<em>bukankah tak baik membiarkannya terus begitu?</em>

si akal sehat menegur tanpa peduli teririsnya hati

&nbsp;

pikirku jadi termenung

kalbuku dirundung bingung

jemari lalu mengibas

mengusir pergi segala rasa bersalah

&nbsp;

<em>bukan mauku jika dia terus ada di sini</em>

<em>bermanja-manja denganku</em>

aku menyanggah

membela diri

merasai tak bersalah

&nbsp;

anganku lalu terbang

dari timur ke barat

dari selatan ke utara

satu per satu rasa dibawanya masuk dalam diriku

gelisah membekapku

menutup segala aliran udara

membawakanku ruang hampa udara berdinding putih

&nbsp;

<em>pelan-pelan kau akan mati</em>

bisik si akal sehat lagi

hatiku tak lagi diiris

tapi ditusuk

dicincang hingga ribuan kali

&nbsp;

sesuatu dari dalam hati terhuyun muncul

mendekati akal sehat

membawakannya secangkir teh hangat

lalu berbincang tentang suatu perkara

&nbsp;

<em>jangan paksa dia untuk membuang rindu itu</em>

dia berujar lembut

suaranya seakan meniupkan udara untukku bernapas

gelisah mulai menjauh

ketenangan samar mendatangiku

&nbsp;

<em>biarlah rindu itu ada dalam dirinya</em>

<em>memaksakan kehendakmu padanya sama seperti membunuhnya</em>

<em>kita semua tak ingin dia mati</em>

<em>lebih tepat, kita tak ingin mati</em>

<em>begitu juga aku</em>

<em>meski aku hanya mengisi sudut hatinya</em>

<em>meski hanya ada di palung hati paling dalam</em>

<em>aku pun ingin tetap hidup dalam dirinya</em>

si mungil bernama keyakinan itu lalu berpaling

berpulang ke sudutnya

membiarkan akal sehat merenungkan tuturnya

&nbsp;

<em>tenang saja, aku lebih senang diam</em>

<em>tak perlu kau cemaskan hadirku</em>

<em>aku tak akan merusuhkan yang ada</em>

rindu menyeletuk seiring denyut nadi

&nbsp;

gelisah membebaskan dekapannya

udara berebut masuk dalam tubuhku

mengaliri tiap inci kulit, nadi dan arteri

&nbsp;

di pesinggahannya, keyakinan mengumbar senyum

kelegaannya tersulut hingga ke wajahku

dan akal sehat mulai ringan melangkah

senyumku mekar sembari menatap wajahmu dalam bingkai

Ulurkan tangan-Mu, Tuhanku

Aku adalah sebatang pohon yang rapuh di tengah gurun tak berujung

Ketika hujan tak ada yang meneduhkanku hanya untuk menunggu bayangmu

Jiwa ini meratapi hidup yang bagai tanpa batas

Menangisku melawan belenggu jiwa ini

Inginku berteriak melepas segala belenggu ini

&nbsp;

Ketika batangku mulai retak dan langit menertawakanku seakan aku tak berguna

Tuhan, tunjukkan jalanku, dengar jeritan hati ini

Tolong rasakan pedih ini

&nbsp;

Aku sudah tak sanggup untuk menunggu hadirmu

Semua hanya fatamorgana yang tak kan ada

&nbsp;

Hujan turun tanpa mendung

Begitu juga aku menangis takada sebab

&nbsp;

Aku selalu aku yang begini

Hanya angin yang membawa asaku pergi

Tapi di mana engkau sekarang

Dirimu tak kan hadir walau aku berteriak, menangis

Kini aku mengais-ngais sisa hidupku, merangkak tuk pergi

Tapi semua tak ada harapan

&nbsp;

Ulurkan tangan-Mu, Tuhanku

&nbsp;

&nbsp;

* sebuah puisi yang tercecer, dibuat sekitar akhir tahun 2005 (pwi)

dandelion

seperti menyusun puzzle

satu per satu berada pada tempatnya

nyaris tak terhindarkan

aku ingin menghilang

terbang

lenyap dari semua pandang

terkepung dalam pekat awan

tenggelam hingga ke palung lautan

adakah kau mencariku

atau cerita ini kau anggap semu?

bukankah cerita telah terpahat seindah patung rama sinta

secantik dongeng cinderella dan pangeran berkuda

melegenda layaknya kisah laila majnun

atau mungkin tak satu pun

tidakkah semua itu terlalu sempurna untuk kau anggap semu?

bukankah janji telah terpatri satu?

oh, mungkin bagimu semua benar tiada bermakna

seperti puzzle, hanya permainan belaka

tak butuh dirasa, terlebih dipuja

kembali pada tempatnya

berwujud serpihan asa

bergulung bersama buih di pantai

menguap bersama embun fajar

tak ada lagi cahaya yang berpijar

kisah ini hambar

aku sungguh ingin menghilang

terbang, kemudian lenyap dari semua pandang

sekarang

&nbsp;

&nbsp;

ps : a beautiful collaboration poem between Seijitsuai and Nadia Maulana

* untuk dandelion-dandelion yang memutuskan untuk terbang

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer. Para penggila buku pasti kenal atau paling tidak pernah mendengar nama ini. Yup! <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Pramoedya Ananta Toer</span></a> adalah salah salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Lahir di Blora pada 6 Februari 1925, penulis ini merupakan calon kuat dari Asia untuk memenangkan Nobel dan beliau adalah satu-satunya dari Asia.

Generasi muda seperti kita, sering kali enggan melirik buku sastra karya penulis setua Pramoedya. Saya pertama kali mendengar nama Pramoedya ketika melihat film layar lebar <a href="http://www.21cineplex.com/andai-ia-tahu,movie,734.htm" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Andai Ia Tahu</span></a> yang dilakoni oleh Rachel Maryam dan Marchel. Di dalam film itu, Renata (Rachel Maryam) digambarkan sebagai seorang penulis yang ngidam pengen <em>dinner</em> bareng Pramoedya. Dan saya, yang ketika melihat film itu masih jadi anak SMP dan berhasrat jadi penulis, seperti terhipnotis oleh nama Pramoedya.

Bagi yang benar-benar ingin jadi penulis, tentu akan melintaskan nama Pramoedya sebagai salah satu tokoh yang patut diteladani. Kegigihan hatinya layak jadi inspirasi untuk membangkitkan semangat. Pramoedya adalah seorang penulis yang begitu dihargai di luar negeri, beberapa majalah internasional ternama mengabadikan namanya, bahkan memberikan kutipan-kutipan penghargaan untuknya.

"Pramoedya Ananta Toer adalah seorang master cemerlang dalam mengisahkan liku-liku emosi, watak dan aneka motivasi yang serba rumit." (<em>The New York Times)</em>

"Pramoedya Ananta Toer selain seorang pembangkang paling masyhur adalah juga Albert Camus-nya Indonesia. Kesamaan terdapat di segala tingkat, belum lagi kemampuannya mengkonfrontasikan berbagai masalah monumental dengan kenyataan kesehari-harian yang paling sederhana." (<em>The San Fransisco Chronicle)</em>

Itu adalah sedikit kutipan yang ada di cover belakang buku 'Tetralogi : Bumi  Manusia' karya Pramoedya. Namun, pengarang ternama ini justru dianiaya oleh pemerintah di negerinya sendiri.

Suatu ketika Pramoedya harus menjadi penghuni penjara, yaitu pada zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru. Pada zaman Belanda, Pramoedya masuk bui karena diduga terlibat dalam pasukan pejuang kemerdekaan yang melawan Belanda. Dan karena buku “<a href="http://goenawanmohamad.com/esei/sebuah-catatan-lain.html"><span style="text-decoration: underline;">Hoa Kiau di Indonesia</span></a>” yang dikarangnya dia kembali mendekam dalam jeruji besi. Buku yang bercerita tentang upaya pembelaan nasib kaum Tionghoa di Indonesia ini mendapat respon yang sangat keras dari pemerintah Orde Lama.

Ketika Orde Baru telah menegakkan pemerintahannya, Pramoedya harus kembali dipenjara karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 tanpa harus menjalani proses peradilan sebelumnya. Namun, semua itu tak menyurutkan otak Pramoedya untuk terus berkarya. Dari dalam bui itu terlahir masterpiece-nya, yaitu "Tetralogi Buru" dan roman "Arus Balik."

Bagi penulis muda zaman ini, yang cenderung lebih menyukai sastra ber-genre pop, tentu akan sedikit pusing saat membaca karya Pramoedya. Diksi yang digunakan Pramoedya dalam buku-bukunya menuntut kita untuk berpikir lebih keras dari sekedar novel sastra pop sebiasanya kita baca. Namun, ketika kita sudah masuk ke dalamnya, kita akan merasa seperti tersihir. Pramoedya menuturkan segala sesuatunya dengan sangat indah dan matang, membuat pembacanya seperti benar-benar bisa merasakan masa ketika cerita itu ada.

Buku karya Pramoedya yang pertama kali saya miliki berjudul “Anak Semua Bangsa”, buku kedua dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tetralogi_Buru" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Tetralogi Buru</span></a>. Saya mendapatkannya sebagai kado di ulang tahun saya yang ke-22. Meski telah terkesima dengan pesona karya Pramoedya, saya tak langsung melahap habis buku ini, karena ketika membuka halaman pada bab pertama, mata dan kepala saya terasa berat. Ketika itulah saya tahu, saya harus menyiapkan tenaga ekstra untuk membaca tulisan Pramoedya.

Setahun lebih berlalu dan saya belum juga tertarik untuk menyelesaikan buku itu. Bacaan sastra pop masih lebih menarik perhatian saya, sampai suatu ketika saya berkunjung ke kantor salah seorang kawan yang juga punya ketertarikan pada sastra. Dari buku-buku koleksinya saya menyimpulkan, teman saya ini cenderung menyukai sastra yang bertutur tentang kerajaan, mulai dari kekuasaan, peninggalan, pahlawan, dsb.

Ada beberapa koleksi terbaik yang dipajangnya di kantor, salah satu yang sangat menarik perhatian saya adalah buku karya Pramoedya berjudul “<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Arok_Dedes" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Arok Dedes</span></a>”. Ternyata kawan saya ini juga menaruh perhatian pada pangarang besar itu. Saya lalu meminta izin meminjam buku itu, dia memberikan dengan senang hati.

Buku ini memancing rasa ingin tahu yang sangat besar dalam diri saya. Pertama karena saya ingin tahu detail cerita Ken Arok dan Ken Dedes, kedua karena saya ingin benar-benar mengerti bagaimana cara Pramoedya bertutur dalam kalimat yang sambung menyambung. Ini juga karena buku Anak Semua Bangsa itu terasa terlalu berat untuk dibaca. Saya ingin lebih dulu masuk pada gaya bercerita Pramoedya.

Di awal bab pertama saya merasa masih menemui kesulitan. Bahasa sastra yang digunakan Pramoedya sama sekali berbeda dengan sastra pop. Saya menyebut bahasa sastra Pramoedya dengan sastra klasik. Namun, lama kelamaan saya mulai menikmati, bahkan menggilai buku ini. Saya berada di bab 4 sekarang, dan setelah ini Anak Semua Bangsa ada di <em>waiting list</em>.

Dan kamu, sudah pernah membaca karya Pramoedya? Berbagilah.. ^^

10.5.11

Untitled

Malam,

Lihatkah dirimu saat aku menembus galau sebuah harapan kecil yang telah membiru?

Tahukah kamu,

Ke mana terang ini memancar?

Menerawang pekat entah kapan berakhir

Menangiskah kamu saat aku sekarat karena sinarku sendiri?

Mengertikah kamu jika aku hanya sebuah bintang redup?

&nbsp;

&nbsp;

*april 4th 2006 (1632)

Cinta

Saat kapal-kapal mimpiku berlabuh di indahnya impianmu

Melihat dirimu memancarkan sinar bintang penuh harapan

Kasih dan cinta

&nbsp;

Di teduh tidurku melihat mataharimu runtuh

Membakar semua rasa di hati

Biar bulan menari di pangkuanku

Menerangi kebimbangan yang ada

Menuntun kita memenangkan sebuah cinta yang abadi

Hanya dengan menanti

Perjalanan untuk menggapai sebuah cinta

&nbsp;

Akan tiba saat di mana kita menangis karena cinta

Tertawa, bahagia, sedih karena cinta

&nbsp;

Setelah aku kembali dari lamunan sang penyamun

Matahari redup karena kesombongannya sendiri

Genggam tanganku memberi harapan yang ada di kapal-kapal mimpiku

Sebuah harapan baru untukmu adalah cinta

&nbsp;

&nbsp;

*ngawi, december 5th 2003 (pwi)

Lampu Kota

Lampu-lampu kota berjajar

Membentuk siluet lengkung

Mengingatkanku pada senyummu

Ketika mata kita bertemu

&nbsp;

Jika nanti kita bertemu lagi

Apakah kau masih akan tersenyum padaku

Sehangat dan semesra dahulu?

&nbsp;

Lampu-lampu kota berpendar menyeruakkan tawa

Membawa aku terbang ke masa-masa kita bersama

Masih akan adakah tawa seriang dahulu?

&nbsp;

Lampu-lampu kota bercecer runtun

Seolah menjadi penunjuk jalanku untuk kembali

Akankah aku menemukan jalan pulang

Dan mendapatimu tengah menantiku di rumah kita?

&nbsp;

Surabaya, 25 Mei 2007

let's try to be wise.. ^^

Aku gak respect sama orang ini, dia orang yang suka ngeluh, dia orang yang gak konsisten, dia semaunya sendiri, dia egois, dia keras kepala, dia gak bisa menghargai orang lain, aku pernah dikecewakan, dst..dst...

Pasti kita pernah ngrasa gak suka sama orang karena sikapnya, kita berhak menilai dan menentukan sikap sama orang itu, bahkan kita berhak men-jugde dia sesuai penilaian kita. Kita berhak menciptakan pikiran subyektif tentang apa saja dan siapa saja.

Tapi, sesekali coba bercerminlah, kawan. Gak semua orang juga suka sama kita. Gak semua orang bisa nerima sikap ataupun kebiasaan kita. Dan sewajarnya saja, siapa sih yang mau dibenci atau gak disukai sama orang lain?

Gimana kita bersikap itu memang hak kita, gak ada seorangpun bisa maksa kita, tapi ya itu tadi. Kita ini manusia, kawan. Kita tentu pernah berbuat salah, pernah khilaf, tapi itu smua bukan harga mati buat kita kan? Tuhan aja slalu nerima maaf kita, bahkan saat kita baru mnyesali perbuatan kita dalam hati.

Aku juga pernah punya perasaan gak respek sama seseorang, bahkan sampai sekarang pun masih, lebih sering karena sikapnya yang emang gak sesuai sama aku. Rasa gak respect itu lama-lama bisa bikin aku benci sama dia kalo aku terus memupuknya, bahkan mungkin suatu saat aku bisa sampe gak mau ngomong sama dia saking sebelnya. Tapi aku lalu berpikir, bukankah itu merugikan kita sendiri, kawan?

Aku lalu coba belajar berbesar hati untuk menyadari bahwa dia juga manusia, sama seperti aku dan yang lainnya. Dan memang manusia itu tempatnya salah, tapi bukan berarti salah itu adalah harga mati, bukan? Setiap orang berhak punya kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya menjadi sesuatu yang lebih dibenarkan. Sama aja seperti kita ngelakuin kesalahan, kita juga berhak dapetin kesempatan kedua, kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kita.

Dan kita akan selalu bisa menjadi manusia yang lebih baik ketika kita mau dan mampu belajar berbesar hati untuk nerima kesalahan orang lain, untuk nerima kritik dari orang lain. Aku yakin banyak hal yang bisa kita dapatkan saat kita mau membuka diri, berbagi dan berbesar hati.

Setidaknya, hal paling kecil yang bisa kita dapatkan, kita bisa menjaga diri dan hati kita sendiri dari perasaan2 yang membuat kita berdosa. Lho koq jadi kita yang berdosa? Ya iyalah.. Kalo kita benci sama orang, yg dosa siapa? Kita atau orang yg kita benci? Kalo kita iri sama orang, yang dosa siapa? Kita atau orang yang kita iri'in?

Karena memang semua akan kembali pada diri kita sendiri, kawan. Bahkan almarhum pak lik ku pernah bilang, ketika kita merasakan sedih, sebel, iri, dengki dkk, maka sebenarnya kita sedang dilaknat oleh Allah karena kita kurang bisa membaca dengan baik keadaan yang sedang kita hadapi. Nah, apa kita mau dilaknat Allah? Tentu saja tidak kan?

Ini bukan ajakan untuk jadi orang yang sufi, kawan, tapi hanya mengingatkan bahwa memang tugas pertama dan yang paling utama adalah membaca. Dan kita diharuskan untuk bisa membaca semua hal, termasuk semua yang terjadi pada diri kita.

Ada yang inget cerita tentang nabi muhammad saw yang cuek aja waktu dilempari kotoran hewan? Sewajarnya manusia pasti akan marah dan bersumpah serapah sampe ngabsenin isi kebun binatang, tapi rasul kita justru cuek aja dan terus berjalan tanpa peduli sama kelakuan orang yang membencinya itu.

Menurutku, itu sudah high level, kawan. Sudah termasuk tingkatan paling tinggi ketika kita bisa bersikap bijak terhadap peristiwa itu. Jangan berpikir karena beliau terpilih jadi nabi makanya dia bisa bersikap seperti itu, karena sebenarnya kita, manusia biasa, juga bisa melakukan itu.

Pikirkanlah, kawan, kalo nabi kita bisa tidak menghiraukan orang yang membencinya sedemikian rupa hingga memperlakukan nabi seperti itu, kenapa kita justru membuang jauh2 respect kita sama orang yang sebenernya gak ngelakuin apa2 ke kita? Kenapa kita harus menjauhi bahkan mungkin membencinya karena dia melakukan sesuatu yang gak dia suka?

Tulisan ini sekedar untuk saling mengingatkan saja, kawan, sama sekali tak bermaksud menggurui atau mendikte. Kita sepatutnya selalu berkaca, karena bukankah tugas seorang manusia adalah berjabat tangan dengan dirinya sendiri? Tulisan ini hanya sekedar berbagi, kawan, karena aku sendiri juga sering kali terbawa perasaan. Tapi bukankah lebih baik jika kita mau berusaha untuk menjadi lebih baik? Dan bukankah sering kali kita juga pernah melakukan kesalahan, yang bahkan mungkin sama dengan yang orang lain lakukan. So, lets be wise, kawan.. :D

9.5.11

Bukan Kita

Bukan kamu yang mendekatiku

Bukan pula aku

Kita bahkan sering kali membuang muka

Hanya menatap lewat sudut mata

Memilih menancapkan pandang pada senja yang jingga

&nbsp;

Bukan kamu yang memilihku

Bukan pula aku

Aliran sungai yang kita ikuti mempertemukan kita di lautan

Bercampur dengan ribuan hulu lain

Toh kita masih diberi jalan untuk saling menemukan

&nbsp;

Ada ruang dalam hati kita

Tersekat dengan sendirinya

Dengan dinding-dinding yang kokoh

Terkunci di dasar hati

Seperti harta karun dari kapal perompak karam di lautan

Kita tak pernah meminta

Tapi dia ada

Bulir Rindu di Sela hujan

“Titipkanlah rindumu pada hujan,” aku menatapnya bingung, “Ada bulir rindu terselip di sela hujan. Seorang yang merindu pasti bisa merasakannya,” lanjutnya.

Aku memejamkan mata, merasakan kelembutan bulir hujan yang terbawa angin. Terasa ada jari yang mengusap aliran air di pipiku. Matanya sedang menatapku, teduh dan menenangkan, membuat ujung bibirku tertarik ke atas.

“Kamu nggak boleh nangis kalau nggak ada aku,” katanya sambil mengusap kepalaku.

&nbsp;

Sudah lebih dari lima tahun aku tak bertemu Arya. Dia berangkat menempuh pendidikan angkatan udara selepas SMA. Sebenarnya aku tak begitu suka dengan pilihannya, aku lebih suka kalau dia kuliah. Paling tidak dia tak meninggalkanku yang masih harus menghabiskan tahun terakhir di SMA. Selain itu, aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku membayangkan betapa berbahaya kehidupan seorang angkatan udara.

Kami sempat bertemu di hari kelulusanku. Saat itu dia sedang libur dan hadir saat upacara kelulusanku. Kami menghabiskan waktu seharian; berlarian di antara rimbun daun teh, makan sate kelinci sepuasnya dan menikmati senja di pinggir danau. Rindu setahun terbayar seharian. Aku bahagia, begitu juga Arya. Meski jarak memisahkan begitu jauh, aku percaya Arya selalu berharap aku jadi yang terakhir untuknya, sama seperti yang pernah dikatakannya.

Saat ini pun, saat jarak dan waktu memisahkan kami dengan sangat tidak manusiawi, aku tetap percaya, dan aku selalu ingat kata-kata Arya. Percakapan tentang rindu sore itu selalu terngiang ketika hujan turun, ketika aku merasakan rinduku luruh jatuh bersama guyuran air hujan. Aku selalu berharap, rindu ini akan benar-benar sampai padanya.

Seperti sore ini, hujan turun tak terlalu deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih dingin dari biasanya. Aku memandangi titik-titik hujan di teras rumah. Sudah tiga tahun berlalu sejak terakhir kali aku bertemu Arya. Setelah aku lulus SMA, kami sekeluarga pindah mengikuti ayah yang dipindahtugaskan keluar Jawa. Sejak saat itu pula aku tak pernah bertemu Arya. Aku hanya bisa menitipkan rindu ini pada bulir hujan.

Tak terasa, mataku memanas. Ah, kadang rindu ini memang menyiksa hingga memaksa mataku mengeluarkan air mata. Aku menegadah, tak membiarkan bulir air mata ini jatuh seperti air hujan. Aku tak ingin menangis karena rindu ini, aku tahu seseorang di sana menyimpan perasaan yang sama juga. Aku tak tahu dari mana datangnya keyakinan ini, tapi rasa inilah yang menguatkanku.

“Menangislah, aku di sini,” kontan aku menoleh ke sumber suara. Seseorang yang mengatakan ada bulir rindu di sela hujan itu benar-benar menerima salam rindu yang kutitipkan pada hujan. Dia ada di sini sekarang, di hadapanku, nyata.

8.5.11

Yang Terlewatkan

<div>

“Dalam hidupmu, kesempatan paling berharga apa yang pernah kamu dapetin?” gadis berkulit sawo matang di depanku menatapku dari sudut matanya. Aku angkat bahu dan dibalas dengan kerutan di keningnya hingga nyaris menyatukan alis.

“Almost nothing,” jawaban singkat yang keluar. Kerutan itu berubah jadi pelototan ditambah dengan mulut menganga. Mata bulat itu menatap tak percaya padaku.

“How can?” sekali lagi aku hanya angkat bahu. Gadis yang baru aku kenal setengah jam yang lalu ini geleng-geleng.

“Kalo kamu?”

“Too many,” dia duduk lalu mulai memaparkan beberapa kisah tentang kesempatan. Giliranku geleng-geleng.

Tiba-tiba pintu lift terbuka, seorang dengan seragam biru berdiri di depanku. Lena berdiri dengan wajah sumringah, dia pasti sama leganya denganku yang sudah sejam terkurung dalam kotak besi ini.

“Ketika kamu bisa menghargai apa yang datang padamu, kamu pasti akan bertemu dengan kesempatan,” Lena mengucapkan salam perpisahan sebelum berlalu meninggalkan hotel tempatku menginap. Untuk yang ketiga kalinya aku angkat bahu.

Seminggu berlalu sejak pertemuanku dengan Lena. Gadis laundry itu membuatku susah tidur beberapa malam belakangan karena memikirkannya. Aku seperti tersihir. Wajah dan suaranya berputar-putar di kepalaku.

&nbsp;

*******

&nbsp;

Kakiku melangkah tak seringan biasanya ketika keluar lift, meninggalkan hotel ini. Bukan omelan bunda yang pasti akan kudapatkan karena sejam lebih aku keluar rumah untuk mengantarkan pakaian laundry ke hotel yang memberati pikiranku, tapi karena sebuah kesempatan yang baru saja aku lewatkan.

Sejam terjebak di dalam lift bersama seorang pemuda yang menarik hatiku, bahkan mungkin sudah berhasil mencurinya, dan aku bahkan tak sempat menanyakan dari kota mana dia berasal apalagi nomor handphone-nya. Aku menghentikan langkah, berpikir untuk kembali dan mengambil kembali kesempatan yang mungkin masih tersisa. Tapi, kali ini langkahku terhenti oleh dering ponsel, Bunda sudah memanggil pulang.

“Pak Rizal sudah check out tadi pagi, Mbak,” resepsionis itu telah menyapu bersih kesempatan yang aku harap masih bersisa. Rizal, aku berharap ada kesempatan kedua.

&nbsp;

&nbsp;

</div>
<div><strong>NB: Personal Flash Fiction Competition #1 (Tema: Kesempatan)</strong></div>

7.5.11

Last Chance

"Mbak Fiola?"

"Hai, Yok, Akbar ada?"

"Ada, Mbak, tunggu sebentar ya, aku panggilin dulu," Yoyok menghilang di balik pintu khusus karyawan.

Kafe ini terlihat masih sama seperti tiga bulan yang lalu ketika terakhir kali aku ke sini. Hanya saja, ada seperangkat alat band di sudut ruangan. Stiker bertuliskan "Bandit" dengan font kreasi yang sudah akrab dengan mataku tertempel di badan drum. Rupanya Nino sering meramaikan kafe ini sama band-nya belakangan, yah setidaknya tiga bulan terakhir ini.

Samar, terdengar Yoyok berteriak memanggil bosnya, dan sebuah suara menyahut. Sepertinya Yoyok tak menyebut namaku, mungkin dia sengaja tak bilang kalau aku yang bertamu.

"Fiola?" suara Akbar memanggilku bersamaan dengan derit pintu yang terbuka.

"Hai, Bar."

"Duduk, Fi, mau minum apa?"

"Nggak usah, Bar, aku cuma mampir bentar kok."

Akbar menggiringku ke sudut ruangan. Kami duduk berhadapan, terpisahkan oleh sebuah meja bundar. Pintu berderit lagi, Yoyok keluar membawa nampan dengan dua cangkir yang kuyakini berisi cappucino dan kopi, minuman yang biasanya.

"Diminum ya, Mbak, mumpung masih hangat," tawarnya sebelum meninggalkan kami berdua.

Suasana jadi hening begitu Yoyok pergi. Kami bisu. Sibuk dengan pikiran kami sendiri-sendiri. Membiarkan detik waktu berlalu. Membiarkan senja makin meredup. Membiarkan isi cangkir di depan kami mendingin. Sepertinya tiga bulan berlalu tanpa kebersamaan telah membuat lidah kami kelu.

"Aku datang ke sini cuma untuk mencari jawaban, Bar, dan jawaban itu ada di kamu," akhirnya suaraku memecah hening.

"Jawaban apa, Fi?"

"Beberapa hari yang lalu aku dapat kabar beasiswaku ke Sorbonne diterima. Bulan depan, aku sudah harus berangkat ke Perancis. Hanya satu yang membuatku membiarkan beasiswa itu berlalu, Bar. Kita."

"Bukankah kita sudah selesai sejak tiga bulan lalu?"

"<em>Yes, i know, but i feel that i can't go without make sure that i don't have any chance to be with you again</em>, Bar. Berbulan aku tersiksa dengan kenyataan yang ada hingga akhirnya <em>i feel that i have to go, i can't stay here with all of our memories</em>. Aku bahkan merasa tersiksa di rumahku sendiri, karena terlalu banyak sudut yang menyimpan cerita tentangmu," aku menarik napas panjang, "Aku hanya tak ingin menyesal nanti karena aku tak menggunakan kesempatan terakhir yang aku punya."

"Bukankah beasiswa itu sangat berarti buatmu, Fi?" Akbar menancapkan pandangannya pada bundaran jingga di balik jendela. "Aku tak ingin mencegahmu pergi, Fi, aku ingin kamu menjadi apa yang kamu inginkan."

Aku menghembuskan napas panjang, lalu meneguk cappucino yang beranjak dingin. Terbayang lagi dalam benakku kejadian tiga bulan yang lalu ketika pernikahan yang sudah di depan mata tiba-tiba hilang begitu saja karena adat. Diam-diam aku menyalahkan kedua orang tua kami yang harus meributkan ritual ini dan itu yang akhirnya berujung pada perselisihan dan putusnya hubunganku dengan Akbar. Tapi toh semua sudah terjadi, dan aku memang harus nerima ini semua, karena Akbar pun tak terlihat ingin memperjuangkan hubungan ini.

"Aku berharap ada yang bisa menahan kepergianku ini, Bar, aku berharap siksaan rindu yang menyakitkan di sini bisa hilang."

"Maafin aku, Fi, sebaiknya kamu ambil kesempatan beasiswa itu," kali ini Akbar menatap mataku.

"<em>Yes, i know. Then i really have to go</em>, Bar, aku sudah nggak sanggup lagi bertahan di sini," aku bangkit dari dudukku, "Bye, Bar," aku melangkah menjauh darinya.

"Fi, aku belum selesai ngomong," Akbar menahanku. Aku berbalik tanpa melangkah mendekatinya lagi. Akbar berdiri tanpa melangkah.

"Tiga bulan terakhir ini semua terasa berantakan, Fi, aku bener-bener jadi orang ling-lung dan nggak tau harus ngapain. <em>I need you, Fi, i need you to be here with me</em>," matanya terlihat berkilat meski Akbar berdiri membelakangi senja. "<em>For the second time, would you marry me</em>, Fiola?" Pertanyaannya kembali membawa hening di antara kami.

"Akbar? Tapi kan kamu barusan minta aku tetep berangkat ke Perancis?" suaraku memecah lagi.

"Iya, aku memang pengen kamu tetep berangkat."

"<em>Then why you ask me to marry you</em>?"

"Karena aku memang pengen kita nikah, Fi. Kalo kamu memang harus berangkat bulan depan, kita bisa nikah dua minggu lagi, atau mungkin kita nikah besok. Dan gak perlu ribet mikir adat ini dan itu, Fi, nikah di KUA aja juga udah cukup, yang penting kita bisa nikah."

"<em>And then</em>?"

"<em>Then, take me with you to France</em>. Aku yakin bisa <em>survive</em> dengan kerja di sana."

"Aku nggak mimpi kan, Bar?"

"Itu air mata kamu beneran basah koq, Fi. Kamu nggak mimpi, dear."

Aku berhambur memeluknya, menumpahkan tangisku di dekapannya, "Iya, Bar, ini air mata bahagia."

&nbsp;

&nbsp;

*dikutip dan dikembangkan dari sandiwara berupa suara yang tersimpan di sebuah folder di lepi.. :D

4.5.11

Batch-136

Namanya Batch-136 (#136). Bukan sandi perang atau pasukan tempur, tapi adalah kelompok training di Telkomsel Surabaya. Ada 15 orang awalnya, terkumpul dari berbagai perusahaan out sourching yang berada di bawah naungan Infomedia Nusantara.

It’s Monday. Wajah-wajah asing berkumpul dalam satu ruangan. Ada yang pasang tampak jutek, ada juga yang tampil seramah mungkin. Aku datang agak lambat waktu itu, kebiasaan jelek yang memang sering aku lakukan. Tapi untunglah, acara belum mulai karena pengisinya datang lebih lambat dari aku.

Orang yang pertama kali aku kenal namanya Yusniar. Dia datang beberapa menit setelahku, dan dengan wajah bingung. Beberapa saat setelah tukar nama, dia curhat, dia bilang kalo sekarang udah kerja di perusahaan kontraktor sebagai sekretaris. Hari itu dia izin gak masuk kerja dengan alasan sakit untuk dateng ke training ini.

Yusniar terlihat antusias sama pekerjaan ini, buktinya dia bertahan sampai hari ketiga dan seterusnya. Dan itu artinya dia telah memilih. Memilih untuk keluar dari perusahaannya yang lama dan bergabung di #136. Sebuah keputusan yang hebat menurutku. Iya, bukankah sesuatu yang luar biasa ketika seseorang bisa mengambil sebuah keputusan, bisa memilih dan mengusahakan yang terbaik untuk hidupnya? I’m very proud of you, Yusniar.. :D

Di setengah jam pertama kami berada dalam sebuah ruangan, kala itu Yusniar duduk di sebelahku. Ada Ikko dan Aini di depanku. Dan Yusniar mengejutkan kami semua dengan pernyataan kalo berat badannya turun dari 80 kg ke 50 kg. Wow..!! it’s amazing..!! Dia sempat juga ngasih liat fotonya waktu masih 80 kg dulu, dan memang sangat jauh berbeda.

Sehari berlalu dan kami mulai saling mengenal, meski aku tak ingat benar nama-nama mereka satu per satu (karena memang ingatanku payah..!! ^^). Dan hari kedua, jumlah kami menjadi 14 orang, karena ada satu orang yang mengundurkan diri. Aku bahkan tak ingat siapa namanya :D, yang pasti temen-temen sempat bilang kali Aini kehilangan incarannya. Hwehehehehe....

Di hari kedua itu juga, kami harus merelakan seorang teman, Zainal namanya, untuk stop di training ini. Si Zainal ini agak pelat dan itu jadi harga mati untuk seorang Caroline Telkomsel. Zainal ini fasih sekali berbahasa inggris. Saat bicara, dia lebih enak terdengar kalo pake bahasa inggris, meski yang ndengerin harus bekerja ekstra buat ngerti pembicaraan dia :D. Bravo Zainal..!! ^^

Empat hari berlalu, aku semakin mengenal mereka dan mulai mengingat nama mereka. Ada Angga yang selanjutnya lebih sering dipanggil Angie sama temen-temen karena he’s the only boy over the girls. Angga atau Angie ini pembawaannya tenang dan santai. Suaranya besar dan cocok banget buat jadi CC, dan yang asyik, dia gak canggung meski berada di antara cewek-cewek cakep. Hwehehehe...

Ada Tyas. Perawakannya kecil mungil, tapi suaranya menggelegar. Bisa dibilang Tyas ini biang keributan di kelas dan dia selalu bisa bikin kita semua tertawa karena tingkahnya. Dan postur tubuhnya yang hemat ini jadi senjata buat ejek-ejekan. Maem yang banyak ya, Tyas, sapa tau bisa tambah tinggi. Hwehehehehehe.... :D

Lusida, dan lebih dikenal Cece karena wajahnya yang mirip Chinese, dia ini orang Jember. Orangnya kalem dan tak banyak bicara. Di week end minggu pertama training kemarin, dia pulkam dan temen-temen langsung aja nodong oleh-oleh khas Jember. Dasarnya si Cece ini orang baik, Senin kemarin dia bawa brownies sama kue tape (aku lupa namanya) yang langsung diserbu sama temen-temen. Sayangnya, si Dwi gak doyan susu, keju dan temen satu spesiesnya, makanya dia gak bisa ngicip. Fhafha juga, dia gak maem tape, jadi Cuma incip browniesnya aja. Kalo di Aini beda lagi, dia jagoan ngabisin semua makanan itu kemarin. Wkwkwkwkwkwkwk.... pizzz...!!! ^^v

Fhafha sama Dwi itu ngingetin aku sama temenku. Kalo Fhafha ngingetin sama temenku namanya Palupi, yang mirip dari mereka adalah suaranya. Jadi kalo pas Fhafha ngomong gitu, aku jadi inget sama temenku itu. Tapi, sepertinya Fhafha ini hatinya halus (*baca sensitif.. :D), beda banget sama temenku itu, dia kurang peka. Hwehehehe... Dan Fhafha ini ingatannya tajam sekali, dia bahkan inget apa yang aku omongin waktu kita sekelompok di training itu. Salute..!! ^^

Kalo Dwi mirip sama temen kuliahku, aku biasa manggil dia Fauka. Perawakannya mirip, agak tomboi. Tapi Dwi gak banget-banget, karena dia pake high heels dan tasnya juga tas model cewek. Sering-sering onlen ya Dwi, biar bisa cetingan trus ilok-ilokan. Wkwkwkwkwkwk....

Aini ini ternyata kakak kelasku waktu kuliah, dia satu tingkat di atasku. Dan ternyata dia dateng waktu aku seminar skripsi. Ah, dunia serasa sempit kalo begini ini. Hwehehe... Aini ini orangnya gampang gugup, dia sering salah tingkah kalo ditunjuk. Di awal dia sempat bingung, gimana kalo pas jadi CC, ada orang telfon dan dia bingung harus ngapain. Hwehehehe... Seiring dengan berjalannya waktu, kamu pasti akan jadi CC yang handal. Amiiin... :D

Aku penasaran banget pengen ketemu sama baby-nya mbak Yuli. Waktu dipamerin fotonya, si Zaki itu keliatan lucuuuuuuuuuu banget..!! Pengen tak culik ae rasane..!! Hwehehehe... Ibu muda yang satu ini gak keliatan kayak ibu-ibu. Perawakannya langsing dan cantik. Untuk aja di #136 cowoknya cuma Angie, jadi gak ada yang nggodain. Wkwkwkwkwkwkwk....

Si Dhini ini ngaku nyasar ke Graha Pena waktu hari pertama training. Dia gak ngerti kalo Graha Pangeran itu jadi satu sama gedungnya BNI. Alhasil, dia baru sampe kelas jam 9, pas trainernya udah ada di kelas. Kalo gak salah di hari kedua training dia kehilangan helm dan mencak-mencak sama satpam, then sukses bikin si satpam minjemin helmnya ke Dhini. Ampuuuun..!! :D

Beda lagi sama Ikko yang narsis abis. Jangan panggil Ikko deh pokoknya kalo pas jam istirahat dia gak minta tolong seseorang buat take gambarnya. Kadang akting lucu, kadang pose orang-orang kantoran dan masih banyak lagi. Gak akan kehabisan stok pose deh pokoknya. But, that’s great..!! itu artinya Ikko ini adalah orang yang sangat percaya diri..!! Keep going girl..!! ^^

And then mbak Christien, si awet muda. Aku yakin, kalo ditanya berapa umur mbak Christien, orang-orang pasti gak akan kasih jawaban tepat. Gak keliatan banget dari wajah dan penampilannya. Tapi, jangan ragu sama kedewasaannya. Mbak yang satu ini wise banget..!! Sepertinya, dalam diri mbak Christien ini bener-bener terbukti, kalo pengalaman adalah guru paling berharga dalam hidup. ^^

The last but not the least, adalah Rinda. Rinda ini adalah orang yang paling gampang menarik perhatian trainer karena dia adalah pelanggan setia Telkomsel. Hwehehehehe... dan dia adalah orang yang mudah beradaptasi sama orang, mudah menyesuaika dengan siapa dia bicara.

Hhh...meski kebersamaanku dengan mereka Cuma terhitung hari (5 hari), but it’s really mean something to me. Kita bisa jadi kompak dalam waktu yang relatif singkat. Jadi CC ini, tak pernah aku bayangkan sebelumnya, termasuk juga ketemu sama temen-temen baru yang luar biasa ini. Yang jelas, dalam jangka waktu 5 hari aku bisa jadi seorang yang lebih tepat waktu.

Pekerjaan ini menantangku, menuntutku berubah menjadi lebih disiplin dan entahlah, aku bener-bener merasa tertantang dan ingin berhasil, meski sepertinya pekerjaan ini membosankan karena sehari-harinya hanya berurusan dengan telfon dan komputer. Tapi iya, aku suka dan aku merasa tertantang. Apalagi ketika bertemu mereka, aku jadi semakin suka.

Sayangnya, jodohku sama mereka gak panjang. Sayangnya, jalan yang dipilihkan Allah untukku bukan dengan jadi CC. Karena akhirnya aku harus memilih amanah yang dibebankan ke aku dan gak bisa aku tinggalkan. Meski sedih karena harus meninggalkan, tapi aku yakin Allah lebih tau yang terbaik buatku, dan memang menjaga amanah inilah yang mungkin terbaik saat ini.

Meski aku hanya setitik air dalam perjalanan temen-temen untuk jadi Caroline Telkomsel ini, tapi kalian mean something to me. Maaf karena gak pamit langsung sama kalian, karena memang kabar itu baru datang sore harinya dan sebenernya aku masih pengen berusaha izin, tapi gak bisa. Lagian rasanya gak tega mo pamit langsung. Kemarin aja sempat bilang ke mbak Yuli kalo aku pengen nangis. Hwehehehehehe....

Tulisan ini, semoga bisa jadi pengingat, kalo kita pernah berjodoh meski hanya beberapa hari, bahwa aku pernah mengenal kalian dan kalian pernah mengenalku. Hwehehehe... ^^

So, berjuanglah teman-teman..!! kalian semua harus lolos jadi CC..!! Salam juga buat temen-temen baru kita yang belum aku hafal namanya ya... Good luck n semangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaatt..........!!!!!!!!! *jangan galak-galak sama customer ya... :D

the memory

Mencintaimu

Sebenarnya bukanlah satu-satunya pilihan

Ada hati lain yang bisa kupilih untuk menambatkan cintaku

Tapi sepertinya hati ini lebih menyukaimu

Dia nyaman bersamamu




Merinduimu

Adalah ruang hampa udara

Yang perlahan bisa saja membunuhku

Namun aku tak bisa lepas

Karena rasa ini begitu indah



Mengenangmu

Seperti merasai setiap detik waktu yang berlalu

Meresap ke kedalaman makna

Jauh hingga ke dasarnya

Hingga sering kali kehilangan jalan untuk kembali



Cinta ini, rindu ini

Dan kenangan tentangmu

Satu hal yang telah hadir di hatiku

Sejak kali pertama perjumpaan kita

Satu hal yang masih bertahan hingga kini

Meski aku tak pernah benar-benar merawatnya

Bahkan sering kali ingin membuangnya jauh-jauh



Biarlah dia ada

Bersemi dan berbunga, bahkan bermekaran

Karena dia begitu indah, nyaris sempurna

Seperti kita dan senja kala itu



ps : for the memory of 31st oct.

3.5.11

Karena Wanita

Karena wanita ingin dimengerti. Kalo gak salah itu judul lagunya Ada Band. Hehehe...
But, lagu ini sungguh-sungguh sangat cewek banget, maksudnya bener-bener mencerminkan hati perempuan pada umumnya. Jadi pantas saja kalo lagu ini digandrungi, secara cewek kan sering kali suka lagu karena liriknya. Hehehe.... Walaupun sebenernya bukan cuma cewek aja yang suka lagu ini, tapi cowok juga, biar bisa bersikap manis sama pasangannya. :D
Yah, perempuan itu memang makhluk yang gampang-gampang susah buat dimengerti. Inget, "gampang-gampang susah" itu artinya lebih banyak gampangnya daripada susahnya, karena gampangnya disebut dua kali. Wkwwkwkwkwkwkwk.....
Makhluk yang cenderung punya sensitiveness (semoga bahasanya bener.. :D) yang lebih tinggi dari laki-laki ini cenderung lebih ingin diperhatikan, mungkin juga dipuja dan dipuji. Ah, ingat-ingat saja, cewek mana yang gak berbunga-bunga dan merasa menjadi perempuan paling cantik ketika seorang lelaki menyatakan cinta padanya? Bahkan ketika si lelaki hanya diam-diam mencintainya ataupun hanya terdengar desas-desus tentangnya.
Dan kalian, para laki-laki, ketahuilah bahwa perempuan memang sangat butuh untuk dimengerti, terutama segala hal yang berkaitan dengan perasaannya yang cenderung sangat halus dan peka. Gak percaya? Coba aja..!! Waktu malem minggu ataupun malem jumat misalnya, kalian ada janji nge-date. Si cewek yang biasanya manja dan cuman doyan makan di resto atau kafe-kafe, tiba-tiba mau makan di warung PKL dan kamu, si cowok, gak komen apa-apa. Atau cewek kamu yang biasanya tampil apa adanya dengan celana jeans dan kaos oblong, hari itu tampil feminin dan sedikit berdandan dan kamu menyambutnya dengan senyum tipis. Aku yakin, date kalian akan hambar atau paling tidak senyum yang kamu dapat darinya tak sebanyak biasanya.
Acara date kalian pasti akan sangat berbeda, ketika kamu bilang “Alhamdulillah, aku seneng sekali kamu mau berubah menjadi lebih sederhana seperti ini” saat cewek kamu mau makan di PKL. Atau kamu bilang “Kamu kelihatan sangat berbeda dengan tampilan seperti ini, aku suka” sama cewek kamu yang udah nyoba tampil lebih baik. Itulah kawan, betapa perempuan itu sangat sensitif pada hal-hal yang sebenernya gak begitu penting buat kaum lelaki, tapi bisa membuat suasana hati perempuan menjadi sangat berbeda.
Hati cewek sama cowok memang beda, yang ada di pikiran cewek sama cowok memang gak sama, termasuk juga prioritas dan cara mereka bersikap, tak selalu sama atau bisa disamakan. Cewek cenderung memperhatikan hal-hal kecil, detail-detail yang biasanya luput sama sekali dari perhatian laki-laki. Dan laki-laki cenderung memperhatikan hal-hal pokok, yang besar dan utama, yang buat perempuan adalah hal penting ke sekian setelah detail-detail terselesaikan.
Mungkin untuk itulah mereka, kita, lelaki dan perempuan diciptakan berbeda, agar bisa saling melengkapi, tapi tentu semua itu gak terjadi begitu saja. Memang seiring dengan berjalannya waktu, dua orang berbeda jenis yang berjalan bersama, perlahan akan bisa menyelaraskan irama mereka. Yang lelaki bisa sedikit demi sedikit memahami perempuannya dan begitu juga sebaliknya.
Yang perlu diingat adalah bahwa proses itu butuh usaha dan nyaris seperti hukum usaha di fisika bahwa usaha sama dengan hasil. Dan meski Allah SWT tidak pernah tidur dan selalu memberikan balasan yang pantas untuk usaha yang dilakukan hamba-Nya, bukan berarti usaha kita asal-asalan. Karena kalo usaha kita asal-asalan, hasil yang didapat juga asal-asalan. Hehehehe.....

Jangan Beri Tahu Naya

“Tolong jangan beri tahu Naya,” sebuah suara mengejutkanku. Cepat-cepat kututup buku yang sejak beberapa menit lalu aku baca. Sepertinya pipiku memerah karena ketahuan membaca catatan harian seseorang. Namun, rona merahku memudar setelah melihat raut mukanya yang tak berubah, sepertinya dia tak marah.

“Kamu ceroboh sekali naruh catatan harian,” tegurku kemudian. Aku mengembalikan buku itu pada Atar, sahabatku.

Aku sedang menemaninya ke perpustakaan untuk mencari referensi tambahan untuk tugas kuliahnya. Dia kini duduk di hadapanku. Buku catatan yang barusan kuberikan padanya ditumpuk begitu saja di atas buku-buku yang baru digotongnya dari rak-rak perpustakaan.

“Aku nggak marah kamu baca catatanku, tapi sekali lagi, tolong jangan beri tahu Naya tentang isi catatan harianku ini,” katanya lagi.

“Kamu selingkuh?” tanyaku, dia menggeleng.

“Aku hanya mencintainya,” jawabnya kemudian.

“Kenapa kamu gak pernah cerita tentang dia?”

“Untuk apa?”

“Siapa dia?”

“Nggak penting.”

“Dia juga suka sama kamu?”

“Aku tak tahu. Sudahlah, tak ada gunanya membahas ini. Tak akan ada cerita cinta antara aku dan dia.”

“Kenapa?” aku terus mendesak. Kali ini dia diam. Buku catatan itu di kesampingkan, dia mulai membuka buku-buku yang tadi diambilnya. Aku membiarkannya, tak tega terus memaksanya bercerita, sepertinya dia memiliki beban yang sangat berat. Aku hanya akan menunggu sampai dia benar-benar siap untuk bercerita.

Namun, seperti dugaanku, dia tak bisa lagi berkonsentrasi pada apa yang ada di depannya sekarang. Wajahnya terlihat lesu dan bingung. Aku menyentuh tangannya, dia menatapku dan seperti mengerti apa yang ingin aku katakan, dia beranjak berdiri dan berjalan keluar perpustakaan. Aku mengikutinya hingga kami duduk di gazebo yang teduh.

“Tak perlu ku sebutkan namanya, karena kamu pun tak mengenalnya. Baru kira-kira sebulan terakhir ini aku sadar, cintaku tak lagi milik Naya. Aku tak lagi merasakan apa-apa saat bertemu dengannya, saat tanganku menggenggamnya, maupun pada setiap perhatiannya. Rasanya semua hambar. Aku juga nggak tahu kenapa, semua terasa begitu tiba-tiba,” ceritanya mulai mengalir.

“Mungkin kamu hanya teralihkan oleh kehadiran gadis itu, kamu sedang jenuh dengan hubunganmu dengan Naya dan dia datang di antara kalian,” kataku.

“Aku mengenalnya jauh sebelum aku mengenal Naya,” sanggahnya. Tatapannya menerawang, aku merasakan kegelisahan yang hebat pada diri sahabatku ini. Aku hanya menepuk bahunya, berharap dapat memberinya sedikit kekuatan. Dia menatapku dan tersenyum.

“Jangan beri tahu Naya ya,” pintanya. Aku hanya mengangguk, untuk saat ini aku tak ingin menanyakan alasannya, tak ingin bertanya lebih jauh lagi. Aku hanya mencoba mengerti dan memahami perasaannya.

“Nanti, kalo ada yang ingin kamu ceritakan, aku siap mendengarkan,” kataku. Atar mengangguk sambil tersenyum.

Atar adalah sahabatku, sahabat terbaikku. Aku mengenalnya ketika SMA dan sekarang kami sudah semester dua di salah satu universitas di kota kami. Kami satu sekolah saat SMA dan ternyata rumah kami tak terlalu jauh. Waktu itu, banyak yang bilang persahabatan cewek dan cowok itu susah disterilkan dari rasa cinta, tapi aku dan Atar bisa mematahkan pernyataan itu. Aku memang pernah menyadari perasaanku, aku menyayangi Atar lebih dari sahabat. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya Atar memilih Naya sebagai pelabuhan hatinya. Sejak saat itu, aku benar-benar hanya menganggapnya sahabat. Kadang dia seperti kakak buatku walaupun usia kami hanya terpaut beberapa bulan.

Dua minggu berlalu sejak percakapan itu, semua berjalan seperti biasa. Pembicaraan tentang rasa cinta Atar pada Naya yang memudar dan sosok gadis yang dicintai Atar itu seolah tak pernah ada. Sore itu Naya datang ke rumahku. Aku sedang menyiram tanaman ketika dia datang mengagetkanku dengan suara riangnya. Naya memang selalu identik dengan keceriaannya. Orang bisa saja berpikir gadis ini tak pernah punya masalah karena tak pernah terlihat murung, tapi sebenarnya Naya adalah gadis yang melankolis. Dia duduk di kursi, tak jauh dariku.

“Ada apa? Tumben ke sini gak ngasih tahu dulu,” tanyaku.

“Nggak papa, bosen aja di rumah sendirian. Ortu lagi ke rumah saudara di luar kota,” cerocosnya, “Atar nggak ke sini ya?”

“Tadi siang sih ke sini, tapi cuma bentar, makan trus ngilang. Emang kenapa?”

“Nggak papa, tadi aku ke rumahnya, tapi dia nggak ada. Aku pikir dia ke sini.”

“Emang kamu nggak sms dia?”

“Udah, tapi nggak dibales, dia lagi nggak punya pulsa, aku juga lagi nggak punya pulsa buat telfon dia.”

“Sms lagi aja, bilang kamu lagi di sini, siapa tahu dia nanti nyusul ke sini,” saranku. Naya mengangguk senang dan langsung memencet-mencet keypad ponselnya. Namun, hingga adzan maghrib berkumandang, Atar nggak nongol juga. Aku jadi kepikiran. Setelah Naya pamit pulang, aku pinjam ponsel ayahku yang barusan pulang kantor untuk menelfon Atar. Di telfonku yang ketiga baru terdengar suara orang menjawab dari seberang.

“Halo, ini siapa?” sapanya.

“Uli. Kamu di mana?” tanyaku dengan nada suara datar.

“Oh, Uli, kirain sapa. Aku di pantai, baru aja sampai,” jawabnya tanpa rasa bersalah.

“Di pantai? Ngapain?” suaraku melengking.

“Woi, koq heboh gitu sih?! Nggak ada apa-apa, cuma pengen menikmati suasana pantai malam hari aja. Ada apa? Kelihatannya penting.”

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Nggak manusiawi. Jemput aku sekarang, aku juga pengen ke pantai!” aku menekan tombol off di ponsel tanpa menunggu jawaban darinya. Setengah jam kemudian terdengar suara motor datang. Aku segera keluar dan nangkring di atas motornya.

“Berangkat!” komandoku. Atar menjitak kepalaku sebelum melajukan motornya.

Pantai petang itu tak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang penjual kaki lima yang masih bertahan untuk mendapatkan rupiah-rupiah di malam hari. Kami duduk di atas pasir, tak seberapa dekat dengan bibir pantai. Angin pantai berhembus, sedikit hangat, mungkin sisa terik matahari siang tadi masih menyatu bersama angin.

“Tadi sore Naya ke rumah, berharap bisa ketemu kamu di rumahku. Kamu tadi ke mana saja?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Nongkrong di rumah Indra,” jawabnya datar, matanya menerawang jauh.

“Mbok ya ngasih kabar, kasihan kan Naya nyariin kamu tanpa ada kabar.”

“Tadi sepulang dari rumah Indra aku udah sms dia koq,” sahutnya lalu diam.

“Belakangan kamu lebih suka melamun, karena masalah itu?” tanyaku. Dia memalingkan wajah padaku, menatapku. Hanya sebentar, setelah itu dia menatap debur ombak yang mengganas.

“Semakin hari rasanya semakin sulit untuk berbohong,” katanya.

“Berbohong?”

“Iya, berpura-pura mencintainya, memperhatikannya.”

“Aku masih tak mengerti perasaanmu. Bagaimana mungkin rasamu untuknya hilang begitu saja? Kalian bersama bukan baru seminggu yang lalu, tapi sudah setahun yang lalu.”

“Aku juga nggak ngerti. Waktu kamu bilang mungkin aku sedang jenuh, aku berusaha menghidupkan lagi saat-saat indah bersama dia. Aku ajak dia ke tempat-tempat yang pernah kami kunjungi dulu, tapi tak berpengaruh pada perasaanku. Aku justru semakin tak merasakannya.”

“Boleh aku tau, apa yang sudah dilakukan gadis itu sampai kamu terpesona padanya?”

