15.5.11

#3

<em>Dear Lintang,</em>

<em>Kau pasti sangat berbahagia kini, ketika setelah bulan-bulan nyaris menahun akhirnya aku melepaskannya untukmu. Iya, aku telah memilih untuk melepasnya, meski kau tahu pasti semua ini terasa sangat berat untukku. Tapi aku sudah merasa sangat lelah, Lintang, aku lelah terus ada dalam posisi yang tidak dikehendaki sejak kamu datang di antara kami. </em>

<em>Ingin rasanya aku merutukimu yang kembali ke sini, berada lebih dekat dengannya setelah sekian tahun kau harus menyelesaikan studi di lain kota. Kenapa kau harus kembali, Lintang? Kenapa tak menetap saja di sana dan mencari lelaki pendamping hidupmu di sana? Kenapa dia yang harus kau ambil dariku?</em>

<em>Kau memang bukan siapa-siapa buatku, aku bahkan pertama kali melihatmu di foto, bersampingan dengannya. “Sahabat” begitu dia mengenalkanmu padaku. Aku tak pernah khawatir hingga kau datang. Awalnya kau memang bukan siapa-siapa buatku, tapi kini kau adalah orang yang paling aku benci. Iya, aku kelewat membencimu.</em>

<em>Kau memang hanya sahabat yang dikenalnya sejak kecil karena rumah kalian bertetangga, tapi dia mengabaikanku karenamu. Lihatlah betapa dia lebih memikirkan segala sesuatu tentangmu, dan tak lagi peduli ke mana aku menapaki kaki menjalani hubungan kami. Lalu, menurutmu, untuk apa lagi aku ada di sisinya? Hanya untuk menjadi penonton setia kebersamaan kalian? Bertepuk tangan riuh saat dia mampu melakukan apapun untukmu? Aku tak sudi!</em>

<em>Aku tak ingin lagi menahannya, dia terang tak merasa bahagia bersamaku. Lihat saja, dia tertawa begitu keras hingga perutnya kram saat kau menceritakan sesuatu yang bahkan tak terlalu lucu didengar, dan dia hanya tertawa sejenak saat aku yang bercerita, tawa untuk patut-patutan. Hanya </em><em>karena </em><em>dia berstatus kekasihku. Dia begitu khawatir saat suhu badanmu naik dua derajat, tapi dia bahkan tak menoleh ketika aku muntah karena maagku kambuh.</em>

<em>Aku mencintainya, Lintang, sangat mencintainya, tapi apalah arti cinta ini jika tak mampu membuat orang yang aku cintai bahagia bersamaku? Bukankah lebih baik aku tak berkekasih dia? Bukankah lebih baik aku meniadakannya? Karena aku tak bisa melihatnya bahagia tanpaku, Lintang, sekalipun kau adalah sahabat dekatnya. Dan kini, aku menyerahkannya padamu, Lintang. Kau mesti tahu hal terbaik apa yang bisa kau lakukan untuk sahabat yang menggilaimu ini.</em>

&nbsp;

Tak ada nama di akhir surat, tapi aku tahu pasti siapa yang mengirimnya, gadis psikopat yang selalu mencemburui kedekatanku dan sahabatku hanya karena status kekasih yang dimilikinya. Surat itu berwarna kuning gading itu ada di atas meja apartemennya, tempatku berada kini. Di lantai berkarpet coklat tergeletak seorang pemuda dengan mulut berbusa, seperti habis keracunan. Di sudut ruangan, seorang gadis telah mengiris nadinya, mencecerkan darah hingga menggenang.

Air mataku luruh berjatuhan, entah karena sedih, takut atau rasa bersalah yang mencekik. Kertas itu kuremas, kekalutan menyelubungiku, aku bahkan tak tahu harus berbuat apa. Beberapa menit yang lalu, aku masih berpikir undangan makan bersama ini adalah awal membaiknya hubungan kami bertiga. Ah, aku terlampau naif.

Di balik <em>gordyn</em> yang terbuka, cahaya jingga melirikku. Sinar senja yang sering kali menenangkan itu berubah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Aku meringkuk di sudut ruangan, berlawanan arah dengan gadis itu. Menghindari sinar jingga yang kini memenuhi ruangan. Aku tercekam ketakutan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates