31.5.11

#6

Secangkir kopi yang kuminum siang tadi benar terasa. Biasanya aku akan tertidur hingga kondektur bus meneriaki tempatku turun. Namun, sepertinya kali ini aku benar-benar harus menikmati perjalanan. Sepanjang perjalanan ini mataku terus terjaga meski pening karena hasil pembakaran solar mendera kepalaku.

Untunglah bulatan kuning di ufuk barat sedang bersahabat. Sinarnya tak lagi menyengat, namun mulai menghangat. Sudah pukul 16.00, satu jam lagi aku akan sampai di kota kecilku. Kota tempat senja paling indah. Kota tempat semua kenangan berkumpul dan perlahan membiru, mengundang rindu.

Seraut wajah tergambar samar. Senja dan kota kecil itu memang selalu mengingatkanku padanya. Pada seseorang tempat rindu ini tertaut. Hhh.. tiga tahun telah berlalu sejak pertemuan terakhir kami yang tak disengaja, di pesta pertunangannya. Dan mungkin saat itu memang akan jadi yang terakhir, karena mungkin mereka telah menikah sekarang. Meski aku tak mendengar kabar dari Intan, temanku yang kala itu memintaku menemaninya hadir di pertunangan Dinda, teman SMA-nya.

Kalau saja aku tahu, tentu aku tak akan datang. Lebih baik aku tak bertemu dengannya selamanya, daripada harus bertemu dan menyaksikannya menyelipkan cincin di jari seorang gadis. Ah, bahkan rasa sakit kala itu masih terasa, meski kini bisa kuhadapi dengan senyum. Iya, hidupku harus terus berjalan baik meski asa untuk bersamanya hilang tersapu badai.

Mentari senja bersinar hangat. Bulatan jingga itu menyebarkan rona, menodai langit biru dengan jingganya. Tepat pukul 17.00 ketika kakiku menginjak tanah kelahiran. Aku menyempatkan diri menatap senja di sela riuh pengayuh becak dan tukang ojek mencari penumpang.

Senja ini sungguh indah. Andai bukan di terminal, mungkin aku akan berlama-lama memandanginya, hingga gelap merayap mengusir jingga. Aku berbalik membelakangi senja. Selangkah terhenti karena sosok itu hadir di depanku, menggendong tas ransel besar di punggung. Mata kami bertatap, dia tersenyum dari seberang.

Dia berjalan ke arahku, berdiri di belakangku. Punggung kami berhadapan. Bisu.

“Senja di sini telah membatalkan pertunanganku. Aku tak jadi menikah.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates