12.9.11

21 Agustus

Galih, begitu ia memperkenalkan dirinya. Menyebutkan nama sambil menyalami satu per satu orang yang ada di basecamp.

Dia adalah orang baru dalam tim backpacker-ku. Akbar yang membawanya karena dia punya hobi yang sama dengan kami. Tak ada yang istimewa. Tak ada rasa tertarik. Tak ada getar terasa dalam jabat tangan ataupun tatapan mata. Pertemuan yang biasa saja.

Galih orang yang menyenangkan. Meski sore itu adalah pertemuan pertamanya dengan Jejak, tim backpacker-ku, tapi dia sudah seperti orang lama. Dia pandai beradaptasi. Dia tak ragu berbagi pengalamannya. Tak jenuh mendengar cerocos kami. Siapapun akan langsung merasa akrab dengannya. Akrab seolah teman lama.

Itulah pertama kali aku bertemu dengannya, lima tahun yang lalu. Ketika itu aku baru 18 tahun. Dia dua tahun lebih tua dariku. Aku baru kuliah dan ia masuk tahun keduanya di bangku kuliah.

Berlalunya waktu membuat kami menjadi sahabat. Sebenarnya dia adalah sahabat semua orang, tapi beberapa kesempatan telah lebih mendekatkan kami. Dia berbagi banyak hal padaku tanpa sungkan. Aku bercerita apa saja dengannya tanpa ragu.

###

Kereta api yang kutumpangi menghentikan laju ketika sampai di stasiun Tugu. Beberapa orang yang tertidur seolah mendengar alarm. Masih setengah mengantuk, mereka yang akan turun menyiapkan barang-barang bawaan. Aku termasuk dalam beberapa orang yang mengantri turun. Kuseret koper hijauku menjauhi kerumunan. Berjalan ke arah pasar terbesar di Jogja yang tak begitu jauh dari stasiun.

Pukul 09.00 wib. Masih pagi sekali ketika aku sampai di depan toko ini. Tulisan close di pintu kaca baru saja dibalik, bertepatan dengan kedatanganku. Kini tulisan open sudah terpampang di sana, tanda bahwa calon pembeli sudah boleh masuk dan mencari-cari tas atau koper yang berjodoh dengannya.

Aku berdiri di depan toko itu. Tepat di depan beberapa barang dagangan dipajang. Ada dua koper yang sedang dipamerkan di kotak kaca berbentuk persegi panjang itu. Dua tas ransel dan satu tas gunung. Sebuah manekin laki-laki berdandan sporty duduk, manekin yang perempuan juga berdandan sport tapi tetap modis, tangannya seperti sedang menyeret pegangan koper.

###

Ngapain kamu berdiri di sini? Pengen jadi kayak mereka? telunjuknya menunjuk manekin di balik kaca.

Aku tak menyahut. Dia ngakak sambil memegangi perut. Tawa itu mereda ketika aku tak beringsut marah seperti biasanya ketika dia meledekku. Dari sudut mata aku melihatnya mencoba mengikuti arah pandangku. Sebuah koper berwarna hijau tua. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Ukurannya sedang, mungkin M dari skala SML.

Bagus ya, aku bergumam.

Koper ini? Aku mengangguk. Buat apa?

Buat naruh barang bawaan dong, masa buat kandang kucing? sedikit sewot aku menyahut. Dia tergelak lagi.

Masa backpacker-an mau bawa koper? Ribet, Non! Backpacker itu ya bawanya tas ransel, kalo nggak muat bawa tas gunung, dia terus tergelak.

Kali ini aku bersungut. Aku melangkah pergi meninggalkannya yang masih tergelak sambil menahan kram perut. Apa salahnya backpacker bawa koper? Lagian aturan dari mana kalo backpacker harus selalu bawa tas ransel atau tas gunung? Dasar orang aneh!

Jejak sedang traveling ke Jogja, mengunjungi beberapa tempat peninggalan kerajaan. Keraton salah satunya. Di tengah kunjungan ke keraton, aku merengek minta mampir ke Malioboro. Dan jadilah malam itu kami menghabiskan waktu berjalan-jalan di Malioboro. Hingga aku bertemu dengan koper itu. Hingga aku bertemu juga dengan dia.

Galih! seorang perempuan menyebut nama Galih. Kami yang sedang menikmati kopi di Kali Code serentak memusatkan pandangan padanya.

Yang dipanggil hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Perempuan berambut panjang dengan dandanan feminin itu mendekat.

Kok kamu nggak bilang kalo lagi di Jogja? dia menyalami Galih.

Nggak kepikiran. Hehehe, Galih cengengesan.

Siapa, Lih, kenalin dong! celetuk Bonbon.

Oiya, kenalin ini Raya. Ray, ini temen-temen backpacker-ku dari Surabaya, perempuan itu menyalami kami satu per satu sambil menebar senyum.

Raya siapanya Galih? kali ini Gino yang iseng.

Tunangannya, gadis itu menjawab dengan suara halus.

Wah, kok kamu nggak bilang-bilang sih punya tunangan cakep? Bonbon meninju bahu Galih pelan.

Galih masih saja cengengesan. Tiba-tiba aku jadi merasa tak nyaman dengan suasana ini. Rasa-rasanya aku ingin menyingkir saja dari sana, dari cowok-cowok yang sibuk menggoda Raya. Aku jadi muak melihat wajah cengengesan Galih, seolah dia memang sangat bangga memiliki tunangan yang nyaris sempurna. Iya, tunangan. Entah, tiba-tiba saja aku benci dengan kata itu.

Itulah pertama kalinya aku merasakan cemburu. Bahkan sebelum aku menyadari ada rasa istimewa yang tumbuh untuk Galih. Malam itu, di tengah himpitan rasa tidak nyaman karena kehadiran Raya, aku menyadari perasaanku. Aku menyayangi Galih. Bukan sayang seorang sahabat. Bukan pula sayang adik pada kakaknya. Tapi sayang perempuan pada laki-laki yang telah mengisi hari dan hatinya.

Hari itu tepat dua tahun sejak pertemuan kami. Tanggal hari itu adalah tanggal yang sama dengan hari ketika dia datang ke basecamp Jejak untuk pertama kalinya. Tanggal yang sama juga dengan hari ini, ketika aku berdiri di depan etalase kaca, tempat barang dagangan dipajang. Tanggal 21 Agustus.

###

Koper yang merah kemarin mana ya? seorang perempuan terdengar menyeletuk.

Kita lihat ke dalam aja, siapa tahu memang sudah nggak dipajang lagi, lelaki yang bersamanya menenangkan. Mereka berdua lalu masuk ke dalam toko.

Aku tersenyum tipis. Dialog itu juga pernah kuucapkan dulu. Bedanya dulu aku seorang diri, tidak seperti pasangan ini. Dan sepertinya mereka merasakan kekecewaan yang sama dengan yang kurasakan dua tahun yang lalu. Koper yang diinginkan sudah terbeli oleh orang lain. Tapi, mungkin akan ada sedikit perbedaan di sini. Dan anggaplah aku sedikit lebih mujur dari perempuan itu.

###

Aku benar-benar jatuh cinta pada koper hijau tua itu. Beberapa toko koper di Surabaya kudatangi, tapi tak ada yang sama. Aku harus kembali ke Jogja untuk mendapatkannya. Setelah beberapa bulan menabung, aku kembali ke toko itu. Sendirian. Tak mungkin aku mengajak Galih. Dia pasti akan menertawaiku habis-habisan. Mungkin sampai gulung-gulung di trotoar menahan kram perutnya. Makanya kuputuskan untuk datang sendiri.

Sayangnya, aku terlambat. Setengah jam yang lalu, pembelinya baru saja meninggalkan toko. Begitu kata penjualnya sebelum menawariku koper yang lain, yang lalu kuabaikan. Aku kembali ke Surabaya dengan tangan kosong.

Dari mana aja sih? Dari tadi aku nungguin kamu nih! Galih sudah bertengger di teras rumah ketika aku sampai.

Baru pulang dari Jogja, kurebahkan tubuhku di kursi.

Ke Jogja? Ngapain? Sama siapa?

Mo beli koper. Sendiri.

Trus mana kopernya?

Udah keburu dibeli orang, kututup mata dan telinga, bersiap dengan gelak tawa yang akan diluncurkannya.

Kamu ngapain? samar kudengar dia bersuara. Kupicingkan mata. Melirik.

Taraaaaaaaa...!! teriaknya, ada benda persegi panjang terlihat mataku.

Wow..!! teriakanku tak kalah kencang. Kuraih benda itu. Aku yakin, mataku pasti berbinar-binar kini. Benda itu nyata di depanku. Koper hijau tua itu bisa kusentuh dengan jemariku.

Selamat ulang tahun..!! Galih menyusulkan ucapan selamat.

Spontan aku memeluknya. Tak peduli dia gelagapan. Aku terus memeluknya dan berucap terimakasih setulusnya. Galih memberikan koper yang benar-benar aku inginkan. Dia memberikannya sebagai kado ulang tahun. Bagaimana aku bisa menyembunyikan gembiraku? Bagaimana bisa hatiku tak berbunga-bunga?

Eits, jangan cuma makasih aja. Traktir makan dong! dia nyengir kuda saat pelukanku terlepas.

“Beres! Kamu mau makan apa? Aku traktir sampai perutmu buncit! kali ini aku yang tergelak.

Malam itu kami pergi ke sebuah warung makan dengan menu sate ayam. Menu kesukaannya. Dia menghabiskan hampir 50 tusuk sate malam itu. Perutnya benar-benar jadi buncit!

Aku hampir tak bisa tidur setelahnya. Koper itu kutaruh di atas tempat tidur, di sampingku berbaring. Sesekali kupeluk dan sesekali itu pula aku tersenyum sendiri. Kenapa dia membelikan koper ini untukku? Kenapa dia begitu perhatian? Tiba-tiba saja aku jadi norak karena kege-eran. Aku benar-benar tak bisa tidur malam itu. Sibuk memeluk koper. Sibuk senyum-senyum. Sibuk bertanya-tanya. Sibuk menerka-nerka perasaannya.

Setengah tahun telah lewat sejak saat itu. Koper ini menjadi barang paling istimewa buatku. Bukan saja karena aku suka, tapi juga karena ini adalah hadiah ulang tahun darinya. Aku belum pernah memakainya, karena memang tak ada agenda keluar kota enam bulan belakangan.

Galih akan diwisuda hari ini. Semua keluarga berkumpul, teman-teman juga diundang untuk syukuran. Gadis itu juga datang. Iya, Raya. Hari itu dia terlihat begitu anggun dan cantik dengan long dress merah marun. Dia terus-terusan saja menempel pada Galih. Membuatku sebal setengah mati. Kami makan bersama di sebuah rumah makan. Keluarganya, teman-teman Jejak, dan Raya.

“Mumpung kita semua lagi ngumpul, saya mau mengumumkan hal penting,” ayah Galih membuka pembicaraan sesaat setelah memesan makanan. Kami yang semula saling bercanda kini hening. Semua mata terfokus pada lelaki yang duduk di ujung meja itu.

“Karena Galih sudah lulus, sudah bekerja pula, maka dalam jangka waktu dekat Galih dan Raya akan segera menikah.”

Ya Tuhan!
Duniaku terasa gelap seketika. Ucapan selamat yang keluar dari mulut teman-temanku ini menambah perih. Aku seperti dilempar ke dasar lautan. Kosong. Sendiri. Kehabisan napas. Kulihat Galih dan Raya senyum-senyum menanggapi satu per satu jabatan tangan. Ucapan selamat. Hancur sudah. Hilang sudah. Mati sudah.

Aku ingin lari sejauhnya. Aku ingin terbang setingginya. Aku ingin menghilang saja. Aku tak betah di sini. Aku tak tahan dengan derai tawa ini. Aku sakit. Aku harus pergi! Iya, aku memang harus pergi, kalau tidak, Galih dan mereka semua akan menertawakan kekonyolanku. Menertawai air mata yang jatuh tidak pada tempatnya.

Aku hanya mengirimkan pesan singkat pada Galih, bilang bahwa aku harus pergi karena bunda membutuhkan bantuanku. Juga mengucapkan selamat atas rencana pernikahannya. Ya, aku tak harus merusak suasana dan rencananya karena sikap kekanakanku. Aku merasa tak punya alasan untuk marah.

Hatiku lebih lega ketika sms itu berhasil kukirim. Tak kuhiraukan apa balasannya. Aku terlanjur tenggelam dalam tumpukan bantal. Menyembunyikan tangisku. Menelantarkan jam tangan yang seharusnya aku berikan sebagai ucapan selamat atas kelulusannya.

Kami jarang sekali bertemu setelah itu. Aku menyibukkan diri dengan tugas-tugas kuliah. Aku bahkan melewatkan traveling Jejak ke Pacitan demi menghindarinya. Padahal aku adalah orang paling bersemangat ketika kami merencanakan agenda itu. Aku benar-benar tak tahan bertemu dengannya. Aku tak peduli disebut pengecut yang tak berani menghadapi masalah. Aku lebih memilih menjaga hatiku agar tak terus tersakiti.

Tiga bulan berlalu. Di suatu senja, Bonbon mendatangiku yang tengah berkutat dengan laptop di bangku berpayung di kampus.

“Ke mana aja sih, nggak pernah kelihatan?” tegurnya sambil mencomot kue coklat, temanku sore itu.

“Kuliah lagi padat, banyak tugas.”

“Segitunya sampai nggak nengokin basecamp?”

Iya maaf, tapi basecamp nggak akan lari kemana-mana kan?” ledekku.

“Gila!” Bonbon nyengir, “Berhubung kamu jarang kelihatan di basecamp, aku bawain ini buat kamu. Aku nggak mau dianggap nggak memegang amanah,” Bonbon mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Benda persegi panjang berwarna merah marun. Seketika aku ingat dengan long dress Raya.

“Apaan tuh?”

“Undangan pernikahannya Galih dan Raya. Makanya, ke basecamp dong. Masa kamu sampai nggak tahu, padahal ini udah dua minggu ada di sana...”

Aku tak lagi mau mendengar kata-kata Bonbon. Lukaku kala itu masih merah. Kini aku harus menerima luka baru. Kalau saja Bonbon tahu, inilah salah satu alasan aku jarang ke basecamp. Inilah alasan terbesarku tak ingin tahu kabar tentangnya.

                                                                       ###                                     

Luka itulah yang membawaku ke sini. Berdiri di depan toko ini. Menenteng koper pemberiannya. Hari ini, tanggal yang sama dengan tanggal kami bertemu untuk pertama kali. Tanggal yang sama juga dengan yang tercetak di undangan pernikahannya. Tanggal di mana aku merasa harus mengakhiri semuanya. Rasa sakit ini.

“Maaf, Mbak, saya tidak membeli koper bekas,” pemilik toko itu sendiri yang menemuiku.

“Saya tidak berniat menjualnya, Pak, saya hanya ingin mengembalikannya. Koper itu dulu dibeli di toko ini. Labelnya masih belum saya lepas.”

Lelaki tua itu lalu memeriksa koper yang kini ada di atas mejanya. Memeriksa labelnya. Memperhatikan kondisi koper yang memang masih sangat baik.

“Ya sudah, saya beli lagi saja, Mbak, barangnya masih sangat bagus.”

“Nggak usah, Pak, ambil saja. Terimakasih,” aku beranjak pergi. Berharap cinta dan luka itu tertinggal di sini bersama koper itu.

“Mbak, ada yang ketinggalan,” lelaki tua itu mengejarku. Menyerahkan kertas berlipat empat, “Ada di dalam koper.”

Rasa itu ada di hati. Tertanam begitu saja. Tumbuh dengan sendirinya. Mekar tanpa harus disiram. Semoga dia cukup berarti hingga tak merusak hubungan kita selama ini. Semoga dia cukup berarti untuk menghentikan perjodohanku dengan Raya. Aku mencintaimu, Melati.
– Galih –

Perempuan mana yang tak akan bersuka cita mendapatkan rangkaian kata semacam ini? Dalam keadaan hati yang normal, barisan kata itu akan terasa menjadi ungkapan rasa paling membahagiakan. Membikin hati melayang-layang, kegirangan hingga lupa tempat berpijak.

Namun, hatiku tidak sedang dalam keadaan normal k. Hatiku terluka sangat parah. Deretan huruf itu lebih terasa seperti anak panah yang dilesakkan satu per satu, tepat ke jantung. Begitu menyayat. Begitu tajam menghujam. Begitu mematikan.

Dadaku seketika sesak oleh penyesalan. Mataku seketika penuh dengan air mata. Kakiku seketika terasa lumpuh. Aku luluh bersimpuh. Menahan deru tangis. Menahan sesal yang membuncah ruah. Rasa sakit ini jauh lebih sakit dibanding saat aku menerima undangan pernikahannya. Jauh lebih mengiris. Jauh lebih menyiksa.
Tanggal 21 Agustus. Saat semuanya berawal. Saat semuanya berakhir.


* cerpen untuk lomba "cinta dalam koper" tapi nggak lolos.. :D

2 komentar:

Annisa Reswara mengatakan...

Dear Melati,

andai kau sedikit lebih cepat menemukan kertas itu. Mungkin aku akan mengucapak kalimat ijab ini untuk menjadikanmu halal bagiku, bukan Raya. terimakasih telah menyimpan koper pemberianku. Semoga kau cepat menemukan koper lain untuk menyimpan hati dan cintamu.

Galih


****

Bagus euyyyyyyy............ Mantabbbbbbb ^^d

nadian maulana mengatakan...

sayangnya, sesal itu gak pernah ontime..
hwehehehe... :D

terimakasih telah berkunjung.. ^^

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates