7.5.11

Last Chance

"Mbak Fiola?"

"Hai, Yok, Akbar ada?"

"Ada, Mbak, tunggu sebentar ya, aku panggilin dulu," Yoyok menghilang di balik pintu khusus karyawan.

Kafe ini terlihat masih sama seperti tiga bulan yang lalu ketika terakhir kali aku ke sini. Hanya saja, ada seperangkat alat band di sudut ruangan. Stiker bertuliskan "Bandit" dengan font kreasi yang sudah akrab dengan mataku tertempel di badan drum. Rupanya Nino sering meramaikan kafe ini sama band-nya belakangan, yah setidaknya tiga bulan terakhir ini.

Samar, terdengar Yoyok berteriak memanggil bosnya, dan sebuah suara menyahut. Sepertinya Yoyok tak menyebut namaku, mungkin dia sengaja tak bilang kalau aku yang bertamu.

"Fiola?" suara Akbar memanggilku bersamaan dengan derit pintu yang terbuka.

"Hai, Bar."

"Duduk, Fi, mau minum apa?"

"Nggak usah, Bar, aku cuma mampir bentar kok."

Akbar menggiringku ke sudut ruangan. Kami duduk berhadapan, terpisahkan oleh sebuah meja bundar. Pintu berderit lagi, Yoyok keluar membawa nampan dengan dua cangkir yang kuyakini berisi cappucino dan kopi, minuman yang biasanya.

"Diminum ya, Mbak, mumpung masih hangat," tawarnya sebelum meninggalkan kami berdua.

Suasana jadi hening begitu Yoyok pergi. Kami bisu. Sibuk dengan pikiran kami sendiri-sendiri. Membiarkan detik waktu berlalu. Membiarkan senja makin meredup. Membiarkan isi cangkir di depan kami mendingin. Sepertinya tiga bulan berlalu tanpa kebersamaan telah membuat lidah kami kelu.

"Aku datang ke sini cuma untuk mencari jawaban, Bar, dan jawaban itu ada di kamu," akhirnya suaraku memecah hening.

"Jawaban apa, Fi?"

"Beberapa hari yang lalu aku dapat kabar beasiswaku ke Sorbonne diterima. Bulan depan, aku sudah harus berangkat ke Perancis. Hanya satu yang membuatku membiarkan beasiswa itu berlalu, Bar. Kita."

"Bukankah kita sudah selesai sejak tiga bulan lalu?"

"<em>Yes, i know, but i feel that i can't go without make sure that i don't have any chance to be with you again</em>, Bar. Berbulan aku tersiksa dengan kenyataan yang ada hingga akhirnya <em>i feel that i have to go, i can't stay here with all of our memories</em>. Aku bahkan merasa tersiksa di rumahku sendiri, karena terlalu banyak sudut yang menyimpan cerita tentangmu," aku menarik napas panjang, "Aku hanya tak ingin menyesal nanti karena aku tak menggunakan kesempatan terakhir yang aku punya."

"Bukankah beasiswa itu sangat berarti buatmu, Fi?" Akbar menancapkan pandangannya pada bundaran jingga di balik jendela. "Aku tak ingin mencegahmu pergi, Fi, aku ingin kamu menjadi apa yang kamu inginkan."

Aku menghembuskan napas panjang, lalu meneguk cappucino yang beranjak dingin. Terbayang lagi dalam benakku kejadian tiga bulan yang lalu ketika pernikahan yang sudah di depan mata tiba-tiba hilang begitu saja karena adat. Diam-diam aku menyalahkan kedua orang tua kami yang harus meributkan ritual ini dan itu yang akhirnya berujung pada perselisihan dan putusnya hubunganku dengan Akbar. Tapi toh semua sudah terjadi, dan aku memang harus nerima ini semua, karena Akbar pun tak terlihat ingin memperjuangkan hubungan ini.

"Aku berharap ada yang bisa menahan kepergianku ini, Bar, aku berharap siksaan rindu yang menyakitkan di sini bisa hilang."

"Maafin aku, Fi, sebaiknya kamu ambil kesempatan beasiswa itu," kali ini Akbar menatap mataku.

"<em>Yes, i know. Then i really have to go</em>, Bar, aku sudah nggak sanggup lagi bertahan di sini," aku bangkit dari dudukku, "Bye, Bar," aku melangkah menjauh darinya.

"Fi, aku belum selesai ngomong," Akbar menahanku. Aku berbalik tanpa melangkah mendekatinya lagi. Akbar berdiri tanpa melangkah.

"Tiga bulan terakhir ini semua terasa berantakan, Fi, aku bener-bener jadi orang ling-lung dan nggak tau harus ngapain. <em>I need you, Fi, i need you to be here with me</em>," matanya terlihat berkilat meski Akbar berdiri membelakangi senja. "<em>For the second time, would you marry me</em>, Fiola?" Pertanyaannya kembali membawa hening di antara kami.

"Akbar? Tapi kan kamu barusan minta aku tetep berangkat ke Perancis?" suaraku memecah lagi.

"Iya, aku memang pengen kamu tetep berangkat."

"<em>Then why you ask me to marry you</em>?"

"Karena aku memang pengen kita nikah, Fi. Kalo kamu memang harus berangkat bulan depan, kita bisa nikah dua minggu lagi, atau mungkin kita nikah besok. Dan gak perlu ribet mikir adat ini dan itu, Fi, nikah di KUA aja juga udah cukup, yang penting kita bisa nikah."

"<em>And then</em>?"

"<em>Then, take me with you to France</em>. Aku yakin bisa <em>survive</em> dengan kerja di sana."

"Aku nggak mimpi kan, Bar?"

"Itu air mata kamu beneran basah koq, Fi. Kamu nggak mimpi, dear."

Aku berhambur memeluknya, menumpahkan tangisku di dekapannya, "Iya, Bar, ini air mata bahagia."

&nbsp;

&nbsp;

*dikutip dan dikembangkan dari sandiwara berupa suara yang tersimpan di sebuah folder di lepi.. :D

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates