9.5.11

Bulir Rindu di Sela hujan

“Titipkanlah rindumu pada hujan,” aku menatapnya bingung, “Ada bulir rindu terselip di sela hujan. Seorang yang merindu pasti bisa merasakannya,” lanjutnya.

Aku memejamkan mata, merasakan kelembutan bulir hujan yang terbawa angin. Terasa ada jari yang mengusap aliran air di pipiku. Matanya sedang menatapku, teduh dan menenangkan, membuat ujung bibirku tertarik ke atas.

“Kamu nggak boleh nangis kalau nggak ada aku,” katanya sambil mengusap kepalaku.

 

Sudah lebih dari lima tahun aku tak bertemu Arya. Dia berangkat menempuh pendidikan angkatan udara selepas SMA. Sebenarnya aku tak begitu suka dengan pilihannya, aku lebih suka kalau dia kuliah. Paling tidak dia tak meninggalkanku yang masih harus menghabiskan tahun terakhir di SMA. Selain itu, aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku membayangkan betapa berbahaya kehidupan seorang angkatan udara.

Kami sempat bertemu di hari kelulusanku. Saat itu dia sedang libur dan hadir saat upacara kelulusanku. Kami menghabiskan waktu seharian; berlarian di antara rimbun daun teh, makan sate kelinci sepuasnya dan menikmati senja di pinggir danau. Rindu setahun terbayar seharian. Aku bahagia, begitu juga Arya. Meski jarak memisahkan begitu jauh, aku percaya Arya selalu berharap aku jadi yang terakhir untuknya, sama seperti yang pernah dikatakannya.

Saat ini pun, saat jarak dan waktu memisahkan kami dengan sangat tidak manusiawi, aku tetap percaya, dan aku selalu ingat kata-kata Arya. Percakapan tentang rindu sore itu selalu terngiang ketika hujan turun, ketika aku merasakan rinduku luruh jatuh bersama guyuran air hujan. Aku selalu berharap, rindu ini akan benar-benar sampai padanya.

Seperti sore ini, hujan turun tak terlalu deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih dingin dari biasanya. Aku memandangi titik-titik hujan di teras rumah. Sudah tiga tahun berlalu sejak terakhir kali aku bertemu Arya. Setelah aku lulus SMA, kami sekeluarga pindah mengikuti ayah yang dipindahtugaskan keluar Jawa. Sejak saat itu pula aku tak pernah bertemu Arya. Aku hanya bisa menitipkan rindu ini pada bulir hujan.

Tak terasa, mataku memanas. Ah, kadang rindu ini memang menyiksa hingga memaksa mataku mengeluarkan air mata. Aku menegadah, tak membiarkan bulir air mata ini jatuh seperti air hujan. Aku tak ingin menangis karena rindu ini, aku tahu seseorang di sana menyimpan perasaan yang sama juga. Aku tak tahu dari mana datangnya keyakinan ini, tapi rasa inilah yang menguatkanku.

“Menangislah, aku di sini,” kontan aku menoleh ke sumber suara. Seseorang yang mengatakan ada bulir rindu di sela hujan itu benar-benar menerima salam rindu yang kutitipkan pada hujan. Dia ada di sini sekarang, di hadapanku, nyata.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates