11.5.11

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer. Para penggila buku pasti kenal atau paling tidak pernah mendengar nama ini. Yup! <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Pramoedya Ananta Toer</span></a> adalah salah salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Lahir di Blora pada 6 Februari 1925, penulis ini merupakan calon kuat dari Asia untuk memenangkan Nobel dan beliau adalah satu-satunya dari Asia.

Generasi muda seperti kita, sering kali enggan melirik buku sastra karya penulis setua Pramoedya. Saya pertama kali mendengar nama Pramoedya ketika melihat film layar lebar <a href="http://www.21cineplex.com/andai-ia-tahu,movie,734.htm" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Andai Ia Tahu</span></a> yang dilakoni oleh Rachel Maryam dan Marchel. Di dalam film itu, Renata (Rachel Maryam) digambarkan sebagai seorang penulis yang ngidam pengen <em>dinner</em> bareng Pramoedya. Dan saya, yang ketika melihat film itu masih jadi anak SMP dan berhasrat jadi penulis, seperti terhipnotis oleh nama Pramoedya.

Bagi yang benar-benar ingin jadi penulis, tentu akan melintaskan nama Pramoedya sebagai salah satu tokoh yang patut diteladani. Kegigihan hatinya layak jadi inspirasi untuk membangkitkan semangat. Pramoedya adalah seorang penulis yang begitu dihargai di luar negeri, beberapa majalah internasional ternama mengabadikan namanya, bahkan memberikan kutipan-kutipan penghargaan untuknya.

"Pramoedya Ananta Toer adalah seorang master cemerlang dalam mengisahkan liku-liku emosi, watak dan aneka motivasi yang serba rumit." (<em>The New York Times)</em>

"Pramoedya Ananta Toer selain seorang pembangkang paling masyhur adalah juga Albert Camus-nya Indonesia. Kesamaan terdapat di segala tingkat, belum lagi kemampuannya mengkonfrontasikan berbagai masalah monumental dengan kenyataan kesehari-harian yang paling sederhana." (<em>The San Fransisco Chronicle)</em>

Itu adalah sedikit kutipan yang ada di cover belakang buku 'Tetralogi : Bumi  Manusia' karya Pramoedya. Namun, pengarang ternama ini justru dianiaya oleh pemerintah di negerinya sendiri.

Suatu ketika Pramoedya harus menjadi penghuni penjara, yaitu pada zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru. Pada zaman Belanda, Pramoedya masuk bui karena diduga terlibat dalam pasukan pejuang kemerdekaan yang melawan Belanda. Dan karena buku “<a href="http://goenawanmohamad.com/esei/sebuah-catatan-lain.html"><span style="text-decoration: underline;">Hoa Kiau di Indonesia</span></a>” yang dikarangnya dia kembali mendekam dalam jeruji besi. Buku yang bercerita tentang upaya pembelaan nasib kaum Tionghoa di Indonesia ini mendapat respon yang sangat keras dari pemerintah Orde Lama.

Ketika Orde Baru telah menegakkan pemerintahannya, Pramoedya harus kembali dipenjara karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 tanpa harus menjalani proses peradilan sebelumnya. Namun, semua itu tak menyurutkan otak Pramoedya untuk terus berkarya. Dari dalam bui itu terlahir masterpiece-nya, yaitu "Tetralogi Buru" dan roman "Arus Balik."

Bagi penulis muda zaman ini, yang cenderung lebih menyukai sastra ber-genre pop, tentu akan sedikit pusing saat membaca karya Pramoedya. Diksi yang digunakan Pramoedya dalam buku-bukunya menuntut kita untuk berpikir lebih keras dari sekedar novel sastra pop sebiasanya kita baca. Namun, ketika kita sudah masuk ke dalamnya, kita akan merasa seperti tersihir. Pramoedya menuturkan segala sesuatunya dengan sangat indah dan matang, membuat pembacanya seperti benar-benar bisa merasakan masa ketika cerita itu ada.

Buku karya Pramoedya yang pertama kali saya miliki berjudul “Anak Semua Bangsa”, buku kedua dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tetralogi_Buru" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Tetralogi Buru</span></a>. Saya mendapatkannya sebagai kado di ulang tahun saya yang ke-22. Meski telah terkesima dengan pesona karya Pramoedya, saya tak langsung melahap habis buku ini, karena ketika membuka halaman pada bab pertama, mata dan kepala saya terasa berat. Ketika itulah saya tahu, saya harus menyiapkan tenaga ekstra untuk membaca tulisan Pramoedya.

Setahun lebih berlalu dan saya belum juga tertarik untuk menyelesaikan buku itu. Bacaan sastra pop masih lebih menarik perhatian saya, sampai suatu ketika saya berkunjung ke kantor salah seorang kawan yang juga punya ketertarikan pada sastra. Dari buku-buku koleksinya saya menyimpulkan, teman saya ini cenderung menyukai sastra yang bertutur tentang kerajaan, mulai dari kekuasaan, peninggalan, pahlawan, dsb.

Ada beberapa koleksi terbaik yang dipajangnya di kantor, salah satu yang sangat menarik perhatian saya adalah buku karya Pramoedya berjudul “<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Arok_Dedes" target="_blank"><span style="text-decoration: underline;">Arok Dedes</span></a>”. Ternyata kawan saya ini juga menaruh perhatian pada pangarang besar itu. Saya lalu meminta izin meminjam buku itu, dia memberikan dengan senang hati.

Buku ini memancing rasa ingin tahu yang sangat besar dalam diri saya. Pertama karena saya ingin tahu detail cerita Ken Arok dan Ken Dedes, kedua karena saya ingin benar-benar mengerti bagaimana cara Pramoedya bertutur dalam kalimat yang sambung menyambung. Ini juga karena buku Anak Semua Bangsa itu terasa terlalu berat untuk dibaca. Saya ingin lebih dulu masuk pada gaya bercerita Pramoedya.

Di awal bab pertama saya merasa masih menemui kesulitan. Bahasa sastra yang digunakan Pramoedya sama sekali berbeda dengan sastra pop. Saya menyebut bahasa sastra Pramoedya dengan sastra klasik. Namun, lama kelamaan saya mulai menikmati, bahkan menggilai buku ini. Saya berada di bab 4 sekarang, dan setelah ini Anak Semua Bangsa ada di <em>waiting list</em>.

Dan kamu, sudah pernah membaca karya Pramoedya? Berbagilah.. ^^

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates