10.6.11

Customer Service Must Have It

Menjadi Customer Service (CS) sebuah perusahaan / lembaga / organisasi apapun, tidaklah mudah. Ada beberapa kriteria khusus yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga akhirnya dia bisa lolos dan menjadi seorang CS. Kriteria tersebut sebenarnya bisa dimiliki oleh semua orang, karena kriteria yang dimaksud dapat dibangun atau dilatih.

Barusan aku dikecewakan oleh seorang CS karena pelayanannya yang kurang memuaskan. Bukan dari segi solusi yang diberikan untuk permasalahanku, tapi dari cara dia memberikan pelayanan. Aku mengeluhkan blog ini, yang bermasalah di salah satu posting. Kebetulan penyedia web ini memang melayani keluhan secara online, chating lewat YM. Nah, siang ini aku coba menghubungi CS, karena aku udah gak sanggup menyelesaikan masalah itu.

Si CS ini menyapaku dengan “bapak” yang kemudian aku ralat “panggil nadia saja mas” tapi gak direspon sama dia. Selanjutnya, dia tetap memanggil “bapak” atau “pak” sampai akhirnya aku bilang “mas panggil nadia saja, saya perempuan ?” dan setelah itu dia ganti panggil “bu”. Ini point pertama.

Poin kedua, setelah membalas sapaan “selamat pagi”-ku, dia tanya, “bisa saya bantu?” dan aku memulai dengan bilang inti permasalahan. Dia lalu minta aku ngecek di admin, tapi ternyata dia blom ngerti masalah yang aku tanyakan, dan otomatin solusi yang diberikannya juga mubadzir. Aku lalu coba menjelaskan dengan detail sampe ngasih contoh di web-nya.

Setelah aku menjelaskan, dia diem lama banget. Aku gak tahu pasti berapa lama, yang jelas dia diam, dan bagi orang yang sedang menunggu, waktu sedikit tetep aja kerasa lama. Sampai akhirnya aku tanya “gimana mas?” dan dia jawab “mohon ditunggu.” Poin ketiga.

Setelah sekian menit berlalu, dia lalu menyarankan untuk kirim email saja ke tim suport. Ya sudah, aku lalu mengucapkan terimakasih yang tak berbalas. Poin keempat.

Aku memang bukan seorang CS, tapi sebagai penerima layanan aku bisa merasakan puas atau tidaknya dengan pelayanan yang diberika oleh CS itu. Aku pernah ikut training sebagai Call Center Telkomsel, yang kemudian aku tinggalkan di tengah jalan karena ada amanah yang harus aku tuntaskan. Dan aku menyadari bahwa menjadi seorang CS itu sangat tidak mudah. Kita dituntut untuk tampil sempurna untuk mencapai kepuasan pelanggan.

Seorang CS tidak hanya harus menguasai produk yang mereka miliki atau solusi yang diberikan ketika pelanggan protes dan mengeluh. CS memiliki tugas yang sebenarnya lebih berat dari itu, yaitu memberikan pelayanan yang baik sehingga pelanggan merasa puas dan kekecewaannya karena produk bisa sedikit terobati.

Dari mana pelanggan bisa merasa puas. Pertama adalah dari solusi yang diberikan untuk masalah yang dikeluhkan. Kedua dari pelayanan yang diberikan oleh CS. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Solusi yang baik tapi CS-nya sewot, siapa yang akan suka? CS-nya ramah tapi solusi tidak tepat, siapa yang tak akan lebih kecewa? Product knowledge bisa dipelajari dengan membaca dan mungkin menghafal, tapi sikap dalam melayani? Inilah yang sering kali dikesampingkan oleh mereka, para CS.

Poin pertama yang dilakukan mas CS tadi adalah bahwa dia tidak mengidentifikasi siapa pelanggannya, apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena CS tidak berhadapan langsung, maka dia perlu bertanya sebenarnya. Kalo bertemu langsung, CS bisa langsung menentukan bagaimana dia harus memanggil customernya, apa “bapak”, “ibu”, “mbak”, “mas” atau “adik”. Begitu juga ketika ditelfon, CS bisa mengenali lewat suara, apa ini suara laki-laki atau perempuan. Tapi lewat chating? Wajah gak kelihatan, suara juga tak terdengar.

Aku sampai berpikir mungkin mas CS itu punya indera penerawangan yang mungkin sedang tidak berfungsi baik, jadi dia mengenaliku sebagai “bapak.” Kesalahan fital juga ketika pelanggan sudah meminta untuk dipanggil dengan nama tertentu, tapi CS tidak memperhatikan, justru meneruskan. Ketika training di Telkomsel yang lalu, aku diajarkan untuk menuruti apa mau pelanggan. Call Center juga termasuk CS, tapi pelayanannya melalui telfon.

Menanyakan nama adalah standart opening Caroline (panggilan untuk CC Telkomsel). Sapaan yang biasa digunakan adalah “bapak” atau “ibu”, namun ketika pelanggan meminta untuk dipanggil “adik” kita tak boleh menolak. Karena itu adalah satu poin yang bisa memberikan rasa senang dan nyaman pelanggan yang menjadi lawan bicara kita.

Memang, tidak semua orang mempermasalahkah bagaimana dia dipanggil, tapi bukankah pelanggan sebuah perusahaan selalu heterogen? Bermacam-macam sifat, karakter dan kemauan. Dan memberikan rasa nyaman pada lawan bicara itu rasanya berhukum WAJIB untuk CS.

Poin kedua adalah identifikasi masalah. Jadi CS juga harus SABAR. Kadang pelanggan tidak tahu bagaimana harus menjelaskan masalahnya atau dia tidak paham dengan istilah-istilah teknik yang sebenarnya bisa membantu penyelesaian masalah. Dan CS harus benar-benar menjadi pendengar yang baik. Ketika pelanggan sudah selesai menceritakan masalahnya, WAJIB juha hukumnya untuk mengklarifikasi, agar kedua belah pihak sama-sama mengerti apa yang dibicarakan. Karena kadang CS sok tahu masalah pelanggan padahal bukan itu yang ditanyakan. Ya, kaya’ mas CS tadi itu.

Setelah itu, ketika kita harus meminta waktu untuk menyelesaikan masalah, kita juga WAJIB ngomong sama pelanggan. Paling tidak bilang “mohon tunggu sebentar” atau yang diajarkan di training Caroline dulu bilangnya “apakah bapak/ibu berkenan menunggu?” So, kita harus menginformasikan bahwa kita membutuhkan waktu untuk membantu masalah pelanggan, jangan tiba-tiba ngilang gitu aja. Pelanggan yg by phone atau by chating kan gak bisa lihat CS lagi ngapain, jadi harus dikasih tahu, biar pelanggannya gak bingung. Ini adalah poin ketiga yang gak dilakukan mas CS tadi.

Strandart closing Caroline adalah “Apa sudah cukup jelas dengan penjelasan yang kamu berikan?” dan setelah itu “Terimakasih telah menghubungi Telkomsel, selamat pagi/siang/sore/malam bapak/ibu (nama).” Yup! Paling tidak, minimal, CS mengucapkan terimakasih. Untuk apa? Untuk kepercayaan yang diberikan pelanggan pada CS. Karena pelanggan percaya bahwa ketika mereka mendapat masalah CS adalah orang yang tepat untuk membantu pelanggan menyelesaikan masalah.

Dan mas CS itu tadi, sama sekali gak balas ketika aku, pelanggannya mengucapkan terimakasih. Dia cuek bebek. Itu adalah poin keempatnya yang bikin aku kecewa.

Menjadi CS di dunia nyata, di dunia kabel dan di dunia maya itu memang berbeda cara dan kriterianya. Di dunia nyata, CS berhadapan langsung dengan pelanggan, otomatis dia harus berpenampilan rapi jali, selalu tersenyum dan bisa mengendalikan emosi dengan tetap menampilkan senyum meski nada bicara ditekan untuk mempertegas.

Di dunia kabel, CS tidak harus berpenampilan rapi, tidak harus selalu tersenyum, namun harus bisa memperdengarkan smiling voice pada pelanggan. Nada bicara harus stabilm tidak ada penekanan apalagi nada bicara tinggi. Telkomsel misalnya, dia mempunyai rekaman suara tiap Caroline saat meyalani pelanggan dan ketika nada tinggi atau nada dengan sebuah penekanan ditemukan, maka itu akan jadi catatan untuk si Caroline.

Di dunia maya, CS tidak melihat wajah dan tidak mendengar suara pelanggan. CS juga tidak dituntut untuk tampil rapi, selalu tersenyum, juga tidak harus punya smiling voice atau mempertahankan suara agar tidak meninggi atau menekan. CS di dunia maya hanya harus bisa memilih diksi terbaik untuk bisa berkomunikasi dengan pelanggan. Diksi yang mudah dimengerti, yang tidak menimbulkan pertanyaan lanjutan, yang tidak membuat marah pelanggan tersulut karena kesal.

Namun, ketiga dunia CS ini memiliki dua attitude yang sama yaitu RAMAH dan SABAR. So, buat yang berminat jadi CS, latihlah kedua hal itu dengan sempurna, maka “nilai jual”-mu akan sangat tinggi, terutama untuk perusahaan-perusahaan yang memberikan jasa pelayanan dengan standart tinggi.

9.6.11

#7

Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam benaknya, apa yang dia pikirkan tentangku. Dia hanya selalu berdiri di sana, bersandar pada salah satu tiang besi penyangga atap berlapis jerami. Yang kuingat bukanlah tubuhnya yang tinggi tegap, bukan juga kulitnya yang sawo matang, atau rambut ikal yang sedikit melewati telinga.

Satu-satunya yang membuatku selalu ingat adalah matanya. Mata bersorot tajam yang selalu terfokus padaku saat jemariku memainkan piano dan bibirku melantun bait-bait lagu. Aku tak pernah tahu siapa namanya, dari mana dia berasal. Aku tak pernah menemukan kesempatan untuk bertanya. Dia selalu pergi beberapa saat sebelum laguku tuntas.

Sore itu, dia ada di sana, sama seperti yang sudah-sudah. Cahaya jingga menembus kacamatanya, menyinari mata yang tak berkurang ketajamannya karena terhalang kaca. Di tengah sinar temaram senja yang menyusup di sela celah dinding bambu, aku melihatnya tersenyum ketika mata kami bertemu. Dan mata itu seketika berubah menjadi begitu teduh hingga membuat jari dan bibirku beku sesaat.

Hari itu, dia tak lebih dulu pulang seperti biasa. Dia duduk di meja paling ujung, mungkin menungguku. Meski aku tak tahu pasti, namun ada sesuatu yang memaksaku mendatanginya. Dia tak memperlihatkan ekspresi apapun ketika aku telah berdiri di depannya. Hanya isyarat agar aku duduk berseberangan dengannya. Seperti terhipnotis, aku menurut isyaratnya.

Menit-menit penuh kebekuan berlalu. Bahkan hangat senja tak mampu mencairkannya. Dia diam. Aku diam. Hanya mata kami saling menatap, seolah dari mata inilah kami bisa saling berkomunikasi. Tanpa harus berkata. Dan aku melihat keteduhan dalam kebekuan ini. Mata itu menyuguhkan perasaan aman dan nyaman. Rasa yang tak seharusnya muncul untuk orang yang bahkan tak kutahu namanya.

Sayup suara orang mengaji mulai terdengar, tanda waktu maghrib akan segera datang. Entah apa yang membuatku tersenyum, tapi ujung bibir ini terlanjur tertarik ke atas. Aku jengah sendiri pada sikapku. Tak lama aku lalu berdiri, berniat pergi, namun suara yang terlontar dari bibirnya menahanku. Suara yang sangat halus namun tegas dan sangat jelas.

“Would you marry me?”

8.6.11

Cinta = Pasir

Masih belum jam 6 ketika sebuah sms dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku. Dan sederet nama yang dia sebutkan untuk memperkenalkan diri rasanya memang lebih ampuh menghilangkan kantuk daripada secangkir kopi. Eits! Tapi kita tidak akan membahas nama siapa yang tertera di sana, it’s not a big deal! Yang akan kita bahas adalah isi smsnya. Hehehe...

Setelah bersms ria beberapa kali akhirnya ketahuan kalo yang sms itu adalah tunangannya orang yang namanya disebut tadi. Jadi awalnya mbak ini sms pake nama tunangannya untuk menyelidiki siapa aku, yang notabene nomorku ini pernah dipake seorang temen ngirim sms yang ternyata salah kirim. Salah kirimnya ke nomor tunangannya mbak itu.

Dia sok kenal banget di sms, seolah dia yang berperan sebagai tunangannya itu kenal banget sama aku. Ketika sudah ketahuan kalo kita gak saling kenal, mbak ini bilang kalo dia ngira aku ini mantannya tunangannya yang mau gangguin hubungan mereka. Nah, inilah isi sms yang akan kita bahas.

Dari kata-kata yang terlontar dalam sms mbak itu, aku bisa menyimpulkan kalo dia adalah orang yang posesif, over protektif. Menurutku ada dua sebab dia bersikap begitu. Pertama, karena pasangannya suka selingkuh. Kedua, karena dia terlalu cinta dan terlalu gak percaya sama pasangannya, terlalu takut kehilangan.

Untuk alasan pertama, aku punya keyakinan, bahwa selingkuh itu hanyalah tabiat, bukan watak. Itu artinya kebiasaan atau hobi selingkuh ini bisa diubah. Pada suatu saat, ketika seorang laki-laki ataupun perempuan telah menemukan seseorang yang memang benar tercipta untuknya, dia akan bisa menjaga hatinya. Seseorang yang ketika bertemu hati menjadi nyaman dan aman. Yang ketika berjauhan, hati tak merasa khawatir akan dikhianati. Yang membuat dia berpikir bahwa bersama orang inilah dia akan menjalani kehidupan.

Ketika sudah bertemu dengan yang begini, yang harus ada adalah konsistensi. Karena ada kalanya rasa dalam hati itu memerlukan penjagaan agar dia tetap ada dan tak pernah luntur. Caranya? Bersyukurlah, nikmatilah, yakinlah. Karena yang Allah berikan untuk kita itu adalah yang terbaik. Meski sebenarnya, tanpa penjagaan yang ketat pun rasa itu akan bertumbuh dengan sendirinya. Tapi sekali lagi, untuk yang punya hobi selingkuh, penjagaan dan konsistensi itu perlu.

Untuk yang punya pasangan suka selingkuh, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah menjadi pasangan paling setia untuknya. Ingatlah apa yang membuatnya jatuh cinta dan jagalah agar itu tetap ada. Rangkaikan suasana yang nyaman dan aman dalam hubungan. Ketika dia benar mencinta, dia akan berpikir dua kali untuk menyakiti hati orang yang dengan tulus menjaga cintanya untuk dia. Karena memang sewajarnya orang, ketika dia merasa nyaman dia pasti akan selalu kembali.

Nah, yang alasan kedua ini agak serem. Pesan singkat yang aku berikan sama mbak tadi adalah bahwa cinta itu seperti pasir dalam genggaman. Kalo kita menggenggamnya terlalu longgar, kita akan mudah kehilangannya, dia bisa terbang tertiup angin atau jatuh ke bumi begitu saja. Kalo kita terlalu rapat, perlahan butir demi butir akan lolos dari genggaman kita dan kemudian mungkin bisa hilang sama sekali.

Pasir itu dianalogikan sebagai perasaan kasih sayang. Ketika kita membiarkannya, tak peduli dengan pasangan kita, bukan tidak mungkin suatu saat rasa itu akan memudar. Begitu juga ketika kita mengikatnya terlalu erat. Dia bisa saja berontak dan memilih untuk melepaskan diri. Karena pada dasarnya manusia selalu mendamba rasa nyaman. Karena pada dasarnya manusia suka kebebasan. Dan, manusia mana yang tahan dipenjara terus-terusan. Tidakkah rasa nyaman yang sebelumnya ada perlahan hilang seiring dengan terenggutnya kebebasan.

Pasangan adalah orang terdekat dengan kita. Ketika bahagia menghampiri, rasanya tawa tak sempurna jika pasangan tak bisa ikut merasakannya. Ketika sedih, dia akan menjadi tempat ternyaman untuk berkeluh kesah, untuk mecurahkan segala rasa. Begitu juga sebaliknya, ketika dia bahagia, kita juga akan merasakan bahagianya, tanpa dibagi. Ketika dia bersedih, kite berusaha menjadi orang pertama yang bisa mengerti kesedihannya, berusaha menenangkan dan meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Sejujurnya aku merasa kasihan sama mbak tadi, baru juga tunangan, blom jadi suami, tapi dia menjaga pasangannya sedemikian ketat. Aku tak tahu bagaimana pasangannya, apa memang suka selingkuh atau mbak ini aja yang over. Tapi, ketika sms salah sambung aja dipermasalahkan, diselidiki sampe segitunya, i think there’s something not ok. Berlebihan sekali. Dan memang kasihan sekali. Betapa hatinya selalu galau, selalu dihantui perasaan akan dikhianati. Betapa rasa nyaman mendampingi pasangan itu tak lagi ada karena dikuasai curiga.

Aku jadi berpikir, mungkin saja itu bukan cinta, tapi rasa yang kuat untuk memiliki, hanya karena tak ingin kehilangan. Mungkin sama seperti kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, tentu kita tak ingin orang lain mengambilnya, bahkan sekedar menyentuhnya. Ah, bagaimana kalo ternyata tunangannya itu bukan jodohnya. Mungkin saja dia akan gila.

Yah, bukankah kita selalu diingatkan untuk mencintai seseorang karena Allah? Bukankah cinta sesama manusia itu sebenarnya semu dan sementara? Dan memang lebih baik kalo cinta yang sepenuhnya pada sesama manusia berlainan jenis itu hanya terberi untuk suami atau istri. :D

Malam..

Malam,

Janganlah cepat berlalu. Aku ingin bersamamu lebih lama, merasai hening ini. Menghayati sepi dengan kekosongan hati. Menerjemahkan segala rasa dalam untaian kata. Tak sambung-menyambung, tak juga putus-putus.


Malam,

Tahukah kau? Jika bisa memilih, aku tak inginkan rasa ini ada. Namun, terkadang hati bisa berbuat sesuatu di luar batas kemampuan nalar. Kadang mereka tak sejalan, bahkan bertentangan.


Malam,

Mengertikah kau, kenapa rasa ini harus ada? Kenapa aku harus menahan sesak karenanya? Kenapa aku harus merasakannya? Aku ingin dia pergi dan tak pernah kembali. Aku ingin dia hilang dan tak berbekas. Aku benar tak menginginkannya ada. Aku benar ingin dia lenyap.


Malam,

Biarkanlah aku menangis dalam dekap heningmu. Hanya engkau yang memahami, betapa aku tak berdaya melawan rasa ini. Betapa aku harus tunduk. Menyerah kalah. Membiarkannya terbahak mengibarkan bendera kemenangan di atas egoku.


Malam,

Aku hanya berusaha mengingat inilah cara-Nya menyayangiku. Dengan membiarkan rasa ini ada. Dengan membiarkan rindu bertumpuk dan menggunung. Dengan membiarkan keyakinan ini bersarang dalam
hatiku. Bukahkah Dia adalah penulis skenario hidup terbaik?

5.6.11

Galau #1

Entah sudah berapa puluh kali tombol ini kupencet dan mencari sebuah nama. Juna. Ingin sekali menyusulkan tombol hijau di pojok kanan atas hingga menampilkan kata dialing di layar. Atau melanjutkan option send text message pada nama itu. Tapi tak juga kulakukan. Ah, bukankah sangat mudah untuk bisa terhubung dengannya?

Tidak, ini sama sekali tidak mudah. Mendengar suaranya meski hanya lewat telepon, berbalasan sms dengannya. Aku tahu itu bukan hal yang mudah. Karena dia seperti ekstasi, membuat candu. Sekali menelepon, sekali mengirim sms, setelah itu akan kecanduan. Tidak, aku tidak mungkin melakukannya, aku tak ingin kecanduan.

Kuletakkan ponselku di atas meja. Persis seperti hari-hari sebelumnya sejak nomor itu kudapatkan dari Nani. Ah, bukankah ini memang kesempatanku untuk bisa lebih dekat dengannya? Nani bilang, dia sudah putus dari nenek lampir yang minta ampun galaknya itu. Kalaupun aku mendekatinya, itu bukan masalah. Si nenek lampir juga sudah tak punya hak lagi untuk merapalkan mantra-mantra pedasnya lantaran cemburu. Lalu, kenapa aku harus ragu?

Juna. Aku pertama kali bertemu dengannya di resepsi pernikahan Kak Ranti, sepupuku. Kakak lelaki Juna adalah mempelai prianya. Cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah yang terjadi padaku. Ah, sampai hari ini, setelah lebih dari 2 tahun memendam rasa, hatiku masih saja bergetar mengingat senyumnya. Malam itu, perkenalan yang sangat singkat, obrolan yang terlalu ringkas, namun membekas sangat kentara di dinding hati.

Sayang, saat itu Juna sudah memberikan status kekasih pada nenek lampir itu. Kenapa aku menyebutnya nenek lampir? Sebenarnya dia cantik, terlihat lembut, tapi kalo liat ada cewek main mata sedikit saja sama Juna, byuh! sumpah serapahnya meluncur semua. Mungkin dia hanya kelewat menyayangi dan takut kehilangan Juna.

Dan kini, mereka sudah putus, sejak bulan lalu. Harusnya aku tak perlu ragu untuk mendekati Juna, tapi entahlah. Nomor ponselnya hanya tersimpan di phonebook, tak pernah masuk daftar outgoing call atau deretan nama di inbox. Hash! Kenapa aku tak punya setitik pun nyali untuk menghubunginya?

Kembali kuraih ponselku. Menekan tombol contact dan mencari sebuah nama. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. I can do it! Ucapku meyakini diri. Aku tak menekan tombol hijau itu, tapi lebih memilih menekan option send text message. Untuk langkah awal, kuhibur nyaliku.

"Hai, Juna ya? Apa kabar?" aku menimbang-nimbang lagi. Cukupkah kata itu sebagai permulaan? Atau aku sudah harus menyebutkan namaku?

Aku menghapus ketikanku, rasa-rasanya kurang pas pilihan kataku. Kucari diksi lain.

"Hai, Juna. Ini Disya, masih inget nggak?" kupelototi barisan huruf itu. Hash! Mana mungkin dia inget, kita kan cuma sekali berkenalan. Meski kita satu kampus, toh dia tak pernah memperhatikan aku.

Aku kembali menghapus dan mengetikkan kembali kalimat pertama tadi. Kukumpulkan keberanian untuk menekan tombol send. Berhasil! Kutenggelamkan kepalaku dalam tumpukan bantal. Detak jantungku tak karuan. Beginikah rasanya jatuh cinta? Kenapa benar-benar membikin galau?

Kusingkirkan bantal-bantal. Mataku tak lepas dari layar ponsel. Lima menit berlalu sejak laporan pengiriman pesan, tapi rasanya sudah sejam aku menunggu balasannya. Tak ada bunyi apapun dari ponselku. Kuperiksa inbox-ku, siapa tahu saja tak ada bunyi, tapi ada pesan baru bersarang. Nihil! Aku mendengus.

Lima belas menit berlalu, tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda satu pesan diterima. Terburu kubuka, dan aku mendengus lagi. Bukan nama Juna yang muncul, tapi Nani.

"Dis, si Juna ternyata nggak jadi putus sama nenek lampir. Mereka balikan lagi," pesan singkat yang sangat padat dan jelas.

Aku menepuk jidat. Oh, God..!! Kembali kutenggelamkan kepalaku dalam tumpukan bantal. Kali ini bahkan tak kuhiraukan saat ponselku berbunyi lagi, penanda ada pesan masuk.



3.6.11

August Rush - Tentang Keyakinan

Apakah harapan dan keyakinan itu sama? Mungkin mirip, serupa tapi tak sama. Atau mungkin perbedaannya hanya sebatas sehelai rambut. Yang kentara, harapan tanpa keyakinan seperti tak berarti, dan keyakinan tanpa adanya harapan hanya akan menjadi penyesak hati.

August Rush. Film ini bertutur tentang sebuah keyakinan yang dimiliki oleh seorang anak pungut yang tinggal di panti asuhan Walden Country di New York. Anak laki-laki bernama Evan Taylor (<span style="text-decoration: underline;"><em><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Freddie_Highmore" target="_blank">Freddie Highmore</a></em></span>) ini sudah menjadi penghuni Walden Country sejak dilahirkan. Dia tak pernah mengenal ibu bapaknya, ataupun keluarganya yang lain.

Evan memiliki sesuatu yang istimewa pada dirinya, sebuah intuisi yang sangat tajam pada suara. Di dalam dirinya tumbuh sebuah keyakinan bahwa semua itu adalah pemberian orang tuanya. Dan Evan percaya, jika dia bisa memainkan musik, mewujudkan suara-suara yang didengarna melalui alat musik, ia yakin orang tuanya pasti akan mendengar dan mereka akan tahu bahwa Evan adalah anak mereka.

Keputusan Evan untuk tetap tinggal di Walden Country dan selalu menolak diadopsi membuat Richard Jeffries (Terrence Williams) tersentuh hingga membuatnya memberikan kartu nama. Setulus hati, dia ingin membantu Evan.

Keyakinan dalam diri Evan lalu menuntunnya untuk pergi mencari orang tuanya. Berbekal kartu nama Jeffries, dia pergi ketika semua penghuni panti asuhan sedang terlelap. Ia tak punya tujuan, tapi suara musik yang didengarnya seolah menuntunnya menuju suatu tempat.

Louis Connelly (<span style="text-decoration: underline;"><em><a href="http://www.imdb.com/name/nm0001667/" target="_blank">Jonathan Rhys Meyers</a></em></span>) dan band-nya sedang berada di puncak karir. Perjuangan keras mereka di San Francisco akhirnya mampu membawa mereka sampai ke New York, di sebuah panggung dengan ribuan penonton. Louis suka menyendiri, menikmati malam gundah dengan berada di atas atap. Hal itu juga yang kemudian mempertemukannya dengan Lyla Novacek (<span style="text-decoration: underline;"><em><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Keri_Russell" target="_blank">Keri Russell</a></em></span>).

Lyla adalah seorang Cellist. Konsernya sebagai pemain Cello utama malam itu menyedot perhatian masyarakat New York. Lyla tampil sangat mengesankan malam itu. Selesai konser, mereka mengadakan pesta. Bulan yang sudah purnama itu tak juga membuat gairah berpesta Lyla muncul, ida akhirnya memilih mencari tempat yang bisa memberikan ketenangan. Lyla menaiki tangga gedung tempat temannya berpesta, lalu dia mendengar sebuah suara musik dan mengikutinya.

Ia sampai di atap gedung dan seorang di bawah sana sedang memainkan instrument Moondance dengan gitarnya. Tiba-tiba seseorang menegur dan itulah pertemuan pertamanya dengan Louis. Mereka berbincang dan terjadilah cinta satu malam. :D

Pilihan Evan untuk pergi mencari orang tuanya menuntut konsekuensi yang tidak ringan. Di tengah jalan ia kehilangan kartu nama Jeffries dan bertemu dengan Arthur (Leon Thomas III), seorang pengamen yang diasuh oleh brandal Wizard (Robin Williams). Di tempat penampungan Wizard inilah Evan mulai mengenal alat musik. Dan Wizard tentu tak tinggal diam melihat talenta Evan, di otaknya mulai berpikir bawa anak itu bisa mendatangkan banyak uang untuknya.

Wizard lalu mulai “menjual” talenta musik Evan di kafe-kafe dengan bayaran yang mahal, tapi kafe-kafe itu tak mau menerima karena tawaran yang kelewat tinggi. Wizard juga telah mengganti nama Evan dengan nama beken, sekaligus agar orang-orang yang mencarinya tak bisa menemukan jejak Evan. Evan kemudian dikenal dengan nama August Rush. Lika-liku pencariannya kemudian membawa August pada sebuah gereja, mempertemukannya dengan pastur James (Mykelti Williamson) yang kemudian memasukkannya ke sekolah musik nomor satu di New York karena talenta yang dimilikinya.

Di sekolah musik Juilliard, August dengan sangat bebas meluapkan suara-suara yang selama ini didengarnya melalui berbagai alat musik. Keyakinannya untuk bertemu dengan orang tuanya semakin besar. Keyakinan itu pula yang memunculkan ide dalam diri August untuk merangkaikan nada-nada itu dalam sebuah rhapsody. Rhapsody itu kemudian diketahui oleh dosennya dan diputuskan untuk tampil dalam konser tahunan Phillharmonic.

Di San Fransisco, Louis yang telah meninggalkan musik dan bergelut dengan bisnis bagai dijungkirbalikkan ke masa lalunya ketika Nick, salah seorang personel band-nya datang padanya. Pertemuan dengan Nick, membawa Louis pada sebuah pesta dan di sana dia bertemu dengan Marshall, kakaknya yang juga anggota band. Malam itu, Louis dipaksa untuk memilih antara kekasih barunya dan masa lalu. Dan Louis menyerah pada masa lalunya.

Thomas Novacek, ayah Lyla sedang dalam kondisi kritis. Di tengah kesibukannya sebagai guru musik, ia menyempatkan menjenguk ayahnya setelah mendapat telepon dari rumah sakit. Di penghujung usia itu, sang ayah menyodorkan kenyataan bahwa bayi laki-laki Lyla masih hidup.

Fakta-fakta itu menuntun Louis dan Lyla ke New York. Lyla menerima tawaran untuk kembali bermain cello di konser musim semi yang diselenggarakan almamaternya, Juilliard. Ibu dan anak ini akan berdiri di panggung yang sama, namun di tengah jalan, Wizard menemukan August. Dengan mengaku sebagai ayah August, Wizard membawa pergi August dan melarangnya ikut konser.

Malam itu, Louis dan band-nya mendapat kesempatan bermain di panggung lagi, konser lagi. Dalam waktu yang bersamaan, Phillharmonic juga tengah digelar di Central Park.

Tekad August untuk meninggalkan Wizard sudah bulat. Keyakinannya yang sempat pupus kembali berkobar karena pertemuan singkat dan tak terduga dengan Louis di taman kota ketika ia mengamen. Berbekal setitik keyakinan yang kuat, August berhasil kabur dari Wizard dan ia tetap bisa memimpin konsernya.

Nada-nada yang dirangkai dalam rhapsody oleh August benar-benar mampu menyentuh hati orang tuanya. malam itu, akhirnya mereka bertemu.

Film dengan genre drama ini secara tidak langsung mengajarkan pada kita, betapa sebuah keyakinan memiliki kekuatan yang begitu hebat. Seperti yang dikatakan Louis pada August ketika mereka bertemu di taman kota “Nothing bad’s gonna happen, you should have a little faith.”

Kadang kala kita hanya memiliki setitik keyakinan yang mengakar, namun keyakinan yang kita miliki tidak didukung oleh fakta yang ada. Bahkan kadang kita merasa yang kita yakini ini hanya akan berakhir pada kekosongan dan kekecewaan, karena rasa-rasanya tak ada jalan yang terlihat dan bisa kita lalui. Ketika keadaan itu menimpa kita, kita lebih banyak putus asa dan membiarkan keyakinan yang hanya setitik itu melemah hingga akhirnya mungkin tak bersisa.

Mungkin kita hanya belum memahami, bahwa setitik keyakinan itu bisa saja menuntun kita memenangkan hidup. Dan tak akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi jika kita benar-benar yakin bisa menggapai cita-cita kita.

Orang yang memiliki keyakinan adalah orang-orang yang beruntung. Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena tak semua orang bisa dan berani memelihara keyakinan dan menjadikannya sebagai landasan untuk mencapai cita-cita, untuk meraih mimpi. So, do you have a little faith? Do you believe in it? :D

Selain jalan ceritanya yang keren luar biasa dan menguras emosi, di film ini si ganteng Jonathan Rhys Meyers juga menjajal kemampuan vokalnya untuk menyanyikan beberapa lagu yang juga menjadi original soundtrack film ini. Dan suaranya sangat tidak mengecewakan, nggak kalah sama penyanyi asli. Penasaran, cekidot <span style="text-decoration: underline;"><em><a href="http://www.4shared.com/file/yEOQtePa/August_Rush_OST.htm" target="_blank">di sini</a></em></span>..!!

<img alt="" src="http://www.dioenglish.com/wiki/uploads/201002/12652521285bJaFo4w.jpg" class="aligncenter" width="522" height="755" />

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates