5.6.11

Galau #1

Entah sudah berapa puluh kali tombol ini kupencet dan mencari sebuah nama. Juna. Ingin sekali menyusulkan tombol hijau di pojok kanan atas hingga menampilkan kata dialing di layar. Atau melanjutkan option send text message pada nama itu. Tapi tak juga kulakukan. Ah, bukankah sangat mudah untuk bisa terhubung dengannya?

Tidak, ini sama sekali tidak mudah. Mendengar suaranya meski hanya lewat telepon, berbalasan sms dengannya. Aku tahu itu bukan hal yang mudah. Karena dia seperti ekstasi, membuat candu. Sekali menelepon, sekali mengirim sms, setelah itu akan kecanduan. Tidak, aku tidak mungkin melakukannya, aku tak ingin kecanduan.

Kuletakkan ponselku di atas meja. Persis seperti hari-hari sebelumnya sejak nomor itu kudapatkan dari Nani. Ah, bukankah ini memang kesempatanku untuk bisa lebih dekat dengannya? Nani bilang, dia sudah putus dari nenek lampir yang minta ampun galaknya itu. Kalaupun aku mendekatinya, itu bukan masalah. Si nenek lampir juga sudah tak punya hak lagi untuk merapalkan mantra-mantra pedasnya lantaran cemburu. Lalu, kenapa aku harus ragu?

Juna. Aku pertama kali bertemu dengannya di resepsi pernikahan Kak Ranti, sepupuku. Kakak lelaki Juna adalah mempelai prianya. Cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah yang terjadi padaku. Ah, sampai hari ini, setelah lebih dari 2 tahun memendam rasa, hatiku masih saja bergetar mengingat senyumnya. Malam itu, perkenalan yang sangat singkat, obrolan yang terlalu ringkas, namun membekas sangat kentara di dinding hati.

Sayang, saat itu Juna sudah memberikan status kekasih pada nenek lampir itu. Kenapa aku menyebutnya nenek lampir? Sebenarnya dia cantik, terlihat lembut, tapi kalo liat ada cewek main mata sedikit saja sama Juna, byuh! sumpah serapahnya meluncur semua. Mungkin dia hanya kelewat menyayangi dan takut kehilangan Juna.

Dan kini, mereka sudah putus, sejak bulan lalu. Harusnya aku tak perlu ragu untuk mendekati Juna, tapi entahlah. Nomor ponselnya hanya tersimpan di phonebook, tak pernah masuk daftar outgoing call atau deretan nama di inbox. Hash! Kenapa aku tak punya setitik pun nyali untuk menghubunginya?

Kembali kuraih ponselku. Menekan tombol contact dan mencari sebuah nama. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. I can do it! Ucapku meyakini diri. Aku tak menekan tombol hijau itu, tapi lebih memilih menekan option send text message. Untuk langkah awal, kuhibur nyaliku.

"Hai, Juna ya? Apa kabar?" aku menimbang-nimbang lagi. Cukupkah kata itu sebagai permulaan? Atau aku sudah harus menyebutkan namaku?

Aku menghapus ketikanku, rasa-rasanya kurang pas pilihan kataku. Kucari diksi lain.

"Hai, Juna. Ini Disya, masih inget nggak?" kupelototi barisan huruf itu. Hash! Mana mungkin dia inget, kita kan cuma sekali berkenalan. Meski kita satu kampus, toh dia tak pernah memperhatikan aku.

Aku kembali menghapus dan mengetikkan kembali kalimat pertama tadi. Kukumpulkan keberanian untuk menekan tombol send. Berhasil! Kutenggelamkan kepalaku dalam tumpukan bantal. Detak jantungku tak karuan. Beginikah rasanya jatuh cinta? Kenapa benar-benar membikin galau?

Kusingkirkan bantal-bantal. Mataku tak lepas dari layar ponsel. Lima menit berlalu sejak laporan pengiriman pesan, tapi rasanya sudah sejam aku menunggu balasannya. Tak ada bunyi apapun dari ponselku. Kuperiksa inbox-ku, siapa tahu saja tak ada bunyi, tapi ada pesan baru bersarang. Nihil! Aku mendengus.

Lima belas menit berlalu, tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda satu pesan diterima. Terburu kubuka, dan aku mendengus lagi. Bukan nama Juna yang muncul, tapi Nani.

"Dis, si Juna ternyata nggak jadi putus sama nenek lampir. Mereka balikan lagi," pesan singkat yang sangat padat dan jelas.

Aku menepuk jidat. Oh, God..!! Kembali kutenggelamkan kepalaku dalam tumpukan bantal. Kali ini bahkan tak kuhiraukan saat ponselku berbunyi lagi, penanda ada pesan masuk.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates