11.11.12

This Miracle

"I called this a miracle"

Ini adalah status yang kutulis di BBM-ku hari itu. Hari saat sebuah cincin dipasang melingkar di jari manis kami. Ya, dia memang seperti sebuah keajaiban, sebuah jawaban atas tanya yang menahun mengendap di sudut hati.


Dulu, kupikir aku tak mungkin akan menemukan jalan keluar dari “ruang” itu. Rasa yang dulu ada seolah membekapku erat, aku seperti tak punya pilihan selain menerima dan menggantungkan harapan kecil untuk sebuah perubahan. Hingga aku lelah berharap dan hanya bisa menerima. Ya, aku seperti terjebak di ruang hampa udara yang mungkin telah kuciptakan sendiri. Kala itu, aku seperti tak punya daya untuk bisa keluar, semua jalan seolah tertutup rapat, tanpa celah.

Berdamai dengan diri sendiri dan keadaan memanglah hal terbaik yang bisa kulakukan saat itu. Ketika sudah letih berharap dan hanya bisa menerima, kunyamankan diriku sendiri dengan keadaan yang ada. Melebur dengan hal-hal menyenangkan di tempat kerja, bersama kawan-kawan baru. Kunikmati setiap hal baik dan belajar mengabaikan hal-hal yang bisa menghitamkan hati. Kulakukan semua, seperti perlakuan yang biasa kuterima.

Bermula di akhir 2010 dan meledak diakhir 2011. Perdamaianku dengan keadaan ternyata telah menghasilkan daya yang begitu besar hingga aku merasa kuat dan berani mendobrak tembok untuk bisa menghirup udara bebas. Ya, aku benar melakukannya. Pada satu fase hidup, di jalan yang membelok, aku menemukan rasa yang lama hilang.

Daya itu mengakar dan menguat. Semua tentu tak terjadi tiba-tiba, kuyakin apa yang telah terjadi telah menghimpun segalanya menjadi satu. Dan finally, aku mendapatkan kebebasanku, meski untuk itu aku harus mengorbankan banyak orang, mengecewakan banyak hati. Puji syukur, mereka ridho dan mendoakan yang terbaik buatku.

Aku bebas, meski saat tembok itu sudah berhasil kuhancurkan dan aku berhasil keluar, aku harus lebih dulu terjatuh ke jurang. Ya, ruang hampa udara itu ada di tepian jurang. Tertatih? Iya. Dayaku telah habis untuk membobol tembok itu, bahkan sama sekali tak tersisa untuk sekedar melengkung senyuman kecil.

Namun, sekali lagi, perdamaianku dengan keadaan menguatkanku. Beruntung, beberapa orang teman yang selalu ada di sisi siap menggenggam tanganku. Tanpa mereka aku tak akan bisa sekuat sekarang. Daya yang terkumpul perlahan kupusatkan untuk mensyukuri segala yang ada. Rasa sakit, rasa kecewa. Kuyakini ada rencana indah Tuhan di balik semua ini.

Sebuah titik balik yang kualami terjadi dengan sangat sederhana. Suatu hari seorang kawan lama, kawan dekat waktu KKN, mengajakku liburan ke Malang. Kuterima ajakannya, selain karena sudah sangat lama tidak bertemu dengannya, kupikir aku juga butuh liburan. Dan di sanalah titik balik itu terjadi. Bertemu dan berkumpul dengan teman-teman lama, berbagi cerita, berbagi tawa.

Ketika aku bisa tertawa terbahak-bahak hanya karena lelucon sederhana, ketika aku bisa menikmati hawa positif yang dibawa oleh alam untuk jiwaku, ketika itu juga aku merasa telah kehilangan banyak hal. Ya, entah sudah berapa lama aku tak bisa tertawa selepas ini. Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam hiruk pikuk pekerjaan dan urusan hati hingga aku lupa jalan pulang. Ah, sebenarnya memang sebelumnya aku tak benar-benar punya “rumah” untuk pulang selain pada-Nya dan rumahku sendiri.

Sudah terlalu banyak hal menyenangkan kulupakan. Sudah terlalu banyak energi negatif yang merasukiku hingga sulit untuk berpikir tentang apa itu bahagia dan bagaimana aku bisa mendapatkannya. Nyatanya, mengingat hal menyenangkan itu begitu mudahnya, dan bahagia itu ternyata begitu sederhana.

Dua hari dua malam kami menghabiskan waktu bersama. Dan dini hari itu, ketika mereka semua lelap, tiba-tiba aku terjaga. Tak habis syukurku mengingat apa yang sudah kujalani selama ini. Ah, aku benar-benar telah kehilangan banyak hal, bahkan mungkin nyaris kehilangan diriku. I have to move on.

Dini hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bahagia. Aku harus menemukan cara untuk bahagia. Aku tak lagi harus memaksakan diri untuk ini dan itu, aku tau apa yang aku butuhkan, aku tau apa yang harus aku lakukan.

Aku tak pernah ingin menyesalkan apapun yang pernah kuputuskan. Aku sudah memikirkannya sangat lama, aku sudah berjuta kali menimbangnya, karena itu aku tak goyah. Apalagi setelah titik balik itu terjadi, aku makin mantab dengan keputusanku. Aku tak tau apa keputusanku bisa diterima semua orang dengan pikiran positif, tapi buatku ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.

Kita, manusia hanya harus mengusahakan yang terbaik yang bisa dilakukannya saat itu. Karena kita tak pernah tau seperti apa masa depan kita. Kadang kupikir keputusan ini sangatlah egois, tapi keterpaksaan yang bisa saja kuteruskan hanya akan semakin menyakitkan. Saat itu, aku hanya tau bahwa yang terbaik yang bisa kulakukan adalah mundur.

Dan sepertinya Dia memang sudah menyiapkan segalanya, tentunya dengan cara yang sangat tidak terduga. Karena setelah titik balik itu terjadi pada diriku, aku didekatkan dengan seseorang, kawan lama juga yang kebetulan liburan ke Malang tempo hari.

Kami sudah sangat jarang bertemu sejak urusan KKN selesai, dulu pun kami bukan teman dekat. Bertemu hanya sesekali dan hanya tegur sapa seadanya. Sudah lebih dari dua tahun rasanya. Ketika pertama kali mengenalnya, atau ketika kembali bertemu dengannya, aku tak pernah memikirkan dia akan menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Aku benar-benar memulainya dari nol.

Kedekatan ini terjadi begitu saja, mungkin lebih tepatnya tak disengaja. Berawal dari hal yang sangat sepele dan segalanya berjalan seperti air mengalir. Rasa nyaman itu hadir perlahan dari komunikasi yang terjalin lewat candaan. Keinginan untuk peduli dan berada di dekatnya semakin kuat. Kuyakin semua itu ta terjadi dengan sendirinya. Karena ada Tuhan yang menanamkan bibit cinta kasih dalam diri kami.

Mimpi-mimpi yang kusimpan rapat, yang dulu pernah terkubur oleh kekecewaan, pelan-pelan kembali bermunculan, meminta untuk diwujudkan. Dan aku merasa membutuhkan orang seperti dia untuk menjadikan mimpi-mimpi itu nyata. Aku merasa benar-benar “pulang” saat bersamanya, saat berbicara dan berbagi mimpi dengannya.

Pada suatu hari itu, dia mengajakku untuk berbicara serius tentang hati. Malam itu, tepat sebulan sejak pertemuan pertama kali setelah dua tahun tak bertemu, kami bersepakat untuk saling memilih dan menjalani komitmen. Dia tak pernah memintaku jadi ‘pacar’ tapi dia memintaku menjadi ‘istri’ dan ibu untuk anak-anaknya.

Segalanya terjadi sangat cepat dan mudah. Keluarganya menyambutku dengan sangat hangat, aku bahkan seperti berada di keluargaku sendiri meski baru pertama kali bertemu mereka. Dan tak sampai sebulan setelah secara pribadi ‘melamarku’ dia mendatangi orang tuaku, mengatakan pada mereka bahwa dia ingin menjalin hubungan serius denganku. Kali ini pun jalan kami mulus, orang tuaku menghargai niat baiknya, mereka menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.

Dan rentetan prosesi itu terjadilah. Dua bulan berikutnya dia sudah membawa orang tuanya ke rumahku, silaturahmi dua keluarga terjadi. Bulan berikutnya orang tuaku membalas silaturahmi ke rumahnya dan bulan selanjutnya satu langkah pasti terjalani. Di jari manis kami sudah melingkar cincin sebagai tanda ikatan, kami bertunangan.

Aku masih belum mengerti bagaimana keyakinan ini bisa tumbuh dan mengakar sedemikian cepat di hati kami. Umumnya, butuh waktu menahun untuk menyiapkan diri menghadapi pintu gerbang pernikahan, bahkan untuk sekedar meyakini diri bahwa selamanya kita akan hidup dengan satu orang yang sama. Mencintai orang yang sama setiap harinya.

Pernikahan bukanlah pintu gerbang kemenangan. Dia hanyalah gerbang tempat kami memasuki fase kehidupan yang baru yang musti lebih kental dengan aroma toleransi untuk selalu bisa saling menerima, memaafkan dan memberikan yang terbaik.

Dan jika hari ini ada air mata mengaliri wajahku, itu karena aku merasa sangat bahagia dan kehilangan kata untuk berucap syukur. Jalan berliku ini telah menemu muara. Aku tak hanya telah menemukan jalan pulang, tapi aku sungguh-sungguh sudah menemukan “rumah” yang sederhana namun sempurna. Ya, sempurna karena bersyukur.


Dedicated to my beloved friends ; BEBE (Irma, Aya, Hanna, Adit, Fian, Kedo), Ratri, Priesta, Dini.
Thank you for everything guys. I’m nothing without you all. I love you.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates