13.5.11

#1

“Silakan, Mbak,” <em>waiters</em> itu berlalu setelah meletakkan secangkir cappucino di mejaku. Cangkir kedua sejak sejam lalu aku duduk seorang diri di bangku ini.

Semburat jingga mulai memenuhi dinding-dinding kafe yang didominasi oleh bambu. Kubiarkan sinar jingga itu menerpa wajahku, sedikit menyilaukan pandangku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Kualihkan pandanganku dari cerah senja ke laptop, mencari-cari sesuatu. Aku memasang <em>headset</em>, memanjakan telingaku dengan sebuah lagu.

<em>Why Do You Love Me</em> versi Rio Febrian dan Erwin Gutawa mengalun indah, membawa sejuta kenangan. Aku sudah terbiasa begini, saat rindu ini serasa tak mampu terbendung di keluasan hati dan kedalaman jiwa, aku mengumpulkan kepingan <em>puzzle</em> bertema kenangan. Seperti yang sedang aku lakukan kini.

Aku sengaja menunggu senja di kafe ini, menikmatinya dari bangku di sudut ruangan. Tenggelam dalam kenangan saat aku terbiasa bersamanya di sini, di bangku ini, di keindahan senja serupa ini. Memesan cappucino hangat dan sepiring roti bakar rasa coklat keju.

Dan lagu ini menambah senyum di wajahku, memudahkanku mengumpulkan berjuta kenangan tentang cinta pertama, kisah cinta semasa SMA. Teori cinta pertama yang tak terlupa ini sepertinya memang berlaku buatku. Sekian tahun aku menepis rindu ini, mencoba membuangnya jauh-jauh dari hatiku. Namun, semakin ingin melupakan semakin ingat aku padanya.

Lalu, aku memutuskan untuk membiarkannya ada, tak ingin lebih lama lagi menyiksa hati. Kalau dia memang ada, untuk apa diingkari, menyakiti hati sendiri. Dan kini, aku bisa tersenyum saat si rindu bergelayut manja padaku, memenuhi ruang hati dan pikiranku, mengaliri nadiku. Tak apa, aku tak memusuhinya, tak mengusirnya, tak mengingkarinya. Sekalipun aku tak pernah menemu jawab tentangnya.

“Hai,” suara itu menyapaku lembut, menyusup ke telingaku yang ber-<em>headset</em>, selembut bayangnya yang kini hadir di hadapanku. Aku tersenyum padanya. Berbalas.

Semburat jingga menerpa wajahnya yang kali ini terlihat lebih kusut dari biasanya. Ah, mungkin aku sudah mulai melupakan raut wajahnya kini, hingga dia nampak tak setampan biasanya. Aku menatapnya, membiarkannya hilang perlahan seperti yang sudah-sudah. Mata itu balik menatapku, serasa selembut suasana senja yang menengahi kami.

<em>“I miss you so bad,”</em> bisiknya tak terdengar oleh telingaku yang memakai <em>headset</em>, tapi bisa kubaca jelas dari gerak bibirnya.

<em>“Me too,”</em> aku menyahut di sela senyum. Tatapanku beralih pada tangannya yang bergerak mendekati jemariku. “Andai bisa, aku ingin sekali bisa menyentuhmu, meski hanya bayangmu.”

Jemari itu benar menyentuhku, aku berjingkat dan spontan menarik tangan dari atas meja. <em>Headset </em>di telingaku terlepas. Sentuhan itu terasa begitu nyata. Dia terasa begitu nyata di depanku.

“Kenapa?” kali ini lembut suaranya kudengar jelas. <em>“I’m here,”</em> dia menuntun tanganku untuk menyetuh wajahnya.

Tanganku bergetar saat kulitku bersentuhan dengan kulit wajahnya. Air mataku tumpah. Bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates