Salah satu yang biasanya disiapkan oleh pasangan pengantin sebelum “The
Big Day” digelar adalah foto pre-wedding. Beberapa orang menganggap moment ini
bukanlah hal yang penting, beberapa orang bahkan menentang, menganggap kalo
pose-pose dalam foto pre-wedding itu seperti posenya orang yang sudah menjadi
suami istri.
Memang benar, beberapa pasangan kadang berlebihan
menunjukkan kemesraannya saat foto pre-wed, yang tentu saja itu bukan hal yang
pantas untuk diperlihatkan pada khalayak umum. Dan mustinya memang bukan yang
seperti itu, karena sesuai dengan asal katanya, pre-wedding, yaitu apa-apa yang
sewajarnya ada sebelum menikah.
Aku sama Mas menjalani proses dan moment ini, karena kami
ingin berbagi cerita bahagia. Dari awal memang sudah direncanakan, bahkan Mas
memilih akan memasang foto kami berdua di undangannya. Aku setuju saja, karena
sejak dulu memang menginginkannya, meski bukan untuk keperluan undangan. Hehehehe...
Lagipula, aku selalu ingin membagi kisah “ajaib” kami, yang
ada tanpa proses pacaran dan berjalan dengan proses yang bisa dibilang sangat
cepat. I always called this; a miracle.
Banyak pasangan yang hanya tau beres soal pre-wed
mereka. Biasanya pasangan-pasangan itu hanya akan mencari jasa (vendor) foto
pre-wed, memilih tema yang sudah disediakan oleh vendor, ada juga yang memilih
tema sendiri, dan urusan kostum, tempat, fotografer, penata gaya, properti, dsb
sudah menjad tanggung jawab vendor. Mereka hanya harus menyediakan budget dan
waktu, pasca foto pun mereka hanya menunggu hasilnya.
Aku dan Mas punya pemikiran yang berbeda. Berawal dari
terbatasnya anggaran, niat yang tak ingin segala sesuatu yang mewah, dan memaksimalkan
potensi yang ada, kami meng-arrange segala sesuatunya sendiri. Tak ribut memikirkan
tema, kami hanya mengunjungi beberapa tempat di malang yang punya view bagus dan
punya nilai “sejarah” untuk kami.
Soal fotografer? Jangan pikir kami menyewa seorang
fotografer khusus yang lengkap dengan tim penata gaya dan make-up serta
kostumnya. Awalnya ada kawan dekat Mas yang sedang merintis jasa fotografer
pre-wed, dia menawarkan diri untuk jadi fotografer kami. Tapi, karena
keterbatasan waktu yang aku punya, akhirnya kami benar-benar memaksimalkan
potensi yang ada. Dan yang kena sasaran adalah pacar adikku!!
*hahahahahahaaa...*
Kebetulan mereka memang ada di Malang dan dengan sukarela
mau membantu mas dan mbaknya yang tercinta ini. Dan jadilah acara foto-foto
itu.. ^^
Sabtu siang itu kami meluncur dari Surabaya, naik sepeda
motor dengan membawa 1 koper kecil dan 1 tas ransel. Apalagi isinya kalo bukan
baju, bener-bener kayak mau mudik *hohohohohooo*. Lepas ashar saat kami sampai
di tempat tujuan. Beristirahat seperlunya dan menuju tempat pertama yang
diusulkan si pacarnya adik; Villa Puncak Tidar.
Tempatnya bagus, jalanan dan bunga-bunga di sana bagus buat
jadi latar foto, hanya saja, kami terlambat datang, terlalu sore. Waktu itu Mas
pakai setelan jas dan aku pakai gaun putih panjang, yang membuatku serasa jadi
mbak kunti. *sereeeeeeeeeeeeeeeemm*
Baru beberapa kali jepret, Mas ngajak pulang dan aku sudah
mulai ngerasain hawa-hawa tak enak. “Laper, cari makan aja dulu,” gitu Mas
bilang. Kami berempat pulang dulu untuk ganti baju. Di rumah Mas Tanya, “Kamu
ndak gemeteran?” dan kujawab “Ndak, tapi perasaanku ndak enak. Ada apa?” Aku
sudah harap-harap cemas, perasaan semakin tak enak.
“Kamu tadi sempat nyenggol ‘sesuatu’ dan kayaknya dia marah,
apalagi dia udah merhatiin kamu terus dari awal,” Mas njelasin. Si pacarnya
adik yang ada di ambang pintu ikutan senyum, tanda mengiyakan. Seketika buku
tengkukku berdiri, bergidik serem. “Kenapa aku sering diperhatiin sama yang
begitu-begitu? Ini udah yang ketiga kalinya lhoo,” pertanyaan itu tak kuasa
kutahan. “Sudah, ndak papa, ndak usah dipikirin,” Mas membungkus rapi semua tanya.
Lewat adzan isya’ kami keluar makan lengkap dengan properti baru.
Tempat makan yang dituju adalah warung makan named “Otoy” yang ada di Batu. Ini
adalah warung makan tempat kami makan berdua waktu liburan ke Malang. Malam itu
menu yang dipesan sama dengan yang kami pesan waktu pertama kali ke sini, es
cendol dan luna maya (ayam tulang lunak). Tentunya ada sesi foto juga di sini,
tempat kenangan. Hehehehe...
Lanjut ke alun-alun kota Batu. Kostumnya sederhana, sama
kayak yang dipakai di Otoy tadi. Mas pakai kaos putih dirangkap kemeja abu-abu
ungu kotak-kotak dan celana jeans, aku pakai baju rajut ungu muda, kerudung
ungu dan celana jeans. Sengaja begitu, karena ceritanya kami memang sedang
main-main di sana, jadi kostumnya santai.
Puas foto-foto di sana, kami mampir nyobain ceker setan, itu
tuh ceker yang dimasak super pedes. Gara-gara ceker ini aku dapet 2 magnum dari
adik n pacarnya yang sok-sok’an make aku jadi taruhan kuat ngabisin berapa
biji. *wkwkwkwkwkwk...*
Esok paginya, karena semalam jam 2 pagi baru tidur, kami
malas-malasan bangun. Apalagi adik ada jadwal ospek, jadi tidur dulu sekalian nunggu
adik pulang. Hehehe...
Properti antik yang di luar rencana, Orong-orong namanya. Vespa
warna putih hijau punya temen satu kontrakan si pacarnya adik yang kebetulan
lagi nganggur karena ditinggal mudik empunya. Alhamdulillah, vespa itu bisa
jalan, dan jadilah kita berdandan ala orang-orang lawas. Lokasinya, kita balik
ke Villa Puncak Tidar, karena penasaran dan karena bagusnya. Tapi siang itu
Malang rasanya panaaaaaaaaaassss... sesi foto-foto berasa penuh perjuangan,
apalagi si Orong-orong sempat mogok. *xixixixixixi...*
Di tempat itu kita pakai 2 kostum. Habis dandan gaya orang
zaman dulu, kita pakai almamater. Yup! Karena dari KKN yang identik sama
pemakaian jas almamater itulah pertama kali kami berkenalan, sebagai teman yang
sama sekali tak punya pikiran akan sampai pada tahapan ini.
Done! Kami pulang untuk packing dan melanjutkan perjalanan
ke Kebun Raya Purwodadi. Sebelumnya mampir nyemil dulu di bakpao telo Lawang. Dan
tetooooooooooott!! Kebun Raya Purwodadi itu cuma buka jam 07.00 – 16.00, dan
waktu kita sampe sana udah jam 4 lewat 10 menit. Hhmmmm..., lobi-lobi deh. Alhamdulillah
masih boleh masuk, boleh bawa motor pisan, jadi lebih mudah aksesnya. Tapi tentunya
dengan konsekuensi yang lain juga.
Yang jadi pilihan adalah taman bougenvil. Mas pake setelan
jas dengan kemeja yang ganti 3 kali, putih, pink dan ungu. Aku pakai gaun putih
panjang dengan kerudung ganti 2 kali, pink dan ungu. Karena kostumnya begitu,
otomatis pose-nya formal.
Tepat waktu adzan maghrib foto-foto kelar. Berangkat ke pos
satpam dan menyelesaikan “administrasi” yang sudah jelas-jelas tak masuk akal. *hehehehe...*
Mas cuma senyum-senyum waktu keluar dari ruangan penjaga. Kami sholat maghrib
dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
Kalian tau poin penting apa yang aku dapat dari perjalanan
yang melelahkan tapi sangat menyenangkan ini? Ya, meski berbatas dan sangat
sederhana, tapi aku merasa sangat bahagia. Karena bukan nilai secara materi
yang diukur dari sini, tapi keinginan dan usaha untuk saling memberi, menerima,
membahagiakan. Semua pasti akan sangat berbeda saat hanya harus menjalani foto
pre-wed di studio atau yang langsung di-handle oleh vendor.
Dan semua ini terasa sempurna karena rasa syukur. Aku tak
menuntut sesuatu yang mewah darinya, aku tak mengukur bahagiaku dari materi,
tapi usahanya, niatnya dan apa yang diberikannya dalam bingkai kesederhanaan
rasanya sudah lebih dari cukup untuk merasakan bahagia. Karena yang terpenting
adalah dia ada di sisi, saat susah maupun senang.
Kita tak perlu sibuk mencari yang sempurna, ketika hal yang
sangat sederhana telah mampu membuat kita bahagia.