Hari ini tanggal 19 September. Biasanya aku akan terjaga
semalaman, menunggu jarum panjang jam melewati angka 12 hingga menggeser jarum
pendeknya tepat berada di 12. Menanti datangnya 19 September dengan
sabar dan saat waktunya tiba, aku akan menelfonnya. Penuh harap menjadi orang
pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
Namun, tiga tahun belakangan aku hanya mengirimkan pesan,
SMS. Dan hari ini, aku tak tahu harus apa. Haruskah seperti tahun-tahun lalu? Atau
tak usah berucap apa-apa, berpura tak tahu? Tiga tahun lalu, dia membalas
SMS-ku dengan telfon, dua tahun terakhir dia hanya membalas, “Iya, terimakasih.”
Jawaban yang mungkin akan kudapatkan juga hari ini.
Mataku memanas. Aku tak tidur semalaman. Kubuang pandangku
ke luar jendela, berharap menemu sejuk embun di ujung dedaunan. Tak ada, surya
telah menguapkannya ke langit. Hanya seorang pedagang sayur yang terlihat sedang
dikerubuti ibu-ibu. Terdengar beberapa orang menawar harga.
Aku jadi berpikir, andai rasa ini bisa kutawar. Sayangnya
tidak, aku hanya harus menerima. Penerimaan yang berat. Penerimaan yang
membutuhkan berjuta daya.
Tiba-tiba terpikir untuk membuatkannya kue. Entahlah,
kekuatan apa yang menuntunku hingga aku benar-benar melakukannya. Seharian berkutat
di dapur, tak peduli dengan kewajiban ngantor. Hanya berpikir menyelesaikan kue
ini, mempraktikkan resep yang baru tadi pagi juga kusalin dari internet. Black forest.
Kesukaannya.
Jarum pendek jam di angka 12. Sudah tengah hari. Sudah sejam
aku duduk di kursi meja makan ini. Memandangi kue berdiameter tak lebih dari 20
cm. Topping cherry di atasnya menggodaku, seolah mengolok, “Hatinya tak akan
begitu saja luruh hanya karena black forest ini.”
Ya, sepertinya dia tak mungkin begitu saja memaafkanku hanya
karena aku membuatkan kue kesukaannya. Kesalahanku terlalu besar, mungkin tak
termaafkan. Lelaki pengagung kejujuran sepertinya tak mentolerir sebuah
kebohongan. Dan aku telah melakukannya. Aku menyembunyikan sesuatu yang
seharusnya dia ketahui.
Masa bodoh! Dua tahun sudah aku tenggelam dalam penyesalan. Dua
tahun sudah aku memintanya memaafkan khilafku, menerimaku sebagai manusia yang
tak luput dari khilaf. Kali ini aku harus menemuinya, meski nantinya hanya
jawaban “Iya, terimakasih” yang aku dapatkan.
Kumasukkan kue itu dalam kardus. Kutukar baju lusuhku dengan
gaun termanis pemberiannya dulu. Kutiti langkah menuju tempat tinggalnya.
Ramai. Ada banyak orang di sana. Seperti ada perayaan. Wajar
saja, bukankah dia memang berulang tahun hari ini. Mungkin saja teman-temannya
datang memberikan kejutan.
Aku menunggu di seberang jalan. Menunggu riuh itu bubar. Menunda
bertemu dengannya. Menatapnya dari jauh. Dia tersenyum. Berbahagia. Begitu banyak
orang yang menyayanginya, pantas saja dia tak memperdulikanku. Aku tersenyum
tipis.
Dua jam aku menunggu, riuh itu memudar. Satu per satu pergi.
Tinggal dia sendiri, berdiri menghadap ke jalan. Mata kami bertemu. Mataku memanas.
Matanya berpaling ke lain arah. Tubuhku membeku, kakiku seperti terpaku. Tubuhnya
berbalik, punggung itu lalu hilang di balik pintu.
Aku tergugu.
5 komentar:
Terus? gak jadi dikasihkan kuenya? emaneeeeeeeee...
sini mbak Nad buat aku aja :D
Nice story, ngapain capek2 bikin kue... :p
loh lohhh... to be continued kah???? *penasaran tingkat dewa*
ceritanya seruu... ayo lanjutkan!!! :D
@ares : jangan mbak ar.. black forest bikin gendut lho.. :p
soalnya dia berharap kue itu bisa membuka jalan maaf.. :)
@mbak armae : to be continue to the 3rd galau.. ^^
terimakasih sudah mampir.. :D
si pesek lg galau.....
alhamdulillah ya..... pesek bgt.....
kunjungan malam A-NX.
Posting Komentar