“Nggak ada yang istimewa, dia bersikap seperti biasa. Hanya saja, waktu itu aku nyaris akan kehilangan dia dan saat itu aku sadar, aku tak ingin kehilangan dia, aku mencintainya.”

“Aku sahabatmu dan aku tak pernah tahu ada gadis lain yang dekat denganmu.”

“Aku memang tak pernah mengenalkannya pada siapapun, karena itu aku bilang, kamu nggak akan tahu siapa dia.”

“Lalu, kenapa kamu tak ingin Naya tahu tentang perasaanmu?”

“Aku tak ingin menyakitinya, aku tak tega. Dia nyaris sempurna, tanpa cacat yang bisa melukaiku. Aku tak mungkin meninggalkannya, aku tak punya cukup alasan untuk melukai perasaannya,” ujarnya. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku merasakan beban yang begitu berat menggelayuti hati sahabatku ini.

“Aku tak mungkin meninggalkannya, Uli, karena itu aku harus berbohong, berpura mencintainya. Aku tak ingin dia tahu tentang perasaanku, karena itu bisa melukainya. Dia begitu menyayangi aku, begitu berharap sama aku, aku tak sampai hati mengecewakannya,” keluhnya dengan suara tertahan. Aku diam saja, mencoba memberinya ruang untuk mengeluarkan semua isi hatinya.

“Andaikan aku bisa melakukan sesuatu untukmu,” ucapku lirih.

“Jangan beri tahu Naya,” jawabnya, lebih lirih dari suaraku dan nyaris menyatu dengan deru angin.

Kami terdiam, menyibukkan diri dengan pikiran kami masing-masing. Angin yang hangat telah berangsur mendingin. Aku merapatkan jaketku untuk menghalau dingin yang mulai berhembus. Aku biarkan dia tetap menyandar meski bahuku mulai terasa pegal. Mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini.

“Li, maukah kamu memelukku?” tanyanya. Ragu-ragu aku mengangguk. Aku menggeser dudukku hingga merasa nyaman untuk memeluknya. Hatiku terasa berdesir, rasa itu samar-samar terasa lagi. Aku memejamkan mata, berusaha mengusirnya. Aku tak ingin keadaan ini bertambah rumit karena rasa ini. Pelukkan ini hanya pelukan seorang sahabat yang ingin menguatkan hati sahabatnya yang sedang rapuh. Ya, dia sahabatku, aku menyayanginya karena dia sahabatku.

Beberapa bulan kemudian. Naya menelfonku, memintaku untuk datang ke rumah Atar. Ada surprise untukku katanya. Aku segera saja meluncur ke rumah Atar yang hanya beberapa ratus meter dari rumahku. Surprise yang dimaksud Naya adalah seorang saudara sepupunya. Dulu kami pernah berkenalan dan hanya berlanjut lewat sms yang tak terlalu sering datang. Dia dari luar kota dan saat ini sedang bertandang ke rumah Naya. Naya mengajaknya ke rumah Atar karena dia ingin bertemu denganku.

“Apa kabar Uli?” tanyanya dengan senyumnya yang manis. Sejauh aku mengenalnya, Ipang tak jauh berbeda dengan Naya, dia periang dan menurutku cewek manapun akan tergoda dengan senyumnya yang terlalu manis. Namun, entah kenapa aku belum bisa membuka hati untuk menerima cinta yang pernah diungkapankannya beberapa waktu yang lalu.

“Baik. Kamu apa kabar?” sahutku.

Obrolan kami berlanjut ke dapur, meski awalnya aku agak canggung, tapi dia bisa membawa suasana menjadi sangat nyaman. Pernyataan cintanya dulu seolah tak menjadi masalah karena penolakanku. Kadang aku berharap bisa memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi entah kenapa aku tak bisa. Padahal tak ada yang salah dengannya, tak ada yang aku tak suka darinya, dia sangat menyenangkan. Entahlah.

Bersama Naya pula, kami memasak untuk makan siang kami karena kebetulan ortu Atar sedang keluar kota. Sementara itu, Atar sibuk sendiri dengan motornya yang belakangan sering macet. Naya meneriakinya untuk masuk dan bergabung bersama kami ketika masakan sudah siap. Meja makan rumah Atar siang ini ramai sekali. Si manis Ipang selalu bisa menghidupkan suasana. Aku tak bisa berhenti tertawa dibuatnya. Dia orang yang sangat menyenangkan. Aku jadi berpikir, mungkin keluarga besar Naya punya ramuan yang membuat mereka jadi periang seperti mereka berdua.

Setelah makan, kami meneruskan acara berbincang di teras belakang rumah. Ibu Atar yang hobi berkebun, sengaja membuat taman di belakang rumah untuk menaruh koleksi tanamannya. Teras belakang ini jadi tempat favorit untuk berbincang karena kesejukkan yang dihadirkan oleh koleksi tanaman ibu Atar.

“Tar, bisa pinjam telfon untuk nelfon ke rumah, aku tadi nggak pamit sama ibu dan aku nggak punya pulsa. Hehehe…,” kataku.

“Pake ponselku aja telfon rumah lagi rusak, ambil sendiri di kamar,” jawabnya.

Aku permisi sebentar untuk mengambil ponsel di kamar Atar. Lagi-lagi catatan harian Atar tergeletak sembarangan. Gimana kalo Naya yang masuk ke kamar ini dan melihat catatan harian ini, gumamku seorang diri. Aku memungutnya dan iseng mengintip tulisannya. Halaman yang aku buka adalah tanggal waktu kami pergi ke pantai sambil melepas petang. Tak banyak yang Atar tulis, hanya satu paragraf, tapi benar-benar membuatku seperti tenggelam digulung ombak.

Uli, kamu tak perlu melakukan apa-apa untukku, karena memang tak ada yang harus dilakukan. Pelukanmu sebagai sahabat terbaikku sudah lebih cari cukup buatku, karena aku tahu, aku tak mungkin menjadikanmu kekasihku, meski aku begitu mencintaimu. Sahabat terbaikku, aku mencintaimu, sangat.

“Tolong, jangan beri tahu Naya,” suara Atar mengagetkanku. Dia sudah berdiri di ambang pintu. Buku catatan itu terlepas dari tanganku, mataku panas, matanya memerah.

Dia melangkah mendekatiku, bendungan air mataku jebol. Matanya yang merah menatap tajam ke arahku, mataku semakin panas tapi tak ingin terpejam. Tajamnya mata yang semakin mendekat itu seolah mengoyak hatiku, menikamku, melukaiku. Mata itu kemudian terpejam, dia mendekatkan wajahnya padaku dan samar kurasakan bibirnya mengecup keningku.

“Aku tak marah karena kau membaca catatanku, tapi tolong, jangan beri tahu Naya,” bisiknya dengan suara bergetar. Aku mematung, mataku terpejam dan kurasakan perlahan dia melangkah menjauh dariku lalu terdengar suara pintu ditutup.

<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5022/5683333099_d30d57594d_m.jpg" alt="" width="240" height="180" />

ps : diterbitkan di majalah story #20

2.5.11

Tan Panama

aku berpijak pada tempat yang tak seharusnya kujamah sekarang

kepalaku tertunduk

salahkah aku berada di sini?

kalian tahu benar, aku tak ingin berada di sini

tangan-tangan itu mendorongku kemari

dan aku seperti tak punya daya untuk mengelak

mereka kasar

mereka menyakitiku

merampas satu-satunya milikku

rinduku untukmu

namun kini beranjak semu

aku hilang arah, tempat ini seakan mengekangku

tak ingin kah kau menjemputku

membawaku pergi ke tempat yang memang seharusnya aku berada

ke tempat kita menjadi satu

tempat berbagi yang begitu sempurna

dan tak ada seorang yang tau

bawa aku

agar rindu itu kembali bersemayam dalam hatiku

dan kita kembali menyatu

meski hanya melalu mimpi syahdu

mengukir kenangan lalu

bersamamu

dan meski hanya satu jam saja, biarlah aku terlelap di pelukmu

ps : the crazy collaboration poem with gend

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates