27.9.12

Bahagia dalam Bingkai Sederhana

Salah satu yang biasanya disiapkan oleh pasangan pengantin sebelum “The Big Day” digelar adalah foto pre-wedding. Beberapa orang menganggap moment ini bukanlah hal yang penting, beberapa orang bahkan menentang, menganggap kalo pose-pose dalam foto pre-wedding itu seperti posenya orang yang sudah menjadi suami istri.

Memang benar, beberapa pasangan kadang berlebihan menunjukkan kemesraannya saat foto pre-wed, yang tentu saja itu bukan hal yang pantas untuk diperlihatkan pada khalayak umum. Dan mustinya memang bukan yang seperti itu, karena sesuai dengan asal katanya, pre-wedding, yaitu apa-apa yang sewajarnya ada sebelum menikah.

Aku sama Mas menjalani proses dan moment ini, karena kami ingin berbagi cerita bahagia. Dari awal memang sudah direncanakan, bahkan Mas memilih akan memasang foto kami berdua di undangannya. Aku setuju saja, karena sejak dulu memang menginginkannya, meski bukan untuk keperluan undangan. Hehehehe...

Lagipula, aku selalu ingin membagi kisah “ajaib” kami, yang ada tanpa proses pacaran dan berjalan dengan proses yang bisa dibilang sangat cepat. I always called this; a miracle.

Banyak pasangan yang hanya tau beres soal pre-wed mereka. Biasanya pasangan-pasangan itu hanya akan mencari jasa (vendor) foto pre-wed, memilih tema yang sudah disediakan oleh vendor, ada juga yang memilih tema sendiri, dan urusan kostum, tempat, fotografer, penata gaya, properti, dsb sudah menjad tanggung jawab vendor. Mereka hanya harus menyediakan budget dan waktu, pasca foto pun mereka hanya menunggu hasilnya.

Aku dan Mas punya pemikiran yang berbeda. Berawal dari terbatasnya anggaran, niat yang tak ingin segala sesuatu yang mewah, dan memaksimalkan potensi yang ada, kami meng-arrange segala sesuatunya sendiri. Tak ribut memikirkan tema, kami hanya mengunjungi beberapa tempat di malang yang punya view bagus dan punya nilai “sejarah” untuk kami.

Soal fotografer? Jangan pikir kami menyewa seorang fotografer khusus yang lengkap dengan tim penata gaya dan make-up serta kostumnya. Awalnya ada kawan dekat Mas yang sedang merintis jasa fotografer pre-wed, dia menawarkan diri untuk jadi fotografer kami. Tapi, karena keterbatasan waktu yang aku punya, akhirnya kami benar-benar memaksimalkan potensi yang ada. Dan yang kena sasaran adalah pacar adikku!! *hahahahahahaaa...*

Kebetulan mereka memang ada di Malang dan dengan sukarela mau membantu mas dan mbaknya yang tercinta ini. Dan jadilah acara foto-foto itu.. ^^

Sabtu siang itu kami meluncur dari Surabaya, naik sepeda motor dengan membawa 1 koper kecil dan 1 tas ransel. Apalagi isinya kalo bukan baju, bener-bener kayak mau mudik *hohohohohooo*. Lepas ashar saat kami sampai di tempat tujuan. Beristirahat seperlunya dan menuju tempat pertama yang diusulkan si pacarnya adik; Villa Puncak Tidar.

Tempatnya bagus, jalanan dan bunga-bunga di sana bagus buat jadi latar foto, hanya saja, kami terlambat datang, terlalu sore. Waktu itu Mas pakai setelan jas dan aku pakai gaun putih panjang, yang membuatku serasa jadi mbak kunti. *sereeeeeeeeeeeeeeeemm*

Baru beberapa kali jepret, Mas ngajak pulang dan aku sudah mulai ngerasain hawa-hawa tak enak. “Laper, cari makan aja dulu,” gitu Mas bilang. Kami berempat pulang dulu untuk ganti baju. Di rumah Mas Tanya, “Kamu ndak gemeteran?” dan kujawab “Ndak, tapi perasaanku ndak enak. Ada apa?” Aku sudah harap-harap cemas, perasaan semakin tak enak.

“Kamu tadi sempat nyenggol ‘sesuatu’ dan kayaknya dia marah, apalagi dia udah merhatiin kamu terus dari awal,” Mas njelasin. Si pacarnya adik yang ada di ambang pintu ikutan senyum, tanda mengiyakan. Seketika buku tengkukku berdiri, bergidik serem. “Kenapa aku sering diperhatiin sama yang begitu-begitu? Ini udah yang ketiga kalinya lhoo,” pertanyaan itu tak kuasa kutahan. “Sudah, ndak papa, ndak usah dipikirin,” Mas membungkus rapi semua tanya.

Lewat adzan isya’ kami keluar makan lengkap dengan properti baru. Tempat makan yang dituju adalah warung makan named “Otoy” yang ada di Batu. Ini adalah warung makan tempat kami makan berdua waktu liburan ke Malang. Malam itu menu yang dipesan sama dengan yang kami pesan waktu pertama kali ke sini, es cendol dan luna maya (ayam tulang lunak). Tentunya ada sesi foto juga di sini, tempat kenangan. Hehehehe...

es cendolnya enak lhoo, sambel luna maya-nya juga pedeeess ^^

Lanjut ke alun-alun kota Batu. Kostumnya sederhana, sama kayak yang dipakai di Otoy tadi. Mas pakai kaos putih dirangkap kemeja abu-abu ungu kotak-kotak dan celana jeans, aku pakai baju rajut ungu muda, kerudung ungu dan celana jeans. Sengaja begitu, karena ceritanya kami memang sedang main-main di sana, jadi kostumnya santai.

Puas foto-foto di sana, kami mampir nyobain ceker setan, itu tuh ceker yang dimasak super pedes. Gara-gara ceker ini aku dapet 2 magnum dari adik n pacarnya yang sok-sok’an make aku jadi taruhan kuat ngabisin berapa biji. *wkwkwkwkwkwk...*

Esok paginya, karena semalam jam 2 pagi baru tidur, kami malas-malasan bangun. Apalagi adik ada jadwal ospek, jadi tidur dulu sekalian nunggu adik pulang. Hehehe...

Properti antik yang di luar rencana, Orong-orong namanya. Vespa warna putih hijau punya temen satu kontrakan si pacarnya adik yang kebetulan lagi nganggur karena ditinggal mudik empunya. Alhamdulillah, vespa itu bisa jalan, dan jadilah kita berdandan ala orang-orang lawas. Lokasinya, kita balik ke Villa Puncak Tidar, karena penasaran dan karena bagusnya. Tapi siang itu Malang rasanya panaaaaaaaaaassss... sesi foto-foto berasa penuh perjuangan, apalagi si Orong-orong sempat mogok. *xixixixixixi...*

ndorong si orong-orong yang berubah jadi putih merah. hahahaha...

Di tempat itu kita pakai 2 kostum. Habis dandan gaya orang zaman dulu, kita pakai almamater. Yup! Karena dari KKN yang identik sama pemakaian jas almamater itulah pertama kali kami berkenalan, sebagai teman yang sama sekali tak punya pikiran akan sampai pada tahapan ini.

Done! Kami pulang untuk packing dan melanjutkan perjalanan ke Kebun Raya Purwodadi. Sebelumnya mampir nyemil dulu di bakpao telo Lawang. Dan tetooooooooooott!! Kebun Raya Purwodadi itu cuma buka jam 07.00 – 16.00, dan waktu kita sampe sana udah jam 4 lewat 10 menit. Hhmmmm..., lobi-lobi deh. Alhamdulillah masih boleh masuk, boleh bawa motor pisan, jadi lebih mudah aksesnya. Tapi tentunya dengan konsekuensi yang lain juga.

Yang jadi pilihan adalah taman bougenvil. Mas pake setelan jas dengan kemeja yang ganti 3 kali, putih, pink dan ungu. Aku pakai gaun putih panjang dengan kerudung ganti 2 kali, pink dan ungu. Karena kostumnya begitu, otomatis pose-nya formal.

Tepat waktu adzan maghrib foto-foto kelar. Berangkat ke pos satpam dan menyelesaikan “administrasi” yang sudah jelas-jelas tak masuk akal. *hehehehe...* Mas cuma senyum-senyum waktu keluar dari ruangan penjaga. Kami sholat maghrib dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Kalian tau poin penting apa yang aku dapat dari perjalanan yang melelahkan tapi sangat menyenangkan ini? Ya, meski berbatas dan sangat sederhana, tapi aku merasa sangat bahagia. Karena bukan nilai secara materi yang diukur dari sini, tapi keinginan dan usaha untuk saling memberi, menerima, membahagiakan. Semua pasti akan sangat berbeda saat hanya harus menjalani foto pre-wed di studio atau yang langsung di-handle oleh vendor.

Dan semua ini terasa sempurna karena rasa syukur. Aku tak menuntut sesuatu yang mewah darinya, aku tak mengukur bahagiaku dari materi, tapi usahanya, niatnya dan apa yang diberikannya dalam bingkai kesederhanaan rasanya sudah lebih dari cukup untuk merasakan bahagia. Karena yang terpenting adalah dia ada di sisi, saat susah maupun senang.

Kita tak perlu sibuk mencari yang sempurna, ketika hal yang sangat sederhana telah mampu membuat kita bahagia.

Semoga kesyukuran ini selalu terjaga, semoga kemauan untuk saling memberi, menerima, menjaga dan membahagiakan itu selalu tumbuh dan berkembang dalam diri kami. Aamiin Ya Rabb.. :)

i praise then i feel bless..

Protektif vs Posesif

Punya seseorang yang memperhatikan dan melindungi kita, itu pasti menyenangkan. Kita jadi kayak punya alarm yang otomatis akan berbunyi kalo sesuatu yang “ndak baik” akan “menerkam” kita. Lagian, orang mana -utamanya perempuan- yang ndak mau diperhatiin dan dilindungi. Mungkin nyaris tak ada. Tapiiii, kalo perhatian dan perlindungan ini kelewat batas, kadang jadi sebel juga, iya ndak? Hehehe...

Nah, yang namanya batas itu juga relatif, tiap orang punya standart sendiri-sendiri soal batasnya. Seperti baik dan buruk, benar dan salah. Beda kepala, beda sudut padang, beda latar belakang, tentu akan beda pula memaknainya. Kadang yang kita rasa cukup, dianggap berlebihan oleh orang lain. Sebaliknya, yang dianggap cukup sama orang lain, justru terasa berlebihan buat kita.

Tulisan ini ada bukan tanpa alasan, bukan juga tanpa suatu kejadian yang akhirnya memunculkan rasa ingin tau dan akhirnya jadi rasa ingin berbagi. Kali ini sumbernya dari pengalaman pribadi.

Yang akan kubahas di sini adalah sifat protektif. Sempat terpikir, bertanya-tanya, bahkan sampai browsing, apa protektif itu sama dengan posesif? Keduanya sama-sama “ngatur” dan “membatasi” dan kalo berlebihan bisa bikin ndak nyaman pasangan dan berdampak pada ndak nyamannya hubungan. Tapi sekali lagi, berlebihan atau ndak itu relatif. Hehehe...

Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang kuakses online, protektif itu bersangkutan dengan proteksi, bersifat melindungi. Dan posesif bersifat merasa menjadi pemilik, mempunyai sifat cemburu. Dari sini sudah jelas beda artinya, dan pasti akan beda juga dalam penerapannya.

Aku memiliki keduanya, tentu dengan kadar yang sewajarnya *menurutku* dan semoga memang tidak berlebihan. Dan menurutku itu hal yang wajar. Saat kita menyayangi seseorang, sifat-sifat semacam ini akan otomatis muncul. Karena kita selalu ingin memperhatikan, melindungi, menjadi yang terbaik, hingga merasa tak ingin kehilangan.

But, tentu saja musti masih dalam taraf normal, biar hubungan tetep terasa nyaman untuk kedua belah pihak. Karena yang dicari dari sebuah hubungan itu ndak jauh-jauh dari rasa aman dan nyaman untuk yang menjalani hubungan itu. Karena saat sudah merasa nyaman, seorang pasti akan selalu kembali, selalu setia.

Contoh protektif itu adalah ketika si dia sangat menjaga waktu makanmu karena tau kamu punya sakit mag akut, atau dia yang ndak membolehkanmu pulang larut malam sendirian karena kuatir akan terjadi hal buruk di jalan, atau saat dia melarangmu berpergian jauh dalam waktu singkat karena kuatir kamu akan capek lalu sakit.

Contoh posesif itu adalah ketika si dia melarangmu pergi bersama teman-teman satu genk karena dia tau salah satunya ada yang menaruh hati padamu, atau saat dia marah-marah kalo ada temen laki-laki datang ke rumahmu padahal niatnya cuma main, atau saat dia selalu memantau kamu lagi ada di mana, ngapain dan sama siapa.

Protektif itu didasari oleh rasa ingin melindungi, karena dia khawatir dan tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang disayanginya. Kalo berlebihan tentu bisa memunculkan rasa tak nyaman, karena yang “dijaga” jadi merasa disepelekan, dianggap anak kecil yang musti dijagain segala sesuatunya. Dan yang “menjaga” pun merasa tak nyaman, sering kali khawatir akan terjadi hal buruk, dan kekhawatiran ini meningkatkan nalurinya untuk melindungi.

Posesif itu didasari oleh rasa memiliki dan diikuti oleh rasa takut kehilangan yang berlebihan. Rasa ini menelurkan naluri untuk memberikan perhatian lebih, menjaga agar miliknya tak sampai hilang, pergi, apalagi diambil orang. Rasa tak nyaman? Tentu saja ada. Yang dijaga akan selalu merasa di-kepo, dan kebebasannya seolah hilang. Yang menjaga juga selalu dihantui rasa khawatir dan takut kehilangan.

Protektif ini lebih bisa dimasukkan katagori positif, karena tujuannya baik dan masuk akal *meski kadang ndak masuk akal juga saking berlebihannya. Hohohohoho..*

Posesif lebih ke arah negatif, karena sering kali hanya berdasarkan pada rasa curiga, cenderung mengekang dan tujuannya hanya karena merasa memiliki dan tak ingin kehilangan.

Orang yang protektif belum tentu posesif, begitu juga orang posesif belum tentu dia akan protektif juga. Dan kukira ini bukan harga mati yang sama sekali tak bisa ditawar. Artinya soal seperti ini masih bisa dibicarakan berdua, agar keduanya bisa merasa lebih nyaman menjalani hubungan. Lagipula, kadang kita perlu untuk menjadi protektif ataupun posesif, untuk menunjukkan kita saying. Hanya saja musti tau tempat dan tau waktu, dan terpenting tau batasnya.

Karena segalanya tergantung kita bisa menerima atau tidak, dan tergantung batas toleransi kita untuk bisa menerimanya.

Orang bilang, saat kita menggenggam pasir terlalu erat, pelan-pelan butiran pasir itu akan lolos lewat celah jemari kita hingga habis. Dan saat kita hanya menaruhnya di atas telapak tangan tanpa melindunginya, angin bisa saja menerbangkannya hingga habis.

source : ikhwan-kiri.blogspot.com

18.9.12

Kembali

"Hai," kalimat itu menggantung di kerongkonganku, terlontar lirih, tak berniat kulanjutkan.

Mata itu berpaling padaku yang terpaku di depan pintu. Sedetik kemudian disusulkannya senyum simpul dan sapaan, “Hai.”

Aku tak beranjak, kakiku kaku, mataku mulai panas.

“Apa kabar?” dia mengulurkan tangannya dan entah kapan dia bergerak mendekat. Yang kutahu dia di depanku kini, berjarak tak lebih dari 1 meter.

“Masuklah,” hanya ini yang bisa kulakukan, membalik badan, berjalan memunggunginya dan menyeka air di sudut mata.

Kami duduk berhadapan kini, di ruang tamu rumahku. Ya, dia datang, setelah lebih dari satu tahun kami tak bertemu, tak berkomunikasi.

Seperti ada pendingin yang dipasang di segala sudut, aku nyaris menggigil. Bergetar, entah karena apa. Ada nyeri yang membuat paru-paruku seperti kehabisan udara, aku nyaris tak bisa bernapas. Sesak, entah oleh apa.

“Apa kabar?” pertanyaan itu berulang, dia tersenyum.

“Baik. Kamu?”

“Baik juga. Aku rindu,” mata itu menatapku lembut.

Kulengkungkan senyum, tak peduli betapa tak karuannya senyum itu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menahan nyeri, menahan desakan air mata, dan menjagaku otakku agar tetap waras. Ya, aku harus tetap waras untuk tak mengumbar rasaku untuknya.

“Kamu tak suka aku datang?”

Kutatap mata itu lekat-lekat, berharap bisa menemukan jawab atas pertanyaannya. Berharap tak harus mengaku jujur atas rasaku.

“Kaget aja,” kusisipkan tawa kecil.

“Aku tadi iseng-iseng pengen mampir. Beruntunglah aku, kamu ada di rumah.”

“Maaf, aku sama sekali tak terpikir kamu akan datang lagi ke rumah ini.”

“Aku selalu ingin datang ke sini, sama seperti aku selalu merindukanmu, tapi baru sekarang aku bisa.”

“Uumm.., kuambilkan minum dulu ya,” tak tunggu jawabannya.

Kutinggalkan dia. Aku hanya harus berlalu dari hadapannya untuk bisa bernapas lega, aku hanya perlu menata hatiku untuk bisa bersikap biasa saja padanya. Dulu, aku sendiri yang memintanya untuk menuruti titah ayahnya yang sedang sakit keras, untuk meninggalkanku. Sudah lebih dari setahun aku berusaha menerima kenyataan kami tak bisa bersama, selama itu pula aku terus berlari menjauh darinya. Berharap jarak bisa memudarkan rasa.

Dan ketika dia muncul begini, aku harus mengaku kalah. Rasa itu tak berubah, dan kini aku harus menahan nyeri karena tak bisa berbuat apa-apa untuk rasa ini. Ya, aku harus tetap waras untuk bisa menahan diri, untuk tahu diri, dia bukan untukku.

Kubawakan secangkir teh hangat untuknya, sekaligus untuk sedikit saja mencairkan kebekuan kami. Aku harus bisa bersikap sebagai teman untuknya, tak peduli seberat apa harus menahan rasa ini.

“Aku sudah memutuskan untuk memperjuangkanmu,” kalimat itu terlontar sebelum aku sempat duduk.

Mata kami bertemu. Ada nyala dalam kelembutan tatapan itu. Nyala yang tak kumengerti apa artinya. Aku bisu, tak terlintas kata apapun untuk menjawabnya. Hanya mata yang saling menatap, dan mulai memanas. Entah karena terlalu lama atau karena terlalu kuat menahan desakan rasa.

"Jangan melarangku lagi, ya? Aku hanya ingin kita bisa bersama lagi."




15.9.12

Tiga Tugas

Kira-kira seminggu yang lalu, aku -bersama seorang teman named Fahmia- main ke rumah teman lama kita. Kebetulan dia sementara ini berdomisili di rumah orang tuanya di Ngawi. Teman kita ini, Karisma namanya, sudah menikah akhir tahun 2010 lalu, dan sekarang sudah punya baby perempuan. Adzra namanya.

Kunjungan kita ke rumah Karis ini bukan kunjungan dadakan, tapi memang sudah terencana dan memang membawa misi khusus. Selain untuk mempererat tali silaturahmi -karena biasanya kita cuma ketemu waktu reuni tahunan- kita juga pengen dapet petuah-petuah pernikahan. Fahmia ini sudah ancang-ancang mau dikhitbah (aamiin, insyaAllah), makanya dia ingin meluruskan dan menguatkan niat. Aku? More than that.. *wkwkwkwkwkwk...*

Karis ini dermawan sekali, dia membagi apapun yang sekiranya perlu kita tahu sebelum gerbang sacral itu kita lewati. Poin terpenting yang aku ambil dari diskusi pendek kami kemarin adalah, bahwa perempuan itu kodratnya punya tiga tugas, yaitu tugas natural, tugas domestik, dan tugas sosial.

Tugas natural itu adalah tugas yang hanya bisa dilakukan perempuan dan ndak mungkin digantikan oleh orang lain. Contohnya, hamil, melahirkan, menyusui, dll.

Tugas domestik itu tugasnya ibu rumah tangga, seperti masak, ngurus anak, nyuci, setrika, nyapu, dll. Tugas ini bisa “dibantu” *inget, bukan digantikan* oleh orang lain. Dibantu itu dalam artian, bisa dikerjakan oleh asisten rumah tangga, namun tetep yang memegang kendali adalah si istri. Itu artinya, meski tak mengerjakannya sendiri karena suatu alasan, kita ndak bisa lepas tangan dan tahu beres aja.

Yang terakhir, tugas sosial, yaitu tugas yang dilakukan di luar rumah. Seperti bekerja, aktif di organisasi, pengajian, atau apa aja yang dilakukan di luar rumah. Tugas sosial ini bukan tugas wajib seorang istri, dan mustinya hanya boleh dilakukan ketika tugas natural dan domestik sudah bisa dilakukan dengan tuntas.

Yup! Dalam islam, seorang istri tidak punya kewajiban untuk bekerja, bahkan kalo istri mau bekerja pun harus atas izin suaminya. Ada suami yang secara terus terang meminta istrinya tetap bekerja dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Ada suami yang member kebebasan penuh pada istri, dan ada juga suami yang lebih senang jika istrinya yang mengurus rumah tangga, bahkan ada suami yang terang-terangan melarang istrinya bekerja.

Masalah inilah yang sering kali -mungkin selalu- harus dibicarakan pasangan yang mau ataupun yang sudah menikah. Karena perlu untuk tahu dan mengerti apa keinginan masing-masing dan apa yang lebih mereka butuhkan untuk rumah tangga mereka nantinya.

Kebanyakan lelaki yang merasa sudah mapan dengan pekerjaan yang dimilikinya sekarang, lebih ingin istri mereka nanti berada di rumah. Bisa karena dia ingin jika pulang kerja, dia tak harus mendapati rumah kosong karena istrinya belum pulang. Bisa juga demi pendidikan dan kedekatannya dengan anak-anak. Dan menurutku, lelaki ini sepenuhnya memahami bahwa mencari nafkah untuk keluarga itu adalah mutlak tanggung jawabnya.

Kadang, sebagai perempuan, kita sempat memikirkan alternatif untuk total menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Keduanya tentu punya risiko dan konsekuensinya sendiri-sendiri. Ada enaknya, ada tidak enaknya, ada sisi positif ada juga sisi negatifnya. Hanya tergantu bagaimana kita sanggup menerima semua risiko yang ada dengan ikhlas dan konsekuen dengan pilihan yang kita ambil.
 
Tak ada yang tahu bagaimana kita di masa depan, yang bisa dilakukan hanya melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan hari ini. Jadi, jangan takut untuk menentukan pilihan menjadi ibu rumah tangga atau tetap berkarir. Dan jangan lupa untuk membicarakannya dengan (calon) partner hidup! :)

8.9.12

untitled poem


kepada sepi tempatku menenggelamkan sedu
malam ini aku didera rindu menggelora
pada sosok berparas jenaka yang membunga di lelapku
aku ingin memeluknya sekali lagi, mendekapnya erat
merasakan hembus napas dan detak jantungnya

kepada riuh tempatku melebur segala risau
malam ini aku mengaku telah jatuh cinta
pada senyum nakal yang dipamerkannya padaku
aku ingin melihatnya sekali lagi, menatapnya lekat-lekat
dan tak kan kubiarkan senyum itu hilang walau sedetik

kepada belahan jiwa tempatku melabuhkan segala asa
andai saja kau melihat wajah jenaka dan senyum nakalnya
kau pasti akan jatuh cinta dan merinduinya pula
saat itulah kita benar-benar percaya
cinta pada pandangan pertama itu benar ada 

sleeping tight :*

7.9.12

Penentuan Tanggal Sakral

Buat kaum muda seperti kita, yang pola pikir adat budayanya pelan-pelan sudah digeser oleh pola pikir modern, perhitungan dan penentuan hari baik ini akan terasa sangat ribet sekali, bahkan bisa jadi mengundang pro-kontra dan perdebatan panjang. Saranku adalah *eciyeeeeeeh* menurutlah apa kata orang tua dan serahkan urusan hitungan tanggal itu pada mereka.
Kenapa begitu? Yang merid kan kita, bukan mereka?

Yup! Itu bener banget, yang merid kita, dan mustinya kita punya hak penuh untuk menentukan tanggal berapa kita mau merid. Karena kadang kita yang bekerja juga mempertimbangkan kapan dan berapa lama kita bisa ambil cuti, memperhitungkan teman-teman yang mungkin akan berhalangan hadir kalo pelaksanaannya di hari aktif, dll.

Untuk urusan yang satu ini, cobalah berdamai dengan keadaan dan turunkan ego sedikit saja untuk bisa mengalah. Kembalilah pada niatan awal kita untuk menikah dan apa tujuan kita menikah. Aku memberikan alasan yang kukira cukup rasional untuk kita bisa berdamai.

Yang pertama tentang niatan awal dan tujuan kita menikah. Buat kita yang menganut agama Islam, tentu alasannya adalah untuk menyempurnakan separuh dien, mencari berkah dan ridho Allah. Berdasar pada niatan ini, pikirkanlah, apakah niatan ini akan terwujud dengan sempurna jika ridho orang tua tidak kita kantongi lebih dulu? Bukankah untuk kita yang belum menikah, utamanya perempuan, ridho Allah ada pada ridho orang tua? Kalo ridho mereka saja ndak bisa kita dapetin, gimana kita bisa menuai keberkahan untuk kehidupan pernikahan kita nanti?

Yang kedua tentang harapan untuk bahagia. Mereka yang sudah repot-repot, pusing memikirkan tanggal baik untuk kita, sejatinya bukan karena ego mereka sendiri, tapi lebih karena mereka menyayangi kita. Orang jawa kuno itu punya ilmu titen. Mereka menerima tanda-tanda kebesaran Allah dari pengalaman mereka yang diwariskan turun-temurun. Baca ini yaa... *promosi..huahahaha...*

Dan sudah bisa dipastikan kalo sebenarnya mereka semata-mata menginginkan yang terbaik untuk kita, orang-orang yang mereka sayangi. Mereka ingin kita bahagia menjalani hidup berumah tangga dan mencegah hal-hal buruk yang mungkin bisa terjadi sesuai dengan apa yang pernah mereka tau sebelum-sebelumnya.

So, buat apa kita ngotot untuk bertahan dan “menentang” mereka, toh tak ada ruginya jika sedikit saja mau mengalah dan berdamai dengan mereka. Soal cuti, bisa diatur kan? Umumnya sudah ada cuti menikah untuk para pegawai dengan batasan tertentu. Kalaupun ndak ada jatahnya, bisa cuti sehari atau dua hari demi acara istimewa itu. Soal kawan-kawan, meski tak datang langsung saat acara, aku yakin mereka akan selalu mendoakan yang terbaik. Dan soal-soal lain, teteeeeeep; berdamailaaah.. :D

source : http://asalasah.blogspot.com

The Engagement Day

Orang Lamongan itu punya tradisi sendiri dalam hal lamar-melamar. Jika biasanya kita selalu mendapati pria yang melamar gadis, di beberapa desa dan kecamatan yang ada di Lamongan, yang menjadi pihak pelamar adalah keluarga si gadis. Adat ini tidak berlaku jika pria berasal dari Lamongan sedangkan si gadis dari luar Lamongan.

Untung saja, di desa tempat kelahiran Mas tidak lagi memberlakukan adat itu. Lagipula meski adat itu masih tetap dilestarikan, dia tak mendapatkan gadis Lamongan, jadi tetap saja dia yang datang melamar. Tapiiiiii..., mereka juga memiliki tradisi sendiri, yaitu tahapan prosesi lamaran ini.

Yang pertama pihak keluarga inti (utamanya ayah dan ibu) akan datang ke rumah si gadis untuk bersilaturahmi sekaligus menanyakan apakah gadis yang diinginkannya masih bisa dan mau diminta. Mereka tidak mengharuskan keluarga gadis menjawab dengan membalas kunjungan, karena bisa langsung dijawab saat itu juga.

Sebulan kemudian, keluargaku memberikan balasan kunjungan untuk sekaligus membahas tanggal pernikahan. Kunjungan kami ke Lamongan itu tidak langsung menentukan tanggal berapa akad dan resepsi pernikahan akan digelar, tapi lebih pada pembahasan tanggal yang memungkinkan untuk dilaksanakannya acara sakral tersebut.

Seperti yang umumnya kita tahu, sebagai orang dengan latar belakang adat jawa, tentu akan ada perhitungan tanggal baik yang ditentukan dari banyak faktor, salah satunya yang aku tau adalah weton dan hari naas. Weton adalah tanggal kelahiran calon mempelai dilihat dari kalender jawa. Dan hari naas yang dimaksud adalah hari meninggalnya keluarga dekat. Orang tua kuno di jawa percaya kalo anak-anak mereka tidak boleh menikah di hari pasaran yang sama dengan hari pasaran meninggalnya keluarga.

Kunjungan itu juga memastikan kapan acara lamaran resmi akan digelar. Yup! Inilah tahapan kedua dari prosesi adat lamaran mereka. Di tahap kedua ini, mereka akan melamar secara resmi, dengan membawa saserahan atau peningset, dan kadang mereka menghendaki adanya tukar cincin. Kata Mas, tukar cincin itu adalah untuk tanda pengikat, bahwa dua orang ini sudah berkomitmen untuk saling menjaga hati mereka dan tanda mereka tak lagi “available.”

Menurut ibuku, belanja peningset itu mustinya dilakukan sendiri oleh pihak laki-laki, biar surprise dan sekaligus biar lelaki itu bisa mengerti apa yang disukai atau ndak disukai, apa yang pantas dan ndak pantas untuk calon istrinya. Tapi, berdasarkan saran dari beberapa teman dan kemauan dari keluarga Mas, akhirnya belanjanya berdua. Aku diminta milih sendiri barang-barang yang aku suka, biar nanti ndak mubadzir kata mereka.

Isi peningset ini macem-macem. Intinya peningset ini adalah barang-barang yang biasa dipakai si gadis sehari-hari. Pasti bertanya-tanya deh, apa tujuan adanya peningset ini? *sotoy*

Peningset itu asalnya dari bahasa jawa yang artinya pengikat, istilah lainnya saserahan atau barang hantaran. Adanya peningset ini adalah sebagai simbol bahwa lelaki yang melamar itu telah siap untuk bertanggung jawab dan memenuhi segala kebutuhan istrinya kelak. Peningset ini umumnya diberikan di hari yang sama sebelum akad nikah dilaksanakan, tapi bisa juga diberikan hari-hari sebelumnya. Menurut adatnya Mas, barang-barang hantaran ini diberikan pada saat lamaran.

Tentang isinya ya itu tadi, tergantung dari kebutuhan si gadis, makanya disarankan kita *sebagai si gadis* meluangkan waktu untuk keperluan belanja itu. Berdasarkan referensi dari beberapa teman yang sudah menikah, isi peningset itu antara lain : 1 set alat make up, 1 set pakaian, sepatu atau sandal, 1 set alat mandi, 1 set alat ibadah, sprei, tas, dan lain-lain sesuai kebutuhan si gadis.

Untuk hari spesial itu, aku sama Mas sepakat untuk ada acara tukar cincin. Jadi sebelum hari H lamaran, kita udah nyari dan ngukir inisial nama dan tanggal bersejarah kita. Aku tak tahu pasti di mana seharusnya cincin pertunangan itu disematkan, tapi waktu acara kemarin cincin itu ditaruh di jari manis tangan kiri, baru nanti waktu akad nikah cincin itu dipindah ke jari manis tangan kanan.

Naaah, karena waktu beli kita ngukur cincin pake jari manis tangan kanan dan dalam keadaan lagi gendut-gendutnya, makanya waktu cincin itu dipakaikan di jari manis tangan kiri jadi longgar bangeeeet.. *hahahahaha...* Alhasil beberapa waktu setelah acara kelar dan itu cincin masih aja longgar, kita sepakat mindahin cincin itu ke jari tengah tangan kiri.

Alhamdulillah, hari itu acara berjalan lancar jaya, meski rombongan dari Surabaya dan Lamongan datang dua jam lebih lambat dari waktu yang dijadwalkan. Hari itu, kedua pihak keluarga berembuk lagi soal tanggal pernikahan. Keluarga Mas sudah punya beberapa alternatif tanggal yang didapatkan sesuai dengan “perhitungan” tanggal baik. Dan berdasar kesepakatan yang menjunjung tinggi adat budaya, ditetapkanlah tanggal yang menurut dua belah pihak adalah tanggal terbaik.

i called this; a miracle :)

5.9.12

Gelak Tawa dari Kota Dingin

Sudah lepas adzan Isya’ waktu dua vixion yang kami tumpangi masuk ke halaman rumah Dini yang ada di batu. Itulah salah satu alasan Dini harus ikut ke Malang, karena dia punya rumah di sana. Hahaha... *peace din*

Karena terus-terusan diguyur hujan sepanjang perjalanan, maka malam itu kami memutuskan untuk menghangatkan diri. Istirahat, makan, ngobrol dan nonton tipi.

Sejak sepeda motor yang kutumpangi bergerak menjauhi Surabaya, aku seperti meninggalkan semua yang ada di sana, terutama perasaan-perasaan galau yang belakangan bikin otak dan hati kram. Aku berangkat dengan harapan aku bisa menemukan sedikit titik terang, atau paling ndak aku bisa memberikan sedikit saja ruang yang lebih luas untuk bernapas lebih bebas. *bahasa penulisku mulai muncul. hahahaha... *

Hari minggu itu, dimulai dengan para lelaki yang memandikan motor-motor mereka karena mereka ngerasa ndak keren kalo ada sedikit aja sisa lumpur nempel di motornya. Aku dan Dini bersih-bersih rumah dan menjemur semua pakaian yang basah gara-gara hujan kemarin.

menyiapkan kendaraan tempur

Tujuan pertama kami adalah sarapan di deretan warung yang ada di Payung. Ingat-ingat akhir tahun lalu waktu pertama kali ke sana, pemandangan dari sini kelihatan keren. Ya nongkrong di warung dengan desain tempat yg tinggi, seperti di rumah pohon dan di bawah kelihatan lampu-lampu kota malang. *pertama kali ke sana malem hari*

sarapaaaaaaaaaann :D

Hari itu payung tak terlihat terlalu istimewa karena tak ada gemerlap lampu-lampu kota dari tempat kami duduk. Kelar sarapan perjalanan lanjut ke Paralayang, tempatnya di puncak pujon. Dari sini kita bisa lihat kota Malang dari atas, dan hampir seluruhnya terlihat. Kenapa dinamakan Paralayang? Itu karena kalo siang, ada permainan terjun pakai layangan lebar *mungkin ini yang namanya paralayang :D* dari puncak ini sampai ke landasan yang sudah dipatok dibawah sana.

Menikmati udara dingin di sana seperti mengalirkan energi kebahagiaan tersendiri. Kurasa kami berempat sama-sama merasakannya. Mereka bertiga yang biasanya sibuk dengan rutinitas kantor yang menjemukan dan aku yang kala itu sibuk dengan urusan hati. *soal kerjaan waktu itu ndak terlalu mikir, kalah sama urusan hati. Wkwkwkwkwkwk...*

Paralayang - Puncak Pujon
Puas foto-foto di sana, kami melanjutkan perjalanan ke Cubanrondo. Dalam perjalanan turun dari puncak Pujon, aku dan David terlibat pembicaraan aneh :D

David : pemandangannya keren, kalo merid di situ keren juga kali ya?
Aku : iyaa, keren bangeeeeeeeeett. Aku juga mau kalo merid di situ, kereeeeeeeenn
David : he em, nanti akadnya di atas situ, trus tamunya di bawah, jadi kalo mau makan harus turun dulu
Aku : hahahahahaha... kasian Vid *sambil geleng-geleng*
David : kira-kira ada ndak ya orang yang kepikiran dan beneran merid di situ?
Aku : kalo yang merid aku sama kamu, mungkin paling Vid *ngakak tiada tara*
David : waaaah, bener-bener *ikutan ngakak*
*hadeeeeeeeeeeeeeeeeeehh*

Cubanrondo adalah wisata alam dengan panorama utama air terjun. Air terjun di sini dingiiiiiiiiiiiiiiiin *ya iyalah, kotanya aja kota dingin* dan hamper ndak ada manusia yang berani turun dan bermain di bawah air terjun.

Dan di sana, ngapain lagi kalo ndak narsis-narsisan. Foto sana foto sini, pose ini pose itu. Ada yang lucu waktu sesi foto-foto ini. Waktu itu, ada batu besaaaar sekali dan aku mikir, kayaknya bagus kalo foto di sini, apalagi background-nya pas banget, pas di depan air terjun. Naiklah aku ke batu itu dan teriak-teriak ngajak Dini, David dan Topik buat ikutan naik. Respon paling cepet dating dari David, karena memang dia yang posisinya paling deket sama itu batu gede. Dan waktu udah sampe di atas batu, aku sama dia pose berdua.

Ndak tau dari mana datangnya, tiba-tiba aja David ambil pose kayak orang lagi menyatakan cinta. Jadi dia setengah berlutut gitu. Dan karena keriangan hari itu, spontan aja aku bilang, “Pake bunga dong, biar lebih bagus!” Dan Topik-lah yang jadi antusias nyari, metik dan ngasih bunga itu ke David. Dan akhirnya jadilah pose ini. Huahahahaha...

pose dadakan yang asik :D :*


ini yang berempat *peluuuuuk*
Kepulangan kami ke rumah Dini dinaungi rintik hujan. Sudah begitu dinginnya udara, masih ditambah hujan lagi. Untunglah sedia obat masuk angin waktu itu. Xixixixixi...

Sepanjang perjalanan pulang, aku banyak ngobrol sama David. Banyak hal tentang hidup yang pernah dilewatinya diceritakan ke aku. Pengalaman-pengalaman, juga pelajaran yang diambilnya dari masa lalunya. Satu kalimat yang kuingat benar adalah, “Hidup itu ndak usah dibikin ngoyo, karena semua udah ada yang ngatur. Jalani saja dengan usaha maksimal dan dilanjutkan dengan tawakal.”

Langit kota dingin yang mendung sedari pagi sudah semakin gelap ketika kami kembali ke rumah. Tak ada lelah badan, yang ada lelah tertawa. Ya, hari itu aku menyadari kalo sudah banyak sekali hal baik dan indah yang sudah aku tinggalkan demi urusan hati ini. Sepertinya aku memang terlalu larut dalam perasaan yang mustinya lebih bisa kukendalikan, hingga aku lupa cara untuk bahagia.

Malam itu, kami melewatkan waktu dengan aktifitas yang berbeda-beda. Topik sibuk dengan tilpun-tilpunan sama pacarnya, Dini yang katanya terlalu capek dan lebih memilih istirahat *sebenernya capek hati dia ini, urusan cinta juga :D* dan aku sama David yang milih keluar mencari makan malam, dan tujuan utama mencari es cendol.

Kenapa es cendol? Entahlah, minuman itu yang tiba-tiba saja terlintas di pikiranku waktu aku sama David lagi becanda soal nyidam-nyidamannya ibu hamil. Dan benarlah, dia mencarikan tempat makan yang menyediakan menu es cendol. Malam itu menu makan kita adalah ayam luna maya (tulang lunak_red) dan es cendol. Dan David punya janji menemaniku naik kincir angin di alun-alun Batu. Hohohoho...

es cendol, biar baby-nya ndak ngiler *hadeeeeh*
Aku berangkat tidur paling cepat malam itu, terlalu lelah rasanya dan kakiku baru saja diserang kram waktu perjalanan pulang dari misi mencari es cendol. Aku terbangun saat sudah lewat tengah malam, mereka semua sudah lelap. Kupandangai wajah mereka satu per satu, Dini, Topik dan David. Ah, betapa bodohnya aku selama ini, mau saja dibawa oleh arus rasa yang tak karuan.

Di sepertiga malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk memulai segalanya dari awal lagi, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bahagia. Ya, aku bisa mengusahakan kebahagiaanku sendiri dan ndak harus membelenggu diri untuk sesuatu yang tak kuinginkan ada.

Dan hari itu, aku pulang ke Surabaya dengan seorang yang baru. Meski aku belom berani untuk mulai memimpikan sesuatu, tapi setidaknya hari itu aku punya daya untuk bangkit, berdiri tegak dan bersiap untuk menjemput tawa-tawa bahagia.

4.9.12

The First Time We Met (Again)

Januari 2012..
Di suatu sore yang galau, sebuah sms mampir ke hp-ku. Dari Dini, seorang teman masa KKN yang paling dekat denganku.

Dini : “Nduk, arek2 mau ke malang lho tanggal 7 besok. Kamu ikut ndak?”

Aku : “Maauuu, tapi kalo kamu juga ikutan :D”

Dini : “Kalo kamu ikut, aku juga ikut. Ndak asik kalo ndak ada kamu”

Aku : *hadeeeeh* “Asiiiiiikk... Oke deh, aku ikut din”

Kulingkari tanggal 7 di kalender bulan Januari. Rasa-rasanya aku benar-benar sedang butuh liburan. Belakangan memang lagi galau tingkat dewa dan mengakibatkan terserang berbagai macam penyakit sekaligus penurunan berat badan yang cukup signifikan *ah, lebay*

Tapi memang serius, akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012 kemarin kurasakan sebagai saat-saat terberat dalam hidupku yang udah hampir seperempat abad ini. Ya, waktu itu aku seperti ada di titik terendah dalam hidupku, terpenjara dalam ruang hampa udara yang kuciptakan sendiri. Bertahun-tahun mencari jalan keluar, sampe pasrah, dan sampe nemu daya lagi dan tau gimana harus keluar, tapi malah dibungkam sama keluarga.

Penasaran yaa masalahnya apa? :p

Yang jelas masalah cinta *eciyeeeeeeeeehh* tapi sepertinya bukan pada tempatnya kalo dibahas di sini. Lagian, it’s so yesterday. Aku sudah bisa berdamai dengannya, jadi hanya pelajaran yang kuambil dari situ, tentang bagimana seharusnya lelaki memperlakukan perempuan yang akan disayanginya, bahkan yang berniat dijadikannya istri dan tentang kuasa Allah membolak-balikkan hati manusia. Lain kali saja dibahas :p

And it’s the day. Tanggal 7 pagi itu aku sms Dini, karena setelah sms ajakan itu, dia hilang. Di sms balasannya, Dini bilang acara itu ditunda seminggu kemudian, tanggal 14, karena hari itu banyak temen-temen yang berhalangan ikut. Sudah feeling ndak enak aja neh, soalnya kalo udah begini ini biasanya banyak batalnya. Hahahaha...

Dan akhir pekan itu kulewatkan dengan menjadi patung hidup dengan topeng senyum karena harus memenuhi tuntutan peran sebagai pidana ruang hampa udara dan pergi ke probolinggo. Akhir minggu yang kurasa sangat berat dan berbuntut panjang karena minggu berikutnya aku lebih seperti pesakitan yang menunggu hukuman gantung. *lebay banget yak?*

Kabar yang bisa membuatku sedikit tersenyum itu datang di tengah minggu. David, seorang teman semasa KKN juga woro-woro tentang acara tanggal 14 itu. Dan aku mencatatkan namaku di deretan orang-orang yang sedang butuh liburan singkat akhir pekan itu. Tanggal 14 Januari itu, hari Sabtu, dijadwalkan berangkat sore.

Mendekati harinya, Jumat malam tepatnya *saat itu aku lagi nginep di rumah ratu galau alias priesta* aku mulai mikir, kira-kira siapa yang bisa kukorbankan buat memboncengiku dari Surabaya ke Malang? Karena ndak mungkin aku bawa sepeda motor sendiri, mengingat kondisi sepeda motor yang sama sekali tak tahan banting kalo dipakai jalan jauh, apalagi menanjak.

Akhirnya kuputuskan untuk ngirim bbm *kebetulan udah tukeran pin waktu itu* si David yang waktu itu jadi ketua rombongan. Dan dengan sukarela dia menawarkan diri untuk menjadi korbanku. Malam itu juga aku mulai membayangkan pegelnya badan ini kalo diboncengin pake vixion dari Surabaya ke Malang. Tapi tak apalah, demi otakku yang mungkin bakal gila kalo ndak diajak liburan.

Dan hari itu datang. Sore itu, lepas ashar, David nongol di depan pagar kostku. Teman-teman yang lain sepakat ketemu di KFC A.Yani jam 3.30 sore. Sesampainya di KFC, David pesen menu ringan sambil nunggu yang lain dateng. Dan ada sedikit pembicaraan yang bikin cegek.. :D

Aku : udah lama ya kita ndak ketemu, udah lama juga ndak keluar bareng temen-temen KKN

David : iyaa, udah dari lulus ya? Paling yang sering ketemu ya cuma beberapa

Aku : eh, ini nanti siapa aja yang ikut?

David : bang Roy sama Wiyung mau ikut katanya, tapi semalem bang Roy kena musibah, kakeknya meninggal. Jadi dia ke Tulungagung hari ini

Aku : dan otomatis mas Indra (Wiyung) juga ndak jadi ikut dong?

David : sepertinya begitu

Aku : trus siapa lagi yang bilang bisa ikut?

David : Topik sama Dini *mringis

Aku : jadi kita berempat aja neh? *melongo tiada tara

David : iyaa, yang penting bisa refreshing *mringis lagi

Aku : *hadeeeeeeeeeeeeeeeh*

menu menunggu :D


Dan perjalanan Surabaya – Malang pun ditempuh oleh dua motor vixion dengan masing – masing bawa dua penumpang. Serunya lagi, sore itu langit mendung tebal. Baru aja sejengkal masuk Sidoarjo, hujan deras mengguyur dan alhasil sepanjang perjalanan kita berhujan-hujan ria, tapi pake jas hujan koq. Hehehe...

To be continue...

2.9.12

The Bridal Diary

It's 10 sundays from now!!

Yup! Terhitung 10 minggu dari sekarang sampai this big day coming! Agak terlambat mungkin kalo aku baru mulai menuliskan “perjalanan” kisah ini sekarang. But it’s better late than never.. ^^

Sebenernya niat untuk mengabadikan sejarah ini dalam bentuk tulisan sudah lama ada, bahkan sebelum ada calon resminya, tapi dasar pemalas, ada aja alasan buat ngeles dari urusan tulis menulis ini. Hahaha...

Orang bilang, tak ada yang bisa diambil dari masa lalu kecuali kenangan dan pelajaran yang bisa membuat masa sekarang dan masa depan yang lebih baik. So, untuk dua alasan itu, aku bertekad bulat menuliskan ini.

And the story was begin...
*teterereettereeeeeeeeeeeeett* =))

agenda setahun plus diary :)

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates