9.6.11

#7

Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam benaknya, apa yang dia pikirkan tentangku. Dia hanya selalu berdiri di sana, bersandar pada salah satu tiang besi penyangga atap berlapis jerami. Yang kuingat bukanlah tubuhnya yang tinggi tegap, bukan juga kulitnya yang sawo matang, atau rambut ikal yang sedikit melewati telinga.

Satu-satunya yang membuatku selalu ingat adalah matanya. Mata bersorot tajam yang selalu terfokus padaku saat jemariku memainkan piano dan bibirku melantun bait-bait lagu. Aku tak pernah tahu siapa namanya, dari mana dia berasal. Aku tak pernah menemukan kesempatan untuk bertanya. Dia selalu pergi beberapa saat sebelum laguku tuntas.

Sore itu, dia ada di sana, sama seperti yang sudah-sudah. Cahaya jingga menembus kacamatanya, menyinari mata yang tak berkurang ketajamannya karena terhalang kaca. Di tengah sinar temaram senja yang menyusup di sela celah dinding bambu, aku melihatnya tersenyum ketika mata kami bertemu. Dan mata itu seketika berubah menjadi begitu teduh hingga membuat jari dan bibirku beku sesaat.

Hari itu, dia tak lebih dulu pulang seperti biasa. Dia duduk di meja paling ujung, mungkin menungguku. Meski aku tak tahu pasti, namun ada sesuatu yang memaksaku mendatanginya. Dia tak memperlihatkan ekspresi apapun ketika aku telah berdiri di depannya. Hanya isyarat agar aku duduk berseberangan dengannya. Seperti terhipnotis, aku menurut isyaratnya.

Menit-menit penuh kebekuan berlalu. Bahkan hangat senja tak mampu mencairkannya. Dia diam. Aku diam. Hanya mata kami saling menatap, seolah dari mata inilah kami bisa saling berkomunikasi. Tanpa harus berkata. Dan aku melihat keteduhan dalam kebekuan ini. Mata itu menyuguhkan perasaan aman dan nyaman. Rasa yang tak seharusnya muncul untuk orang yang bahkan tak kutahu namanya.

Sayup suara orang mengaji mulai terdengar, tanda waktu maghrib akan segera datang. Entah apa yang membuatku tersenyum, tapi ujung bibir ini terlanjur tertarik ke atas. Aku jengah sendiri pada sikapku. Tak lama aku lalu berdiri, berniat pergi, namun suara yang terlontar dari bibirnya menahanku. Suara yang sangat halus namun tegas dan sangat jelas.

“Would you marry me?”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates