3.5.11

Jangan Beri Tahu Naya

“Tolong jangan beri tahu Naya,” sebuah suara mengejutkanku. Cepat-cepat kututup buku yang sejak beberapa menit lalu aku baca. Sepertinya pipiku memerah karena ketahuan membaca catatan harian seseorang. Namun, rona merahku memudar setelah melihat raut mukanya yang tak berubah, sepertinya dia tak marah.

“Kamu ceroboh sekali naruh catatan harian,” tegurku kemudian. Aku mengembalikan buku itu pada Atar, sahabatku.

Aku sedang menemaninya ke perpustakaan untuk mencari referensi tambahan untuk tugas kuliahnya. Dia kini duduk di hadapanku. Buku catatan yang barusan kuberikan padanya ditumpuk begitu saja di atas buku-buku yang baru digotongnya dari rak-rak perpustakaan.

“Aku nggak marah kamu baca catatanku, tapi sekali lagi, tolong jangan beri tahu Naya tentang isi catatan harianku ini,” katanya lagi.

“Kamu selingkuh?” tanyaku, dia menggeleng.

“Aku hanya mencintainya,” jawabnya kemudian.

“Kenapa kamu gak pernah cerita tentang dia?”

“Untuk apa?”

“Siapa dia?”

“Nggak penting.”

“Dia juga suka sama kamu?”

“Aku tak tahu. Sudahlah, tak ada gunanya membahas ini. Tak akan ada cerita cinta antara aku dan dia.”

“Kenapa?” aku terus mendesak. Kali ini dia diam. Buku catatan itu di kesampingkan, dia mulai membuka buku-buku yang tadi diambilnya. Aku membiarkannya, tak tega terus memaksanya bercerita, sepertinya dia memiliki beban yang sangat berat. Aku hanya akan menunggu sampai dia benar-benar siap untuk bercerita.

Namun, seperti dugaanku, dia tak bisa lagi berkonsentrasi pada apa yang ada di depannya sekarang. Wajahnya terlihat lesu dan bingung. Aku menyentuh tangannya, dia menatapku dan seperti mengerti apa yang ingin aku katakan, dia beranjak berdiri dan berjalan keluar perpustakaan. Aku mengikutinya hingga kami duduk di gazebo yang teduh.

“Tak perlu ku sebutkan namanya, karena kamu pun tak mengenalnya. Baru kira-kira sebulan terakhir ini aku sadar, cintaku tak lagi milik Naya. Aku tak lagi merasakan apa-apa saat bertemu dengannya, saat tanganku menggenggamnya, maupun pada setiap perhatiannya. Rasanya semua hambar. Aku juga nggak tahu kenapa, semua terasa begitu tiba-tiba,” ceritanya mulai mengalir.

“Mungkin kamu hanya teralihkan oleh kehadiran gadis itu, kamu sedang jenuh dengan hubunganmu dengan Naya dan dia datang di antara kalian,” kataku.

“Aku mengenalnya jauh sebelum aku mengenal Naya,” sanggahnya. Tatapannya menerawang, aku merasakan kegelisahan yang hebat pada diri sahabatku ini. Aku hanya menepuk bahunya, berharap dapat memberinya sedikit kekuatan. Dia menatapku dan tersenyum.

“Jangan beri tahu Naya ya,” pintanya. Aku hanya mengangguk, untuk saat ini aku tak ingin menanyakan alasannya, tak ingin bertanya lebih jauh lagi. Aku hanya mencoba mengerti dan memahami perasaannya.

“Nanti, kalo ada yang ingin kamu ceritakan, aku siap mendengarkan,” kataku. Atar mengangguk sambil tersenyum.

Atar adalah sahabatku, sahabat terbaikku. Aku mengenalnya ketika SMA dan sekarang kami sudah semester dua di salah satu universitas di kota kami. Kami satu sekolah saat SMA dan ternyata rumah kami tak terlalu jauh. Waktu itu, banyak yang bilang persahabatan cewek dan cowok itu susah disterilkan dari rasa cinta, tapi aku dan Atar bisa mematahkan pernyataan itu. Aku memang pernah menyadari perasaanku, aku menyayangi Atar lebih dari sahabat. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya Atar memilih Naya sebagai pelabuhan hatinya. Sejak saat itu, aku benar-benar hanya menganggapnya sahabat. Kadang dia seperti kakak buatku walaupun usia kami hanya terpaut beberapa bulan.

Dua minggu berlalu sejak percakapan itu, semua berjalan seperti biasa. Pembicaraan tentang rasa cinta Atar pada Naya yang memudar dan sosok gadis yang dicintai Atar itu seolah tak pernah ada. Sore itu Naya datang ke rumahku. Aku sedang menyiram tanaman ketika dia datang mengagetkanku dengan suara riangnya. Naya memang selalu identik dengan keceriaannya. Orang bisa saja berpikir gadis ini tak pernah punya masalah karena tak pernah terlihat murung, tapi sebenarnya Naya adalah gadis yang melankolis. Dia duduk di kursi, tak jauh dariku.

“Ada apa? Tumben ke sini gak ngasih tahu dulu,” tanyaku.

“Nggak papa, bosen aja di rumah sendirian. Ortu lagi ke rumah saudara di luar kota,” cerocosnya, “Atar nggak ke sini ya?”

“Tadi siang sih ke sini, tapi cuma bentar, makan trus ngilang. Emang kenapa?”

“Nggak papa, tadi aku ke rumahnya, tapi dia nggak ada. Aku pikir dia ke sini.”

“Emang kamu nggak sms dia?”

“Udah, tapi nggak dibales, dia lagi nggak punya pulsa, aku juga lagi nggak punya pulsa buat telfon dia.”

“Sms lagi aja, bilang kamu lagi di sini, siapa tahu dia nanti nyusul ke sini,” saranku. Naya mengangguk senang dan langsung memencet-mencet keypad ponselnya. Namun, hingga adzan maghrib berkumandang, Atar nggak nongol juga. Aku jadi kepikiran. Setelah Naya pamit pulang, aku pinjam ponsel ayahku yang barusan pulang kantor untuk menelfon Atar. Di telfonku yang ketiga baru terdengar suara orang menjawab dari seberang.

“Halo, ini siapa?” sapanya.

“Uli. Kamu di mana?” tanyaku dengan nada suara datar.

“Oh, Uli, kirain sapa. Aku di pantai, baru aja sampai,” jawabnya tanpa rasa bersalah.

“Di pantai? Ngapain?” suaraku melengking.

“Woi, koq heboh gitu sih?! Nggak ada apa-apa, cuma pengen menikmati suasana pantai malam hari aja. Ada apa? Kelihatannya penting.”

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Nggak manusiawi. Jemput aku sekarang, aku juga pengen ke pantai!” aku menekan tombol off di ponsel tanpa menunggu jawaban darinya. Setengah jam kemudian terdengar suara motor datang. Aku segera keluar dan nangkring di atas motornya.

“Berangkat!” komandoku. Atar menjitak kepalaku sebelum melajukan motornya.

Pantai petang itu tak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang penjual kaki lima yang masih bertahan untuk mendapatkan rupiah-rupiah di malam hari. Kami duduk di atas pasir, tak seberapa dekat dengan bibir pantai. Angin pantai berhembus, sedikit hangat, mungkin sisa terik matahari siang tadi masih menyatu bersama angin.

“Tadi sore Naya ke rumah, berharap bisa ketemu kamu di rumahku. Kamu tadi ke mana saja?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Nongkrong di rumah Indra,” jawabnya datar, matanya menerawang jauh.

“Mbok ya ngasih kabar, kasihan kan Naya nyariin kamu tanpa ada kabar.”

“Tadi sepulang dari rumah Indra aku udah sms dia koq,” sahutnya lalu diam.

“Belakangan kamu lebih suka melamun, karena masalah itu?” tanyaku. Dia memalingkan wajah padaku, menatapku. Hanya sebentar, setelah itu dia menatap debur ombak yang mengganas.

“Semakin hari rasanya semakin sulit untuk berbohong,” katanya.

“Berbohong?”

“Iya, berpura-pura mencintainya, memperhatikannya.”

“Aku masih tak mengerti perasaanmu. Bagaimana mungkin rasamu untuknya hilang begitu saja? Kalian bersama bukan baru seminggu yang lalu, tapi sudah setahun yang lalu.”

“Aku juga nggak ngerti. Waktu kamu bilang mungkin aku sedang jenuh, aku berusaha menghidupkan lagi saat-saat indah bersama dia. Aku ajak dia ke tempat-tempat yang pernah kami kunjungi dulu, tapi tak berpengaruh pada perasaanku. Aku justru semakin tak merasakannya.”

“Boleh aku tau, apa yang sudah dilakukan gadis itu sampai kamu terpesona padanya?”

“Nggak ada yang istimewa, dia bersikap seperti biasa. Hanya saja, waktu itu aku nyaris akan kehilangan dia dan saat itu aku sadar, aku tak ingin kehilangan dia, aku mencintainya.”

“Aku sahabatmu dan aku tak pernah tahu ada gadis lain yang dekat denganmu.”

“Aku memang tak pernah mengenalkannya pada siapapun, karena itu aku bilang, kamu nggak akan tahu siapa dia.”

“Lalu, kenapa kamu tak ingin Naya tahu tentang perasaanmu?”

“Aku tak ingin menyakitinya, aku tak tega. Dia nyaris sempurna, tanpa cacat yang bisa melukaiku. Aku tak mungkin meninggalkannya, aku tak punya cukup alasan untuk melukai perasaannya,” ujarnya. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku merasakan beban yang begitu berat menggelayuti hati sahabatku ini.

“Aku tak mungkin meninggalkannya, Uli, karena itu aku harus berbohong, berpura mencintainya. Aku tak ingin dia tahu tentang perasaanku, karena itu bisa melukainya. Dia begitu menyayangi aku, begitu berharap sama aku, aku tak sampai hati mengecewakannya,” keluhnya dengan suara tertahan. Aku diam saja, mencoba memberinya ruang untuk mengeluarkan semua isi hatinya.

“Andaikan aku bisa melakukan sesuatu untukmu,” ucapku lirih.

“Jangan beri tahu Naya,” jawabnya, lebih lirih dari suaraku dan nyaris menyatu dengan deru angin.

Kami terdiam, menyibukkan diri dengan pikiran kami masing-masing. Angin yang hangat telah berangsur mendingin. Aku merapatkan jaketku untuk menghalau dingin yang mulai berhembus. Aku biarkan dia tetap menyandar meski bahuku mulai terasa pegal. Mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini.

“Li, maukah kamu memelukku?” tanyanya. Ragu-ragu aku mengangguk. Aku menggeser dudukku hingga merasa nyaman untuk memeluknya. Hatiku terasa berdesir, rasa itu samar-samar terasa lagi. Aku memejamkan mata, berusaha mengusirnya. Aku tak ingin keadaan ini bertambah rumit karena rasa ini. Pelukkan ini hanya pelukan seorang sahabat yang ingin menguatkan hati sahabatnya yang sedang rapuh. Ya, dia sahabatku, aku menyayanginya karena dia sahabatku.

Beberapa bulan kemudian. Naya menelfonku, memintaku untuk datang ke rumah Atar. Ada surprise untukku katanya. Aku segera saja meluncur ke rumah Atar yang hanya beberapa ratus meter dari rumahku. Surprise yang dimaksud Naya adalah seorang saudara sepupunya. Dulu kami pernah berkenalan dan hanya berlanjut lewat sms yang tak terlalu sering datang. Dia dari luar kota dan saat ini sedang bertandang ke rumah Naya. Naya mengajaknya ke rumah Atar karena dia ingin bertemu denganku.

“Apa kabar Uli?” tanyanya dengan senyumnya yang manis. Sejauh aku mengenalnya, Ipang tak jauh berbeda dengan Naya, dia periang dan menurutku cewek manapun akan tergoda dengan senyumnya yang terlalu manis. Namun, entah kenapa aku belum bisa membuka hati untuk menerima cinta yang pernah diungkapankannya beberapa waktu yang lalu.

“Baik. Kamu apa kabar?” sahutku.

Obrolan kami berlanjut ke dapur, meski awalnya aku agak canggung, tapi dia bisa membawa suasana menjadi sangat nyaman. Pernyataan cintanya dulu seolah tak menjadi masalah karena penolakanku. Kadang aku berharap bisa memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi entah kenapa aku tak bisa. Padahal tak ada yang salah dengannya, tak ada yang aku tak suka darinya, dia sangat menyenangkan. Entahlah.

Bersama Naya pula, kami memasak untuk makan siang kami karena kebetulan ortu Atar sedang keluar kota. Sementara itu, Atar sibuk sendiri dengan motornya yang belakangan sering macet. Naya meneriakinya untuk masuk dan bergabung bersama kami ketika masakan sudah siap. Meja makan rumah Atar siang ini ramai sekali. Si manis Ipang selalu bisa menghidupkan suasana. Aku tak bisa berhenti tertawa dibuatnya. Dia orang yang sangat menyenangkan. Aku jadi berpikir, mungkin keluarga besar Naya punya ramuan yang membuat mereka jadi periang seperti mereka berdua.

Setelah makan, kami meneruskan acara berbincang di teras belakang rumah. Ibu Atar yang hobi berkebun, sengaja membuat taman di belakang rumah untuk menaruh koleksi tanamannya. Teras belakang ini jadi tempat favorit untuk berbincang karena kesejukkan yang dihadirkan oleh koleksi tanaman ibu Atar.

“Tar, bisa pinjam telfon untuk nelfon ke rumah, aku tadi nggak pamit sama ibu dan aku nggak punya pulsa. Hehehe…,” kataku.

“Pake ponselku aja telfon rumah lagi rusak, ambil sendiri di kamar,” jawabnya.

Aku permisi sebentar untuk mengambil ponsel di kamar Atar. Lagi-lagi catatan harian Atar tergeletak sembarangan. Gimana kalo Naya yang masuk ke kamar ini dan melihat catatan harian ini, gumamku seorang diri. Aku memungutnya dan iseng mengintip tulisannya. Halaman yang aku buka adalah tanggal waktu kami pergi ke pantai sambil melepas petang. Tak banyak yang Atar tulis, hanya satu paragraf, tapi benar-benar membuatku seperti tenggelam digulung ombak.

Uli, kamu tak perlu melakukan apa-apa untukku, karena memang tak ada yang harus dilakukan. Pelukanmu sebagai sahabat terbaikku sudah lebih cari cukup buatku, karena aku tahu, aku tak mungkin menjadikanmu kekasihku, meski aku begitu mencintaimu. Sahabat terbaikku, aku mencintaimu, sangat.

“Tolong, jangan beri tahu Naya,” suara Atar mengagetkanku. Dia sudah berdiri di ambang pintu. Buku catatan itu terlepas dari tanganku, mataku panas, matanya memerah.

Dia melangkah mendekatiku, bendungan air mataku jebol. Matanya yang merah menatap tajam ke arahku, mataku semakin panas tapi tak ingin terpejam. Tajamnya mata yang semakin mendekat itu seolah mengoyak hatiku, menikamku, melukaiku. Mata itu kemudian terpejam, dia mendekatkan wajahnya padaku dan samar kurasakan bibirnya mengecup keningku.

“Aku tak marah karena kau membaca catatanku, tapi tolong, jangan beri tahu Naya,” bisiknya dengan suara bergetar. Aku mematung, mataku terpejam dan kurasakan perlahan dia melangkah menjauh dariku lalu terdengar suara pintu ditutup.

<img class="aligncenter" src="http://farm6.static.flickr.com/5022/5683333099_d30d57594d_m.jpg" alt="" width="240" height="180" />

ps : diterbitkan di majalah story #20

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates