20.5.11

#4

"Arya, besok aku dioperasi. Doakan semua lancar ya," pesan singkat di <em>inbox</em> email itu bertanggal seminggu yang lalu.

Aku ingat benar, seminggu yang lalu aku bertengkar hebat dengan Salma. Adu mulut yang membuat kami saling menjauh untuk memastikan hati kami, demi pernikahan yang tanggalnya sudah tercetak di undangan. Dan aku memilih menyepi di rumah seorang teman di daerah pegunungan. Berharap sejuknya udara di sini bisa berdampak pada otakku.

Seminggu yang kami tetapkan, dan di sinilah aku sekarang. Duduk di meja paling ujung sebuah kafe, berteman laptop sambil menunggu kedatangan Salma. Dan menemukan email itu, jauh sebelum Salma nampak. Bayangan seorang gadis yang menjadi pemicu perdebatanku dengan Salma seminggu lalu hadir lagi. Operasi? Sakit apa dia?

Ponselku menanda sebuah pesan singkat tiba-tiba. Dari Salma. "Aku baru bisa bertemu lusa," begitu katanya. Aku mendengus, memberesi laptop, berlalu dari kafe.

Esok paginya disambut kecewa. Tak ada email balasan darinya. Apa penyakitnya benar serius? Pikiranku jadi kacau, kalut. Kecemasan menyelimutiku seperti kabut tebal di dini hari yang dingin. Seharian aku menyalakan laptop, beribu kali me-<em>refresh</em> email, tapi nihil. Padahal biasanya dia akan langsung membalas email yang masuk. Dia benar-benar mengganggu pikiranku kini, juga hatiku. Di tengah malam, aku menembus kabut dingin menapaki jalan ke rumah seorang teman di daerah pegunungan.

"Cinta itu bukan untuk dipikir, kawan, tak akan ada jawaban dalam pikiranmu," Rendi bertutur seolah dia tahu semua tentang cinta. Aku jengah, mengalihkan tatapan pada matahari senja. Andai aku bisa terus tertidur seperti sejak dini hati tadi sampai di rumah Rendy, tentu aku tak harus kembali memikirkannya.

"Kalau Salma yang operasi pasti aku juga akan secemas ini," aku membela diri, meneguhkan pendirian, bahwa tak ada yang perlu diubah, bahwa rasa yang tertinggal untuknya tak lebih berarti dari pernikahan yang sudah di depan mata.

Seminggu yang lalu, ketika aku menghabiskan hari di sini, aku sudah memutuskan untuk tak mengubah apapun. Aku hanya memberi waktu pada Salma untuk memahami posisiku, bahwa aku dan dia tak lagi berkekasih seperti beberapa tahun silam. Kami sahabat kini. Meski ada sisa rasa di hati, tapi sekali lagi, nalarku berkata rasa itu tak lebih berarti dari kesepakatan ikrar yang tak lama lagi aku ucapkan. Nalarku bilang, tak ada yang bisa diubah dari hubungan berlandas perjodohan antara keluarga kami. Lagipula, Salma seorang gadis yang baik. Aku nyaris tak punya alasan untuk menolak kesempurnaannya.

"Tanyakanlah pada hatimu, kawan, jawab yang sesungguhnya ada di sana. Masih ada waktu 24 jam sebelum kembali dan bertemu Salma," Rendi meninggalkanku bersamaan langit yang beranjak jingga di ufuk barat.

Aku mencoba mengakses email dari ponsel. Cuaca cerah mendukung jaringan. Ada email balasan darinya, hatiku diam-diam bersorak lega. Dia mengabarkan ala kadarnya, seperti seorang sahabat. Operasinya lancar, katanya, dan sekarang dia masih dirawat di rumah sakit. Segera saja aku menyambar kunci motor dan beranjak pergi. Ada keinginan yang begitu kuat untuk menemuinya. Sekedar ingin tahu keadaannya.

"Tanpa bertanya pun sebenarnya kamu sudah menemu jawabnya, Ar, kalau tidak kamu tak akan kembali ke sini tengah malam karena tak mendapat balasan email dan tak akan pergi begitu tergesa hanya untuk tahu keadaannya," Rendi memungkas katanya dengan senyum dan menepuk bahuku.

Aku tak juga mengerti maksud katanya, tapi tak urung mengangsurkan senyum simpul sebelum melajukan motor ke barat, seperti ingin menjemput surya senja yang semakin jingga. Hanya satu yang ada di pikiran dan hatiku kini, aku ingin menemuinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates