5.7.11

Cinta Jailangkung

"Maaf ya, aku datang terlambat."

"It's ok. Kita juga baru mulai kok," pemilik suara lembut namun tegas itu tersenyum.

Dia lalu meneruskan bicara sambil mengedarkan tatapan tajam matanya dari satu orang ke orang yang lain. Hatiku berdesir ketika sorot mata itu tertuju padaku. Bumi seolah berhenti berputar dan kehilangan gravitasinya. Aku melayang. Aku tak tahu pasti sejak kapan aku mulai memperhatikannya.

Mungkin sejak pertama kali kami bertemu di kelompok KKN ini. Mungkin sejak pertama kali mata kami saling memandang. Atau mungkin saat aku duduk bersampingan dengannya. Aku benar-benar tak tahu. Yang aku tahu, ada rasa tumbuh dalam hatiku untuknya. Entah siapa yang melempar benih, entah dengan cara apa, entah di mana, entah kapan. Aku menikmati rasa ini, meski tak punya keberanian mengungkapkan. Kubiarkan diriku tersihir oleh suara lembut namun tegas dan tatapan mata tajam namun tetap terlihat teduh. Kubiarkan bumi berhenti berputar dan kehilangan gravitasinya.

Aku hanya ingin menikmati rasa ini, tanpa takut akan jatuh dan tersungkur. Siapa sangka cinta ini bersambut? Dia menyatakannya, beberapa saat setelah kami pulang dari lokasi KKN. Kebersamaan beberapa bulan terakhir juga telah membuatnya merasakan terhentinya rotasi bumi dan hilangnya gravitasi. Dia pun tak pernah tahu, kapan, di mana dan bagaimana awal mula rasa itu tumbuh.

Tak penting. Yang penting, kami telah bersepakat untuk bersama merajut benang kasih kami. Janji setia seperti pasang-pasang merpati. Bumi tak lagi berhenti berputar, tak juga kehilangan gravitasinya, karena kami tak lagi merasa hidup di bumi. Hari-hari yang begitu indah, begitu menyentuh, begitu menyenangkan. Aku pikir, mungkin saat itu kami hidup di bulan. Tanpa rotasi. Tanpa gravitasi. Berbonus bintang gemintang di siang dan malam.

Kisah yang kurasa terajut begitu sempurna. Bagi kami cinta itu membahagiakan. Meski terkadang ada kerikil-kerikil kecil mengusik, tapi itu tak mengurangi makna cinta yang terbangun. Aku tak pernah menyesalkan apa pun. Dia tak pernah mengharap lebih dari yang kami miliki. Satu-satunya penyesalanku adalah kepergianku ke Bali untuk riset skripsiku. Seharusnya aku menunggunya pulang dari Jakarta. Seharusnya aku bisa berangkat tiga hari lagi, bukan hari itu.

Hari ketika segala keindahan harus berakhir. Hari ketika aku dihempaskan kembali ke bumi yang berhenti berotasi dan kehilangan gravitasi. Aku tak melayang seperti yang sudah-sudah. Kali ini aku tersiksa di kehampaan udara. Kehabisan oksigen. Seluruh saraf persendianku seperti lumpuh. Aliran darahku seperti terhenti. Leherku seperti tercekik kuat dan tak ada udara dalam ruang paru-paruku. Tak ada yang bisa kusalahkan atas kepergiannya.

Bukan masinis kereta yang lalai hingga keretanya keluar jalur dan masuk ke jurang. Bukan lelaki berjubah putih bertitel dokter yang bilang telah berusaha menyelamatkan nyawanya, tapi gagal. Aku ingin menuntut, tapi tak ada yang bisa kutuntut. Aku ingin marah, tapi tak ada yang bisa kumarahi. Aku ingin meluapkan rasa menyiksa ini. Aku ingin udara dalam paru-paruku. Aku ingin darahku kembali mengalir dan sendiku kembali berfungsi, agar aku bisa mengantarnya ke pusara.

Namun aku tak bisa melakukan apa-apa. Tak bergerak, bahkan untuk menangis pun aku tak sanggup. Hanya kenangan bersamanya yang memenuhi kepalaku. Aku tak mampu menghentikannya, meski kenangan itu semakin menghampa paru-paru. Kenangan saat pertama bertemu, saat cinta bersambut, saat cinta mekar bersemi, saat cinta pergi. Hari itu, aku menyadari cinta itu tak sempurna. Cinta itu tak selalu membahagiakan. Cinta itu seperti jailangkung, datang tak dijemput pulang tanpa berpamit, tak juga diantar.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates