13.7.11

Take and Give

Kadang, orang bahkan tak tau apa yang telah dia lakukan, apa yang dia katakan, apa yang tengah dia rasakan, apa yang sedang dia pikirkan. Mungkin saja polah yang dianggapnya biasa telah mengganggu orang lain. Mungkin saja perkataan yang dianggapnya biasa telah menyinggung perasaan orang lain. Mungkin saja rasa dalam hatinya hanya rasa yang ada karena sensibilitasnya. Atau mungkin saja yang ada di pikirannya hanya pemikiran-pemikiran yang hanya bisa menyenangkan dirinya.

Segalanya tak selalu sama seperti yang kita harapkan. Saat kita melakukan sesuatu yang kita anggap benar tapi ternyata salah di mata orang lain. Saat kita berkata bermaksud bercanda, ternyata kata itu menyinggung perasaan orang lain. Saat kita merasa terasing, ternyata tak selalu karena mereka tak menganggap kita. Saat kita berpikir masalah ini bukan muncul karena kesalahan kita, ternyata kita justru punya andil besar di dalamnya.

Dalam bertingkah, mungkin kita telah memikirkan bahwa apa yang kita lakukan itu benar, tapi mungkin kita tak mencoba menjadi orang yang menerima perlakuan kita, kita tak memahami bagaimana pola berpikirnya, apakah dia akan dengan lapang dada menerima dan membenarkan perilaku kita atau justru sebaliknya.

Dalam berkata, mungkin sebelumnya kita telah mengolah kata-kata itu dalam otak kita dan berusaha menyampaikannya sesederhana mungkin, sehalus mungkin, tapi kata-kata itu masih saja membekas luka di hati orang lain. Apa kita yang salah dalam memilih kosa kata atau orang lain yang tak dapat mengolah dan mengerti maksud kita?

Dalam hati kita, tempat kita merasakan segala sesuatunya, kadang rasa itu ada karena kita terlalu “sensi”. Orang lain memang sangat mempengaruhi mood kita. Kita merasa senang saat kita merasa dihargai karena apa yang kita lakukan, atau paling tidak orang mau mendengarkan saat kita berbicara dengannya.

Dalam berpikir, kita selalu ingin yang terbaik untuk diri kita dan semuanya. Namun, kadang tanpa sadar ego kita telah menjadi penguasa dalam pemikiran itu. Karena suatu masalah, orang bisa menyalahkan orang lain dengan begitu kejam karena menurut pemikirannya, dia sudah benar. Atau sebaliknya, karena pemikirannya tentang suatu masalah, dia bisa menyalahkan dirinya sendiri dan memilih menghukum dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kita sebagai makluk sosial tak boleh hanya menerima, tapi kita harus pula memberi, karena orang lain yang berhubungan dengan kita pun tak hanya berkewajiban memberi, tapi juga berhak menerima. Ini bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas dalam memberi, ini masalah pemahaman dan penghargaan yang sama-sama dibutuhkan oleh makhluk sosial.

Ketika orang ingin dipahami, maka dia harus lebih dulu memahami. Jika kita merasa tak dipahami, mungkin lawan main kita pun belum merasa dipahami. Kita butuh mengerti bagaimana cara berpikirnya, bagaimana responnya terhadap peristiwa tertentu, bagaimana dia ingin diperlakukan. Karena dengan itu kita bisa menempatkan diri dengan benar padanya. Seorang temanku bilang, “ketika kita benar-benar sudah mengerti, kita tak akan sakit hati dengan apapun yang diperbuatnya.” Logis, karena kita memang tau bagaimana dia berpikir untuk sesuatu yang telah dilakukannya.

Dan kita tak bisa menuntut orang lain melakukan ini, tapi kita bisa mengusahakan diri kita untuk berpikir dan melakukan ini ketika kita sadar bahwa semua berawal dari diri kita sendiri. Tak ada yang bisa menyakiti hati kita kecuali diri kita sendiri, ego kita sendiri, pemikiran kita sendiri, rasa kita sendiri. Orang lain bertindak, berkata, berpikir dan merasa semaunya, begitu pula dengan kita. Namun, saat kita sadar semua berawal dari diri kita sendiri, kita akan mencoba berpikir, kenapa dia bertindak, berkata, berpikir dan merasa demikian? Kita hanya akan mencoba memahaminya.

Dan jika mereka telah sampai pada waktunya, ketika mereka sadar semua berawal dari diri mereka sendiri, mungkin mereka akan melakukan hal yang sama, mereka akan mengusahakan yang sama seperti yang kita usahakan saat ini, memahami dan menghargai, memberi dan menerima.

Pernah diceritakan oleh seseorang, tentang cita-citanya untuk mengubah dunia, tapi dia merasa dunia terlalu sulit untuk diubah. Lalu dia menyederhanakan keinginannya, dia ingin mengubah negerinya, tapi keinginannya itu dirasa berat pula. Menjelang usianya yang setengah abad, dia berpikir untuk mengubah keluarganya saja, tapi ternyata dia pun gagal. Lalu, saat dia sudah terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dia berpikir untuk mengubah dirinya. Dan dia menyesal, kenapa tak sedari dulu dia berkeinginan mengubah dirinya? Jika dia bisa mengubah dirinya dan menjadi panutan, tentu setelah itu perlahan-lahan dia akan bisa mengubah keluarganya, negerinya, bahkan dunia.

Tulisan ini hanya buah pemikiranku yang tak selalu benar atau sejalan dengan pemikiran orang lain. Aku pun bukan orang yang bisa selalu mengerti dan menghargai orang lain. Aku juga bukan orang yang selalu bisa memberi setimpal dengan apa yang aku terima. Tapi aku berusaha. Aku berusaha untuk tak membangun pagar tembok yang bisa melindungiku dari rasa sakit tapi justru bisa membuatku terasing dari orang-orang di sekitarku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates