Kupandangi wajah tirus di depanku. Ia tersenyum ketika mata
kami bertemu. Kubalas. Tatapan mataku berpindah ke bibirnya yang komat-kamit,
melagukan bait-bait romantis. Menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Apalagi
yang sedang mencinta. Jemarinya lentik menari di atas senar gitar, seirama
dengan gerak pasangannya yang cekatan berpindah dari satu kunci ke kunci yang
lain.
“Kupikir dia sama dengan sejenisnya, playboy,” suara yang
datang lamat-lamat itu cukup membuatku berpaling.
Bian duduk di sampingku, menatap sapa padanya. Aku
tersenyum, mataku kembali menatapnya. Kulihat sisa senyum sapanya pada Bian.
Dia masih saja bernyanyi.
“Nggak semua musisi playboy, Bian,” aku menanggapinya.
“Ah, kau sendiri sudah lama mengenalnya. Dulu, dia
benar-benar petualang cinta, pecinta setiap wanita jelita,” Bian mengerling
padaku, “Tapi aku berbahagia, dia telah menemukan pelabuhan cintanya.”
Kutatap Bian dari sudut mataku. Rangkaian kata itu kujawab
dengan senyum.
“Setiap tetes air selalu bermuara, Bian. Ada kalanya dia mengalir
tenang, kadang harus menempuh jalan berputar, atau jalan penuh bebatuan,”
mataku kembali padanya. Lagunya sudah hampir habis, “Meskipun pernah tersesat,
toh nantinya dia pasti menemukannya.”
“Semoga memang kamu,” Bian mengikuti arah mataku.
Riuh tepuk tangan memenuhi kafe. Lagunya tuntas. Lagi-lagi
dia melempar senyum.
“Saya mau menyanyikan satu lagu lagi. Lagu baru, khusus
untuk seseorang. Judulnya ‘muara hati’. Please listen.”
0 komentar:
Posting Komentar