5.9.12

Gelak Tawa dari Kota Dingin

Sudah lepas adzan Isya’ waktu dua vixion yang kami tumpangi masuk ke halaman rumah Dini yang ada di batu. Itulah salah satu alasan Dini harus ikut ke Malang, karena dia punya rumah di sana. Hahaha... *peace din*

Karena terus-terusan diguyur hujan sepanjang perjalanan, maka malam itu kami memutuskan untuk menghangatkan diri. Istirahat, makan, ngobrol dan nonton tipi.

Sejak sepeda motor yang kutumpangi bergerak menjauhi Surabaya, aku seperti meninggalkan semua yang ada di sana, terutama perasaan-perasaan galau yang belakangan bikin otak dan hati kram. Aku berangkat dengan harapan aku bisa menemukan sedikit titik terang, atau paling ndak aku bisa memberikan sedikit saja ruang yang lebih luas untuk bernapas lebih bebas. *bahasa penulisku mulai muncul. hahahaha... *

Hari minggu itu, dimulai dengan para lelaki yang memandikan motor-motor mereka karena mereka ngerasa ndak keren kalo ada sedikit aja sisa lumpur nempel di motornya. Aku dan Dini bersih-bersih rumah dan menjemur semua pakaian yang basah gara-gara hujan kemarin.

menyiapkan kendaraan tempur

Tujuan pertama kami adalah sarapan di deretan warung yang ada di Payung. Ingat-ingat akhir tahun lalu waktu pertama kali ke sana, pemandangan dari sini kelihatan keren. Ya nongkrong di warung dengan desain tempat yg tinggi, seperti di rumah pohon dan di bawah kelihatan lampu-lampu kota malang. *pertama kali ke sana malem hari*

sarapaaaaaaaaaann :D

Hari itu payung tak terlihat terlalu istimewa karena tak ada gemerlap lampu-lampu kota dari tempat kami duduk. Kelar sarapan perjalanan lanjut ke Paralayang, tempatnya di puncak pujon. Dari sini kita bisa lihat kota Malang dari atas, dan hampir seluruhnya terlihat. Kenapa dinamakan Paralayang? Itu karena kalo siang, ada permainan terjun pakai layangan lebar *mungkin ini yang namanya paralayang :D* dari puncak ini sampai ke landasan yang sudah dipatok dibawah sana.

Menikmati udara dingin di sana seperti mengalirkan energi kebahagiaan tersendiri. Kurasa kami berempat sama-sama merasakannya. Mereka bertiga yang biasanya sibuk dengan rutinitas kantor yang menjemukan dan aku yang kala itu sibuk dengan urusan hati. *soal kerjaan waktu itu ndak terlalu mikir, kalah sama urusan hati. Wkwkwkwkwkwk...*

Paralayang - Puncak Pujon
Puas foto-foto di sana, kami melanjutkan perjalanan ke Cubanrondo. Dalam perjalanan turun dari puncak Pujon, aku dan David terlibat pembicaraan aneh :D

David : pemandangannya keren, kalo merid di situ keren juga kali ya?
Aku : iyaa, keren bangeeeeeeeeett. Aku juga mau kalo merid di situ, kereeeeeeeenn
David : he em, nanti akadnya di atas situ, trus tamunya di bawah, jadi kalo mau makan harus turun dulu
Aku : hahahahahaha... kasian Vid *sambil geleng-geleng*
David : kira-kira ada ndak ya orang yang kepikiran dan beneran merid di situ?
Aku : kalo yang merid aku sama kamu, mungkin paling Vid *ngakak tiada tara*
David : waaaah, bener-bener *ikutan ngakak*
*hadeeeeeeeeeeeeeeeeeehh*

Cubanrondo adalah wisata alam dengan panorama utama air terjun. Air terjun di sini dingiiiiiiiiiiiiiiiin *ya iyalah, kotanya aja kota dingin* dan hamper ndak ada manusia yang berani turun dan bermain di bawah air terjun.

Dan di sana, ngapain lagi kalo ndak narsis-narsisan. Foto sana foto sini, pose ini pose itu. Ada yang lucu waktu sesi foto-foto ini. Waktu itu, ada batu besaaaar sekali dan aku mikir, kayaknya bagus kalo foto di sini, apalagi background-nya pas banget, pas di depan air terjun. Naiklah aku ke batu itu dan teriak-teriak ngajak Dini, David dan Topik buat ikutan naik. Respon paling cepet dating dari David, karena memang dia yang posisinya paling deket sama itu batu gede. Dan waktu udah sampe di atas batu, aku sama dia pose berdua.

Ndak tau dari mana datangnya, tiba-tiba aja David ambil pose kayak orang lagi menyatakan cinta. Jadi dia setengah berlutut gitu. Dan karena keriangan hari itu, spontan aja aku bilang, “Pake bunga dong, biar lebih bagus!” Dan Topik-lah yang jadi antusias nyari, metik dan ngasih bunga itu ke David. Dan akhirnya jadilah pose ini. Huahahahaha...

pose dadakan yang asik :D :*


ini yang berempat *peluuuuuk*
Kepulangan kami ke rumah Dini dinaungi rintik hujan. Sudah begitu dinginnya udara, masih ditambah hujan lagi. Untunglah sedia obat masuk angin waktu itu. Xixixixixi...

Sepanjang perjalanan pulang, aku banyak ngobrol sama David. Banyak hal tentang hidup yang pernah dilewatinya diceritakan ke aku. Pengalaman-pengalaman, juga pelajaran yang diambilnya dari masa lalunya. Satu kalimat yang kuingat benar adalah, “Hidup itu ndak usah dibikin ngoyo, karena semua udah ada yang ngatur. Jalani saja dengan usaha maksimal dan dilanjutkan dengan tawakal.”

Langit kota dingin yang mendung sedari pagi sudah semakin gelap ketika kami kembali ke rumah. Tak ada lelah badan, yang ada lelah tertawa. Ya, hari itu aku menyadari kalo sudah banyak sekali hal baik dan indah yang sudah aku tinggalkan demi urusan hati ini. Sepertinya aku memang terlalu larut dalam perasaan yang mustinya lebih bisa kukendalikan, hingga aku lupa cara untuk bahagia.

Malam itu, kami melewatkan waktu dengan aktifitas yang berbeda-beda. Topik sibuk dengan tilpun-tilpunan sama pacarnya, Dini yang katanya terlalu capek dan lebih memilih istirahat *sebenernya capek hati dia ini, urusan cinta juga :D* dan aku sama David yang milih keluar mencari makan malam, dan tujuan utama mencari es cendol.

Kenapa es cendol? Entahlah, minuman itu yang tiba-tiba saja terlintas di pikiranku waktu aku sama David lagi becanda soal nyidam-nyidamannya ibu hamil. Dan benarlah, dia mencarikan tempat makan yang menyediakan menu es cendol. Malam itu menu makan kita adalah ayam luna maya (tulang lunak_red) dan es cendol. Dan David punya janji menemaniku naik kincir angin di alun-alun Batu. Hohohoho...

es cendol, biar baby-nya ndak ngiler *hadeeeeh*
Aku berangkat tidur paling cepat malam itu, terlalu lelah rasanya dan kakiku baru saja diserang kram waktu perjalanan pulang dari misi mencari es cendol. Aku terbangun saat sudah lewat tengah malam, mereka semua sudah lelap. Kupandangai wajah mereka satu per satu, Dini, Topik dan David. Ah, betapa bodohnya aku selama ini, mau saja dibawa oleh arus rasa yang tak karuan.

Di sepertiga malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk memulai segalanya dari awal lagi, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bahagia. Ya, aku bisa mengusahakan kebahagiaanku sendiri dan ndak harus membelenggu diri untuk sesuatu yang tak kuinginkan ada.

Dan hari itu, aku pulang ke Surabaya dengan seorang yang baru. Meski aku belom berani untuk mulai memimpikan sesuatu, tapi setidaknya hari itu aku punya daya untuk bangkit, berdiri tegak dan bersiap untuk menjemput tawa-tawa bahagia.

2 komentar:

Priesta mengatakan...

gaweo buku mbakyuuuu! X)

nadian maulana mengatakan...

kamu yang jadi sponsor biar bisa terbit yaaaa...
hahahahahaaa... :p

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates